Dinamika Kapasitas Lokal

4. Dinamika Kapasitas Lokal

4.1. Fokus Kasus untuk Pemahaman Kapasitas Lokal

Uraian pada bab ini, yang pada hakekatnya adalah pendalaman informasi ttg. kapasitas lokal, hanya akan dilakukan melalui pembahasan lebih jauh tentang beberapa masalah penting yang tergolong sebagai ‘masalah- masalah penting yang menonjol’ (lihat Tabel 2.4 terdahulu), hasil dari penerapan strategi ‘qualitative data collection’. Setidaknya ada dua alasan utama mengapa langkah itu yang ditempuh. Pertama, sebagaimana telah terbaca pada sub-bab 2.1. terdahulu, data-data yang mengemuka melalui penerapan strategi ‘qualitative data collection’ ini, khususnya yang menyangkut topik masalah-masalah penting, relatif juga mencakup topik-topik dan/atau data-data yang tergali melalui ‘household survey’ dan ‘ethnography case studies’. Wilayah singgungan antara hasil ketiga strategi penelitian yang diterapkan terletak pada masalah ‘konflik tanah’ dan ‘masalah-masalah pertanahan lainnya’ (yang pada hakekatnya mencakup kasus-kasus yang variasi cukup tinggi). Kedua, penerapan strategi ‘qualitative data collection’ telah memungkinkan tersedianya informasi dan/atau data-data yang ‘lebih dalam’ ketimbang data-data yang terkumpulkan melalui strategi ‘household survey’ dan sekaligus ‘lebih luas cakupan wilayah sebarannya’ daripada data- data yang dihasilkan oleh strategi ‘ethnography case studies’.

Pendalaman lebih jauh atas kasus-kasus masalah penting hasil ‘qualitative data collection’ ini juga dimungkinkan karena penerapan strategi ‘qualitative data collection’ ini juga dilengkapi dengan penggunaan beberapa alat perekaman data lainnya. Masing-masing adalah (1) pengamatan dan wawancara mendalam terhadap 1 – 2 ‘peristiwa penting’ terpilih (baik karena menjadi prioritas melalui diskorah ataupun karena alasan lain); (2) pengamatan dan wawancara mendalam tentang 2 profil LNI menonjol menurut ‘household survey’; (3) perekaman data tentang ‘rona situasi desa’.

Dengan mempertimbangkan beberapa catatan di atas maka kasus-kasus masalah penting yang dipilih untuk dibahas lebih lanjut dalam bab ini adalah masalah-masalah penting Kategori C; G; I; M; dan O 1 . Jika dikaitkan dengan ketersediaan informasi melalui ‘tehnik pengamatan dan wawancara mendalam atas peristiwa penting’ (bagian dari penerapan strategi ‘qualitative data collection’ ) dan ‘ethnography case studies’ maka distribusi kasus yang akan dibahas dalam bab ini adalah sebagaimana tersaji dalam Tabel 4.1. berikut. Tentu saja, dalam beberapa kesempatan tertentu, informasi yang menyangkut kasus-kasus lain, baik yang termasuk ke dalam 48 masalah penting maupun kasus-kasus lain yang juga direkam selama penelitian berlangsung, juga akan digunakan.

1 Jika dibandingkan dengan ‘masalah penting yang menonjol’, sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel .. terdahulu, terlihat bahwa ada dua ‘masalah penting yang menonjol’ yang tidak mendapat tempat dalam

pembahasan lebih lanjut tentang kapasitas lokal ini. Masing-masing adalah masalah ‘kurangnya ketrampilan/SDM rendah’ (Kategori P) dan ‘harga tanah rendah; harga beras turun; rendahnya harga komoditi’ (Kategori N). Hal ini dilakukan semata-mata karena kurangnya informasi yang terkumpul selama penelitian berlangsung.

Tabel 4.1. : Distribusi Kasus Masalah Penting yang akan didalami lebih lanjut

Desa

Kasus-kasus yang tergali Melalui Diskorah

Rekaman data lainnya yang tersedia

Keselamatan Pelayanan Alam

Rekaman data Kasus tanah dari Hidup

Peningkatan

Kesejahteraan

wawancara ‘ethnography case

mendalam ttg. studies’ Peristiwa Penting Mbay II

Hidup

C. Berkurang-nya

M. Sengketa tanah M. Kasus gugatan

hasil panen

Enek

Amir Mandar Cs (suku Mbay) kepada fungsionaris suku Dhawe

I. Padang penggembalaan semakin sempit

Nggolonio C. Menurunnya

G. Air kurang

M. Konflik

hasil panen perebutan padang garam

G. Kasus masalah

air

M. Sengketa tapal batas dengan hutan lindung

Totomala

C. Menurunnya

G. Air minum

hasil panen

kurang

M. Sengketa M. Sengketa

perbatasan dengan

tatabatas dengan

desa Tendakinde Langedhawe

desa tendakinde

I. Mutu dan

O. Jalan Aemali –

O. Jalan Aemali – M. Konflik tanah

ketersediaan

Danga rusak berat

Danga rusak berat antara Suku Rendu

dengan suku Raja Takatunga

lahan menurun

M/I. Masalah terancam karena

G. Sumber air

I. Ketersediaan

O. Sarana

perebutan tanah penebangan hutan

lahan yang makin

transportasi dan

berkurang

komunikasi yang

warisan

tidak memadai

G. Penebangan kayu di sumber air O. Masalah transportasi dan komunikasi

C. Kasus pengaturan perdagangan oleh komunitas

Sangadeto

M. Konflik tanah menurun

C. hasil panen

M. Sengketa tanah

O. Jalan masuk

Malawao, dll.

kampung rusak

Malawawo, dll.

berat

G. Air untuk sawah

M. Sengketa tapal

kurang

batas dengan desa Rowa

Todabelu

I. Ketersediaan

G. Pendistribu-sian

lahan makin sempit

air yang tidak merata

I. Penebangan

hutan secara liar

Mangulewa

G. Kurang air

G. Masalah air

minum

Mangulewa

O. Tidak ada

sarana penghubung ke kantong- kantong produksi

Sumber: Data lapangan LLI (2), diolah. Kasus yang dicetak tebal adalah kasus yang berhasil diatasi.

Catatan untuk Tabel 4.1: (1) Dua kasus konflik tanah dalam kolom hasil studi etnografi adalah dua kasus yang sempat didalami di antara belasan kasus ‘konflik tanah antar suku’ yang terekplorasi. (2)Wawancara mendalam pada ‘peristiwa penting’ selama penelitian Tahap III berlangsung ada 12 kasus dari 8 desa penelitian. Dari jumlah itu hanya ada satu kasus yang ‘tidak relevan’ untuk pendalaman masalah kapasitas lokal ini. Yaitu ‘kasus pencemaran eksplorasi gas alam’ (Todabelu). (3) Dalam penggalian data melalui FGD (Tahap III) kasus ‘konflik tanah antara suku Rendu dan dan Suku Raja’ ini menjadi ‘dasar’ dari masalah penting ‘keresahan masyarakat karena kehilangan peo suku Rendu’. Artinya, tingkat kepentingan dari kasus ‘keresahan …' ini terjadi sebagai puncak dari kasus konflik tanah itu sendiri (kasus pencaplokan tanah suku Rendu dilihat sebagai upaya ‘penghilangan’ keberadaan suku rendu di daerah itu. (4) Menyangkut keberadaan hasil wawancara mendalam tentang ‘pengaturan tatacara perdagangan’ di Takatunga: Meski masalah ekonomi relatif tidak menonjol (sebagai masalah penting) di Takatunga, Takatunga menyediakan pengalaman berharga ttg. bagaimana masyarakat mengatasi masalah ekonomi yang pernah dihadapi. Sebab itu, kasus ini berguna bagi memahami kinerja kapasitas lokal. (5) Menyangkut keberadaan kasus ‘konflik/perebutan tanah warisan’ di Takatunga: Kasus ini terkait erat dengan masalah keterbatasan lahan (Masalah Kategori I).

Sebelum sampai pada uraian tentang dinamika kapasitas lokal di masing- masing desa yang diteliti, termasuk indikasi awal dari faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika kapasitas lokal itu, terlebih dahulu akan dideskripsikan hal-ihwal yang berkaitan dengan kasus-kasus masalah penting yang dianggap dapat memberikan pelajaran yang berharga itu. Masing-masing adalah sebagaimana yang dirinci dalam bagain-bagian berikut.

4.1.1. Masalah ‘hasil-hasil panen yang menurun’ (Kategori C)

Kasus masalah penting ‘menurunnya hasil panen’ terjadi di 4 desa. Masing- masing di Mbay II, Nggolonio, Totomala (ketiganya di Kecamatan Aesesa); dan Sangadeto (Kecamatan Golewa). Deskripsi masing-masing kejadian adalah sebagaimana tersaji dalam Box 4.1 berikut.

Box 4.1 : Kasus-kasus ‘Hasil Panen Menurun’

Sawah merupakan salah satu jenis peruntukan lahan yang menjadi sumber mata pencaharian pokok warga Kelurahan Mbay II. Ada sekitar 120 Ha sawah irigasi yang dikelola oleh warga. Lokasi persawahan yang diolah oleh warga dulunya berupa hutan milik masyarakat adat Mbay

II. Namun beberapa tahun sebelum tahun 1975 pemerintah mengambil lokasi itu. Dan pada tahun 1975 Pemda Ngada mengubah fungsi lokasi ini dari hutan menjadi proyek sawah beririgasi. Lahan sawah ini dibagikan oleh pemerintah kepada setiap keluarga, baik petani maupun PNS untuk diolah. Lahan sawah yang diolah oleh setiap keluarga ini sudah diberikan sertiifikat oleh BPN.

Pada tahun-tahun awal pembukaan sawah, tanah dalam kondisi sangat subur. Tanpa menggunakan pupuk non-organik pun 1 Ha sudah bisa menghasilkan 5 - 6 ton per panen. Pada tahun 1983, pemerintah menurunkan program Bimas dan Inmas. Penghasilan petani tiba-tiba melonjak, yaitu menjadi 10 ton/Ha dalam sekali panen. Namun pada tahun 1987 program Bimas dan Inmas berhenti. Tanah sudah terbiasa dengan pupuk non-organik, sementara petani tidak memiliki modal untuk membeli pupuk, maka hasil panen padi pun menurun. Menurut penuturan salah seorang warga Mbay, "Sekarang petani hanya memanen 2 - 3 ton/Ha/panen, meskipun sudah menggunakan pupuk".

Para peserta diskusi kelompok terarah mengidentifikasi beberpa penyebab masalah turunnya hasil panen di swah ini. Menurut warga Mbay II, akar masalah yang menjadi sebab menurunnya hasil panen adalah 1) Kurangnya modal; 2) Serangan hama penyakit; 3) Sawah kekurangan air, terutama di musim kemarau; 4) Tanah sudah di"manja" dengan pupuk; 5) Biaya produksi mahal, harga obat dan pupuk naik.

Tak banyak yang dapat dilakukan warga Mbay II untuk mengatasi masalah ini. Untuk mengatasi hama misalnya, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. “Hasilnya tentu saja tidak efektif,” ujar seorang peserta diskusi kelompok terarah. Pemupukan juga demikian. Salah satu upaya yang menurut peserta diskusi kelompok terarah akan menghasilkan jalan keluar yang berarti adalah dengan membangun saluran quarter permanen. Upaya ini Tak banyak yang dapat dilakukan warga Mbay II untuk mengatasi masalah ini. Untuk mengatasi hama misalnya, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. “Hasilnya tentu saja tidak efektif,” ujar seorang peserta diskusi kelompok terarah. Pemupukan juga demikian. Salah satu upaya yang menurut peserta diskusi kelompok terarah akan menghasilkan jalan keluar yang berarti adalah dengan membangun saluran quarter permanen. Upaya ini

Sawah yang hasilnya juga menjadi andalan pokok warga Nggolonio dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terletak di luar desanya. Tepatnya berlokasi di dataran Mbay. Lahan tersebut merupakan lahan yang dibagikan oleh pemerintah. Sedangkan hasil panen lainnya adalah berasal dari kebun/ladang yang berlokasi di dalam wilayah desa tersebut. Jenis tanamannya meliputi jagung, ubi-ubian, kacang-kacangan, dan tembakau (tanaman perdagangan dan tumpang sari). Hasil yang diperoleh sangat tergantung pada curah hujan.

Persoalan menurunnya hasil panen yang dikeluhkan oleh warga desa Nggolonio sebenarnya juga berkaitan dengan masalah tapal batas kawasan hutan. Sebagian warga sudah mengurangi kegiatan di dalam kawasan hutan lindung tersebut, yang mengakibatkan makin mengecilnya lahan pertanian (kebun/ladang ?) yang mereka miliki.

Upaya warga Nggolonio dalam menghadapi masalah menurunnya hasil panen adalah dengan melakukan usaha sampingan seperti 'catut' (berdagang kecil-kecilan dengan membuka warung, kaki lima), bertukang, menjadi buruh proyek, dan menenun. Upaya lainnya adalah dengan pengadaan beras OPK.

Khusus untuk usaha sampingan di desa Nggolonio, pihak yang terlibat adalah warga, Pemdes, LSM, dan pemerintah (IDT). Sedangkan pengadaan beras OPK hanya melibatkan warga dan Pemdes.

Usaha sampingan yang dilakukan warga Nggolonio dianggap kurang berhasil, karena dipengaruhi faktor alam. Begitu juga dengan upaya pengadaan beras OPK. Menurut warga upaya ini dianggap kurang berhasil, karena disamping jumlah beras yang diperoleh sedikit, mereka masih harus membayar sejumlah Rp. 1.150,-/Kg.

Di desa Totomala tidak akan kita jumpai lahan persawahan, tetapi banyak sekali jenis hasil pertanian atau perkebunan yang ditemui di desa Totomala. Misalnya padi (ladang), jagung, kacang-kacangan, ubi-ubian, jambu mete, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Namun sampai saat ini jumlah yang diperoleh dianggap tidak mencukupi. Penggunaan dari hasil-hasil tersebut lebih untuk tujuan konsumsi sendiri. Salah seorang warga sempat berkomentar,"Mau makan apa kalau hasilnya tidak cukup". Baru setelah ada sedikit kelebihan, baru mereka jual. Itu pun harganya tidak memuaskan. Ada warga yang berkata,"Harga pisang terlalu murah, lebih baik diberikan babi dari pada dijual". Mereka mengetahui bahwa harga komoditi tidak tetap, karena sering dipermainkan oleh pihak tengkulak. Sayangnya aparat desa juga terlibat dalam permainan harga ini. Dan keadaan ekonomi warga pun semakin terpuruk dengan hasil panen yang cenderung menurun.

Hasil panen yang menurun menyebabkan makin melemahnya kemampuan ekonomi warga Totomala. Warga mengungkapkan, semakin mereka bekerja, yang semakin kaya hanyalah para pedagang.

Menurut peserta diskusi kelompok terarah yang sempat dilakukan, akar masalah menurunnya hasil panen di desa Totomala ini adalah PPL yang tidak tinggal di desa dan kesadaran warga mengenai padang rumput kurang. Keduanya berkaitan erat dengan faktor lainnya, yaitu faktor alam dan adanya hama/penyakit. Faktor alam yang dimaksud adalah curah hujan tidak jelas. Secara bersamaan serangan hama dan penyakit juga semakin sulit diatasi, karena obat-obatan modern yang sulit didapat dan harganya yang sulit dijangkau. Selain itu warga juga menganggap bahwa perhatian pemerintah pun sangat kurang, seperti penuturan berikut ini,"Kami mendengar bahwa di desa lain masyarakat menerima bibit unggul dari PPL dan pemerintah, sementara desa kami tidak ada sama sekali".

Adapun upaya-upaya yang dilakukan warga Totomala dalam menanggulangi masalah hasil panen yang menurun adalah 1) Usaha sampingan seperti memintal tali, menenun, dan menganyam; 2) Menjual ternak kecil (babi, ayam); 3) Meminjam ke tetangga; 4) Mengusulkan batuan beras OPK. Yang terlibat dalam upaya-upaya penanggulangan masalah di desa Totomala (usaha sampingan, menjual ternak, meminjam kepada tetangga) adalah warga berikut kerabatdan tetangga. Kecuali untuk upaya pengusulan beras OPK, Pemdes terlibat di dalamnya.

Usaha sampingan (memintal tali, menenun, menganyam) dianggap kurang berhasil mengatasi masalah, karena tidak semua warga Totomala melakukannya. Menjual ternak kecil (babi, ayam) dianggap kurang berhasil, karena harganya yang rendah. Mengusulkan bantuan beras OPK juga dianggap kurang berhasil, karena jumlah berasnya terbatas dan juga warga harus membayar. Hanya upaya meminjam kepada tetangga yang dianggap berhasil oleh warga Totomala.

Semangat tolong-menolong memang bukan suatu yang asing bagi warga Totomala. Menurut sejumlah responden, ada kebiasaan sejak jaman nenek moyang untuk meringankan beban para kerabat yang menderita kelaparan, yang terangkum dalam filosofi teki fe'a dhadho yadha. Ada juga filosofi yang berbunyi pao pemi eku wesi wawi. Artinya mengajak warga agar dalam kehidupan ini jangan hanya berharap pada satu sumber saja, tetapi harus bisa bekerja sampingan dengan memelihara ayam dan babi untuk menopang kehidupan keluarga. Dan memang hampir setiap keluarga dalam desa ini memelihara ayam dan babi. Sehingga jika ada keluarga yang tidak memiliki keduanya, berarti mereka bukan orang Totomala.

‘Hasil panen menurun’ juga terjadi di Sangadeto. Sebagian besar mata pencaharian pokok warga Sangadeto adalah bertani; baik di lahan kering (kebun/ladang) maupun sawah tadah hujan. Usaha tanaman yang mereka kembangkan meliputi tanaman umur pendek (padi, jagung, jewawut, jagung solor, umbi-umbian) dan tanaman umur panjang (jambu mete, kopi, kelapa, kapuk, kemiri). Hasil tanaman umur pendek untuk dikonsumsi sendiri, sedangkan hasil tanaman umur panjang untuk dijual. Hasil penjualannya untuk membiayai anak sekolah, pesta adat, dan membangun rumah.

Areal persawahan jumlahnya sangat terbatas. Jenis sawah yang ada sekarang kebanyakan adalah sawah tadah hujan, sehingga tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Lahan ini dikelola hanya sekali setahun, mengingat musim hujan yang hanya berlangsung selama setengah tahun. Penanaman biasanya dimulai pada bulan Desember sampai dengan bulan Januari. Jika penanamannya terlambat, maka usaha tanaman padi di sawah pasti tidak berhasil. Memang ada beberapa areal sawah yang airnya tetap, sehingga bisa dikelola dua kali dalam setahun, tetapi jumlahnya sangat terbatas dan berlaku hanya untuk sebagian kecil warga desa Sangadeto. Pada areal ladang, semua tanaman belum dikelola secara maksimal. Sistem yang digunakan masih mempraktekkan sistem tumpang sari.

Menurut perkembangannya dari sebelum tahun 1970-an sampai sekarang, ditemukan adanya penurunan mutu dan ketersediaannya dari sawah dan ladang milik warga Sangadeto. Sehingga panen yang dihasilkannya pun menurun.

Dampak dari menurunnya panen yang dialami warga desa Sangadeto menyebabkan jumlah hasilnya tidak dapat untuk mencukupi kebutuhan hidup. Masalah hasil panen yang cenderung menurun juga turut mempengaruhi kegiatan Ulu Eko. Misalnya pada saat ada kematian, Ulu Eko mempunyai tanggung jawab moral untuk membantu keluarga yang berduka. Ketika panen menurun, maka Ulu Eko tidak dapat berperan efektif dalam membantu beban keluarga yang anggotanya meninggal dunia, karena tidak lagi bisa memberikan sumbangan.

Menurut peserta diskusi kelompok terarah yang sempat dilakukan, akar masalah yang menjadi penyebab dari menurunnya hasil panen ini adalah 1) Curah hujan yang kurang, berkaitan dengan kurangnya air untuk mengairi persawahan; 2) Ada proyek yang menggarap lahan luas, berkaitan dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah dan perampasan tanah oleh orang dari suku lain; dan 3) Kurangnya tenaga.

Hingga saat penilitian ini dilaksanakan ada beberapa upaya penanggulangan dari warga Sangadeto terhadap masalah hasil panen menurun ini. Masing-masing adalah 1) Melakukan usaha sampingan seperti mengiris moke, beternak, menganyam, dan bertukang; 2) Mengadakan arisan; 3) Meminjam ke Lembaga Perkreditan Desa (LPD); 4) Mengusulkan beras OPK.

Penduduk juga bercerita, pada tahun 1970-an, usaha mengatasi masalah kekurangan pangan dengan cara masyarakat memasuki hutan untuk mengambil umbi hutan (ondo) sebagai makanan. Di tahun 1980-an, untuk mengatasinya masyarakat berupaya mencari pekerjaan tambahan di luar desa sebagai buruh bangunan, dan meminta makanan dari kerabat di luar desa.

Pihak-pihak yang terlibat dalam upaya penanggulangan masalah hasil panen yang menurun di desa Sangadeto adalah anggota keluarga dan kelompok arisan untuk melakukan usaha sampingan; kelompok arisan dan kelompok Dasawisma untuk kegiatan arisan; warga, kelompok UBSP, dan pengurus LPD untuk meminjam ke LPD; tokoh masyarakat, pengurus LPD, dan Pemdes untuk usulan beras OPK.

Semua upaya yang telah dilakukan warga Sangadeto dalam menghadapi masalah hasil panen menurun dianggap kurang berhasil. Usaha sampingan dianggap kurang berhasil, karena hanya menambah penghasilan sedikit saja dan hanya dirasakan oleh warga yang melakukannya (tidak semua melakukannya). Ikut arisan dianggap kurang berhasil, karena tidak semua warga ikut arisan dan hasilnya hanya untuk menambah penghasilan atau menutupi kekurangannya. Meminjam kepada LPD dianggap kurang berhasil, karena tidak dapat mengatasi masalah sampai tuntas dan jumlah pinjaman sedikit. Hanya sebagian kecil warga yang berani dan mampu Semua upaya yang telah dilakukan warga Sangadeto dalam menghadapi masalah hasil panen menurun dianggap kurang berhasil. Usaha sampingan dianggap kurang berhasil, karena hanya menambah penghasilan sedikit saja dan hanya dirasakan oleh warga yang melakukannya (tidak semua melakukannya). Ikut arisan dianggap kurang berhasil, karena tidak semua warga ikut arisan dan hasilnya hanya untuk menambah penghasilan atau menutupi kekurangannya. Meminjam kepada LPD dianggap kurang berhasil, karena tidak dapat mengatasi masalah sampai tuntas dan jumlah pinjaman sedikit. Hanya sebagian kecil warga yang berani dan mampu

Nasihat orang tua-tua dulu, seperti ‘Pobha mau maru’ (manusia harus bekerja keras); ‘Wesi peni dheso selo (pelihara ayam dan babi, jangan hanya kerja kebun); dan ‘Mesu nee tai walu ana halo (jangan lupa orang lain, janda dan anak yatim)’, tampaknya tak mampu lagi menjadi senjata pamungkas.

4.1.2. Masalah ‘kekurangan air’ (Kategori G)

Berdasarkan data-data yang terkumpulkan selama penelitian LLI (2) ini berlangsung dapatlah dikatakan bahwa ‘masalah kekurangan air’ adalah masalah penting yang paling menonjol. Masalah ini terkait langsung dengan kondisi alam Kabupaten Ngada maupun NTT pada umumnya (liat kembali uraian pada Bab 1 terdahulu). Sejauh yang menyangkut desa-desa penelitian, kasus ini terjadi pada 6 dari 8 desa penelitian. Hanya di Mbay II dan Langedhawe saja kasus ini tidak terjadi. Kasus ini tidak terjadi di Mbay II mengingat posisi desa/kelurahan itu yang terletak di daerah dataran rendah dan juga bersisian dengan Sungai Aesesa. Selain itu, Mbay II juga dilewati oleh saluran-saluran irigasi.

Di Langedhawe, jika dilihat dari kondisi alamnya di mana desa ini terletak di daerah dataran tinggi, seperti yang dulu pernah dialami, masalah kekurangan air ini juga pernah dialami. Hanya saja, dewasa ini, masalah ini telah dapat ditanggulangi. Melalui beberapa tahap proyek dari luar, terutama program pengadaan air bersih yang disponsori Bank Dunia, masalah air bersih, bukan menjadi masalah yang menonjol lagi. Meski segera diberi catatan bahwa bagi sebagian kecil warga masalah kekurangan air ini tetap dirasakan, setidaknya dalam arti mereka masih membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup besar untuk dapat mengambil air bersih dari sumbernya. Diperoleh pula kesan bahwa tidak menonjolnya masalah kekurangan air ini terjadi karena ‘kalah penting’ dibanding dengan beberapa masalah lain yang tengah dihadapi warga Langidhawe. Terutama masalah sengketa lahan; sarana transportasi yang sangat tidak memadai; juga soal kesuburan tanah yang rendah (berkaitan dengan letak desa di dataran tinggi dan karakteristik geologis yang ada).

Deskripsi masing-masing kasus Kategori G ini adalah sebagaimana yang tercantum dalam Box 4.2 berikut.

Box 4.2 : Kasus-kasus ‘masalah air’

Tahun 1970 warga Nggolonio meninggalkan kampung lama yang terletak di gunung, lokasi tersebut tidak jauh dari pemukiman desa Nggolonio saat ini. Dan kemudian mereka pun menetap di dataran Nggolonio. Tidak seperti di kampung lama, di dataran ini warga mulai merasakaan adanya masalah kekurangan air. Sumber air yang dapat digunakan hanya berasal dari sebuah sumur, itu pun airnya terasa asin. Bertahun-tahun warga bertahan hidup dengan keadaan seperti ini.

Pada tahun 1972, salah seorang misionaris dari Barat, Pater Tadeus, mulai membuat penelitian kecil-kecilan dalam usahanya untuk menemukan sumber air tanah di dataran Nggolonio. Upayanya berhasil dengan ditemukannya beberapa lokasi. Mulailah warga secara bersama-sama menggali beberapa sumur di lokasi tersebut. Sayangnya air dari sumur-sumur baru itu juga masih terasa asin.

Tidak diketahui tepatnya pada tahun berapa (tidak ada datanya?), warga pernah membuat rencana untuk mengalirkan air yang berada di gunung menuju ke dataran Nggolonio. Dengan digerakkan Yakobus Lando dan Antonius Lewa (menjabat sebagai Pjs. Kepala Desa), Tidak diketahui tepatnya pada tahun berapa (tidak ada datanya?), warga pernah membuat rencana untuk mengalirkan air yang berada di gunung menuju ke dataran Nggolonio. Dengan digerakkan Yakobus Lando dan Antonius Lewa (menjabat sebagai Pjs. Kepala Desa),

Pada tahun 1976, proyek Bank Dunia mulai masuk ke desa Nggolonio. Saat itu warga mulai merasa senang. Tetapi masih ada juga pihak-pihak yang melakukan kecurangan. Jalur pipa tidak ditempatkan pada lokasi-lokasi yang telah disepakati dan pembagiannya pun tidak merata.

Saat ini warga Nggolonio masih merasakan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah air, yaitu 1) mengenai ukuran pipa yang terlalu kecil padahal sumber airnya banyak sampai airnya meluap kemana-mana; 2) konflik mengenai pembagian air yang tidak merata yang disebabkan adanya pihak yang melakukan kecurangan; dan 3) perusakan oleh ternak yang berkeliaran di sekitar lokasi mata air.

Khusus mengenai pendistribusian yang tidak merata, ada seorang tokoh masyarakat berkata,”Sebenarnya tidak ada masalah, tetapi ada main curang dari dusun sebelah sana. Mereka itu perusak..!”

Walaupun kalau dilihat perkembangan mutu air yang dihasilkan sudah bertambah baik, namun ketersediaannya masih dirasakan kurang oleh warga desa Nggolonio. Upaya-upaya yang telah dilakukan dianggap kurang berhasil, karena sampai sekarang pembagian air belum merata. Penyebabnya adalah pipa-pipa yang digunakan untuk menyalurkan air tersebut terlalu kecil dan kurangnya dana untuk menambah pipa-pipa tersebut.

Upaya penanggulangan masalah yang dihadapi warga Nggolonio adalah sebagai berikut: untuk masalah pertama, warga dari dua kampung dengan tanpa menunggu perintah dari pemerintah desa, berinisiatif untuk mengumpulkan 5 batang pipa dari setiap Kepala Keluarga (KK). Masalah ini mereka angkat pada upacara tahun baru yang dihadiri oleh para tua adat, tokoh masyarakat, dan masyarakat sendiri. Dana yang terkumpul sudah mencapai 50 %. Warga pun bersepakat dengan satu prinsip, bahwa siapa yang tidak membayar maka tidak akan ‘mengecap’ air tersebut. Khusus untuk mengatasi masalah kedua, sudah diupayakan dengan cara perdamaian yang diinisiatifkan oleh tokoh masyarakat dibantu LKMD. Sedangkan untuk masalah ketiga, warga sudah berupaya untuk menertibkan ternak-ternak tersebut. Tetapi ada hambatan dari pemerintah desa. (tidak dinyatakan secara jelas bentuknya, data tidak ada?). Selain itu warga juga berusaha menegakkan aturan dan sanksi secara tegas kepada siapa saja pelaku penebangan pohon di lokasi pusat mata air. Biasanya sanksi berupa denda babi atau sapi. Dalam hal ini, pihak yang berwenang dalam menentukan sanksi adalah tokoh adat dan tokoh masyarakat, bukan pemerintah desa.

Warga Nggolonio percaya bahwa air ada pemiliknya, yaitu nenek moyang. Oleh sebab itu mereka secara rutin mengadakan upacara di pusat mata air setiap tahunnya. Begitu juga jika mereka ingin membuat sesuatu di sekitar mata air, misalnya membangun bak penampung, maka sebelumnya harus diadakan upacara adat. Upacara adat ini diatur oleh suku-suku yang ada di Nggolonio dan dilakukan oleh dua kampung. Kampung lainnya tidak diperbolehkan terlibat dalam penyelenggaraannya, hanya dibolehkan untuk ikut saja. (Mengapa? Tidak ada data?)

Warga Nggolonio membuat upacara adat untuk meminta kepada nenek moyang sebagai pemiliknya agar air di mata air tetap banyak. Jika tidak membuat upacara adat, mereka percaya bahwa tidak lama lagi mata air akan mengering. Dahulu biaya ditanggung oleh orang-orang yang dituakan dalam suku. Sekarang biaya untuk keperluan ini ditanggung oleh semua anggota suku. Setiap orang memberikan sumbangan.

Upacara adat juga dibuat sebagai upaya pemulihan jika seandainya ada pihak yang menyebabkan kerusakan di mata air. Biaya ditanggung oleh pihak yang melakukan pengrusakan. Hal ini dianggap sebagai denda atau sanksi atas pelanggaran yang dibuatnya. Yang mengkoordinir upacara adalah tua-tua adat dari suku Lunge, yaitu satu dari enam suku besar yang berada di Nggolonio.

Menyambung proyek sebelumnya, ada bantuan dana sebesar Rp. 88 juta dari Bank Dunia (PPK). Proyek yang dilaksanakan tahun 2000 - 2001 ini, khusus untuk penambahan pipa. Warga Nggolonio merasa puas terhadap proyek ini, mereka terlibat dalam tahap-tahapnya (perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan) dan juga karena ada keterbukaan mengenai pengelolaan dananya. Juga ada bantuan dari Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agung Ende. Dan menurut Sekdes, mereka (warga Nggolonio) secara mendadak dan tanpa perencanaan, mendapat dana sebesar Rp 35 juta yang sebenarnya diperuntukkan bagi desa lain (PPMP). Kemudian dana ini digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana air. Sampai sekarang proyek ini masih dikerjakan.

Upaya-upaya penanggulangan terhadap masalah kekurangan air di desa Nggolonio melibatkan berbagai pihak. Pihak-pihak yang dimaksud meliputi RT, RW, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan kelompok doa.

Kehadiran kelompok doa, sebagai salah satu pihak yang berperan dalam upaya penanggulangan terhadap masalah perlu digarisbawahi. Sebagai kelompok kegiatan keagamaan di bawah naungan gereja, maka setiap warga Nggolonio pun menjadi bagian dari padanya. Mereka sangat terikat dengan kelompok doa yang diikutinya. Terlihat dengan sangat ditaatinya perintah atau keputusan yang dikeluarkan melalui kelompok doa ini. Ketidaktaatan atau pelanggaran terhadap kelompok doa akan dikenai sanksi ‘berat’, berkaitan dengan kegiatan keagamaan dari warga yang bersangkutan.

Kelompok doa bersama pihak-pihak lain (RT, RW, tokoh masayarakat, tokoh adat) bekerja sama menggerakkan warga dalam usaha mengatasi masalah. Bentuk kerja sama ini misalnya yaitu jika ada warga yang tidak mau pergi kerja, maka ia akan mendapat sanksi dari ketua kelompok doa dalam bentuk tidak diberikannya rekomendasi untuk permandian anaknya. Begitu juga ketika tokoh masyarakat mengalami kesulitan dalam usahanya mengumpulkan dana, berkaitan dengan masalah kekurangan air, maka ia akan memanfaatkan otoritas yang dimiliki oleh ketua kelompok doa.

Selain lembaga agama dan pemerintah (RT, RW), lembaga adat pun turut berperan dalam upaya penanggulangan masalah kekurangan air. Wujudnya adalah dengan tetap terselengggaranya upacara adat di pusat mata air. Tujuannya untuk meminta kelimpahan air kepada nenek moyang.

Upaya-upaya yang dilakukan dianggap kurang berhasil, karena sampai sekarang warga Nggolonio masih merasa bahwa penerimaan air belum merata. Aturan dalam iuran pemakai air di desa Nggolonio adalah mencakup iuran sebesar Rp. 5.000,-/tahun untuk setiap KK. Kalau rumahnya berdekatan dengan sumber air dan memiliki keran khusus, maka iurannya menjadi Rp. 10.000,-/tahun. Uang ini digunakan untuk biaya perawatan dan honor Panitia Air Minum.

Warga Totomala yang tersebar di 3 dusun. Kebutuhan air diperoleh dari mata air yang mempunyai debit 3 liter/detik dan sebuah sumur yang dalamnya 8 M dengan lingkar sebesar 3 M. Keduanya berada di dalam wilayah desa. Sebenarnya menurut warga masih ada sumber- sumber mata air lain di desa ini, tetapi letaknya sangat jauh.

Khusus untuk sumber mata air, warga memperolehnya dengan disalurkan melalui pipa- pipa dan dikelola oleh Panitia Air Minum. Sedangkan sumur, karena lokasinya berada di Dusun III, maka penggunanya hanya warga Dusun III dimana sumur itu berada. Warga Totomala mengeluhkan bahwa mereka kekurangan air minum. Masalah ini hampir memicu perkelahian antara dusun. Peristiwa ini terjadi tanggal 4 Januari 2001. Awalnya disebabkan karena warga Dusun III sering tidak kebagian air, padahal mereka merasa paling setia dalam membayar iuran. “Dusun I dan Dusun II tidak memperhatikan nasib kami yang jauh dari sumber air”. Untuk mengatasi konflik ini RTdan RW dari ketiga dusun yang ada di desa Totomala mengadakan pertemuan. Hasil dari pertemuan tersebut belum memuaskan warga Dusun III, keran-keran pribadi di Dusun I dan Dusun II belum dicabut. Sedangkan warga Dusun

III sampai saat ini masih mengandalkan sumur. Sumur ini sebenarnya adalah sumur pribadi yang dapat digunakan oleh umum secara gratis, tetapi sayangnya para pemakai tersebut tidak ikut memelihara. Tanggung jawab pemeliharaan hanya pada pemilik sumur. Warga ada yang sempat bergumam,”Masyarakat di sini memang bermental enak”.

Kurangnya air minum yang dihadapi warga Totomala, menurut akar masalah yang tercatat, disebabkan karena kurangnya sarana pendukung, SDM yang rendah, dan hasil panen yang menurun. Kalau dicermati lebih dalam, maka semuanya itu mengarah pada kurangnya dana warga untuk mengoptimalkan potensi-potensi sumber mata air yang ada.

Upaya yang dilakukan warga Totomala dalam menghadapi masalah kurangnya air adalah dengan pembersihan bak penampungan air di mata air dan iuran pemakai air. Selain dua upaya ini juga ada upacara teo yu’u di ine ae yang dilakukan oleh tokoh adat di sekitar mata air. Caranya dengan menyambung-nyambung pohon Enau dan mengikatnya di daerah sekitar mata air untuk dijadikan daerah terlarang bagi penebangan kayu, pembakaran hutan, dan jalanan. Ada kerbau yang dibunuh dalam pelaksanaan upacara tersebut.

Selain upacara teo yu’u, biasanya pada musim kemarau warga Totomala mengadakan upacara hoserode yang bertujuan untuk meminta hujan kepada leluhur. Pemimpin upacara ini tidak boleh sembarang orang. Salah satu syaratnya adalah harus beranak tunggal.

Upaya pembersihan bak penampungan di mata air melibatkan warga, Pemdes, dan Panitia Air Minum. Sedangkan upaya iuran pemakai air dengan sendirinya melibatkan warga dan Pemdes.

Pemerintah juga pernah membangun embung-embung yang menurut warga kurang disosialisasikan sebelumnya. Embung ini berfungsi sebagai penampung air hujan. Bak ini bukanlah bukan bak permanen. Airnya sangat kotor, karena selain digunakan manusia untuk mandi dan mencuci, juga digunakan oleh ternak. Sehingga tidak jarang orang yang habis menggunakan air tersebut diserang oleh rasa gatal. Airnya pun bertambah kotor sewaktu musim hujan.

Kedua upaya dianggap warga Totomala kurang berhasil. Alasannya, warga yang terlibat dalam pembersihan bak penampungan air jumlahnya sedikit. Sedangkan pada upaya iuran air minum, warga merasa pembagian air tetap belum merata.

Warga kurang merasakan manfaat embung-embung yang dibuat pemerintah, karena tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Proyek ini dinilai hanya menghambur-hamburkan uang. Oleh sebab itu warga tidak memelihara embung-embung tersebut. Kini kondisinya dalam keadaan tidak terawat.

Sangadeto terdiri dari tiga dusun. Dari data yang tercatat, terdapat banyak mata air yang dapat menunjang kehidupan masyarakat. Masing-masing dusun memiliki sumber mata air. Bahkan ada dusun yang memiliki 5 sumber mata air. Semua mata air tersebut berfungsi untuk mandi, mencuci, mengambil air minum, dan juga untuk mengairi sawah. Namun demikian mata air yang ada sangat sulit dimanfaatkan, karena lokasinya sangat curam dan ditempat yang rendah sehingga tidak mudah dialirkan ke permukiman masyarakat maupun areal persawahan. Apalagi pada musim kemarau, airnya kering. Menurut pengakuan warga, mutu air yang dihasilkan dari tahun ke tahun berada dalam kondisi yang baik. Sayangnya ketersediaannya semakin berkurang, terutama untuk keperluan mengairi sawah.

Hutan di sekitar mata air juga kurang bisa menjamin ketersediaan air dari mata air tersebut, karena hutan tersebut hanya ditumbuhi dengan pohon enau dan bambu. Pohon besar yang dapat menampung air sama sekali tidak ada.

Selain mata air, di desa Sangadeto (di setiap dusunnya) juga terdapat sungai/kali. Ada tiga sungai yang mengalir melintasi desa Sangadeto, yaitu sungai Lowo dibagian Timur, Lowo Ae Deru di bagian Barat dan Mata Dheke serta Mata Wuja yang mengalir melintasi dusun dua dan tiga. Fungsinya kurang lebih sama dengan mata air, hanya ditambah untuk mandi/minum ternak dan menjadi tempat bagi warga jika ingin mengambil batu bagi keperluan membangun rumah.

Debit air sungai semakin kurang pada musim kemarau dan bahkan cenderung semakin berkurang dari tahun ke tahun, terutama warga Turekisa yang tinggal di daerah paling tinggi dan jauh dari sumber air (berjarak + 1 Km dengan mata air Wae Bere).

Khusus untuk kebutuhan air minum, ada sumber daya yang berada di luar desa yang digunakan warga Sangadeto dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Alasan penggunaannya adalah letaknya yang lebih dekat (mudah dijangkau) dan debit airnya lebih besar. Dalam hal ini warga Dusun I memanfaatkan sumber mata air berlokasi di Bobalonga, sedangkan warga Dusun I dan Dusun II memanfaatkan sumber mata air yang berada di Toda.

Kecilnya debit air dan keadaan topografi yang tidak memungkinkan menyebabkan penggunaan mata air untuk mengairi sawah hanya cukup untuk beberapa pemilik sawah disekitar mata air dengan luas yang terbatas antara 1–5 KK.

Berkurangnya debit air dari mata air saat ini diduga juga diakibatkan oleh lemahnya mekanisme pemeliharaan dan perlindungan mata air seperti penebangan kayu besar di sekitar mata air dan kurangnya modal. Juga faktor kurangnya curah hujan. Masyarakat pada umumnya merasa tidak terlalu bertanggungjawab terhadap pemeliharaan mata air. Proses pemeliharaan biasanya diserahkan kepada pihak yang mendapat manfaat langsung atas mata air tersebut. Keadaan ini mengindikasikan layaknya pembukaan hutan diatas areal mata air oleh masyarakat tanpa ada sanksi adat yang berlaku. Mekanisme pemeliharaan dan perlindungan mata air yang cukup efektif hanya terjadi pada lokasi mata air yang digunakan sebagai sumber jaringan air minum bagi masyarakat desa, mata air ini berada di luar desa dan Woe Are. Tugas dari seksi lingkungan hidup di LKMD hanya sebatas urusan air minum desa dan sumber mata air minum tersebut, selain itu belum ada kesepakatan.

Upaya yang dilakukan warga Sangadeto adalah 1) membuat bendungan dari batu dan tanah; dan 2) membentuk kelompok rehabilitasi parit. Pernah ada proyek irigasi berupa bendungan teknis dari pemerintah yang tujuannya untuk menjawab kebutuhan warga Sangadeto. Namun proyek tersebut tidak dikerjakan sampai Upaya yang dilakukan warga Sangadeto adalah 1) membuat bendungan dari batu dan tanah; dan 2) membentuk kelompok rehabilitasi parit. Pernah ada proyek irigasi berupa bendungan teknis dari pemerintah yang tujuannya untuk menjawab kebutuhan warga Sangadeto. Namun proyek tersebut tidak dikerjakan sampai

Dulu ada sanksi adat bagi yang menebang pohon di sekitar mata air, tetapi sekarang tidak dihiraukan lagi. Upaya perlindungan hanya dilakukan oleh orang yang menerima manfaat langsung dari mata air tersebut. Dalam kasus inipun lembaga suku tidak bisa melarang karena tidak bisa memberi lahan pengganti bagi mereka yang mengelola lahan di sekitar mata air.

Upaya pembuatan bendungan dari batu dan tanah di desa Sangadeto melibatkan petani sawah dan kelompok kerja. Sedangkan pada pembentukan kelompok rehabilitasi parit melibatkan pengurus kelompok, anggota kelompok, dan Pemdes Sangadeto.

Upaya pembuatan bendungan dari batu dan tanah dianggap kurang berhasil oleh warga Sangadeto, karena areal yang dikelola sangat terbatas dan hanya untuk sebagian kecil warga saja. Selain itu bendungan ini hanya bertahan pada musim kemarau, sedangkan pada musim hujan akan rusak oleh banjir dan harus diperbaiki kembali setiap tahunnya.

Upaya pembentukan kelompok rehabilitasi parit belum dapat dilihat tingkat keberhasilannya, karena masih berada pada tahap perencanaan. Ada filosofi yang ‘hidup’ dalam warga Sangadeto, yaitu papa maki (saling membantu dengan bergilir memberi air) dan papa mese ne’e doa, papa modhe ne’e hoga woe (saling mengasihani kepada sesama dalam pembagian air).

Bagi warga, ada beberapa jenis kelompok dalam kehidupan mereka yang fungsional dalam mengatasi masalah air ini, yaitu 1) Kelompok doa (jumlahnya kecil) dapat bekerja secara sukarela untuk pekerjaan yang ringan seperti memikul batu dan tanah, serta membersihkan parit; 2) Kelompok dusun (ulu eko), dapat bekerja untuk jenis pekerjaan berat; 3) kelompok foe, dapat terlibat dalam jenis pekerjaan ringan karena bisa bergiliran secara cepat.

Desa Takatunga terdiri dari empat dusun, yaitu Ngorabolo, Toda, Kurulada, dan Hedha Poma. Tahun 1970-an, warga mengambil air dari tempat yang sama. Debit airnya kecil dan lokasinya jauh dari pemukiman. Tahun 1980-an, debit airnya sudah bertambah namun mengandung belerang dan kapur. Mutunya berkurang dari tahun ke tahun. Khusus untuk air minum, warga Takatunga memperolehnya dari Desa Sarasedu. Sumbernya adalah mata air yang ditampung dalam bak penampungan. Letak bak penampung berada di dekat sungai/kali, tidak berada dekat sumber air. Pada musim hujan airnya akan berwarna keruh, sehingga jika akan digunakan harus diendapkan terlebih dahulu.

Penggunaan sumber mata air di desa Sarasedu terjadi berdasarkan kesepakatan antara tokoh-tokoh adat dan pemerintah dari kedua desa pada tahun 1986. Kedua desa ini masih terikat pertalian keluarga.

Sebagai akibat dari adanya pembukaan jalan, kebun, penebangan kayu, dan erosi yang terjadi di sekitar sumber mata air di desa Sarasedu menyebabkan mutu dan debit air yang digunakan warga Takatunga menurun. Pipa untuk menyalurkan air juga sering patah tertimpa pohon yang ditebang.

Mutu dan debit air yang digunakan warga Takatunga semakin menurun akibat pembukaan jalan, kebun, penebangan kayu, dan erosi di sekitar sumber air Desa Sarasedu. Penurunan mutu dan debit juga dipengaruhi oleh letak bak penampung yang dibangun di dekat sungai/kali. Alirannya sering tersumbat daun dan ranting pohon. Pada musim hujan, lumpur masuk ke bak penampungan tersebut.

Penebangan kayu yang dilakukan warga Sarasedu, hasilnya selain untuk keperluan bangunan dan juga untuk dijual. Masalah yang dihadapi warga Takatunga berkenaan dengan sumber mata air yang terletak di luar desanya, membuat mereka kesulitan dalam melakukan upaya penanggulangan terhadap penebangan pohon di sekitar sumber mata air. Kepala Desa hanya bisa menghimbau pemilik tanah di lokasi mata air melalui Kepala Desa Sarasedu (pada tahun 1997). Warga pernah mendengar bahwa kepala Desa Sarasedu menghimbau pemilik tanah, juga secara lisan. Sayangnya kedekatan hubungan kerabat antara warga kedua desa ini kurang digunakan dalam menyelesaikan masalah.

Khusus untuk mempertahankan debit air, warga Takatunga mengupayakan penghijauan dan pengelolaan yang dilakukan secara bersama-sama. Kerja bakti juga dilakukan untuk mengganti bak penampung dan pipa yang rusak. Selain itu warga membayar iuran (UPS) Rp. 100,-/jiwa untuk setiap bulannya. (Bener nggak yah Rp. 100,-? Atau Rp. 1.000,-) Uangnya digunakan untuk biaya pemeliharaan.

Upaya berupa himbauan kepada pemilik tanah dimana lokasi mata air berada, baru melibatkan kepala desa Takatunga saja. Warga Takatunga merasa tidak memiliki akses untuk mengendalikan penebangan kayu yang terjadi di lokasi sekitar mata air tersebut.

Upaya yang dilakukan oleh Kepala Desa Takatunga kepada pemilik tanah di desa Sarasedu dianggap tidak berhasil, karena pemiliknya adalah suku. Akhirnya sulit untuk menegur secara perorangan, karena semua anggota suku merasa mempunyai hak atas tanah tersebut.

Kondisi mutu dan ketersedian air sungai di kelurahan Todabelu semakin menurun dari tahun ke tahun. Sebelum 1970-an mutu dan ketersediaannya masih banyak. Selanjutnya pada tahun 1970 - 1980, ketersediaannya mulai menurun. Begitu juga pada tahun 1980 - 1990, mutunya pun menurun. Dan pada tahun 1990 sampai sekarang, akhirnya warga Todabelu menggunakan ledeng untuk mengalirkan air ke area pemukiman. Keberadaan ledeng ini merupakan hasil bantuan dari Bank Dunia (Kapan tepatnya?) dan juga sekaligus hasil swadaya warga Todabelu (tenaga dan dana).

Tahun 1995 - 1999, pernah ada program penanaman bambu di sekitar sumber mata air. Sekarang sebagian tanaman bambu tersebut sudah bisa dimanfaatkan. Sebagai hasilnya debit air pun bertambah, walaupun tetap belum mencukupi untuk kebutuhan air minum warga. Kemudian ada pembangunan bak penampungan air seluas 50 M3 secara swadaya dan bertahap di tahun 1996, 1997, dan 2000. Pada tahun 1998, berkaitan dengan pembangunan bak penampungan air, maka ada perluasan jaringan pipa dari 2 Dim menjadi 3 Dim. Namun jaringan ini pun belum menjangkau seluruh area, karena kekurangan pipa. Dan di tahun 1999/2000 ada upaya penghijauan di sekitar mata air yang bertujuan untuk mempertahankan volume air. Kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan semua lapisan (dari anak SD sampai orang dewasa) warga Todabelu, Mataloko, dan Ratogesa Penghijauan tersebut berupa penanaman dadap dan bambu.

Setelah warga Todabelu menggunakan ledeng, yang berfungsi menyalurkan air, ada beberapa dampak yang ditimbulkan yaitu 1) Kegiatan mengambil air menjadi lebih dekat dan menghemat waktu; 2) Warga jadi bisa menanam jenis sayuran di pekarangan rumahnya; dan 3) Kesehatan warga menjadi lebih baik, karena warga merasa dengan menggunakan pipa, penyakit diare berkurang . Tetapi di sisi lain juga menimbulkan adanya bentrok antar warga karena tidak meratanya pendistribusian air. Rasa ketidakpuasan warga diantaranya dengan mematahkan pipa yang melintasi kebun orang yang mengalami kesulitan air.

Pendistribusian air yang tidak merata di kelurahan Todabelu berpangkal dari kurangnya modal (dana) warga untuk menambah pipa yang telah ada. Sehingga ada beberapa kampung yang tetap memiliki kesulitan dalam memperoleh air.

Untuk mengatasi masalah pendistribusian air yang tidak merata, warga Todabelu membangun sebuah bak penampungan seluas 50 M3 secara swadaya dan meningkatkan penerimaan iuran dari para pemakai air. Iurannya sebesar Rp. 1.000,-/jiwa dan dikelola oleh warga.

Pada tahun 1994, di kelurahan Todabelu pernah ada proyek peningkatan saranan air bersih yang merupakan bantuan dari Bank Dunia. Berikut adalah pihak yang terlibat berikut bentuk keterlibatannya dalam proyek ini. Perencanaan : warga Todabelu sudah lama merindukan kehadiran air bersih di desa mereka. Masalah ini sudah pernah dibicarakan dalam rapat LKMD, dan diputuskan untuk membangun sarana air bersih tersebut secara swadaya. Warga juga di motivasi untuk membangun sarana air secara swadaya oleh LSM DK3D Ende. Kebetulan pemerintah desa mendapat kabar bahwa desa Toda Belu akan mendapat bantuan dari Bank Dunia untuk sarana air bersih. Pelaksanaan: Warga Todabelu menyumbangkan tenaga dan uang sebesar Rp. 1500/jiwa. Bank Dunia menyumbang sebanyak Rp.68 juta. Pemda Ngada/Dinas PU, melakukan pemetaan, membuat gambar teknis, dan membuat pelatihan tenaga teknis bagi warga setempat. Pemerintah desa Todabelu menyelenggarakan rapat-rapat dan mengerahkan tenaga kerja. Pemerintah Kecamatan Golewa melakukan pengawasan dalam pelaksanaan kerja. Pemeliharaan: Setelah sarana air bersih dibangun, maka untuk memelihara dan menjaga kelancaran air dibentuk UPS (Unit Pemelihara Sarana), yang bertugas menagih iuran air, memperbaiki pipa, dll. Bila terjadi kerusakan, pemerintah desa sebagai pemerintahan yang dekat pada masyarakat, senantiasa melakukan pengawasan, dengan didukung pemerintah Kabupaten Ngada melalui dinas PU Pengairan, yang sekali-kali datang untuk mengontrol.

Dalam tahap perencanaan, pemerintah Kecamatan Golewa dan pemerintah Kabupaten Ngada tidak terlibat. Warga tidak mengetahui alasannya. Tetapi dalam tahap pelaksanaan dan pemeliharaan kedua lembaga ini terlibat. Sedangkan LSM DK3D Ende, hanya terlibat dalam Dalam tahap perencanaan, pemerintah Kecamatan Golewa dan pemerintah Kabupaten Ngada tidak terlibat. Warga tidak mengetahui alasannya. Tetapi dalam tahap pelaksanaan dan pemeliharaan kedua lembaga ini terlibat. Sedangkan LSM DK3D Ende, hanya terlibat dalam

Pembangunan bak penampungan melibatkan seluruh warga Todabelu, Pemerintah Kelurahan, LKMD, buruh tambang gas bumi, dan UPS - KPS. Pihak yang terllibat dalam upaya peningkatan penerimaan iuran dari pemakai air hampir sama, kecuali buruh tambang gas bumi.

Upaya pembangunan bak penampungan air dianggap tidak berhasil, karena masih kurang pipa dan dananya sudah habis. Sedangkan upaya peningkatan penerimaan iuran dari pemakai air dianggap berhasil, karena ada penambahan saluran baru dan pipa yang rusak diperbaiki.

Untuk masalah pendistribusian air yang tidak merata di kelurahan Todabelu, ada kesepakatan untuk memperkuat keputusan yang sudah pernah dibuat dalam Musbangkel tahun 1999/2000. Isinya 1) memberikan sanksi bagi warga yang sengaja merusak instalansi dengan pemberian denda berupa penggantian pipa berikut biaya pasang dan fasilitasnya; 2) bagi warga yang tidak memperhatikan keran, Panitia Air Minum akan menutup air sementara; dan 3) iuran air harus tetap ditagih.

Dalam wilayah kelurahan Mangulewa terdapat dua sumber mata air, yaitu mata air Rea yang digunakan sebagai sumber air minum/ledeng dan mata air Wae Bere yang digunakan untuk mengairi sawah serta kebutuhan rumah tangga (mandi, cuci, kakus). Pada musim kemarau, debit air yang dihasilkan kedua sumber mata air ini akan mengecil. Warga Mangulewa juga menggunakan sumber mata air yang terletak di desa Rakateda II. Menurut warga, sumber ini merupakan proyek dari PAM yang disalurkan ke seluruh wilayah Mangulewa kecuali dua anak kampung karena letaknya yang tinggi sehingga tidak dapat dijangkau oleh bak penampung. Selain mata air, juga terdapat sungai/kali dengan panjang 9 Km dan lebar 7 Km. Fungsinya untuk mengairi sawah, minum dan mencuci, minum dan mandi ternak. Di musim kemarau airnya berkurang untuk mengairi sawah. Sedangkan di musim hujan, airnya banyak sampai banjir.

Dilihat dari perkembangan mutu (kecuali mata air) dan ketersediaan air dari mata air maupun sungai/kali, warga mengakui bahwa sekarang mereka mengalami kekurangan air minum, terutama di musim kemarau.

Warga Turekisa, karena pemukimannya terletak di daerah yang paling tinggi, mengungkapkan bahwa yang terjadi di sana bukan kekurangan air melainkan sudah lebih dari itu sudah tridak ada air. Air yang ada sekarang berasal dari air hujan yang ditampung untuk keperluan minum.

Penyebab dari masalah kurangnya air minum yang dialami warga Mangulewa adalah banyaknya orang yang melakukan pembakaran dan penamanan tanaman kayu putih yang ternyata menyerap air. Dan dari akar masalah diketahui bahwa tidak adanya penertiban ternak, letak pemukiman penduduk yang lebih tinggi dari mata air, dan kemampuan mesin penyedot air yang sangat kecil juga dianggap menjadi sebab dari masalah ini.

Di Turekisa, kekurangan air juga disebabkan karena aliran PAM yang dimatikan sejak bulan Maret 2001. Alasannya, sebagian warga tidak membayar iuran air. Dalam mengatasi masalah kurangnya air minum, warga Mangulewa telah melakukan berberapa upaya, yaitu 1) melakukan pendekatan ke PAM dan DPRD; 2) pengumpulan dana; 3) pembuatan bak penampungan air.

Khusus untuk di Turekisa, pada tahun 1998 ada bantuan PAM yang mengadakan air ledeng berupa keran umum dan keran pribadi dengan sumber air dari daerah lain. Volume airnya sangat sedikit. Untuk sarana ini, warga dikenakan iuran. Sedangkan jumlah air yang dapat diperoleh: (1) Pemakai keran umum mendapat 600 liter/bulan; (2) Pemakai keran pribadi mendapat > 600 liter/bulan.

Upaya pendekatan ke PAM dan DPRD hanya melibatkan tokoh masyarakat dan RT Mangulewa. Itupun hanya di tingkat ide. Sedangkan upaya pengumpulan dana melibatkan semua warga berikut tokoh masyarakat. Warga juga terlibat dalam upaya pembuatan bak penampungan air beserta PAM dan Dinas Kesehatan.

Upaya pendekatan ke PAM dan DPRD dianggap tidak berhasil oleh warga Mangulewa, karena belum ada kesepakatan di antara warga (hanya inisiatif individu). Untuk upaya pengumpulan dana, warga menganggpan bahwa usaha ini berhasil dan dana yang berhasil dikumpulkan tersebut digunakan untuk membeli pipa yang akan dipakai menyalurkan air ke pusat desa. Sedangkan upaya pembuatan bak penampungan bak air dianggap tidak berhasil, karena bak tersebut tidak kuat. Berkaitan dengan penggunaan ledeng dalam penyaluran air di Mangulewa, ada aturan bagi warga untuk membayar sesuai dengan besar pemakaian. Bagi yang Upaya pendekatan ke PAM dan DPRD dianggap tidak berhasil oleh warga Mangulewa, karena belum ada kesepakatan di antara warga (hanya inisiatif individu). Untuk upaya pengumpulan dana, warga menganggpan bahwa usaha ini berhasil dan dana yang berhasil dikumpulkan tersebut digunakan untuk membeli pipa yang akan dipakai menyalurkan air ke pusat desa. Sedangkan upaya pembuatan bak penampungan bak air dianggap tidak berhasil, karena bak tersebut tidak kuat. Berkaitan dengan penggunaan ledeng dalam penyaluran air di Mangulewa, ada aturan bagi warga untuk membayar sesuai dengan besar pemakaian. Bagi yang

Selain aturan di atas, juga ada beberapa norma/nilai yang 'hidup' di antara warga Mangulewa: (1) Mai si kita dutu sa dulu dha se dhore, kolo se toko aze le tebu (mari kita bersama- sama bagaikan kayu penjolok sebatang dan tali seutas/satu pendapat satu pikiran); (2) Zegu mese pikir eko mae leko (sama-sama tidak boleh keluar dari jalan kesepakatan); (3) Lulu poli bhoda (bersatu kita teguh); dan (4) Podhu bhou meza mogo (duduk bersama untuk musyawarah).

4.1.3. Masalah ‘mutu dan ketersediaan lahan yang menurun/berkurang

(Kategori I)

Masalah ‘mutu dan ketersediaan lahan yang menurun/berkurang’ terjadi dalam 5 kejadian di empat desa. Deskripsi masing-masing kejadian di keempat desa dimaksud adalah sebagaimana tercantum dalam Box 4.3 berikut.

Box 4.3 : Deskripsi kasus-kasus ‘mutu dan ketersediaan lahan yang menurun/berkurang’

Mbay II memiliki padang penggembalaan seluas 127 Ha. Lahan ini digunakan masyarakat adat Mbay - Dhawe yang tinggal di sekitarnya untuk memelihara ternak. Tahun 1970-an, mulai banyak wilayah padang penggembalaan yang berubah menjadi kebun warga. Tahun 1995, area ini mulai dijadikan perkebunan dan pemukiman translok (Waekokak). Pada tahun 2000, ada juga wilayah yang dijadikan pemukiman (di Makipaket) yang masih termasuk dalam wilayah administrasi kelurahan Mbay II dan juga dijadikan tambak garam.

Sebagai akibat dari perubahan fungsi padang penggembalaan menjadi kebun dan pemukiman translok di wilayah Mbay II, ternak menjadi kurus sehingga minat warga untuk beternak pun berkurang.

Akar masalah yang tercatat sebagai penyebab berkurangnya padang penggembalaan di Mbay II adalah 1) Perluasan areal persawahan; 2) Sawah garam yang semakin luas; 3) Populasi rumput semakin berkurang; 4) Perluasan pemukiman (translok); 5) Perluasan kebun/ladang.

Belum ada upaya yang dilakukan warga Mbay II untuk mengatasi masalah padang penggembalaan yang berkurang.

Di desa Langedhawe, hutan (hutan koli?) selain berfungsi sebagai pelindung dari erosi juga berfungsi sebagai sumber kayu bangunan dan kayu bakar. Tetapi dilihat dari perkembangannya sejak tahun 1970 sampai tahun 2000, mutu dan ketersediaan hutan semakin berkurang. Area hutan semakin menyempit.

Masalah mutu dan ketersediaan hutan yang semakin menurun di desa Langedhawe mengakibatkan debit air menurun dan juga berpengaruh pada tingkat kesuburan tanah. Warga mulai merasakan kekurangan balok untuk membangun rumah. Warga yang biasa membuat tuak juga merasakannya.

Mutu dan ketersediaan hutan di desa Langedhawe semakin menurun, disebabkan karena 1) Pembangunan rumah baru sehingga kebutuhan kayu bangunan meningkat dan penebangan kayu pun bertambah; 2) Dana/biaya terbatas dan penanaman pohon kurang; 3) Membuka kebun dengan sistem tebas bakar; 4) Keinginan warga untuk mendapat rumput baru, sehingga sering terjadi kebakaran; 5) Erosi tanah karena sistem ladang berpindah; 6) Lemahnya sistem kontrol/pengawasan dari masyarakat adat; 7) Berburu adat.

Terhadap masalah mutu dan ketersediaan hutan yang semakin menurun, warga desa Langedhawe memberlakukan sumpah adat pire yang dlaksanakan pada 25 Maret 1995 (larangan untuk membakar hutan) berikut penerapan sanksi adat kepada para pelanggar, pemadaman api secara bersama-sama jika terjadi kebakaran hutan, dan penghijauan/reboisasi secara swadaya.

Sumpah adat pire dan penerapan sanksi adat kepada para pelanggar melibatkan warga desa Langedhawe berikut tokoh adat dan Pemdes.

Pemadaman api secara bersama dilakukan oleh warga, anak sekolah, dan tokoh masyarakat. Pengijauan/reboisasi secara swadaya melibatkan Pemdakab/Dinas Kehutanan, Pemdes, warga, tokoh masyarakat, dan LSM.

Pemberlakuan sumpah adat pire dan penerapan sanksi adat kepada para pelanggar oleh warga desa Langedhawe dianggap kurang berhasil karena hanya sedikit mengurangi masalah. Sedangkan pemadaman api secara bersama-sama dianggap berhasil mengatasi masalah kebakaran hutan. Penghijauan/reboisasi secara swadaya dianggap berhasil, karena ide berasal dari pemerintah yang kemudian ditindaklanjuti oleh warga dengan disertai dukungan benih/bibit dari LSM.

Ketersediaan lahan di desa Takatunga semakin menurun. Kalau pada tahun 1970-an setiap KK dapat memiliki minimal 2 Ha tanah, sekarang hanya sekitar 0,5 - 1 Ha saja. Padahal kebutuhan akan lahan semakin meningkat dengan adanya pertambahan jumlah penduduk.

Warga desa Takatunga mulai merasakan lahan untuk pengembangan tanaman pangan sudah tidak mencukupi lagi, begitu juga untuk pemukiman yang terasa sudah sempit dan berdesakan. Terutama bagi keluarga baru (generasi muda) yang ingin membangun rumah. Akhirnya kebutuhan akan lahan ini pun menyebabkan kecemburuan sosial di antara keluarga.

Penyebab dari masalah ketersediaan lahan yang semakin berkurang di desa Takatunga adalah faktor pertambahan penduduk, dimana keluarga-keluarga yang baru terbentuk tetap memilih untuk tinggal di desa.

Ada beberapa upaya yang dilakukan oleh warga Takatunga, yaitu 1) Menggarap tanah orang lain dan membeli tanah di desa tetangga (Kuruladu, Zaa); 2) Meminta tanah garapan pada orang lain; 3) Melakukan transmigrasi.

Upaya membeli tanah di desa Takatunga melibatkan warga, kelompok arisan, dan tokoh masyarakat (adat, pemerintah, agama). Upaya meminta tanah garapan pada orang lain hanya melibatkan warga yang membutuhkan saja. Upaya melakukan program transmigrasi melibatkan warga, Pemdes, dan Pemdakab.

Upaya warga Takatunga dalam menghadapi masalah ketersediaan lahan yang semakin berkurang cenderung dianggap tidak berhasil, lihat uraian berikut ini: Upaya dengan menggarap tanah orang lain dan membeli tanah di desa tetangga dianggap kurang berhasil, walaupun keluhan akan kekurangan lahan memang berkurang. Upaya meminta tanah garapan pada orang lain dianggap tidak berhasil, karena tanah tersebut masih digarap oleh pemiliknya. Upaya untuk mengikuti program transmigran dianggap tidak berhasil. Disamping karena jumlah warga yang melakukannya sedikit, juga karena ada warga yang kembali lagi.

Sejak tahun 1970-an sampai dengan sekarang, ketersediaan tanah di kelurahan Todabelu mengalami penurunan. Sehingga tanah yang tersedia sudah tidak seimbang dengan jumlah penduduk yang ada.

Masalah ketersediaan lahan yang semakin sempit di kelurahan Todabelu mengakibatkan perkara tanah di antara keluarga maupun antara soma meningkat, adanya kecemburuan sosial di antara warga karena pembagian warisan tanah yang tidak adil, hasil menurun, adanya pencurian hasil kebun, dan pencarian kerja ke luar daerah.

Ketersediaan lahan yang semakin sempit di kelurahan Todabelu disebabkan karena pertambahan jumlah penduduk, banyaknya lahan yang berubah fungsi menjadi pemukiman dan bangunan (sarana) umum, banyaknya tanah yang dijual ke orang lain, dan pergeseran jenis tanaman pangan ke tanaman umur panjang.

Masalah ketersediaan lahan yang semakin menyempit di kelurahan Todabelu diatasi dengan upaya pengembangan kelompok arisan (dalam soma) untuk membeli tanah, ikut serta dalam program transmigrasi, dan menjadi TKI ke luar negeri.

Upaya pengembangan kelompok arisan (dalam soma) di kelurahan Todabelu untuk membeli tanah melibatkan kepala soma dan anggota soma. Upaya melakukan program transmigrasi melibatkan pemerintah kelurahan, Pemdakab, dan keluarga yang mengalami kekurangan lahan. Upaya menjadi TKI ke luar negeri melibatkan warga, orang tua, pemerintah setempat, biro jasa tenaga kerja, Depnaker, dan Depkes.

Ketiga upaya yang dilakukan warga Todabelu dianggap tidak berhasil dalam mengatasi masalah ketersediaan lahan yang semakin sempit. Upaya pembelian tanah melalui kelompok arisan dalam soma dianggap tidak berhasil, karena mengundang masalah baru seperti perkara tanah, tindak kekerasan dan saling rebut. Upaya program transmigrasi dianggap kurang berhasil, walaupun warga sudah memperoleh tanah baru dan ada kemudahan dari pemerintah. Ada beberapa keluarga yang mengikuti transmigrasi ke Maronggela (lokal) dan Kalimantan Barat.

Upaya menjadi TKI ke luar negeri dianggap tidak berhasil, karena jumlah warga yang ikut serta tidak banyak dan dampaknya terhadap masalah belum terasa.

Ada beberapa filosofi yang digunakan berkaitan dengan masalah ketersediaan lahan yang semakin sempit, yaitu: (1) Ghose ngusu jura lange (tanah yang tidak boleh dijual, tetapi hanya untuk diolah saja); (2) Ngada dara pengi ngeghe (kepentingan mendesak secara bersama, khusus untuk rumah adat); (3) Pega jega gose goru (kalau sudah dijual jangan diambil lagi, kalau sudah dipatok jangan dicabut lagi); dan (4) Bagi zia regha pawe, ma'e papa tange (jangan baku rebut tanah yang sudah dibagikan).

4.1.4. Masalah ‘kurang/tidak adanya sarana penghubung yang tidak memadai atau jalan rusak berat’ (Kategori O)

Masalah penting Kategori O, yakni ‘masalah tidak adanya atau rusak beratnya sarana penghubung/jalan’ terjadi di empat desa. Masing-masing adalah (1) Langedhawe (Kec. Aesesa); (2) Takatunga, (3) Sangadeto; dan (4) Mangulewa. Tiga desa yang disebut terakhir terletak di Kec. Golewa. Rincian masing-masing kejadian di masing-masing desa dimaksud adalah sebagaimana tercantum dalam Box 4.4. berikut.

Box 4.4. : Deskripsi kasus-kasus sarana penghubung yang tidak memadai atau jalan rusak berat

Jarak dari desa Langedhawe ke Danga, ibukota kecamatan Aesesa, adalah 10 Km. Jenis jalan yang menjadi sarana penghubung di desa ini meliputi jalan dusun (2 Km), jalan desa (2 Km), jalan ekonomi (9 Km), dan jalan propinsi (4 Km, dari ruas Aemali - Danga). Jalan propinsi yang menuju desa Langedhawe berkelok-kelok dengan batu-batu terlepas disana-sini dan menjadi berlumpur pada musim hujan. Padahal jalan ini menjadi urat nadi perekonomian warga desa Langedhawe, sehingga kondisi jalan yang rusak parah ini berpengaruh pada kehidupan perekonomian mereka.

Pada tahun 1982 warga Langedhawe membuka jalan yang sebelumnya adalah jalan setapak. Ruas jalannya melintasi desa Tengatiba dan desa Langedhawe. Selanjutnya pada tahun 1986, jalan mulai ditata dan diperlebar dengan menggunakan dana Padat Karya.

Kemudian di tahun 1987, pengerjaan jalan dilakukan oleh kontraktor. Pekerjaan itu meliputi menyusun batu, membangun deker, membuat selokan, membangun jembatan di Malalado, Lawo Keo, Pede Kune, dan Kapo Gatu.

Tercatat bahwa pada tahun 1991 pernah ada proyek jalan Aemali - Danga. Dana proyek diduga berasal dari APBD I yang jumlahnya tidak diketahui warga. Dalam proyek ini warga Langedhawe hanya terlibat pada tahap pemeliharaan saja. Mereka menyatakan rasa ketidakpuasannya terhadap ketidakterlibatan mereka di tahap perencanaan dan pelaksanaan, ditambah dengan kualitas jalan yang dihasilkan dalam proyek tersebut dan ketidakterlibatan Pemda dalam tahap pemeliharaan.

Tahun 2000 Pemdes berinisiatif untuk menyisihkan dana PPK sebesar 3 juta rupiah untuk merangsang warga bekerja dalam perbaikan jalan. Di tahun berikutnya (2001), Pemdes Langedhawe menyediakan dana yang berasal dari sumbangan para tokoh masyarakat desa Tenga Tiba dan Langedhawe untuk mengupah seorang warga dalam mengerjakan area-area tertentu yang rusak dengan memahat batu cadas di lokasi antara Kesi Dari dan Degho.

Warga Langedhawe mengalami kesulitan dalam menjual hasil pertanian/perkebunan/ternaknya, padahal komoditi tersebut adalah andalan utama mereka dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup. Kondisi jalan yang rusak parah itu kemudian membuat jumlah serta jenis kendaraan umum yang melintasi ruas jalan tersebut menjadi terbatas. Akibatnya hasil penjualan yang diperoleh harus dikurangi dengan biaya transportasi yang cukup tinggi, seperti kasus di desa Langedhawe dimana supir oto bisa dengan seenaknya menentukan tarif. Jumlah uang yang diperoleh pun akhirnya dirasakan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup warga. Warga Langedhawe akhirnya lebih memilih jalan ketimbang Warga Langedhawe mengalami kesulitan dalam menjual hasil pertanian/perkebunan/ternaknya, padahal komoditi tersebut adalah andalan utama mereka dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup. Kondisi jalan yang rusak parah itu kemudian membuat jumlah serta jenis kendaraan umum yang melintasi ruas jalan tersebut menjadi terbatas. Akibatnya hasil penjualan yang diperoleh harus dikurangi dengan biaya transportasi yang cukup tinggi, seperti kasus di desa Langedhawe dimana supir oto bisa dengan seenaknya menentukan tarif. Jumlah uang yang diperoleh pun akhirnya dirasakan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup warga. Warga Langedhawe akhirnya lebih memilih jalan ketimbang

Penyebab dari jalan Aemali - Danga rusak parah adalah 1) Tidak adanya selokan; 2) Faktor alam (hujan, topografi); 3) Proyek yang ditenderkan; 4) Peralatan yang sederhana dan tidak memadai; 5) Tidak ada dana; 6) Tidak ada perawatan dari pemerintah.

Upaya yang dilakukan oleh warga desa Langedhawe dalam menghadapi masalah jalan Aemali - Danga rusak parah adalah 1) Kerja bersama memperbaiki/menutupi bagian jalan yang rusak; 2) Mengajukan usulan kepada Bupati Ngada agar jalan segera diperbaiki; 3) Mengajukan usulan kepada DPRD Ngada agar jalan diperbaiki dan ditingkatkan mutunya.

Di desa Langedhawe, upaya-upaya penanggulangan masalah melibatkan warga, Pemdes, dan tokoh masyarakat. Upaya perbaikan yang dilakukan secara bersama-sama, Pemdes ikut terlibat bersama warga. Upaya pengajuan usul perbaikan jalan ke Bupati Ngada dilakukan oleh tokoh masyarakat. Upaya pengajuan usul perbaikan jalan ke DPRD Ngada dilakukan oleh Pemdes.

Semua upaya yang dilakukan oleh warga desa Langedhawe dianggap tidak berhasil. Upaya perbaikan/penutupan bagian jalan yang rusak dianggap tidak berhasil, karena usaha tersebut dilakukan dengan sangat sederhana. Sedangkan upaya pengajuan usul ke Bupati Ngada dan DPRD Ngada sampai saat ini belum ada realisasinya, baru dijanjikan saja.

Sarana transportasi dan komunikasi yang belum memadai merupakan salah satu masalah yang terdapat di desa Takatunga. Sebagian besar wilayah desa Takatunga jauh dari lalu lintas kendaraan (angkutan darat), belum ada jalan yang melintasi pertengahan desa. Jalan yang baik hanya terdapat di pinggir desa. Sementara warga masyarakat memiliki banyak komoditi perdagangan seperti cengkeh, vanili, kopi, kemiri, kakao (coklat). Maka pada tahun 1997 dalam Musbangdes diangkat masalah jalan.

Pada tahun 1998 Pemdakab. Ngada merespon usulan masyarakat. Pemerintah melakukan survey dan langsung menerjunkan kontraktor. Jalan itu melintasi kebun tanaman perdagangan warga masyarakat, sehingga ada sebagian warga masyarakat yang tidak setuju. Namun sebagian besar warga masyarakat rela mengorbankan tanamannya (cengkeh, kopi, vanili, kemiri, coklat), dengan harapan kalau kendaraan lancar maka akan mudah mengangkut komoditi mereka. Pada pelaksanaan pembukaan jalan, ratusan tanaman perdagangan milik warga rusak.

Lewat sebuah rapat LKMD, ditetapkan bahwa got dan gorong-gorong disiapkan oleh warga masyarakat. Semua warga dikerahkan untuk mengerjakan jalan dan warga yang tidak ikut menggali jalan harus membayar uang ganti tenaga.

Gotong-royong dari warga ini pada awalnya dibuat dengan perjanjian dengan kontraktor, bahwa mereka (kontraktor) menyiapkan fasilitas/sarana dan tenaga teknis. Ketika warga mulai kerja, kontraktor menyatakan,“Berita kelanjutan kerja jalan tidak jelas”. Maka, sampai sekarang jalan tetap tidak terurus. Warga merasa kecewa. Telah banyak yang dikorbankan, namun jalan belum selesai bahkan kondisinya semakin rusak.

Di desa Takatunga, karena sulitnya sarana transportasi, maka komoditi yang tidak bisa dijual dijadikan makanan ternak oleh warga. Jalur transportsi seperti jalan raya masuk desa tidak ada, sehingga kendaraan roda empat tidak bisa masuk ke desa. Baru pada tahun 1990-an, pengusaha mesin giling padi, traktor bajak dan sensor mulai masuk desa.

Menurut warga Takatunga, penyebab dari masalah sarana transportasi dan komunikasi (jalan) yang belum memadai adalah 1) Kurangnya perhatian pemerintah; 2) Program rencana kerja dari Pemdes untuk pemeliharaan jalan belum ada; 3) Pengerjaan jalan oleh kontraktor dari luar dan tidak melakukan survey secara benar; 4) Menurunnya tradisi gotong-royong warga; 5) Tanah longsor dari hutan.

Di desa Takatunga, ada upaya perbaikan jalan secara swadaya seperti menggali got dan menimbun lubang dan mengusulkan peningkatan mutu jalan ke pemerinatah daerah. Usaha swadaya yang dikoordinir oleh pemerintah desa, LKMD dan Gereja untuk membangun jalan tanah, namun karena jalan yang diperlukan cukup panjang sehingga pekerjaan swadaya ini tidak menyelesaikan masalah.

Pada tahun 1996 dan 1998 (P3DT), ada proyek perbaikan jalan (peningkatan proyek Padat Karya tahun 1980-an). Proyek tahun 1996 ditujukan untuk ruas jalan Sadha - Takatunga - Sarasedu. Sedangkan proyek tahun 1998 ditujukan untuk ruas jalan Ngorabolo - Mala Mako (Mauponggo). Dari kedua proyek, warga merasa tidak puas pada tahap pelaksanaan, disamping karena banyak tanaman warga rusak juga mutu jalan yang dihasilkan jelek. Sedangkan pada tahap pemeliharaan, penyebabnya adalah ketidakterlibatan pemerintah pada tahap ini.

Upaya yang dilakukan di desa Sangadeto untuk mengatasi masalah rusaknya jalan raya masuk kampung adalah dengan 1) Bekerja sama menutupi lubang-lubang di jalan; 2) Mengusulkan kepada Pemdakab; 3) Ada proyek Padat Karya.

Upaya perbaikan jalan secara swadaya di Takatunga seperti menggali got dan menimbun lubang-lubang melibatkan warga, Pemdes, dan tokoh agama. Upaya pengajuan usul peningkatan mutu jalan ke pemerintah daerah melibatkan Pemdes, LMD, BPD, LKMD, warga, Pemda (program P3DT). Upaya perbaikan secara swadaya dianggap kurang berhasil oleh warga Takatunga, karena masih menggunakan teknik yang sederhana. Usulan peningkatan mutu jalan juga dianggap kurang berhasil, karena …. Upaya kerja bersama untuk menutupi lubang-lubang di jalan dianggap warga kurang berhasil, karena hanya bertahan pada musim kemarau. Upaya pengajuan usulan kepada Pemdakab. Dianggap tidak berhasil, karena tidak ada tanggapan. Proyek Padat Karya dianggap kurang berhasil, karena yang berhasil hanya 0,5 Km.

Jalan raya yang menghubungkan desa Sangadeto dan jalan negara memang sudah ada dan sudah diaspal, namun demikian kondisinya sangat memprihatinkan karena begitu banyak lubang di sepanjang jalan. Selokan di pinggir jalanpun tidak ada. Ruas jalan masih sangat sempit. Warga Sangadeto sudah ada upaya untuk memperbaiki jalan ini yang dilakukan setiap tahun yakni dengan menimbuni badan jalan yang berlubang dan menggali got di pinggir jalan. Hasilnya belum terlalu memuaskan, karena setiap tahun ada musim hujan yang akan merusak kembali badan jalan tersebut. Semua upaya dari warga tidak bertahan lama.

Tidak adanya sarana penghubung (jalan) ke kantong-kantong produksi merupakan masalah yang ditemukan di kelurahan Mangulewa. Pembukaan jalan menuju Malawawo harus melalui wilayah desa lain, yaitu desa Sobo. Sedangkan warga desa Sobo tidak mau menyerahkan tanah mereka untuk pembukaan jalan tersebut, sehingga sampai saat ini jalan menuju Malawawo tidak bisa tembus. Warga Mangulewa sedang melakukan negosiasi/kesepakatan bersama dengan warga Sobo dan Pemda.

Jalur transportsi seperti jalan raya masuk desa tidak ada, sehingga kendaraan roda empat tidak bisa masuk ke desa. Baru pada tahun 1990-an, pengusaha mesin giling padi, traktor bajak dan sensor mulai masuk desa. Begitupula dengan usaha dagang kecil seperti berjualan 9 bahan pokok di desa, sekarang di desa Sangadeto sudah ada pengusaha giling padi 3 buah dan 5 buah traktor bajak serta 2 buah mesin Sensor.

Menurut warga Sangadeto, akar masalah dari rusaknya jalan raya masuk kampung adalah perencanaan proyek tidak bersama warga dan tidak ada warga yang berani mengusulkan.

Menurut warga Mangulewa, penyebab dari tidak adanya sarana penghubung (jalan) ke kantong-kantong produksi adalah tidak adanya dana dan belum adanya ketua lingkungan yang berkaitan dengan kurangnya perhatian dari pemerintah.

Upaya kerja bersama untuk menutupi lubang-lubang di jalan melibatkan warga (ulu eko) dan Pemdes Sangadeto.

Upaya pengajuan usulan kepada Pemdakab dilakukan oleh warga bersama Pemdes. Proyek Padat Karya melibatkan warga yang termasuk dalam usia tenaga kerja, LKMD,

dan Pemdakab. Upaya merintis jalan (membuka awal) melibatkan warga dan tokoh masyarakat. Padat Karya melibatkan warga, Pemdes, dan Depnaker. ABRI masuk desa melibatkan ABRI dan warga. Upaya kerja bakti melibatkan warga, Pemdes, dan Pastor Paroki.

Ada filosofi yang hidup ditengah warga Sangadeto yang berkaitan dengan upaya penanggulangan masalah ini, seperti to’o jogo waga sama (kebersamaan dan gotong royong).

Tidak adanya sarana penghubung (jalan) ke kantong-kantong produksi di kelurahan Mangulewa ditanggulangi dengan upaya 1) merintis jalan (membuka awal); 2) Padat Karya; 3) ABRI masuk desa; 4) melakukan kerja bakti.

Semua upaya yang dilakukan dianggap kurang berhasil oleh warga Mangulewa, karena 1) Kurang diperhatikan oleh Pemdes; dan 2) Tidak ada program pemeliharaan lanjutan. Berkaitan dengan masalah tidak adanya sarana penghubung ke kantong-kantong produksi di kelurahan Mangulewa, warga mengakui bahwa ada aturan dan filosofi seperti: Ada filosofi yang berbunyi podhu bhou meza mogo (duduk bersama untuk musyawarah).

Kelompok doa akan memberikan sanksi kepada anggotanya yang tidak aktif mengikuti kegiatan bersama (seperti kerja bakti) dengan tidak diberikannya surat keterangan untuk permandian anak atau untuk pernikahan.

4.1.5. Masalah ‘konflik/sengketa tanah’ (Kategori M)

Setidaknya ada 9 kasus sengketa tanah yang dapat dijadikan cermin dalam penelitian ini. Masing-masing adalah kasus (1) sengketa tanah Enek (hasil wawancara peristiwa penting/pp, Mbay); (2) kasus gugatan Amir Mandar Cs. (hasil studi etnografi, Mbay); (3) konflik perebutan padang garam (pp. Nggolonio); (4) sengketa tapal batas dengan hutan lindung (fgd, Nggolonio); (5) sengketa perbatasan dengan desa Tendakinde (fgd & pp, Totomala); (6) sengketa tanah suku Rendu – Raja (etnografi, Langedhawe); (7) perebutan tanah warisan (pp, Takatunga); (8) sengketa tanah Malowawo (fgd & pp, Sangadeto); dan (9) sengketa tapal batas dengan desa Rowa (fgd, Sangadeto).

Jika dicermati bentuk pertikaian para pihak pada masing-masing kasus dimaksud, kesembilan kasus itu dapat dipilah-pilah menjadi 3 macam. Pertama, pertikaian untuk memperebutkan sebidang tanah/lahan tertentu (Kasus 1, 2, 3, 6, dan 8); kedua, sengketa batas lahan (Kasus 4, 5, dan 9); dan ketiga, ‘masalah’ yang muncul dari situasi ketidakjelasan atau ketidakpastian hak para pihak dalam memperoleh akses pada tanah ataupun sumberdaya alam lainnya (Kasus 7).

Deskripsi masing-masing kasus sengketa tanah ini adalah sebagai tercantum dalam Box 5a hingga Box 5c berikut.

Box 5a : Rangkuman kasus-kasus sengketa perebutan suatu bidang lahan tertentu

Kasus Tanah Enek (Mbay II): Kasus ini berawal dari penetapan batas – yang secara formal tercakup dalam program ‘persehatian batas desa’ – antara (semula) desa (sekarang) Kelurahan Mbay I dan (dulu) desa (sekarang) Kelurahan Mbay II yang berlangsung pada tahun 1992 lalu. Masalah muncul ketika sebagian dari wilayah yang disebut ‘Kampung Enek’ menjadi bagian dari wilayah administrasi Kelurahan Mbay I. Menurut para peserta diskusi kelompok terarah yang diselenggarakan di Kelurahan Mbay II, Kampung Enek adalah ‘kampung lama’ (kampung adat) dari warga Kelurahan Mbay II sekarang.

Penetapan batas definitif wilayah ini sebenarnya, ‘secara hukum formal’, tidak ada masalah. Artinya, meski pun sebidang berada di wilayah administrasi desa tertentu dan ‘penguasa’ dan/atau ‘pemilik’-nya tinggal di desa yang lain, hak ‘penguasaan’ dan/atau ‘pemilikan’ warga yang tinggal di desa lain itu adalah tetap. Para peserta diskusi kelompok terarah pun sepakat bahwa perbedaan status wilayah administrasi pemerintahan desa itu tidak serta merta mengalihkan status penguasaan lahan/tanah. Namun, dalam realitas kehidupan sehari-hari faktanya berbeda dengan wacana yang berkembang itu. Boleh jadi, masalahnya akan menjadi lain ketika hal itu terjadi di dalam konteks sosial tertentu di mana, di satu pihak, status hak itu tidak terjamin secara pasti dalam sistem peraturan-perundangan yang formal; dan di pihak lain, status hak (tradisional) yang dipegang itu beralas pada satuan sosial-budaya yang berbasis pada satuan teritorial tertentu. Sebagaimana yang terjadi di wilayah penelitian ini, dalam hal ini bagi warga Desa/Kelurahan Mbay I, sebagaimana yang dikemukakan oleh warga Desa/Kelurahan Mbay II, penetapan batas ini dikuatirkan memberikan semacam ‘dasar hukum’ bahwa wilayah ‘kampung Enek’ yang setelah ‘persehatian batas desa’ itu menjadi wilayah teritorial ‘milik’ Desa/Kelurahan Mbay I. Menurut warga desa/kelurahan Mbay II, adanya ‘pengakuan pemilikan’ oleh warga Mbay I itu ditandai oleh adanya ‘penyerobotan’ warga desa/kelurahan Mbay I terhadap ladang-ladang yang sebenarnya ‘dimiliki’ oleh warga desa/kelurahan Mbay II sekarang, hal mana tidak pernah terjadi pada masa-masa sebelum penetapan batas defenitif pada tahun 1992 itu.

Bentuk ‘penyerobotan’ itu adalah ‘ditanaminya ladang-ladang yang, menurut warga Kelurahan Mbay I, tidak digarap’; ‘dicabutnya pagar-pagar ladang, sehingga ternak mengganggu tanaman yang sedang tumbuh’; dan ‘dibakarnya rumah milik warga desa/kelurahan Mbay II yang berada di lokasi yang disengketakan itu oleh warga desa/kelurahan Mbay I”. Beberapa warga desa/kelurahan Mbay I malah ada yang membangun rumah dan rumah ladang. Penyerobotan oleh warga desa/kelurahan Mbay I itu mulai terjadi pada tahun ….

Tindakan ‘penyerobatan’ oleh warga desa/kelurahan Mbay I ini dibalas oleh warga desa/kelurahan Mbay II dengan cara yang sama. Pagar-pagar ladang baru dicabut, ladang dirusak, dan ada pula rumah/pondok baru yang dibakar.

Sejauh ini, menurut warga desa/kelurahan Mbay II, belum ada korban nyawa di kedua belah pihak 2 . Memang, tidak terlalu jelas apa dampak sengketa tanah Enek ini bagi kehidupan warga kedua desa ini sehari-hari. Beberapa warga mengaku bahwa atas tindakan itu “kami, (warga Kel. Mbay II) kehilangan lahan garapan. Hidup jadi tambah susah”. Meski begitu, praktis hubungan personal, baik atas dasar hubungan kekerabatan, ketetangaan, maupun atas dasar hubungan-hubungan sosial lain pada umumnya, menurut berbagai pihak, masih berlangsung seperti sediakala. Warga Mbay II masih bisa lalulalang di wilayah Mbay I. Begitu pula sebaliknya. “Sebenarnya kami ini saling bersaudara semuanya,” ungkap seorang tokoh masyarakat Kelurahan Mbay II.

Hanya saja, suasana akan berubah menjadi lain ketika warga desa diajak membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kelangsungan kehidupannya. Seringkali pula suatu ‘ketidaknormalan’, misalnya ada kasus pembunuhan atau masukkan ternak ke ladang penduduk, dicurigai sebagai bagian dari kasus sengketa tanah Enek ini. Adanya rasa saling curiga antar kedua belah pihak amat terasa dalam pergaulan hidup sehari-hari. Kasus sengketa tanah Enek ini mengeraskan sengketa atas nama ‘suku Dhawe’ dan ‘Suku Mbay’ yang ‘dipicu’ oleh kasus gugatan oleh Amir Mandar Cs. (lihat uraian dalam bagian-bagian berikut). Kebetulan pula Amir Mandar Cs. adalah warga Kel. Mbay I sekarang. Tuduhan adanya upaya-upaya

ekspansi dari ‘Suku Mbay’ semakin mendapatkan pembenarannya 3 . Menurut warga desa/kelurahan Mbay II yang ikut dalam diskusi kelompok terarah, ‘penyerobotan’ ini bukanlah tindakan warga desa/kelurahan Mbay I orang per orang, melainkan ‘tindakan bersama’ warga Kel. Mbay I. Ini terlihat dari keterlibatan aparat pemerintahan dan LKMD desa/kelurahan Mbay I dalam ‘merestui’ tindakan-tindakan ‘penyerobotan’ yang dilakukan warga desa/kelurahan Mbay I itu. Malah, menurut warga desa/kelurahan Mbay II, tanah (sebagian) ‘Kampung Enek’ itu akan dibagi-bagi kepada warga desa/kelurahan Mbay I lainnya. Sebab, hasil ‘persehatian batas desa’ antara Kel. Mbay I dan Kel. Mbay II telah menyebabkan beralihnya ‘hak penguasaan’ (sebagian) tanah Kampung Enek ini pada masyarakat warga Kel. Mbay I.

Meski desa/kelurahan Mbay I dan Mbay II sudah ada semenjak sebelum tahun 1992 (desa Mbay I dan Mbay II ada setelah adanya kebijakan penataan desa pada tahun 1960-an), kasus perebutan tanah ini tidak terjadi, karena belum ada ‘batas desa/kelurahan definitif’ itu. Menurut para peserta diskusi kelompok terarah, tidak adanya kasus penyerobotan sebelum tahun 1992 itu terjadi karena pada masa itu, dengan belum adanya ‘persehatian tata batas’, maka posisi dan/atau status penguasaan lahan masih berada di bawah sistem pengelolaan satuan wilayah administrasi hamente (dalam hal ini hamente Mbay).

Karena itu, warga desa/kelurahan Mbay II menuntut batas definitif melalui ‘persehatian batas desa’ tahun 1992 itu dibatalkan, dan memasukkan wilayah yang disengketakan itu menjadi wilayah administratif desa/kelurahan Mbay II sekarang. Sebab, menurut warga Mbay II, tanah yang disengketakan itu adalah haknya warga desa/kelurahan Mbay II sekarang.

Adapun alasan yang menjadi dasar tuntutan warga Kel. Mbay II itu adalah sejarah keberadaan kampung Enek dan Desa – dan kemudian Kelurahan – Mbay II itu sendiri. Pada zaman ‘pemerintahan hamente’ (kira-kira hingga tahun 1950-an) wilayah Kelurahan Mbay I dan Mbay II sekarang termasuk ke dalam wilayah pemerintahan Hamente Mbay. Wilayahnya meliputi ‘ulu Wundu ikong Towak’. Setelah hamente dihapus, kira-kira awal tahun 1960-an, wilayah Hamente Mbay ini dibagi-bagi ke dalam 3 wilayah yang kemudian disebut desa. Masing- masing adalah (1) desa Uluda (meliputi ‘kampung-kampung’ Wundu, Nggolombai, Lelak, dan Mbo’a Tiba); (2) desa Rungaleke (meliputi ‘kampung-kampung’ Bo’a Ras, Bo’a Maki, dan Mbaling); dan (3) desa Shagolewa (meliputi ‘kampung-kampung’ Bago, Kolikapa, Towaklaing, dan Enek). Kemudian, berdasarkan Peraturan Daerah ………………, yang diberlakukan pada tahun 19.., ketiga wilayah desa ini ‘dilebur’ lagi ke dalam 2 (dua) desa (baru), setelah mengurangi

2 Ketika diskusi kelompok terarah berlangsung terungkap bahwa pernah terjadi sebuah kasus pembunuhan. Terungkap pula dalam diskusi kelompok terarah ‘kasus pembunuhan’ turut

meningkatkan ketegangan antar warga Mbay I dan Mbay II. Ada dugaan kasus ini terkait dengan kasus sengketa tanah Enek ini.

3 Meski begitu, seorang informan yang sempat diwawancarai ‘mengelak’ untuk mengatakan bahwa (mayoritas) warga Mbay II adalah bagian dari ‘suku Dhawe’ ataupun ‘suku Mbay’. “Kami ini ya suku

Mbay II itulah,” katanya. “Asal kami ya dari Kampung Enek itu,” tambahnya.

wilayah (kampung-kampung) lama/terdahulu dan menambahkannya dengan wilayah (kampung- kampung) baru. Kedua desa itu adalah desa Mbay I (meliputi ‘kampung-kampung’ Nggolombay, Lelak, Mbo’a Tiba, Bo’a Ras, dan Mbo’a Maki); dan Desa Mbay II (meliputi ‘kampung-kampung’ Bago, Kolikapa, Towaklaing, Enek, dan Mbaling). Sementara ‘kampung’ Wundu di masukkan ke dalam wilayah administrasi Desa Dhawe. Pada tahun 1998/1999 lalu, status desa Mbay I dan Mbay II berubah pula menjadi Kelurahan Mbay I dan Kelurahan Mbay II. Meski begitu, sebelum dilakukannya ‘persehatian batas desa’ pada tahun 1992 itu, batas pasti di antara kedua desa itu tidaklah begitu jelas/pasti.

Menurut seorang informan (Yosef Nusa), penetapan batas definitif pada tahun 1992 itu dilakukan tanpa musyawarah dengan warga desa (ketika itu) Mbay II. Penetapan itu hanya dilakukan oleh Camat ketika itu, dengan hanya melibatkan ‘tokoh-tokoh masyarakat’ yang ketika itu menjadi anggota LKMD di masing-masing desa. Pertemuan untuk menetapkan batas defenitif itu tidak melibatkan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Dengan kata lain, penetapan itu hanya melibatkan LKMD yang menurut Yosef Nusa adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Kepala Desa ketika itu dan tidak diakui oleh masyarakatt sebagai pihak yang dapat mewakili kepentingan masyarakat ketika itu.

Menurut Yosef Nusa, karena tidak aspiratif, warga masyarakat memprotes keputusan itu. Pada tahun 1993, untuk merespons keberatan warga desa/kelurahan Mbay II, diadakan pertemuan di Alorongga yang dihadiri para tokoh adat dari Mbay I dan Mbay II, atas prakarsa Pemerintah Desa Mbay I ketika itu. Anggota panitia penyelenggara pertemuan itu diambil dari warga kedua desa yang tengah ‘bertikai’ itu. Ternyata dalam pelaksanaannya masyarakat Mbay

II tidak dilibatkan (Mengapa?). Hal ini menimbulkan protes masyarakat Mbay II. Apalagi dalam pemetaan di Kampung Enek, penitia sempat membongkar salah satu rumah penduduk dengan alasan rumah tersebut berada di jalur jalan yang baru dipetakan itu. Protes masyarakat Mbay II membuahkan upaya pertemuan antara masyarakat kedua desa yang diselenggarakan di Mbay II. Tapi upaya penyelesaian ini macet.

Menurut informasi Lurah Kel. Mbay II sekarang, masalah tanah Kampung Enek ini bisa menimbulkan masalah ‘sara’ (khususnya konflik antar agama). Karena warga masyarakat Mbay I mayoritas beragama Islam, sedangkan mayoritas warga Kel. Mbay II adalah beragama Katolik.

Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam pertemuan di Mbay II itu adalah: Tokoh-tokoh masyarakat kedua desa; Tokoh-tokoh adat kedua desa; Kades kedua desa; Anggota LKMD kedua desa. Upaya lain yang sempat dilakukan warga desa/kelurahan Mbay II adalah melaporkan masalah ini ke DPRD Kabupaten Ngada. Upaya ini dilakukan secara bersama oleh Pemerintah Desa Mbay

II, tokoh adat dan tokoh masyarakat, dan tokoh pemuda. Adapun isi surat dimaksud berintikan bahwa meminta agar persehatian batas desa dibatalkan saja, dan seluruh wilayah Kampung Enek masuk ke wilayah desa Mbay II. Sementara ini, pihak DPRD meminta data-data tertulis tentang kasus dimaksud; minta peta desa, yang kesemuanya telah dipenuhi. Pada tahap selanjutnya pihak DPRD telah pula melakukan peninjauan ke lokasi. Setelah itu, belum ada perkembangan yang lain.

Kasus gugatan Amir Mandar Cs. (Mbay I): Pada tanggal 12 Oktober 1994, Muhammad Nur, lahir di Mbay, jenis kelamin laki-laki, umur 31 tahun, beragama Islam, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, bertempat tinggal di Jalan S. Parman Bajawa, Kelurahan Ngedukelu, Kecamatan Ngadabawa, (ketika itu, pen) Kabupaten Daerah Tingkat II Ngada, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 12 Oktober 1994 No. W.17 – DF – AT.01.10 – 16 – 94, bertindak untuk dan atas nama: Amir Mandar, jenis kelamin laki-laki, lahir di Mbay, umur 74 tahun, beragama Islam, pekerjaan bertani, bertempat tinggal di Kampung Boaras Baru (Dusun Ameaba), Desa Mbay I, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Daerah Tingkat II Ngada, mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri Bajawa.

Muhammad Nur sejatinya adalah anak kandung Amir Mandar. Gugatan mereka itu ditujukan pada 6 (enam) pihak. Lima pihak di antaranya adalah ‘fungsionaris adat’ suku Dhawe; dan satu lainnya adalah Pemerintah Republik Indonesia, cq. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur, cq. Bupati Kepala Daerah Tingkat II Ngada.

Singkat cerita, gugatan Amir Mandar Cs. berpokok pada tanah bekas garapan pribadi (Amir Mandar) seluas 3.600 meter persegi, yang menurut adat Suku Mbay disebut terang, yang termasuk ke dalam tanah-tanah yang dilepaskan Ketua Suku Dhawe kepada Pemerintah Daerah setempat melalui Surat Penyerahan Tanah pada tanggal 14 Mei 1987. Hak penguasaan tanah terang menurut adat suku Mbay tetap berada pada bekas penggarap; tidak ada pihak yang dapat menguasai tanah itu kecuali bekas penggarapnya sendiri. Tanah bekas garapan pribadi itu Singkat cerita, gugatan Amir Mandar Cs. berpokok pada tanah bekas garapan pribadi (Amir Mandar) seluas 3.600 meter persegi, yang menurut adat Suku Mbay disebut terang, yang termasuk ke dalam tanah-tanah yang dilepaskan Ketua Suku Dhawe kepada Pemerintah Daerah setempat melalui Surat Penyerahan Tanah pada tanggal 14 Mei 1987. Hak penguasaan tanah terang menurut adat suku Mbay tetap berada pada bekas penggarap; tidak ada pihak yang dapat menguasai tanah itu kecuali bekas penggarapnya sendiri. Tanah bekas garapan pribadi itu

Tanah-tanah yang kemudian diklaim sebagai tanah adat suku Dhawe, dari sudut pandang suku Mbay disebut sebagai tana sa watu leleng, yang artinya tanah-tanah itu merupakan hak bersama dari seluruh anggota suku Dhawe dan suku Mbay. Ini terjadi karena tanah-tanah itu adalah tanah hasil perang dengan pihak lain di mana suku Dhawe dan suku Mbay melakukan kerjasama. Bahkan, berdasarkan bheak suku Dhawe, tanah sengketa, dan juga tanah-tanah yang ada di sekitarnya, berada di luar yuridiksi hukum adat (klaim tanah) suku Dhawe. Hukum tanah yang berlaku pada tanah sengketa, dengan demikian, selain hukum adat suku Dhawe juga adalah hukum yang berlaku dalam suku Mbay; karenanya dalam penyerahan tanah tahun 1987 itu (belakangan diakui pula sebagai keharusan pada kasus penyerahan tanah 1962) harus melibat pihak suku Mbay.

Namun, menurut pihak tergugat, Syarif Laru Cs., kebenaran adanya pribadi-pribadi yang pernah menggarap tanah sengketa itu diragukan. Tidak ada saksi yang mendukung pengakuan itu. Kalau pun toh kegiatan penggarapan itu ada, tidak mungkin sampai seluas itu, dan kemungkinan besar berada di luar tanah sengketa itu; karena, tanah sengketa itu, setidaknya hingga tahun 1962, masih merupakan hutan. Tanda-tanda tanah sengketa sebagai tanah garapan adalah akibat pengunaan oleh Jepang pada tahun 1942-1943 (dijadikan kebun kapas) dan penggarapan setelah tahun 1962 (setelah tanah diserahkan pada pihak Pemda) bukan sisa garapan dari pihak Amir Mandar Cs.

Penyerahan tanah tahun 1987 adalah pengukuhan (secara administratif) penyerahan tanah pada tahun 1962 sebelumnya; penyerahan mana telah dilakukan secara adat oleh suku Dhawe; melalui Papu Rae (Kepala Suku Tonga Nanga ketika) itu, yaitu orang yang ditunjuk sebagai pihak yang mewakili Suku Dhawe, dan disaksikan oleh penggugat sendiri.

Pada penyerahan tahun 1962 tidak ada keberatan dari mana pun, termasuk dari pihak- pihak yang sekarang mengatasnamakan dirinya sebagai suku Mbay (Amir Mandar Cs.). Jika tanah sengketa adalah bekas tanah garapan, maka menurut adat suku Dhawe itu merupakan ku rebe; menurut adat Suku Dhawe hak penguasaan ku rebe kembali berada pada kepala suku; sehingga kepala suku berhak melepaskan/menyerahkannya kembali kepada siapa saja.

Penyerahan tanah (baik 1962 maupun 1987) adalah sah karena dilakukan secara adat oleh ketua-ketua suku Dhawe, karena memang hanya ada suku Dhawe. Sebenarnya yang disebut suku Mbay tidak ada; yang disebut-sebut sebagai suku Mbay dalam beberapa waktu belakangan ini pada dasarnya adalah apa yang disebut sebagai rumah pokok Rajo Goa, salah satu dari lima rumah pokok yang ada dalam (persekutuan masyarakat hukum adat) suku Dhawe. Sebab itupula ‘Suku Mbay’ telah terwakili dalam rumah pokok Rajo Goa. Karenanya penyerahan tanah 1962 dan 1987 sah, karena ketua suku Rajo Goa turut melepaskan tanah pada tahun 1962 dan 1987 itu. Dengan demikian pemberlakukan hukum adat Mbay pada tanah

sengketa menjadi tidak relevan 4 .

4 Setelah melalui proses persidangan sebagaimana mestinya, dimulai dengan mendengarkan eksepsi dan jawaban para tergugat; tanggapan dan replik dari penggugat; penyampaian duplik oleh tergugat;

mendengar keterangan para saksi yang diajukan oleh kedua pihak yang bersengketa; dan pada akhirnya Penggugat dan Para Tergugat telah pula mengajukan kesimpulannya masing-masing, Majelis Hakim yang mengadili perkara Nomor 9/Pdt.G/1994/PN.BJW itu pada tanggal 4 Februari 1995 memutuskan: (1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya; (2) Menyatakan bidang tanah yang disengketakan itu sebagai milik Penggugat; (3) Menyatakan bahwa Surat Penyerahan Tanah tgl. 14 Mei 1987 batal demi hukum, sepanjang yang menyangkut tanah sengketa; (4) Menghukum Para Tergugat atau siapa saja yang mendapat hak dari mereka untuk menyerahkan bidang tanah tersebut di atas kepada Penggugat dalam keadaan kosong, bila perlu dengan bantuan Angkatan Bersejata Republik Indonesia; dan (5) menghukum Para Tergugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini secara tanggung renteng, sebesar Rp. 88.500,00 (delapat puluh delapan ribu lima ratus rupiah). Para Tergugat tidak menerima putusan itu dan mengajukan banding pada Pengadilan Tinggi Kupang. Setelah mempelajari berkas perkara termasuk turunan resmi putusan Pengadilan Negeri Bajawa Tanggal 4 Februari 1995 No. 9/Pdt.G/1994/PN.BJW tersebut, Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi Kupang melalui surat Putusan Nomor: 52/PDT/G/1995/PTK yang dikeluarkan pada 4

Sejauh yang dapat diamati, kasus ini telah meningkatkan ketegangan sengketa antar suku di wilayah yang bersangkutan. Pucak dari ketegangan ini terjadi dalam pertandingan- pertandingan olahraga antar desa yang diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT RI pada bulan Juli - Agustus 2000 lalu. Khususnya pertandingan antar desa dari suku-suku yang tengah bersengketa dalam perkara No. 9/Pdt.G/1994/PN.BJW itu. Pertandingan-pertandingan olahraga selama keriaan rutin tahunan itu acapkali berubah menjadi arena ‘perang batu’.

Desember 1995 menyatakan tidak sependapat dengan Majelis Hakim peradilan tingkat pertama, dan mengabulkan permohonan banding yang diajukan Para Tergugat. Pengadilan Tinggi Kupang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bajawa Tanggal 4 Februari 1995 No. 9/Pdt.G/1994/PN.BJW; dan menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima; serta menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam peradilan tingkat pertama sebesar Rp. 88.500,00 (delapat puluh delapan ribu lima ratus rupiah) dan dalam peradilan tingkat banding sebesar Rp. 45.000,- (Empat puluh lima ribu rupiah). Keputusan banding Pengadilan Tinggi Kupang ini diambil dengan pertimbangan- pertimbangan yang pada dasarnya bersumber dari dalil-dalil yang diajukan Penggugat sendiri. Adapun dalil-dalil Penggugat yang digunakan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Kupang adalah sebagai berikut: (1) tanah sengketa berasal dari hasil membuka hutan suku Mbay sekitar tahun 1935 dan Pengggat adalah keluarga Suku Mbay; (2) bahwa penyerahan tanah sengketa oleh para tergugat asal I sampai dengan V kepada Tergugat VI tanggal 14 Mei 1987 menjadi tanah negara tanpa ikut sertanya suku Mbay adalah perbuatan melawan hukum. Ternyata, menurut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Kupang, dalam perkara ini Suku Mbay atau keluarga Suku Mbay lainnya tidak ikut serta dalam perkara ini baik sebagai pihak penggugat ataupun sebagai turut Tergugat. Karena itu, menurut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Kupang, surat gugat Penggugat tidak memenuhi syarat-syarat formal suatu gugatan, sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku. Kini giliran Amir Mandar dan anaknya yang tidak puas dengan putusan banding dari Pengadilan Tinggi Kupang. Amir Mandar balik mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI. Sekitar dua tahun kemudian, dengan argumentasi yang persis sama dengan pertimbangan-pertimbangan dalam keputusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Bajawa terdahulu, Mahkamah Agung pun memutus perkara terkasasi itu persis keputusan dari Pengadilan Negeri Bajawa, kecuali yang menyangkut hukuman pembayaran perkara. Pada putusan tingkat kasasi ini para tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara, di samping semua biaya pada semua tingkatan peradilan terdahulu, juga Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) dalam tingkat kasasi. Sekaligus dengan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Kupang tanggal 4 Desember 1995 Nomor: 52/PDT/1995/PTK. Keputusan Mahkamah Agung RI itu tertuang dalam Putusan Reg. No. 1387 K/Pdt/1996. Dengan putusan Mahkamah Agung RI itu kembali Para Tergugat yang tidak puas. Untuk itu, pada tanggal 26 Maret 1999, Para Tergugat asal pun melayangkan surat permohonan Peninjauan Kembali ke alamat Mahkamah Agung RI. Pada tanggal 30 April 1999 Amir Mandar telah pula mengirim jawaban alasan permohonan Peninjauan Kembali atas Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1387 K/Pdt./1996 itu. Hingga akhir September 2000, belum jelas apa keputusan Mahakamah Agung RI atas permohonan PK dari Para Tergugat asal. Yang jelas, melalui surat dari Mahkamah Agung RI tanggal 7 Juni 2000 diketahui bahwa berkas perkara perdata yang dimohonkan pemeriksaan peninjauan kembali telah diterima dan telah didaftar dengan Reg. 141PK/PDT/2000. Ada 15 bukti baru yang dijadikan Tergugat asal sebagai dasar perlunya kasus ini dilakukan Peninjauan Kembali. Tujuh diantaranya adalah surat pernyataan dari berbagai suku, termasuk pihak yang menyatakan dirinya sebagai Pemangku Adat Mbay. Ketujuh surat itu pada dasarnya menyatakan bahwa apa yang disebut Suku Mbay itu tidak ada. Di samping itu dikemukakan pula bukti baru berupa Keputusan Pengadilan Negeri Bajawa No. 13/Pts.Pdt.G/1979/PN.BJW, yang di dalamnya terkandung kesaksisan Yusuf Suku, yang dalam perkara Nomor 9/Pdt.G/1994/PN.BJW menjadi saksi dari pihak Amir Mandar, dalam kapasitasnya selaku Ketua Suku Mbay. Dalam kesaksiannya pada kasus perkara No. 13/Pts.Pdt.G/1979/PN.BJW itu, antara lain Yusuf Suku mengemukakan ‘bahwa tanah-tanah di Mbay adalah tanah Suku Lima dan tanah Todorene (tanah sengketa, pen.) adalah tanah dari suku Rajo Goa. Di Mbay ada lima suku ialah: (1) Suku Kowa Dhawe; (2) Suku Rajo Goa; (3) Suku Tonga Nanga; (4) Suku Tiwu Tasi; (5) Suku Gako Tasi’. Dalam kumpulan alat-alat bukti baru itu terdapat pula 4 surat pernyataan dari 4 orang saksi dari pihak Tergugat asal terdahulu, yang pada dasarnya ingin mengatakan bahwa catatan pengadilan PN Bajawa atas kesaksian yang mereka berikan tidak utuh, sehingga dapat mengaburkan substansi permasalahan, dan memungkin PN Bajawa mengambil keputusan yang keliru.

Banyak pertandingan yang tidak selesai sebagaimana mestinya. Mengingat situasinya dari hari ke hari semakin panas saja, dan untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan di belakang hari, pemerintah Kecamatan Aesesa bersama tokoh-tokoh masyarakat dan pemuda pada akhirnya bersepakat untuk menghentikan dan meniadakan seluruh pertandingan olahraga (lanjutan) -- dan malam kesenian -- yang selama ini rutin dilaksanakan. Dengan demikian, untuk pertama kali dalam beberapa tahun belakangan ini Kecamatan Aesesa absen dari acara- acara yang menjadi simbol kehadiran Nasional dalam kehidupan lokal itu.

Kasus sengketa hak pengelolaan padang garam (Nggolonio): Peristiwa ini mulai terjadi pada tahun 2000 lalu. Kasus ini diawali oleh adanya investor (Koperasi Pakerti Wajah Baru) yang berminat membuka sawah garam di Desa Nggolonio.

Menurut peserta diskusi kelompok terarah yang sempat dilaksanakan, pada masa sebelumnya, semua suku-suku yang ada di desa Nggolonio mengakui bahwa lahan ‘padang garam’ yang sekarang disengketakan itu merupakan tanah hak adat Suku Nggolonio. Namun, ketika pengusaha melirik padang garam sebagai lahan industri yang dapat mendatangkan devisa maka muncullah suku (lain?) yang ingin menguasai hak atas padang tersebut.

Pada awalnya, untuk membuka padang garam itu, pengusaha bermusyawarah dengan masyarakat, tokoh adat dari setiap suku yang ada di desa Nggolonio, serta pemerintah. Dalam musyawarah itu telah disepakati untuk memberikan hak pengelolaan kepada investor dimaksud. Penyerahan hak pengelolaan kepada pihak Koperasi Pakerti Wajah Baru itu dilakukan dengan upacara adat.

Proyek ini diawali dengan kegiatan sosialisasi. Sosialisasi berlangsung sekitar awal tahun 2000 s/d Mei 2000. Sosialisasi itu dilakukan oleh tim dari kabupaten dan Badan Pengelola Kapet Mbay. Sampai dengan bulan Mei 2000 terjadi kesepakatan antara investor dan masyarakat Nggolonio tentang mekanisme pengelolaannya.

Pada bulan Mei 2000, masyarakat membuat upacara adat di lokasi padang garam. Untuk sementara waktu masyarakat, melalui Kades, memberikan peluang kepada investor untuk merekrut tenaga kerja dari luar desa dalam pengerjaan lokasi percobaan sebanyak 3 Ha. Karena masyarakat sedang sibuk dengan kegiatan adat dan kegiatan desa.

Pada bulan Agustus 2000, pengerjaan dimulai dan tenaga kerjanya berasal dari luar desa (dari translok). Pada hari kedua, para pekerja ini dicegat oleh beberapa orang dari suku Bhicu. Sementara suku lainnya tidak tahu bahwa adanya pencegahan oleh warga suku Bichu itu. Karena pencegahan ini pihak pengusaha langsung tidak melanjutkan pekerjaannya. Hingga sekarang. Hal ini menjadi tanda tanya bagi masyarakat dusun Nggolonio dan kemudian menimbulkan masalah. Masyarakat Suku Nggolonio merasa dirugikan oleh tindakan suku Bichu ini.

Menurut peserta diskusi kelompok terarah yang sempat dilakukan (non suku Bhicu) meski ada warga Suku Bichu yang tinggal dan menjadi warga desa Nggolonio, suku Bichu tidak diakui sebagai pihak yang mempunyai ‘hak kuasa’ dalam hal tanah di desa Nggolonio itu. Termasuk lahan padang garam yang disengketakan itu. Namun, menurut seorang informan, Remigius Nelu, ………………………………. (identitas informan dimaksud), Padang garam ini sebenarnya milik bersama masyarakat Desa Nggolonio (semua suku). Termasuk suku Bhicu yang tinggal di desa Nggolonio sekarang. Semua suku mempunyai hak yang sama terhadap padang garam ini.

Menurut beberapa pihak masalah ini terjadi karena informasi mengenai sosialisasi proyek yang diselenggarakan secara mendadak, sehingga, walaupun yang diundang adalah semua unsur, banyak warga yang tidak “siap” menghadapi rencana itu. Konon, anggota suku Bicu yang hadir sangat sedikit. Sosialisasi proyek dilaksanakan oleh petugas dari BP Kapet Mbay yang ada di Kecamatan, Bappeda Kabupaten Ngada, dan beberapa orang lain lagi. “Waktu sosialisasi semua masyarakat diundang, pokoknya dari semua unsur, diantaranya adalah ketua masing-masing suku. Termasuk mereka yang dari suku Bhicu,” kata Remigius Nelu. Namun Nelu menambahkan pula: “Ada dua kelemahan sehingga sengketa itu terjadi. Yaitu: dari segi masyarakat adalah karena pemahaman mereka yang belum memadai. Kesalahan pemerintah adalah informasi tentang adanya sosialisasi memang sangat mendadak sehingga banyak masyarakat yang tidak bisa menyiapkan waktu untuk mendengarkan sosialisasi tersebut. Bahkan sekarang orang mulai mempermasalahkan tempat sosialisasi yang dilaksanakan dri Dusun Nggolonio dan bukannya di kantor desa. Inilah akar ketidakpuasan masyarakat tertentu. Mereka tunggu pada saat pelaksanaan, baru mereka mengambil tindakan,” ungkap Remigus Nelu. “Pilihan tempat sosialisasi ini kemudian disalahartikan warga suku Bhicu sebagai wujud tidak adanya pengakuan atas hak mereka terhadap padang garam,” lanjut Remigius Nelu. “Padahal, ini dibuat berdasarkan tuntutan situasi saat itu yang informasinya sangat mendadak.

Pelaksanaan sosialisasi di dusun Nggolonio tidak ada maksud lain. Tapi soalnya justru ini dicurigai oleh orang-orang dari suku Bichu. Yang hadir dari suku Bchu sangat sedikit. Mereka inginkan supaya sosialisasi dilaksanakan di Kantor Desa. Mereka mencurigai pelaksanaan sosialisasi di dusun Nggolonio itu sebagai ungkapan bahwa orang Nggolonio tidak mengakui hak mereka atas padang garam. Padahal sebenarnya ini terjadi hanya karena tuntutan situasi,” tambahnya.

Ketika sosialisasi dilaksanakan Suku Bichu yang hadir jumlahnya sedikit. “Di akhir pertemuan mereka tidak bersedia atau tidak turut ‘menandatangani’ atau memberi paraf tanda kehadiran pada Daftar Hadir. Kami tanya alasan mereka, tetapi mereka tidak memberikan jawaban yang jelas, apa maksudnya mereka tidak mau tandatangan, “ cerita Remigius Nelu lebih lanjut.

Dengan alasan-alasan yang tidak diketahui oleh pihak-pihak yang sempat diwawancarai maupun yang ikut dalam diskusi kelompk terarah yang dialkukan, ketika sosialisasi yang kedua kalinya, warga suku Bhicu tidak datang lagi.

Maka, setelah pengerjaan memasuki hari kedua, aksi pencegatan oleh suku Bihicu pun terjadi. “Pencegatan inilah yang membuat Joko dan Seli (Ketua Koperasi, pen.) minggir dari sini. Tapi kami sampai saat ini tidak tahu siapa-siapa yang mencegat Pak Seli dan kawan-kawannya itu. Pokoknya ada pihak ketiga. Nama-nama orang yang mencegat itu belum dapat dipastikan. Tapi yang jelas bahwa mereka berasal dari suku Bhicu, yang tinggal di Nanganumba,” kata Remigius Nelu.

Setidaknya ada 9 pihak yang terlibat dalam masalah ini. Masing-masing adalah (1) Warga suku Bhicu (terutama yang berada di Nanganumba); (2) Warga dusun Nggolonio; (3) Pemerintah desa Nggolonio; (4) Pemerintah kabupaten Ngada; (5) Investor, dalam hal ini adalah Koperasi Pakerti Wajah Baru; (6) Tokoh agama; (7) Tokoh adat; (8) Forum Pemuda Peduli Pembangunan Pedesaan; dan (9) BP Kapet Tk. Kecamatan.

Adapun latar belakang masing-masing keterlibatan para pihak itu adalah (mengikuti nomor urut sebelumnya): (1) Sebagai pihak yang merasa haknya atas padang garam tidak diakui, yaitu dengan diadakannya sosialisasi yang berlokasi di dusun Nggolonio bukan di kantor desa; (2) Sebagai pihak yang dari awal telah “siap” dengan keberadaan proyek, tetapi kemudian ditinggalkan oleh pihak investor; (3) Sebagai pihak yang mewakili masyarakat Nggolonio dalam berhadapan dengan pemerintah di tingkat yang lebih tinggi dan dengan pihak investor; (4) Sebagai pihak yang membawa dan mengenalkan program Kapet Mbay; (5) Sebagai pihak yang akan mengelola pengerjaan padang garam; (6) Sebagai tokoh masyarakat; (7) Sebagai tokoh masyarakat; (8) Sebagai pihak yang berusaha untuk menengahi konflik antara suku Bhicu dan dusun Nggolonio; dan (9) Sebagai pihak yang memberikan sosialisasi program Kapet Mbay. Bentuk ikatan masing-masing pihak yang terlibat tersebut adalah (mengikuti nomor urut sebelumnya): (1) Ikatan suku, yang minoritas secara jumlah dibandingkan dengan suku lainnya; (2) Ikatan beberapa suku yang menjadi warga desa; (3) Ikatan suku dan kelompok stasi; (4) Ikatan tugas; (5) Ikatan bisnis; (6) Ikatan suku; (7) Ikatan suku dan kelompok stasi; (8) Ikatan beberapa suku yang menjadi warga desa; dan (9) Ikatan tugas.

Untuk menanggulangi masalah ini telah dibentuk sebuah forum dialog, yaitu Forum Pemuda Peduli Pembangunan Desa Nggolonio, yang terdiri dari kaum muda dan berasal dari suku-suku yang ada di Nggolonio. Forum ini dideklarasikan Tgl. 26 Desember 2000. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Forum ini adalah berusaha mempertemukan tokoh-tokoh suku Nggolonio dan suku Bhicu untuk melakukan musyawarah. Mereka melibatkan pula unsur- unsur kepala desa, dan stafnya, RT, RW. Namun sampai saat ini suku Bhicu sendiri tidak bersedia melakukan masyawarah ataupun sekedar bertemu.

Menurut Remigius, “Kami diundang untuk pertemuan namun kami tidak tahu apa tujuan pertemuan itu. Mereka mulai memperkenalkan forum tersebut yang tujuannya mengupayakan agar padang garam dikelola kembali dan membentuk pengurusnya. Saya hanya meminta kepada pengurus yang lima orang itu: “Kalau proyek pengelolaan garam ini dimulai kembali, tolong kamu lima orang itu tunjukkan tempatnya”. Tapi mereka tidak berani untuk tunjukkan tempatnya. Saya peringatkan: “Jangan pernah boleh tunjuk tempat yang sudah dibuat upacaranya”. Kalau tempat lain boleh saja. Karena kita sudah buat upacara dan orang sudah mulai kerja”. Pertemuan ini tidak ada hasilnya. Sebenarnya, menurut Remigius Nelu, upaya forum pemuda ini merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah yang ada. “Namun langkah-langkah yang mereka tempuh sangat mencurigakan,” ujar Remigius Nelu. Bahkan, menurut cerita Nelu, “Tua adat di sini, Bpk. Markus, pernah memberikan himbauan kepada masyarakat di sini. Dia katakan: “ Ine- ema, anak-impo, ite re one Nggolonio, sudahlah tidak usah terlalu jauh berfikir ke sana, sudahkah kita siap menanti?”.

Pelopor pembentukan forum adalah: (1) Ambros (Sekdes sekarang dan juga Ketua Stasi); (2) Patris; (3) Mikhael Laka; (4) Pit Jo; (5) Koornelis Kamatoyo; (6) Yeremias Bare. Forum ini pun akhirnya tidak berjalan. Menurut Remigous Nelu, “Penyebabnya adalah orang kami sendiri, yang maunya menjadi Kepala Suku di desa Nggolonio. Suku Bhicu maunya diangkat menjadi pengatur tanah di Nggolonio. Tapi boleh saja dia mau begitu, tapi dasarnya apa? Sebenarnya kita sudah tahu, termasuk juga orang suku Bhicu, tentang siapa sebernarnya yang berhak. Kita kan ada pembagian peran. Masing-masing suku ada tugasnya berkaitan dengan upacara-upacara. Saya menduga mereka mengangap diri sebagai orang yang berhak kakrena mereka yang paling pertama menetap di dataran ini. Tapi di forum-forum resmi mereka tidak mengungkapkan itu. Di luar forum mereka omong banyak, maunya kami orang suku Bhicu disebutkan sebagai orang yang pertama. Status ini juga tidak jelas karena sebelum mereka menetap di sini, tempat ini sudah ada orang lain dari Mbay sana. Dari dulu mereka tidak bantah mengenai status, peran masing-masing suku berkaitan dengan upacara, termasuk upacara di PG itu. Kaget sekarang mereka mulai tidak terima. Sebenarnya ini adalah ‘politik anak ingusan’. Saya peringatkan kepada tokoh-tokoh adat, tua-tua, sepaya kalau ada rencana untuk memulai kembali pengelolaan PG, tolong sampaikan siapa yang kelola. Kalau yang datang adalah Joko dan Seli serta alat-alat beratnya maka boleh diterima. Dari dulu kalau ada yang bentrok pasti ada karmanya dari nenek moyang”.

Menanggapi upaya untuk merintis kembali kegiatan pengolahan padang garam pihak Remigus Nelu mengatakan: “Kami masyarakat Nggolonio tidak mau kalau kami dipermainkan. Kami tidak mau diperlukan seperti pisang goreng yang dibolak-balikkan”. Kami hanya menuntut supaya mereka menunjukkan lokasi yang baru, jangan tunjuk lokasi yang sudah dibuatkan upacaranya”.

Meski begitu Remigius juga mengakui bahwa “sebenarnya orang Bhicu itu bukan mencari keuntungan ekonomis tetapi hanya ‘nama’, karena sebenarnya mereka yang paling kecil jumlahnya di Nggolonio dan selama ini tidak mendapat peran. Ketika ada Musbangdes pemerintah meminta supaya setiap suku menyodorkan programnya. Semua suku memberikan programnya termasuk rencana upacara adat namun orang suku Bhicu tidak pernah memberikan program”.

Hingga penelitian lapangan LLI (2) ini berakhir, sengeta ini belum selesai atau belum ada jalan keluarnya. “Posisi kami setelah pencegatan itu hanya tunggu saja undangan Seli dan Joko,” kata Remigius Nelu.

Kasus sengketa lahan antara Suku Rendu dan Suku Raja (Langedhawe): Kasus ini sudah mulai terjadi sejak tahun-tahun akhir era tahun 1960-an lalu. Lahan yang dipersengketakan adalah lahan yang disebut Nata Bidha. Nata Bidha adalah sehamparan lahan pertanian yang semula merupakan lahan pertanian Suku Rendu. Di hamparan ini terdapat pula beberapa wilayah yang merupakan tempat penyelenggaraan ritual keagamaan Suku Rendu. Kasus ini diawali oleh kebijakan Pemda Ngada untuk lebih memaksimalkan penggunaan lahan di daerah itu. Kebijakan itu berupa upaya pencetakan sawah baru. Sawah-sawah baru yang dibuka melalui proyek pemerintah Kab. Ngada itu kemudian dibagikan pada warga yang berasal dari suku Raja. Kebijakan ini berkaitan dengan makin banyaknya penduduk desa Raja (pusat Kec. ………… ) dan beberapa desa lain yang ada di sekitarnya, sementara lahan garapan terasa makin terbatas.

Pada tahun-tahun akhir era tahun 1960-an itu, di bawah ‘restu’ Pemda Ngada dan ‘pengawalan’ aparat keamanan, sedikit demi sedikit namun pasti, warga suku Raja mulai menggarap bidang-bidang lahan yang ada di Nata Bidha. Termasuk lahan-lahan yang berada di luar proyek pengembangan pertanian yang disponsori Pemda Ngada. Diiringi dengan berbagai bentuk intimidasi sedikit demi sedikit namun juga pasti warga suku Rendu mulai tersingkir.

Pada tahun 1969 mulai ada protes dari warga suku Rendu. Melalui Pemda Kab. Ngada warga suku Rendu minta warga suku Raja keluar dari tanah warisan nenek moyangnya itu. Bersamaan dengan itu beberapa warga suku Rendu kembali menggarap tanah-tanah di Nata Bidha. Beberapa di antaranya adalah lahan yang juga tengah digarap suku Raja. “Tapi, pihak Pemda dan keamanan, tampaknya lebih berpihak pada suku Raja. Protes kami bukannya ditanggapi dengan mengusir orang suku Raja tapi malahan kami yang didesak agar mau melepaskan tanah adat kami itu secara adat, walaupun dengan cara-cara yang penu penipuan,” cerita Vincent Mosa Foa, warga suku Rendu yang sekarang ini jadi ‘motor’ masyarakat Rendu untuk memperjuangkan tanah adat yang telah dirampas oleh suku Raja itu kembali (Vincent ditunjuk secara adat untuk menjadi juru bicara dan ‘komandan’ berbagai upaya untuk pengembalian tanah adat suku Rendu).

Upaya warga suku Rendu untuk mengembalikan tanah adatnya itu adalah awal dari penderitaan yang berkepanjangan hingga hari ini (2001). Pada tahun 1969, upaya pendudukan kembali tanah adat Suku Rendu oleh warga suku Rendu dibalas dengan berbagai tindakan intimidasi hingga penganiayaan. Pada suatu kejadian pada tahun itu ada 3 warga, yang menjadi motor perjuangan, yang menjadi korban tindakan penganiayaan. Karel Tuza, Piet Tae, dan Bernabas Bope, disergap dikebunnya masing-masing. Meski mereka sempat melarikan diri, setelah diburu-buru oleh banyak orang, beberapa di antaranya kemudian dikenal adalah petugas keamanan yang masih aktif, ketiganya ditangkap dan kemudian dibawa ke Raja. “Karena tetap bekerja, akhirnya mereka bertiga dikejar sampai ke Rendu Ola. Penganiayaan ini disaksikan oleh Mathias Djawa yang kebetulan lewat di tempat kejadian sewaktu pulang sekolah. Ia melihat bapaknya (Barnabas Bope, pen.) sedang dianiaya oleh polisi, dipukul dengan mengunakan bambu yang panjang + 2 meter. Barnabas Bope hanya melipat tangan dan bergeming. Darah bercucuran di kening karena didera dan dihantam terus dengan bambu yang sudah pecah. Hal ini mengerikan warga di Rendu Ola hingga hari ini,” cerita Vincent Mosa Foa.

Di Raja mereka disekap, direndam dalam air, tidak diberi makan, dan dipukuli. Penganiayaan ini berangsung hingga keesokan harinya. Akibat berbagai tindakan kekerasan ini gigi Karel Tuza rontok semua, hingga tidak bisa makan untuk beberapa waktu. Ketika dilepas keesokan harinya ketiganya dikenakan wajib lapor atas kesalahan yang tidak jelas dan tidak dapat diterima. Mereka juga dengan tegas dilarang melanjutkan kegiatan di Nata Bidha.

Dalam proses itu dikatakan pula bahwa ketiganya telah membangkang terhadap kebijakan pemerintah. Dikatakan membangkang karena, menurut pihak yang memproses ketiga ‘pemberontak’ itu, lahan Nata Bidha sudah dilepaskan secara adat kepada Pemerintah. Karena sudah dilepaskan maka Pemerintah bebas membagikannya pada pihak-pihak yang dianggap pantas oleh pihak Pemerintah. Padahal, menurut para akktivis suku Rendu, penyerahan itu tidak pernah ada. Hanya saja memang ada kejadian, itu berlangsung dalam proses penyelesaian kasus dimaksud, di mana pihak suku Rendu menyerahkan mekanisme penyelesaian kasus itu pada pemerintah. “Masyarakat taunya itu urusan Pemerintah. Masyarakat percaya pada Pemerintah. Jadi, yang diserahkan adalah mekanisme penyelesaiannya. Bukan tanahnya,” kata Vincent. “Tapi, maklumlah, tua-tua adat kami ini kan ‘orang bodoh’, tidak ada yang bisa baca tulis. Di suruh tanda tangan, ya tanda tangan. Tidak tahu apa isi surat yang ditanda tangani. Boleh jadi ada yang menukar maksud isi surat-surat itu. Tua-tua adat kami itu tanda tangan saja tidak bisa. Ada tanda tangan yang dipalsukan. Ada juga yang dipaksa untuk memberikan cap jempol,” jelas Vincent.

Sejak kejadian yang menimpa Karel Tuza Cs., praktis tidak ada perlawanan lagi dari warga suku Rendu. “Masyarakat benar-benar takut akibat penganiayaan tahun 1969 itu,” kata Vincent. ‘Perlawanan’ baru mulai ada lagi pada tahun-tahun awal 1990-an, sekitar 20 tahun setelah kejadian yang menimpa Karel Tuza Cs.

Æ mengapa ada perlawanan baru? Siapa yang mulai. Dll. …. …… …… ……. Perlawan baru itu menghasilkan pertemuan di Dena Nunu yang berlangsung tgl. 1993. Pertemuan itu diprakarsai oleh ………………………… Hadir dalam pertemuan itu ……………………… Dalam pertemuan itu warga rendu yang hadir …………………. Dalam pertemuan mereka membacakan semboyan yang dianggap dapat memicu kebangkitan perjuangan suku Rendu. Isinya demikian: “Memang aku rela membelat anah tumpah darah. Tetapi tanahku tidak saya muliakan lebih tinggi dari keadilan. Sebab keadilan itu lekat di puncak tanah tempat darah tertumpah”. Dibacakan juga: “Tidak sesuatu barang lebih lemah dari air,

tapi tak ada sesuatu lebih kuat daripadanya, untuk mengalahkan barang keras, kelembutan mengalahkan kekerasan, kebaikan hati mengalahkan kekasaran”. Pertemuan Dena Nunu ini dilanjutkan dengan pertemuan tanggal 29 November 1993. Pertemuan ini sendiri membahas rencana renovasi peo. “Sejak tahun 1969 tidak ada lagi yang pertemuan-pertemuan mengenai kebersamaan kecuali mengenai adat,” jelas Vincent.

Atas upaya-upaya perlawanan baru itu, kasus teror dan penganiayaan kembali terjadi pada tgl. 14 Desember 1993. Kali ini warga Rendu yang dianiaya adalah anak-anak korban penganiayaan yang terjadi pada tahun 1969. Masing-mamsing adalah Abi Teke, anak Piet Tae; dan Anzel Mane, anak Barnabas Bope (Karel Tuza tidak mempunyai anak). Keduanya dipukuli hingga terluka. Sebelumnya, keduanya juga pernah dirampas (uang tunai). Pernah juga barang- barang dagangan mereka dirampas di tengah jalan, ketika keduanya sedang menuju pasar untuk menjual barang-barang jualannya.

Dalam kejadian tgl. 14 Desember 1993 itu turut pula dianiaya Fabiaus Teke, Laurencius Sa, Kanisius Kewa. Mereka ini dihadang di tengah jalan, ditangkap, lalu dianiaya. “Jumlah uang yang terampas + Rp 10.000,-. Juga berikut sarung dua lembar, dan puluhan kilogram kemiri. Sorenya mereka diantar pulang aparat desa. Pada waktu pulang dari Rendu Ola, mereka (warga

Raja yang menganiaya warga Rendu yang berjumlah 36 orang) membakar habis pondok Simon Raja yang saat itu penuh berisi padi, jali, dan jagung,” cerita Vincent.

Pada tgl. 28 Januari 1995 penganiayaan kembali dialami warga suku Rendu. Kali ini dialami oleh Vincent Mosa Foa sendiri. Vincent dicegat dan ditangkap di Watu Bhara, daerah yang menjadi titik batas antara wilayah Rendu dan Raja. “Waktu itu saya sedang datang meninjau masyarakat Rendu yang sedang melaksanakan penghijauan. Melanjutkan penghijauan tanggal 27 Januari 1995 (hari Penghiajuan Nasional), atas kerjasama program desa. Saat itu saya sedang membuat foto dan mewawancarai mama Lena Ria yang diteror dan diintimidasi. Sewaktu saya berada di situ, ada tentara dan polisi yang berboncengan (3 motor). Mereka menyuruh untuk jangan bergerak. Pada saat itu belum reformasi. ‘Kamu orang pintar, jangan lari”.

Kemudian mereka mengikat saya dengan tali kuda Rafael Amekal (mantan kepala desa). Saya tolak dan lari. Saya bilang kalau saya diikat, lebih baik saya mati. Saya mau jalan. Akhirnya saya berjalan sambil digiring oleh dua petugas. Sambil berjalan mereka menendang dari belakang. Orang-orang Raja yang sudah membentuk pagar betis dan menonton itu mencabut rambut saya. Begitu tentara datang, mereka membludak keluar, datang ke wilayah Rendu. Jadi mereka ini berlindung di balik tentara dan polisi,” cerita Vincent mengenang- ngenang kejadian yang pernah menimpanya. Matanya tampak menerawang jauh dan berkaca- kaca.

“Saya kemudian di bawa ke Raja. Terus dianiaya oleh sekian banyak perempuan yang meludahi saya. Waktu itu sambil menunggu oto saya meminta untuk berteduh, tetapi ditolak oleh seorang ibu. “Tidak, tidak boleh. Ini orang tidak layak di saya punya rumah, biarlah dia di luar”. Akhirnya saya diam, sambil berdiri di luar dan mendapat cercaan serta caci maki.

Oto datang, saya dimuat sampai Boawae. Ke Koramil, di sana saya dilucuti pakaiannya satu-persatu. Diperiksa dan dicari jangan sampai ada batu kebal atau jimat. Ternyata tidak ada dan saya hanya tinggal memakai celana cawat. Saya langsung digiring ke ruangan. Yang melucuti pakaian itu polisi bernama Awis (Babinsa). Dia yang pertama melucuti dan yang pertama menghantam saya. Kemudian dilanjutkan oleh pegawai kecamatan, terus kemudian polisi Nderi.

Yang menganiaya saya di Boawae adalah Awis, Kapolseknya, Joochin Nderi (polisi), dan satu dari Bali (kalau tidak salah Imran Bali). Mereka menghantam saya setengah mati. Dihantam di bagian perut, kemudian pingsan. Disiram dengan air, lalu dihantam lagi sampai babak belur.

Terus saya dimuat dengan oto ke Kodim di Bajawa. Sesampainya di sana saya dimasukkan ke dalam sel. Di sana saya digilir dipukuli dan diinjak-injak (hanya tentara, saya tidak tahu). Dari situ saya diantar ke Intel Zainal Abidin. Saya ditonjok dan dipukul. Kasie Intelnya, Nyoman, menginjak kaki saya. ‘Ini orang kebal atau tidak?” Kemudian saya dipukul. Adnan juga berkata,”Kalau dia tidak ini (punya jimat maksudnya, pen.), potong saja kupingnya”.

Sekitar jam 7 malam, bibir saya sudah bengkak, babak belur, mata memar. Mereka memberi saya makan. Karena sakit saya tidak memakannya. Mereka memaksa saya makan. Akhirnya dengan rasa perih, saya makan makanan yang pedas itu.

Setelah selesai saya disuruh tunggu di luar, di pos jaga yang terletak di halaman Kodim. Saya kedinginan, cape, lelah. Saya diledekin oleh satu anggota,”Kamu berdoa ya Vincent”. Saya bilang saya tidak berdoa, saya mengantuk, sakit, karena kedinginan.

Dari Kodim saya dibawa ke kantor polisi. Di Polres saya tidak dianiaya. Besok saya menandatangani surat titipan. Isinya bahwa saya meminta bantuan polisi dan itu mereka yang konsep. Sehingga saya menjadi titipan Kodim. Sejak saat itu saya ditahan polisi untuk ditanya sana-sini,” cerita Vincent berpanjang-lebar.

Sementara itu, sehari setelah Vincent ditangkap, berita penangkapan Vincent telah beredar di seluruh desa-desa suku Rendu (awilayah adat suku Rendu terbagi kdalam 5 desa). Upaya pembebasan Vinceent pun digagas. Ada 82 orang yang terkumpul untuk mencari Vincent. Menurut cerita Bernadus Geru, jelaskan indentitasnya ……….., “kami ke Rendu Ola (kampung asal suku Rendu dan kampung adal Vincent) tanggal 29 Januari 1995. Itu hari Minggu). Sampai di sana mereka ada yang cerita, ada yang menangis, Vincent sudah dianiaya.”

“Kami mulai berkumpul di rumah adat, di rumahnya Bernadus Bhia. Kami bahas, bagaimana ini kita punya anak dianiaya. Entah masih di Boawae atau sudah di Bajawa. Lalu bersepakat untuk pergi mencari ke polisi, tentara, atau di rumah sakit. 89 orang langsung berangkat ke Boawae. Di tengah jalan ada 7 orang yang kembali, sehingga tinggal 82 orang yang melanjutkan perjalanan.

Di Boawae kami langsung ke polisi dan ke kecamatan, tetapi katanya Vincent sudah di Bajawa. Waktu itu datang juga tentara satu oto dari Bajawa, lalu merampas kami punya parang. Demikian juga bersamaan dengan datangnya Camat Aesesa dan Kapolres Aesesa Gaspar Doke.

Camat Aesesa melihat Bernadus Bhia lalu berkata, ”Ambil ini Garuda, kau lagi (maksudnya: kamu saja, pen.) yang jadi Camat”.

Tentara dari Bajawa ditambah dengan polisi. “Kamu orang Rendu, berhenti di jalan, tidak boleh lari kiri kanan.” Kami tidak bisa buat apa-apa. Lalu kata tentara: ”Buat apa kamu cari Vincent? Vincent itu buronan. Kamu percaya lagi dia, kamu ikut boleh lagi (ikut ditangkap, pen.)”. Kami ini orang bodoh, tapi kami kasihan dia. Semua orang Rendu punya barang dirampas (ali, parang), juga dihantam dan dipukul oleh tentara dan polisi yang ada.

Setelah di Boawae, 82 orang Rendu tadi diantar ke Aesesa. Masih juga didera oleh Gaspar Doke (siapa dia?) dengan berkata: ”Kamu orang Rendu bodoh, ikut lagi Vincent.” Rombongan warga Rendu itu kemudian dibubarkan. Tetapi keesokan harinya wajib lapor jam 07.00 pagi. Keesokannya, 30 Januari 1995), 82 orang itu datang menghadap Polsek. Pada kesempatan itu Polsek berpesan agar besok lusa tidak boleh buat lagi (maksudnya mencari Vincent). “Kalau buat lagi, kami anggap kamu ini yang buat. Nama-nama kamu sudah dicatat semua,” tutur Bernadus Geru.

Upaya meneror warga Rendu terus berlanjut. Pada tanggal 8 Februari 1996, Bupati ke Jawa Kisa (jelaskan posisi desa ini dalam kaitan konflik Rendu – Raja ini). Bupati menyertakan Vincent dalam rombongannya. Padahal statusnya masih tahanan Polres Bajawa. Dalam dialog dengan warga Jawa Kisa Vincent kemudian dipermalukan Bupati. “Saya dicerca dan digosipkan sebagai buronan dan macam-macam. Tapi Bupati diteriaki masyarakat. Kadang- kadang dalam perjuangan semacam ini, nenek moyang juga ikut merancang. Pak Bupati (John Nani Aoh, pen.) mengatakan: ”Kamu mau lebih percaya Vinsen atau percaya Bupati?. Kalau lebih percaya Vinsen, sekarang saya pulang,” . Waktu itu semua masyarakat yang hadir berteriak: ”Huuuuu…!”

Bupati juga mengatakan: “Tidak ada pemerintah yang menyengsarakan rakyatnya sendiri,” . Ah, itu kan kata-kata yang biasa diucapkan untuk menarik perhatian rakyat. Karena itu pada saat kunjungan DPR saya menyatakan: Kami masyarakat adat selama ini kami merasa tidak merdeka, bahkan kami dijajah oleh pemerintahan sendiri. Pemekaran desa, seperti di Rendu ini, bagi kami adalah politik devide et impera,” kata Vincent.

Tanggal 12 Februari 1995 Vincent dilepaskan tanpa ada proses. Vincent diantar pulang ke Rendu oleh tentara, polisi, dan warga Raja. “Mereka itu adalah Goris Ngoe (pamong praja), Yohanes Mamo (tentara), Rafis Bota (hansip), Erwin (polisi), Rafael Amekae, Balteson Laga, Weus Jo, As Raja, dan Frans Doi datang mengantar Frans Teke (salah satu korban penganiayaan) ke Rendu Ola agar supaya orang Rendu tenang, damai. Begitu pula dengan pembakaran pondok yang mereka lakukan, “ lanjut Vincent menceritakan pengalamannya.

Æ entah bagaimana latarbelakang kejadiannya Æ 6 September 1998 ada pertemuan kampung di Rendu Ola bersama LBH Nusra. 8 September 1998 warga Rendu melakukan unjuk rasa di kecamatan Aesesa. Ketika itu kebetulan ada kunjungan perdana Gubernur (ketika itu ………………………). Dalam unjuk rasa itu warga Rendu mengusung spanduk-spanduk bertulisan: “Kembalikanlah Tanah Adat Rendu yang Dirampas Pemda dan Orang Raja”; “Di atas tanah Suku Rendu Telah Dibangun Ketidakadilan”; dan “Tanah Adat Rendu adalah Masalah Nepotisme Pemda Ngada”. Lanjutan dari aksi itu, pada tgl. 17 September - 18 September 1998, warga Rendu memasang papan tanda batas lahan yang bertulisan: Disinilah Batas Tanah Adat Rendu dengan Raja”.

Setelah papan tapal batas terpasang doa puji-pujian pun dipanjatkan. “Tiba-tiba mereka (orang Raja, pen.) datang, “ kata Vincent. “Ada yang caci maki, suruh serang,” lanjut Vincent. Menurut Vincent, Orang Rendu tenang saja, karena mereka yakin tidak bersalah, dan karena itu adalah tanah Rendu. “Yang paling ditakuti oleh masyarakat Rendu adalah tentara, karena pernah trauma dengan tentara,” kata Vincent.

Lebih jauh Vincent bercerita: “Rendu hanya bawa satu dua parang. Orang Raja sebenarnya takut juga. Yang buat kekeliruan adalah Meka Viktor Ara (siapa dia?). Dia melakukan, dalam bahasa adatnya, ‘buka pintu’. Sebenarnya untuk menjemput orang-orang Raja. Padahal orang Raja takut maju lebih jauh,” kata Vincent dalam nada menyesal. “Semua orang sudah pada takut. Termasuk Viktor Ara. Untuk menenangkan warga, saya bilang: ini tidak apa-apa. Ini sudah jaman reformasi,” kata Vincent.

Menurut cerita, setelah rombongan pertama datang, berikutnya datang pula orang Raja dalam jumlah yang lebih banyak. Mereka langsung menyerang. Mereka mulai menganiaya. Yang pertama dianiaya adalah Vincent. “Rupanya mereka punya target bahwa Vincent harus mati,” kata Vincent menjelaskan mengapa dirinya yang pertama diserang. Ada yang menghantam kepala, ada yang memukul dari belakang. Beberapa sabetan parang melukai Vincent. Konon, Vincent diam saja dan tidak menjerit. “Suara teriakan karena sakit terdengar di mana-mana. Perempuan diraba segala macam,” cerita Vincent.

“Polisi datang, kami digiring pergi ke oto. Yang parah dalam penganiayaan itu saya (Vincent): kaki patah, perut kembung, mata dan kepala memar. Fodelis Nole, tangan patah. Servas Padha, tulang belikat patah dan kepala kena parang. Thomas Kaju, kena parang di hidung dan mati. Ia meninggalkan satu istri dengan lima anak. Markus Mosa, kena di kepala. Sampai sekarang seperti orang kena stroke, jalannya tertatih-tatih. Istri saya juga dianiaya. Ia diikat, ditarik dengan kuda, dan diraba-raba dua bagian tertentu tubuhnya oleh Ansel Keli. Juga beberapa perempuan lainnya,” tutur Vincent menguraikan data-data korban dalam ‘pertempuran’ itu. Padahal, ketika itu, istri Vincent tengah hamil muda.

“Sampai di oto istri saya masih kena tusukan bambu/kayu di matanya hingga berdarah. Tetapi oto jalan terus ke Boawae, menuju kantor Polsek. Visum di puskesmas Boawae, kemudian dibawa ke Bajawa. Di Boawae ia masih menjerit terus. Mungkinnya usus bocor. Sampai di pos polisi terus di bawa ke rumah sakit. Tanggal 22 September 1998, dirujuk ke Ruteng dan dioperasi di sana karena usus bocor. Mengenai biaya, saya harus mengeluarkan dana 4 juta rupiah. Menuntut pihak Pemda, nanti akan ganti. Kenyataannya sampai sekarang tidak ada realisasinya. Akhirnya biaya ditanggung sendiri,” kata Vincent menjelaskan derita yang dialami istrinya. Untunglah kehamilan istri Vincent tidak terganggu. Anak pertama Vincent akhirnya lahir dengan selamat.

Kasus ‘pertempuran’ ini pun kemudian berakhir begitu saja. Tidak ada pihak yang diusut oleh pihak yang berwenang. Padahal ada korban meninggal dunia. Vincent pun ‘menyuarakan’ kasus ini ke pusat. Pada bulan Maret - Mei 1999 Vincent berkeliling ke berbagai lembaga di Jakarta untuk mengkampanyekan masalah yang dihadapi suku Rendu itu. Perjalanan Vincent itu didukung oleh Walhi Eksekutif Daerah NTT. Vincent sempat pula mengadukan kasus yang dialami suku Rendu ini kepada Komisi Nasional Hak Azazi Manusia (KOMNAS HAM). Atas pengaduan ini KOMNAS HAM telah pula menyurati berbagai instansi di NTT. Baik ditingkat propinsi maupun kabupaten. Termasuk pada pihak keamanan (surat-surat terlampir). Selain itu Vincet, didukung oleh beberapa LSM dan atau jaringan LSM lainnya kerap pula mengkampanyekannya dilakukan di tingkat lokal dan regional. Misalnya, pada pertemuan masyarakat yang diselenggarakan YS3 (bekerjasama dengan Walhi) dan Rapat Kerja Tahunan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Bogor. Untuk menunjang kampanyenya ini, Vincent dan beberapa orang warga suku Rendu ‘terpelajar’ lainnya membentuk sebuah LSM yang berbadan hukum yayasan, yang bernama ………………………… Lembaga ini telah pula diberi mandat oleh tua-tua adat suku Rendu menjadi wadah perjuangan suku Rendu untuk merebut kembali tanah Nata Bhada.

Vincnet dan warga suku Rendu lainnya mengaharapkan di masa depan masalah tanah Nata Bhada itu dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya; dan Nata Bhada dikembalikan kepada warga suku Rendu. Bagi orang Rendu, jika dibandingkan sebagai tubuh manusia, Nata Bhada adalah ubun-ubunnya orang Rendu. Apalagi di tempat itu ada tanah-tanah ritual masyarakat adat Rendu.

Dengan adanya kasus sengketa tanah Nata Badha ini kehidupan sehari-hari suku rendu terusik. “Kami tidak merasa aman. Setiap detik rasanya akan ada saja orang yang mau menyusahkan kami,” keluh Vincent. Kasus ini telah merubah kehidupan banyak warga suku Rendu. “Sebelum ada persoalan ini masyarakat Rendu sangat makmur, terutama dengan ternaknya. Acara-acara ritual masih berjalan dengan baik. Sekarang justru terbalik, karena upacara-upacara itu telah dilangkahi atau telah diperkosa warga Rendu sendiri. Ini terjadi karena warga susah. Hidup mereka tidak aman,” keluh Vincent lebih jauh. Vincent juga mengharapkan lebih banyak lagi LSM advokasi yang terjun untuk melakukan investigasi dan proses litigasi. LSM bisa diharapkan karena mereka itu, menurut Vincent, netral. “Tetapi sampai saat ini belum ada yang mau membantu kami lebih jauh. Belum ada LSM-LSM yang bisa memonitor tekanan-tekanan yang dialami oleh masyarakat. Bagaimana pemberdayaan bisa terjadi, karena sampai saat ini masyarakat Rendu masih sangat di ‘bawah’,”kata Vincent.

Kasus sengketa Tanah Malowawo (Sangadeto): Menurut sejumlah informan, kasus ini sudah mulai terjadi sejak tahun 1950-an. Ketika itu terjadi perebutan tanah Malawawo antara warga Woe Are dengan seseorang yang bernama Ngebu Lodo dari suku atau woe Lodo Raghi yang berasal dari kelurahan Mangulewa. Perkara ini tidak menghasilkan kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak. Namun demikian Woe Are tetap menduduki dan mengusahakan tanaman umur panjang pada lokasi tersebut.

Pada tahun 1991, setelah 40 tahun lebih masalah ini didiamkan, warga suku Lodo Raghi memasuki lokasi tanah Malawawo dan mengusir warga Woe Are yang telah sekian tahun menggarap lokasi tersebut. Setelah mengusir warga Woe Are akhirnya suku Lodo Raghi mulai Pada tahun 1991, setelah 40 tahun lebih masalah ini didiamkan, warga suku Lodo Raghi memasuki lokasi tanah Malawawo dan mengusir warga Woe Are yang telah sekian tahun menggarap lokasi tersebut. Setelah mengusir warga Woe Are akhirnya suku Lodo Raghi mulai

Pada tahun 1996 Pemda Ngada melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) membagi tanah Malawawo dalam blok-blok untuk diserahkan kepada 4 suku. Ke 4 suku tersebut adalah Suku Menge, Loa, Woe Are, Lodo Raghi.

Namun salah seorang warga suku Lodo Raghi dari Raka Laba, yaitu Hisman Wawo tidak menerima pembagian tanah Malawawo pada 4 suku yang dilakukan oleh pemda Ngada itu. Ia menggugat ke 4 suku diatas dan Pemda Kab. Ngada. Selanjutnya ia mengklaim tanah Mala Wawo adalah milik pribadinya.

Kasus Malawawo saat ini sedang dalam proses di Pengadilan Negeri Bajawa, berdasarkan gugatan anggota suku Lodo Raghi dari Raka Laba itu. Untuk mengurus kasus ini suku Woe Are, melalui koordinasi oleh Kepala Desa, bergotongroyong mengumpulkan dana untuk pengurusan perkara. Setiap warga yang punya lahan garapan di tanah Malawawo yang dipersengketakan itu ‘menyetor’ uang sebesar Rp. ………… per lahan garapan.

Melihat pertikaian berdarah yang telah terjadi, Pemda Kab. Ngada, pada tahun 1991, mulai terlibat untuk menyelesaikan masalah ini dengan membuat peta hamparan Malawawo. Selain itu Pemda berusaha pula memperkuat kerjasama antara kepala desa dan ketua-ketua suku yang ada dalam Woe Are.

Kasus ini dirasakan oleh semua anggota suku dalam Woe Are sebagai penghambat kegiatan perekonomian masyarakat.

Box 5b:

Kasus Sengketa Tapal Batas dengan Hutan Lindung (Nggolonio): Kasus tapal batas kawasan hutan mulai terjadi sejak tahun 1998 di mana pada saat itu terjadi musyawarah antara masyarakat dan Pemda Ngada termasuk Dinas PKT Ngada untuk menentukan tapal batas kawasan hutan dengan tanah milik/garapan masyarakat. Dari musyawarah tersebut disepakati bahwa tapak kawasan hutan berada di luar wilayah kampung lama Nggolonio, karena di luar wilayah kampung lama Nggolonio terdapat kebun masyarakat yang sudah ditanami dengan berbagai tanaman umur panjang dan bahkan sampai sekarang masyarakat masih berladang di sana. Kesepakatan itu ditindaklajuti oleh Dinas Kehutanan namun yang menjadi masalah adalah bahwa petugas Dinas Kehutanan menanam pilar tata batas dekat dengan pemukiman sekarang ini. Artinya, kawasan kampung lama Nggolonio, dan juga ladang masyarakat yang ada di sekitarnya, termasuk ke dalam kawasan hutan.

Adapun kelompok-kelompok yang berkepentingan dalam kasus ini adalah: (1) Masyarakat yang memiliki kebun/lahan garapan di daerah perbatasan dengan hutan lindung itu; (2) Pemdes; (3) Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (PKT).

Tindakan yang diambil masyarakat adalah perlawanan, dalam arti tetap menggarap lahan yang sekarang berada di wilayah hutan lindung dimaksud. Walaupun mereka tahu tentang pilar batas hutan masyarakat tetap melakukan aktifitas di dalam kawasan hutan ( di kampung lama), seperti mengerjakan ladang, menebang pohon, serta mencari hasil hutan. Tindakan ini ditentukan sendiri oleh warga yang bersangkutan.

Upaya ini dinilai berhasil karena belum ada teguran dari Dinas Kehutanan. “Sejak penanaman pilar tata batas itu sampai saat ini tidak ada orang yang melarang masyarakat, sehingga kami tetap mengerjakan kebun kami di dalam kawasan hutan itu,” ujar beberapa peserta diskorah.

Kasus sengketa tata batas desa Totomala dengan desa Tendakinde: Kasus ini berawal dengan ditetapkannya keberadaan desa Totomala dan Tendakinde pada tahun ……………… Semula kedua desa ini merupakan wilayah administrasi hamente Totomala. Wilayah hamente Totomala ini kemudian diakui sebagai wilayah ulayat suku Totomala. Suku Totomala sendiri terdiri dari (sub) suku Dodo, ………………………… ……… Setelah didirikannya desa Totomala dan desa Tendakinde kelompok- kelompok suku Dodo, ………….. berada di wilayah administrasi desa Totomala, sedangkan kelompok- kelompok ……….. ………. ………… berada di wilayah administrasi desa Tendakinde. Meski masing- masing kelompok memiliki wilayahnya sendiri-sendiri, masing-masing warga kelompok bebas pula memasuki wilayah kelompok lain. “ Dulu orang tidak pernah mempermasalahkan hal ini (tapal batas), orang bebas melepaskan ternaknya melalui batas, bebas mengelolah Kasus sengketa tata batas desa Totomala dengan desa Tendakinde: Kasus ini berawal dengan ditetapkannya keberadaan desa Totomala dan Tendakinde pada tahun ……………… Semula kedua desa ini merupakan wilayah administrasi hamente Totomala. Wilayah hamente Totomala ini kemudian diakui sebagai wilayah ulayat suku Totomala. Suku Totomala sendiri terdiri dari (sub) suku Dodo, ………………………… ……… Setelah didirikannya desa Totomala dan desa Tendakinde kelompok- kelompok suku Dodo, ………….. berada di wilayah administrasi desa Totomala, sedangkan kelompok- kelompok ……….. ………. ………… berada di wilayah administrasi desa Tendakinde. Meski masing- masing kelompok memiliki wilayahnya sendiri-sendiri, masing-masing warga kelompok bebas pula memasuki wilayah kelompok lain. “ Dulu orang tidak pernah mempermasalahkan hal ini (tapal batas), orang bebas melepaskan ternaknya melalui batas, bebas mengelolah

Menurut aturan suku, suku yang tertinggi adalah suku Dodo. Hak pengaturan tanah pun berada pada kelompok suku Dodo. Merasa punya hak, pada tahun 1984 masyarakat Totomala membuat papan tanda batas wilayah antara desa Totomala dan desa Tendakinde. Æ apakah letak tata batas itu atas persetujuan pemerintah di tingkat atas desa? (kecamatan atau kabupaten) Sebagian wilayah diklaim sebagai wilayah desa Totomala sebenarnya adalah tanah garapan dari beberapa kelompok suku yang kini tinggal di wilayah administrasi desa Tendakinde. Sebab itu, karena merasa dirugikan, tidak lama kemudian masyarakat Tendakinde merusak papan nama yang dipasang oleh warga dan petinggi desa Totomala tersebut. Pelakuknya tidak diketahui dengan jelas.

Pada tahun 1988 masyarakat Totomala kembali membuat tanda batas berupa tugu. Namun dirusak kembali oleh orang Tendakinde yang kembali tidak diketahui identitasnya. Æ apakah letak tata batas itu atas persetujuan pemerintahan di

tingkat atas? (kecamatan atau kabupaten); mengapa pula warga Totomala merasa perlu menegaskan di mana letak tata batas persis itu sebenarnya?

Batas yang digunakan oleh warga Totomala sebenanrnya masih memakai dasar pembagian wilayah pada jaman hamente dulu. Batas administratif sebenarnya tepat pada tempat yang dipasang dengan papan nama tadi. Hanya saja batas administratif tersebut tidak pernah dikuatkan dengan surat Keputusan Gubernur. Mengapa Gubernur belum mengeluarkan sk? Menurut seorang informan, tuntutan orang Tendakinde mengenai masalah perbatasan ini tidak jelas. Buktinya, pihak yang tidak setuju dengan tata batas ini tidak pernah melihatkan perlawanannya secara terbuka. “Ketika saya sebagai kepala desa (pada masa jabatan saya) juga pernah terjadi tapi tidak diketahui orangnya. Boleh dikatakan bahwa pelakunya adalah orang yang tidak bertanggung jawab. Dia melakukan protes tapi orang tidak tahu apa tuntutannya sehingga bisa direspon juga secara baik,” komentar Gaspar Mage (Kepala Desa).

Menanggapi kejadian-kejadian ini seorang informan mengatakan: “Papan nama yang kami pancangkan mungkin ada selisih beberapa meter ke arah desa Tendakinde, tidak jauh, dan dari dulu orang tidak pernah mempersoalkannya”. Lalu, mengapa soal batas ini menjadi penting dan dipersoalkan sekarang ini? “Kawasan perbatasan cukup kaya dengan sumber daya alam. Ada kayu besar yang bisa digunakan untuk bahan bangunan, pohon lontar, rumput untuk ternak, dan air,” kata seorang informan menjelaskan.

Soal pemanfaatan SDA ini sebenarnya juga tidak mengenal batas yang tegas. Orang Tendakinde boleh memanfaatkan potensi SDA yang terdapat di Totomala, demikianpun sebaliknya. “Masalahnya, umumnya dari desa Totomala tidak ada yang mengambil potensi SDA disana, hanya orang Tendakinde yang datang ke wilayahnya untuk memanfaatkan potensi SDA. Demikian juga pengelolaan lahan pertanian, hanya saja pajaknya harus dibayar kepada desa dimana lahan itu ada. ,” ujar seorang peserta diskorah.

Sepintas kasus ini memang berbau perebutan hak pengelolaan oleh pemerintah desa masing-masing. Jika begitu, mengapa pula warga begitu giat dan hangat mendukung kebijakan pemerintah masing-masing? (Perlu pula ditambahkan catatan bahwa dalam kesempatan yang lain, dalam kasus yang lain, tidak dapat ditutupi ‘rasa pertentangan’ atau ‘tidak bersahabatnya’ pemerintah desa dengan warga).

Menurut seorang peserta diskorah, sebenarnya yang membuat kacau adalah aturan dari pemerintah, karena dalam kenyataannya masalah ini muncul justru setelah adanya batas administratif. Padahal pada jaman nenek moyang, hal itu tidak pernah dipermasalahkan.

Belakangan, masyarakat dan Pemerintah Desa Totomala dan desa Tendakinde sudah sepakat untuk mengadakan rapat persehatian perbatasan desa. Kedua desa sudah sepakat untuk berunding. “Mungkin setelah masuk ke kecamatan penuh (ketika penelitian dilakukan status kecamatan penuh sudah keluar, sebelumnya desa Totomala dan desa Tendakinde berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Pembantu Aesesa), tanggapan camat akan lebih baik,” kata Gaspar Mage.

Lebih lanjut Gaspar Mage mengatakan: “Menurut saya, yang paling bagus adalah penyelesaian secara kekeluargaan, untuk mempertemukan kedua warga desa. Persoalannya adalah siapa yang bisa mempertemukan keduanya. Tapi sekarang yang paling tepat adalah kalau Pak Camat yang mempertemukan”. Namun, sudah dua kali diusulkan, tetapi tidak ada tanggapan yang baik.

Dalam penanganan masalah ini, tokoh adat juga cukup terlibat terutama dalam menenangkan masyarakat supaya tidak mempermasalahkan apa yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Meski begitu, diakui pula oleh beberapa informan, bahwa situasinya akan lebih kondusif jika ada pihak ketiga yang mempertemukan tokoh- tokoh adat dari kedua desa ini.

Dalam kenyataannya pemerintah terlihat kurang tanggap dengan masalah ini. Pernah juga dilaporkan kepada pemerintahan Kabupaten dan DPRD, tapi juga tidak ada tanggapan. “kita tidak tahu apa kendala yang sebenarnya. Katanya dana belum turun,” cerita seorang informan dalam diskorah. Padahal, menurut informan tadi, kalau memang masalahnya dana, maka bisa diatasi seandainya pemerintah kecamatan memberikan tanggapan yang baik. “Desa bisa menanggung biaya secara swadaya, dan masyarakat tidak ada keberatan untuk itu,” tambahnya.

Kasus sengketa batas desa Sangadeto dengan desa Rowa: Masalah ini berpangkal dari adanya sebagian tanah ulayat Woe Are yang secara administratif berada dalam wilayah desa Rowa. Lokasi itu telah diserahkan oleh orang tertentu yang menganggap diri sebagai ketua suku. Mereka menyerahkannya secara sepihak tanpa konfirmasi dengan ketua suku Woe Are. Klaim dan pengerjaan terjadi setelah datangnya proyek CWC (Coconut World Corporation) di Rowa, yakni sebuah proyek yang mengembangkan perkebunan kelapa.

Sampai sekarang batas desa antara Sangadeto dan Rowa serta Mataloko belum jelas. Batas wilayah adat tidak diperhatikan lagi. Khusus batas antara Sangadeto dan Rowa, saat ini sudah melewati batas wilayah adat, ke arah wilayah desa Sangadeto.

Desa Sangadeto merasa sangat dirugikan dengan masalah ini. Masyarakat Sangadeto berusaha untuk tetap menggarap lahan di lokasi yang diklaim oleh masyarakat desa Rowa. Proyek IFAD diterapkan pada lokasi tersebut setelah ada restu dari pemerintah desa dan pemangku adat.

Pihak-pihak yang berkepentingan: Pemdes Sangadeto; Pemdes Rowa; Pemdes Mataloko; Kepala suku dari 3 desa; Anggota suku dari 3 desa; Pemda; SOP Raja (Nage Keo dan Bajawa). Akar masalah: belum ada perundingan antar suku dan pemerintah belum menanggapi usul perundingan dari warga. Upaya yang dilakukan adalah ‘tetap bekerja di wilayah administratif desa Rowa’. Belum ada langkah-langkah lainnya untuk menyelesaikan masalah ini. Tapi upaya ini dinilai tidak berhasil karena masih berupaya untuk pengakuan pemerintah atas batas administratif sesuai dengan batas wilayah adat. Warga masyarakat tidak puas jika bagian wilayah itu tidak ditetapkan secara administratif sebagai wilayah administrasi desa Sangadeto.

Pihak-pihak yang terlibat dalam upaya itu adalah Anggota suku Woe Are; Pemdes; dan Ketua adat.

Box 5c : Sengketa Tanah Warisan di Desa Takatunga

“Masalah yang paling berat bagi saya selama ini adalah masalah perebutan tanah warisan, baik untuk membangun rumah adat maupun tanah pertanian,” ujar Kepala Desa Takatunga ketika diwawancarai. “Meski begitu, dari sekian banyaknya masalah perebutan tanah warisan ini baru ada satu kasus yang mencuat ke permukaan, yaitu masalah dalam Suku (Woe Ledo). Masalahnya, ada keluarga dari garis keturunan lurus dengan keluarga dari garis keturunan samping berebut menjadi orang yang paling berhak membangun rumah adat,” lanjut Kepala Desa Takatunga.

Tidak jelasnya siapa yang sebenarnya berhak menjadi Kepala Soma terjadi karena pada masa Kepala desa lama memilih Kepala Soma “Ketua adat dalam satu rumah adat”. Persoalan sekarang adalah siapakah kepala Soma yang sebenarnya. Banyak warga mengatakan bahwa kepada Soma yang diangkap Kepdes dulu itu tidak sah. Belum lagi, pada waktu pemerintahan Kepala desa lama ada program pembagian kapling-kapling tanah kepada setiap keluarga. Pembagian ini belum ada kesepakatan di dalam “satu keluarga Oda” atau warga “Woe”.

Masalah ini menjadi pelik karena (1) ketersediaan lahan di desa itu memang terbatas (sebab itu pula banyak warga yang membeli tanahh di desa lain); (2) hal ini berkaiitan pula dengan adat kawin yang berlaku adalah kawin masuk. Artinya suami dari seorang warga perempuan tinggal di Takatunga. Untuk menunjang kehidupan pasangan baru ini tentunya diperlukan lahan pertanian. Sementara warga laki-laki juga mengajak istrinya untuk tinggal di Takatunga.

Upaya-upaya yang telah dilakukan : Upaya yang dilakukan oleh kepala desa untuk menyelesaikan masalah tanah suku adalah menyerahkan penyelesaian masalah itu kepada kepala dusun untuk diselesaikan bersama Ketua adat dalam masing-masing rumah adat atau ketua adat Woe (klan). “Dalam perkara tanah suku saya mengatakan; perkara tanah suku harus diselesaikan oleh ketua adat dan diselesaikan secara kekeluargaan. Masalah perebutan warisan bagaikan masalah antara A dengan A. Hanya mereka sendirilah yang paling tahu masalahnya. Tanah suku adalah warisan nenek moyang kita. Jangan sekali-kali nenek moyang kita ke pengadilan”.

4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Lokal

4.2.1. Corak Hubungan Pemerintahan Formal dan Sistem Pengelolaan Hidup Bersama yang Dikembangkan Komuniti

Bagaimana sebenarnya corak hubungan antara (institusi) pemerintahan formal dengan sistem pengorganisasian hidup bersama yang berkembang komunitas dan pemimpin-pemimpin komunitas di masing-masing desa (komunitas) yang diteliti? Bagaimana pula posisi institusi agama? Apakah ketiganya bekerja secara paralel, konflik, atau bekerjasama? Dalam situasi yang bagaimana konflik dan/atau kerjasama itu terjadi? Mengapa keadaannya demikian? Sebelum membahas pertanyaan-pertanyaan di atas ada baiknya terlebih dahulu melihat para pihak yang terlibat dalam berbagai upaya penanggulangan masalah penting yang ada.

Penggalian informasi tentang para pihak dan bentuk-bentuk keterlibatannya dalam upaya penanggulangan masalah penting menunjukkan bahwa ‘status’ dan atau ‘asal-usul’ para pihak yang terlibat dalam masing- masing upaya amat beragam sifatnya. Tergantung bentuk masalah yang dihadapi itu. Semakin ‘kompleks’ bentuk dampak dan pihak/pihak atau kelompok yang menanggung resiko dari adanya masalah yang bersangkutan makin banyak pula para pihak yang terlibat dalam upaya-upaya penanggulangan yang dilakukan. Demikian pula, semakin sulit masalah yang dihadapi (artinya semakin banyak resources yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah itu) akan semakin banyak pula pihak yang terlibat. Keberagaman para pihak yang terlibat dalam mengatasi masalah juga tidak ditentukan oleh kategori masalah (apakah itu masalah dalam bidang keselamatan hidup, masalah pelayanan alam, ataupun masalah peningkatan kesejahteraan masyarakat). Situasi yang demikian itu tentunya bukan sesuatu hal yang istimewa melainkan hal yang logis-logis saja. Situasi yang demikian berlaku di seluruh desa penelitian, dengan amat sedikit variasi di antaranya.

Pada dasarnya, keseluruhan para pihak yang terlibat dalam berbagai upaya itu dapat dikelompok-kelompokkan sebagai berikut: (1) Warga/ masyarakat ‘korban’ (individual, keluarga, dan bentuk-bentuk kelompok lainnya). ‘Kategori profesi’, seperti petani, pedagang, pembeli, tukang, termasuk di dalamnya; (2) Warga/masyarakat luas pada umumnya (individual, keluarga, Pada dasarnya, keseluruhan para pihak yang terlibat dalam berbagai upaya itu dapat dikelompok-kelompokkan sebagai berikut: (1) Warga/ masyarakat ‘korban’ (individual, keluarga, dan bentuk-bentuk kelompok lainnya). ‘Kategori profesi’, seperti petani, pedagang, pembeli, tukang, termasuk di dalamnya; (2) Warga/masyarakat luas pada umumnya (individual, keluarga,

Setidaknya tata aturan, jaringan, dan kepemimpinan yang menjadi pedoman bertindak masing-masing pihak di atas dapat pula dipilah-pilah ke dalam 4 (lima) sektor. Masing-masing adalah tata aturan, jaringan, dan kepemimpinan (1) komuniti dan/atau adat; (2) negara; (3) agama; dan (4)

bisnis 5 . Jika dilihat dari label/asal-usul para pihak, apakah yang bersangkutan

adalah ‘pemerintah’, ‘gereja/agama’, ‘adat’, ‘masyarakat luas’, atau bisnis, tidak ada data yang cukup untuk mengatakan bahwa keempat sektor itu berada dalam jalur kerja yang terpisah satu sama lainnya. Setidaknya hal ini berlaku dalam hal kasus-kasus masalah yang kompleks. Ikut atau tidaknya keempat ‘sektor’ itu dalam kasus-kasus yang terungkap lebih ditentukan oleh faktor individu dan ‘kesempatan’ (ada tidaknya kelima sektor itu dalam ‘ruang’ kejadian’) ketimbang faktor ‘institusi’ asalnya.

Hanya saja perlu dikemukakan bahwa sulit untuk mengungkapkan siapa atau pihak mana yang sebenarnya memainkan peran sebagai ‘aktor intelektual’ untuk masing-masing upaya yang dilakukan itu. Boleh jadi ini adalah implikasi langsung dari ‘tata sopan-santun’ kehidupan bermasyarakat dalam komuniti ybs. dan pada umumnya. Orang akan sungkan untuk mengungkap siapa yang berperan sebenarnya, khususnya jika diminta secara terbuka. Keadaan akan berbeda jika hal itu diperbincangkan dalam interaksi yang terbatas (cakap-cakap dua orang saja, misalnya). Apakah ini merupakan salah satu bentuk ekspresi dari masih adanya sifat ‘komunal’ dalam masyarakat yang bersangkutan (tidak ada pengakuan atas pribadi, segala sesuatu yang ada dalam komunitas adalah ‘milik’/karya bersama) masih diperlukan informasi tambahan lainnya.

Meski begitu, harus segera diberi catatan, terlalu awal pula untuk mengatakan bahwa keempat sektor ini terlibat dalam kerjasama, dalam artian kerjasama yang positif.

Yang menarik dari data-data tentang para pihak yang terlibat ini adalah rendahnya peran berbagai organisasi yang hidup dan tumbuh dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Padahal, sebagaimana yang akan diuraikan dalam bagian-bagian terdahulu, keikutsertaan warga pada organisasi dan kegiatan/aksi bersama terhitung cukup tinggi. Setidaknya jika dibandingkan dengan situasi rata-rata di Jambi dan Jawa Tengah, maupun dengan situasi

rata-rata di Burkina Faso dan Bolivia (hasil LLI (1) 6 .

5 Dalam prakteknya, para pihak seperti LSM, donor, dan ‘agen-agen pembangunan lainnya’ mengacu pada salah satu dari empat tata aturan, jaringan, dan kepemimpinan yang ada.

6 Sebutkan referensi yang dirujuk ………………………………….

Apa bentuk kontribusi atau peran para pihak dalam masing-masing upaya penanggulangan itu? Di dalam penelitian diberikan 6 (enam) kemungkinan bentuk peran. Masing-masing adalah (1) gagasan/pengetahuan; (2) tindakan (termasuk mobilisasi massa); (3) dana; (4) ketrampilan; (5) pengambilan keputusan; dan (6) lainnya, sebutkan. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada peran lain yang dapat dimainkan di luar 5 kemungkinan yang disebut lebih dulu. Dari sudut bentuk peran ini, tidak ada juga pola umum yang berlaku. Masing-masing pihak dapat berperan apapun. Lagi-lagi apa bentuk peran masing-masing pihak amat tergantung pada bentuk masalah, faktor individu (bukan faktor institusi), dan faktor kesempatan yang ada. Tidak terlihat pula pola umum bahwa tercapai atau tidaknya sebuah upaya ditentukan oleh kehadiran pihak/aktor tertentu. Tidak terlihat indikasi yang kuat tentang adanya hubungan positif antara keterlibatan aktor-aktor tertentu, khususnya yang berasal dari luar komunitas sendiri, dengan kinerja hasil yang dicapai oleh masing-masing upaya yang telah dilakukan. Yang ingin dikatakan adalah bahwa berhasil, kurang berhasil atau tidak berhasilnya sebuah upaya penanggulangan masalah yang ada tidak ditentukan oleh terlibat atau tidaknya, misalnya pihak pemerintah ataupun pihak-pihak luar komunitas lainnya. Ini terlihat dari tidak berbedanya macam masalah penting yang dapat diupayakan jalan keluarnya dan dengan hasil yang memuaskan itu dengan macam masalah penting yang upaya penanggulangannya tidak/kurang memuaskan/berhasil.

Sementara itu, seperti ditunjukkan oleh Tabel 4.2 berikut, dari 19 upaya berhasil hanya ada 7 upaya yang diselenggarakan sendiri oleh komunitas (termasuk di dalamnya pemimpin komunitas/adat).

Tabel 4. 2 : Rincian Upaya Berhasil yang hanya diupayakan oleh masyarakat saja

Desa Masalah Penting Rincian upaya penanggulangan yang berhasil di mana pihak yang bersangkutan

pemerintah turutserta dalam prosesnya. Bidang

Bidang Pelayanan

Bidang

Keselamatan Hidup

Alam

Peningkatan kesejahteraan masy.

Nggolonio

1. Tapal batas

1. Perlawanan pasif,

hutan lindung

yaitu dengan tetap

bekerja pada kebun yang berada di dalam tapal batas

2. Pelayanan 1. Menggunakan kesehatan kurang

ramuan tradisional memadai (manusia, ternak)

Totomala

3. Hasil panen

1. Meminjam ke

menurun

tetangga

- merusak tanaman

4. Ternak lepas

2. Membuat pagar

di kebun sendiri

Todabelu 5. Penebangan 2. Ada larangan

hutan secara liar

untuk hutan

bambu tada zoze,

sumpah dimana orang yang melanggarnya akan terbakar rumahnya dan hal ini pernah terjadi. Salah satunya adalah ru’u, yaitu dibuat oleh si pemilik sumpah dimana orang yang melanggarnya akan terbakar rumahnya dan hal ini pernah terjadi. Salah satunya adalah ru’u, yaitu dibuat oleh si pemilik

3. Ri’i, yaitu larangan umum

agar tidak mencuri -

bambu. Kalau ketahuan harus membunuh kerbau.

4. Jika harga tanah rendah

6. Harga tanah

tidak sesuai dengan keinginan

anggota sa’o, orang -

tersebut sengaja tidak hadir dalam musyawarah sa’o agar dia nanti bisa membatalkan penjualan tanah tsb.

Sumber : Data Lapangan LLI (2) Tahap III, diolah.

Dengan demikian, ada duabelas upaya berhasil lainnya yang melibatkan peran pihak-pihak di luar komunitas: di mana sembilan upaya di antaranya melibatkan pihak pemerintah (lihat Tabel 4.3) 7 ; dan hanya tiga upaya yang

melibatkan pihak luar komunitas non-pemerintah 8 .

Tabel 4.3 : Rincian Upaya Berhasil di mana Pihak Pemerintah Turut Serta di dalam prosesnya dirinci berdasarkan desa, masalah penting yang ditanggulangi, dan bidang masalahnya.

Desa Masalah Penting Rincian upaya penanggulangan yang berhasil di mana pihak yang bersangkutan

pemerintah turutserta dalam prosesnya. Bidang

Bidang Pelayanan Bidang

Keselamatan Hidup

Alam

Peningkatan kesejahteraan masy.

Mbay II

1. Padi terserang

1. Pemberantasan

hama dan penyakit

hama dan penyakit

dengan pestisida 2. Pembersihan

lingkungan/desa

- 2. Kurangnya 1. Pelatihan- ketrampilan petani

3. Operasi massal -

pelatihan tek-nis (SDM rendah)

yang diadakan oleh instansi pemerin- tah dalam kelompok- kelompok tani

7 Dari 105 upaya yang teridentifikasi dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah penting yang ada, pihak pemerintah, dari berbagai kategori dan tingkatan, terlibat dalam 73 upaya. Artinya, peran

pemerintah itu terjadi pada sekitar 2/3 dari keseluruhan upaya yang teridentifikasi. Dari jumlah itu, ada

9 upaya yang tergolong berhasil. Itu berarti pula bahwa pemerintah terlibat dalam sekitar separuh dari jumlah keseluruhan upaya penanggulangan masalah yang dianggap berhasil.

8 Masing-masing adalah (1) upacara padho nawung (upacara adat) dan doa tolak bala (upacara agama), pada kasus masalah penting ‘padi terserang hama dan penyakit’ di Mbay II; (2) melakukan upacara

adat tu doka (upacara mengusir hama), pada kasus ‘hama dan menyerang tanaman’ di Langedhawe; dan (3) kursus pertanian (terasering), pada kasus ‘SDM rendah’ di Sangadeto.

Totomala

2. Ternak lepas

4. Pagar pemisah

merusak tanaman

antara padang

gembala dengan lahan pertanian

Langedhawe

3. Mutu dan

1. Penghijauan/

ketersediaan hutan

- menurun

reboisasi secara

swadaya

Takatunga 4. Ketersediaan 2. Menggarap

lahan yang

tanah orang lain

semakin berkurang

dan membeli tanah -

di desa lain (Kuruladu, Zaa)

Mangulewa

- minum

5. Kurang Air

3. Pengumpulan

dana dari warga

Todabelu 6. Pendistribusian 2. Meningkatkan air yang tidak

penerimaan iuran dari merata

pemakaian air dan dikelola sendiri oleh warga

Sumber : Data Lapangan LLI (2) Tahap III, diolah.

Meski begitu, jika dilihat dari kinerja hasil berbagai upaya pada tingkat masalah penting yang bersangkutan, sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 2.9 berikut, dari 41 masalah penting yang diupayakan jalan keluarnya, hanya ada

8 masalah penting (kode A1 – A8) yang dianggap peserta diskusi kelompok terarah dapat dikategorikan sebagai masalah penting yang dapat diatasi oleh kelompok-kelompok masyarakat yang bersangkutan dengan hasil yang dapat dikatakan baik/berhasil/memuaskan. Dengan rincian, 3 kasus pada bidang masalah keselamatan hidup (di Mbay II dan Totomala, keduanya desa-desa di Kec. Aesesa); 4 kasus masalah bidang pelayanan alam (1 Nggolonio; 2 Langedhawe, keduanya desa-desa di Kec. Aesesa; dan 1 di Takatunga, Kec. Golewa); dan 1 kasus masalah bidang peningkatan kesejahteran hidup (Mbay

II, desa di Kec. Aesesa). Dilihat dari sudut ini dapat dikatakan bahwa kinerja upaya-upaya penanggulangan masalah penting di desa-desa Kec. Aesesa relatif lebih baik daripada desa-desa di Kec. Golewa.

Pada bagian-bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa pada dasarnya kinerja pemerintahan formal di mata penduduk relatif rendah. Namun, di pihak lain, hasil analisis para pihak dan bentuk peran masing-masing pihak dalam berbagai upaya penanggulangan masalah penting yang menjadi prioritas di atas menunjukkan pula bahwa, kecuali untuk kategori ‘bisnis’ yang hanya hadir dalam sedikit kasus penanggulangan masalah saja, jika dikaitkan dengan kategori apakah para pihak (dan aturan-aturan yang digunakannya dalam berperan) bersumber pada dan atau sebagai ‘institusi pemerintah’, ‘institusi agama’ ataupun ‘institusi komunitas/adat’, tidak terlihat pola yang jelas atau khusus yang perlu digarisbawahi. Ketiga intitusi dapat saja berperan pada setiap macam masalah, meskipun kehadiran ‘institusi pemerintah’ dan ‘institusi komunitas’ (baik yang berpusat pada pimpinan komunitas maupun yang diperankan sendiri oleh ‘warga kebanyakan/biasa) jauh lebih dominan dari ‘institusi agama’.

Kalaupun ada pengecualian, itu hanya menyangkut para pihak dalam mengatasi masalah konflik tanah dan/atau masalah pertanahan lainnya. Data- data lapangan menunjukkan bahwa tidak ada masalah tanah, khususnya yang berkaitan dengan masalah klaim atas tanah dan konflik tata batas tanah/lahan (termasuk konflik tata batas antar desa), yang tidak melibatkan peran ‘institusi komunitas’ (baik dalam kategori ‘warga kebanyakan pada Kalaupun ada pengecualian, itu hanya menyangkut para pihak dalam mengatasi masalah konflik tanah dan/atau masalah pertanahan lainnya. Data- data lapangan menunjukkan bahwa tidak ada masalah tanah, khususnya yang berkaitan dengan masalah klaim atas tanah dan konflik tata batas tanah/lahan (termasuk konflik tata batas antar desa), yang tidak melibatkan peran ‘institusi komunitas’ (baik dalam kategori ‘warga kebanyakan pada

Data dimaksud di atas sekaligus menunjukkan pula bahwa, di satu pihak, keberadaan suku adalah sumber klaim dari hak yang diperjuangkan, dan di pihak lain, ‘institusi pemerintah’ sebagai pihak yang (1) sebagai sumber masalah itu sendiri dan (2) sebagai institusi yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang bersangkutan. Dengan demikian, keberadaan ‘institusi pemerintah’ dipandang dalam dua posisi yang sebenarnya saling berseberangan. Karenanya pula sikap masyarakat dalam memandang keberadaan ‘institusi pemerintah’ ini sebenarnya mendua (ambigu). Di satu pihak, ‘institusi pemerintah’ adalah bagian dari masalah itu sendiri (bahkan dalam banyak kasus menjadi sumber masalah), tetapi di lain pihak ‘institusi pemerintah’ dilihat pula sebagai institusi yang diharapkan sebagai pihak yang akan menyelesaikan masalah yang bersangkutan. Boleh jadi, situasi yang demikian itulah kemudian yang menyebabkan banyak masalah tanah yang tidak terselesaikan, atau, kalaupun terselesaikan, sifatnya akan bersifat sementara saja: masalah itu akan menjadi masalah lagi di kemudian hari.

Namun, seperti telah disinggung dalam Bagian 3 terdahulu, terlalu awal untuk mengatakan bahwa antar intitusi yang teridentifikasi dalam ‘stakeholders analysis’ itu terlibat dalam apa yang disebut sebagai ‘kerjasama’. Lalu, bagaimana corak hubungan antar institusi itu sebenarnya?

Untuk mencari ‘makna lain’ dari data-data yang telah diungkap di atas ada baiknya untuk melihat proses apa yang terjadi dalam beberapa kasus upaya penanggulangan masalah penting, sebagaimana yang terkumpulkan selama penelitian berlangsung, sebagaimana telah diuraian di atas. Salah satu contohnya adalah sebagaimana yang tercantum dalam Box 6 berikut ini.

Box 6 : Kerjasama antar institusi di Desa Mbay II

( …) Di Mbay II, masalah-masalah penting yang mengemuka, khususnya dalam bidang keselamatan hidup (survival) adalah adalah (a) air tergenang di Nila, (b) padi terserang hama dan penyakit, dan (c) wabah penyakit ternak. Hal-hal yang dilakukan dalam menangani kasus penggenangan air di Kampung Nila adalah (a) kirim surat ke Bupati dan DPRD atas nama masy., yang dilakukan oleh pemdes dan tokoh-tokoh masayarakat setempat; (b) pernah gali saluran, dua kali, tapi gagal mengatasi masalah, yang dikerjakan oleh masyarakat, tokoh masyarakat, dan pemdes; (c) sekarang buat saluran permanen dengan menggunakan dana PPK, upaya yang disepakati masy. (secara tidak langsung), tokoh masyarakat, dan pemdes (sebagai penanggungjawab). Selain itu ada pula proyek ‘bangun jalan baru’ yang lebih tinggi dari air (PPMP), yang juga disepakai oleh masy. (secara tidak langsung), tokoh masyarakat, dan pemdes. Dalam hal tanaman diserang penyakit, di samping memerangi hama dan penyakit padi dengan cara-cara penyemprotan hama yang menggunakan bahan-bahan kimia dan pemberian pupuk yang sesuai dengan kebutuhan, masyarakat melakukan misa dan upacara adat yang bertujuan mengusir ‘faktor-faktor’ yang menimbulkan hama dan penyakit itu. (…) Dalam berbagai upaya penanggulangan yang dilakukan ini terlihat bahwa pihak dan juga asal institusi para pihak dan perangkat aturan yang menjadi pedoman kerja masing-masing terlihat saling ‘kerjasama’. Namun, sejauh data yang dapat dikumpulkan, dapatlah dikatakan bahwa dalam pelakasanaan

‘kerjasama’ untuk mengatasi masalah tsb. masing-masing pihak masih terlihat ‘cenderung jalan sendiri-sendiri’. Dalam arti, leadership, network dan institusi dalam penanganan masalah ini ‘masih terkotak-kotak’ satu sama lainnya. Hampir tidak terjadi kerja yang ‘lintas sektoral’ meski tidak juga saling meniadakan satu sama lainnya. Meski begitu, harus segera diberi catatan bahwa keterlibatan salah satu pihak, khususnya ‘tokoh masyarakat’ yang memiliki beberapa sumber legitimasi (adat, ekonomi dan sosial, misalnya), sulit ditentukan atau dipastikan adalah semata-mata karena salah satu atau karena gabungan sumber legitimasinya itu. Boleh jadi, kehadiran seorang tokoh masyarakat lebih sebagai ‘pribadinya’, ketimbang atribut-atribut yang melekat pada pribadinya itu. Dengan demikian agak sulit melihat pengaruh, misalnya institusi adat dalam kasus penanganan kasus tergenangnya air di kampung Nila itu. (…) Begitu pula dengan kasus ‘upacara adat’ ketika memerangi hama dan penyakit yang menyerang padi di sawah masyarakat. Kegiatan ini relatif hanya dikelola oleh institusi adat, tanpa keterlibatan yang jelas dari institusi-institusi non-adat, seperti pemerintahan desa, misalnya.

Satu catatan tambahan perlu pula disertakan dalam bagian ini. Seperti yang terlihat dalam uraian pada bagian terdahulu, ‘institusi agama’ relatif kuat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Tapi, anehnya, kehadirannya tidak ‘mantap’. Dalam arti, ‘institusi agama’ nyatanya tidak selalu terlibat dalam seluruh masalah penting yang menjadi priorias yang terjaring dalam penelitian ini.

Karenanya, menarik pula untuk mencermati kutipan dari catatan penelitian lapangan di desa Mbay II berikut ini:

(…) Contoh lain dari ‘kecenderungan berjalan sendiri-sendiri’ ini terlihat dari bentuk keterlibatan gereja. Idealnya, waktu kerja puasa – yang tengah berlangsung ketika penelitian lapangan dilakukan -- dapat digunakan untuk mengerahkan umat mengatasi masalah-masalah yang dihadapi tsb. Nyatanya hal itu tidak terjadi. Kerja puasa hanya untuk lingkungan Kapela (tempat ibadah pada tingkat lingkungan/dusun). Selain itu, kerjasama antar lembaga relatif tidak terkoordinasi dengan cara-cara yang lebih disengaja dan terencana. Misalnya, kerja gereja (kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan agama, terutama yang dikoordinasikan oleh pihak gereja) cenderung mengerjakan kerja-kerja gereja saja. kerja untuk mengatasi masalah-masalah praktis masyarakat, yang secara kasat mata tidak terkait langsung dengan kerja gereja, dianggap bukan urusan gereja melainkan urusan pemerintah atau masyarakat itu sendiri.

Uraian di atas menunjukkan dua hal pokok. Di satu pihak, ‘partisipasi’ warga pada organisasi dan kegiatan bersama, sebagaimana yang ditunjukkan oleh data-data hasil survey (HHQ) relatif tinggi. Tingginya partisipasi warga pada organisasi dan aksi bersama, menurut teori modal sosial yang berkembang dewasa ini, akan menunjukkan kapasitas lokal yang tinggi pula. Namun, nyatanya, kinerja kegiatan bersama, sebagaimana yang terwujud dalam berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah penting, relatif rendah. Hanya sekitar 20% saja upaya penanggulangan masalah penting yang menjadi prioritas yang berhasil di atasi.

Jika keadaannya sedemikian rupa maka pertanyaannya kemudian adalah: mengapa keberadaan dan keberterimaan masyarakat pada berbagai institusi yang beragam itu bukan menjadi modal sosial bagi kuatnya kapasitas lokal (sebagaimana yang diyakini oleh teori-teori tentang modal sosial yang berkembang dewasa ini), melainkan justru melemahkan kapasitas lokal komunitas-komunitas di lokasi penelitian? Dapat pula dipertanyakan lebih lanjut: Jika keadaannya sedemikian rupa maka apa makna data-data statistis keterlibatan warga pada organisasi dan kegiatan bersama yang tinggi itu sebenarnya?

Dapat dikatakan bahwa membiaknya beragam institusi (dan juga organisasi) dalam masyarakat terjadi bukan karena adanya kebutuhan, dalam arti institusi yang lama atau yang ada tidak mampu lagi mengelola kewenangannya, tetapi terjadi karena institusi-institusi (dan juga lembaga- lembaga) baru dilihat sebagai peluang untuk meningkatkan ‘citra diri’ (identitas) posisi tawar pihak yang melakukannya, khususnya oleh pihak-pihak yang tidak diuntungkan oleh tatanan sosial (dan institusi) yang ‘lama’. Selain itu juga terjadi karena institusi (lama) yang ada ini telah kehilangan pamornya. Catatan sejarah menunjukkan bahwa institusi-institusi lama memang dengan sengaja dibatasi ruang geraknya; terlebih lagi ruang untuk melaksanakan wewenang-wewenang yang baru. Di tambah lagi, dalam kenyataannya, sumber- sumber daya yang sebelumnya mendukung atau sebagai sumber kehidupan bagi terlaksananya wewenang institusi-innstitusi yang bersangkutan makin terbatas daya dukungnya. Baik karena sudah terbagi atau karena memang diambil darinya.

Dari deskripsi kasus di atas terlihat bahwa macam-macam institusi adat dan non-adat (negara dan agama) pada dasarnya relatif terlibat saling ‘kerja sama’. Tetapi kerjasama itu bukan untuk saling memperkuat agar menghasilkan output yang maksimal melainkan justru sebaliknya: saling melemahkan. ‘Kerjasama negatif’ ini adalah ekspresi dari strategi para pelaku untuk saling mempertahankan eksistensinya: yang di satu pihak terjadi karena nilai-nilai, pengetahuan-pengetahuan (adat) adalah yang dikenalinya; dan di pihak lain, adalah cermin dari ketidakberdayaan mereka menolak kehadiran nilai-nilai dan pengetahuan-pengetahuan baru itu (baik secara sukarela maupun ‘terpaksa’/hegemoni). Akibatnya, hasil akhir dari ‘kerjasama negatif’ ini menjadi minimalnya hasil akhir kerja/aksi kolektif, khususnya dalam bidang-bidang kehidupan yang memang tidak diatur secara khusus (telah melembaga) di dalam pranata adat yang ada. Di pihak lain, aksi-aksi kolektif dalam ‘jalur adat’ pun kemudian menjadi tidak berkembang; bahkan juga mengecil. Jalur adat kemudian terbelenggu sekedar mengurus aspek-aspek kehidupan yang ‘pokok-pokok’ saja. Seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian misalnya. Aspek lainnya, seperti kehidupan ekonomi misalnya, sedikit demi sedikit ditarik keluar dari jalur adat ini, untuk kemudian digantungkan kepada inntitusi-institusi negara.

Alternatif untuk menghindarkan ‘kerjasama negatif’ ini adalah: focus main institution harus digeser; dari yang berpokok pada institusi-institusi negara menjadi yang berfocus pada institusi-institusi masyarakat, yang berdasarkan mekanisme-mekanisme adat yang ada.

Demikian pula, jika dikaitkan dengan wacana modal sosial dan kapasitas lokal, dalam konteks sosial dan budaya tertentu, dalam hal ini dalam tatanan sosial yang masih bercorak gesselschaft, tinggi atau rendahnya kapasitas lokal tidak ditentukan oleh keberagaman organisasi atau institusi melainkan terletak pada sejauh mana organisasi dan/atau institusi itu mampu menjalankan berbagai peran sebagaimana yang dibutuhkan pendukungnya. Karenanya, pemberian ruang bagi organisasi dan/atau institusi yang ada dalam masyarakat untuk beradaptasi (baca: mengembangkan kemampuannya) jauh lebih penting dan efektif ketimbang mencangkokan organisasi dan/atau institusi baru ke dalam kehidupan komunitas yang bersangkutan.

4.2.2. Pelajaran dan Kasus Sengketa Tanah (1) Pengantar

D i bagian depan telah diuraikan bahwa salah satu masalah penting yang hampir selalu ada di setiap desa penelitian adalah konflik tanah dan atau masalah pertanahan lainnnya. Telah diuraikan bahwa umumnya kinerja upaya-upaya penanggulangan masalah konflik tanah -- dan SDA pada umumnya – juga terhitung sangat rendah. Oleh sebab itu, kaitan antara (a) dominannya masalah konflik tanah ini di seluruh desa yang diteliti; (b) digunakannya/dikerahkannya seluruh energi (termasuk energi sosial) dan dimanfaatkannya seluruh kemungkinan jalan keluar yang tersedia – baik yang bersumber dari institusi komunitas maupun institusi negara -- untuk mengatasi masalah ini; dan (c) rendahnya kinerja hasil upaya-upaya penanggulangan konflik tanah ini, menjadi menarik untuk dibahas secara lebih lanjut.

Pada penelitian ini, seperti telah disinggung dalam bagian-bagian terdahulu bahwa kasus ‘penanggulangan masalah konflik tanah’ ini, dilengkapi dengan pendalaman pada satu kasus konflik tanah yang ditemui di lapangan. Upaya ini merupakan ‘ilustrasi’ bagi analisis tentang kapasitas lokal secara lebih mendalam. Dalam analisis, konflik tanah dimaksud akan diperlakukan

sebagai suatu semi outonomous social field 9 , di mana kinerja kepemimpinan, networks, dan institutions, tiga unsur kapasitas lokal, di masing-masing desa penelitian dapat dipahami secara lebih mendalam.

9 Sally Falk Moore, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik Studi yang Tepat”, dalam T.O. Ihromi, (ed.), Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 1993. Pendekatan yang dikembangkan Moore, jika dapat dikatakan begitu, dibangun atas dasar fakta bahwa ‘bidang yang kecil dan untuk sebagian otonom itu dapat menghasilkan aturan-aturan dan adat-kebiasaan serta simbol-simbol yang berasal dari dalam, tapi di lain pihak bidang tersebut juga rentan terhadap aturan-aturan dan keputusan-keputusan dan kekuatan- kekuatan lain yang berasal dari dunia luar yang mengelilinginya. Bidang sosial yang semi-otonom ini memiliki kapasitas untuk membuat aturan-aturan, dan sarana untuk menyebabkan atau memaksa seseorang tunduk pada aturannya; tapi sekaligus juga berada dalam suatu kerangka acuan sosial yang lebih luas yang dapat, dan memang dalam kenyataannya mempengaruhi dan menguasainya, kadang- kadang karena dorongan dari dalam, kadang-kadang atas kehendak sendiri. Menurut Moore (1993: 152 – 153), bidang sosial semi-otonom ini didefenisikan dan batas-batasnya ditentukan bukan melalui organisasinya (mungkin saja merupakan suatu kelompok korporasi atau mungkin juga bukan) melainkan dengan suatu ciri prosesual atau yang terjadi secara berangsur, yang terlihat dari fakta bahwa ia dapat menimbulkan aturan-aturan dan memaksakan atau mendorong ketaatan pada aturan- aturan itu. Oleh sebab itu, tulis Moore, suatu gelanggang di mana sejumlah kelompok korporasi saling berhubungan satu sama lainnya, mungkin saja merupakan suatu bidang sosial yang semi-otonom. Di samping itu, kelompok-kelompok korporasi itu sendiri bisa merupakan suatu bidang sosial semi- otonom. Banyak bidang seperti itu bisa saja satu sama lainnya saling berhubungan sedemikian rupa sehingga membentuk suatu mata rantai yang kompleks, seperti halnya dengan jaringan-jaringan sosial antarindividu, yang bila saling terikat bisa dianggap sebagai jalinan mata rantai yang tidak ada akhirnya.

(2) Konflik Tanah Perkara Perdata No. 9/Pdt.G/1994/PN.BJW

(a) Panggung Depan

Gugatan Amir Mandar pada pokoknya adalah sebagai berikut: Ada tanah bekas garapan pribadi (seluas 3.600 meter persegi), yang menurut adat Suku Mbay disebut terang, yang termasuk ke dalam tanah-tanah yang dilepaskan Ketua Suku Dhawe kepada Pemerintah Daerah setempat melalui Surat Penyerahan Tanah pada tanggal 14 Mei 1987. Hak penguasaan tanah terang menurut adat suku Mbay tetap berada pada bekas penggarap; tidak ada pihak yang dapat menguasai tanah itu kecuali bekas penggarapnya sendiri. Tanah bekas garapan pribadi itu termasuk ke dalam tanah Suku Mbay, karena pembukan tanah itu, Amir Mandar, adalah Suku Mbay.

Sepanjang menyangkut tanah sengketa, penyerahan tanah tahun 1987 itu tidak sah karena tergugat dan suku Mbay tidak terlibat dalam penyerahan tanah itu. Padahal, menurut penggugat, suku Dhawe tidak berhak melepaskan tanah suku atau tanah perorangan dari Suku Mbay.

Tanah-tanah yang kemudian diklaim sebagai tanah adat suku Dhawe, dari sudut pandang suku Mbay disebut sebagai tana sa watu leleng, yang artinya tanah-tanah itu merupakan hak bersama dari seluruh anggota suku Dhawe dan suku Mbay. Ini terjadi karena tanah-tanah itu adalah tanah hasil perang dengan pihak lain di mana suku Dhawe dan suku Mbay melakukan kerjasama. Bahkan, berdasarkan bheak suku Dhawe, tanah sengketa, dan juga tanah-tanah yang ada di sekitarnya, berada di luar yuridiksi hukum adat (klaim tanah) suku Dhawe. Hukum tanah yang berlaku pada tanah sengketa, dengan demikian, selain hukum adat suku Dhawe juga adalah hukum yang berlaku dalam suku Mbay; karenanya dalam penyerahan tanah tahun 1987 itu (belakangan diakui pula sebagai keharusan pada kasus penyerahan tanah 1962) harus melibat pihak suku Mbay.

Pada intinya jawaban pihak tergugat Syarif Laru Cs. Adalah sebagai berikut: Kebenaran adanya pribadi-pribadi yang pernah menggarapan tanah sengketa itu diragukan. Tidak ada saksi yang mendukung pengakuan itu. Kalau pun toh kegiatan penggarapan itu ada, tidak mungkin sampai seluas itu, dan kemungkinan besar berada di luar tanah sengketa itu; karena, tanah sengketa itu, setidaknya hingga tahun 1962, masih merupakan hutan. Tanda- tanda tanah sengketa sebagai tanah garapan adalah akibat pengunaan oleh Jepang pada tahun 1942-1943 (dijadikan kebun kapas) dan penggarapan setelah tahun 1962 (setelah tanah diserahkan pada pihak Pemda).

Penyerahan tanah tahun 1987 adalah pengukuhan (secara administratif) penyerahan tanah pada tahun 1962 sebelumnya; penyerahan mana telah dilakukan secara adat oleh suku Dhawe; melalui Papu Rae (Kepala Suku Tonga Nanga ketika) itu, yaitu orang yang ditunjuk sebagai pihak yang mewakili Suku Dhawe, dan disaksikan oleh penggugat sendiri.

Pada penyerahan tahun 1962 tidak ada keberatan dari mana pun, termasuk dari pihak-pihak yang sekarang mengatasnamakan dirinya sebagai suku Mbay. Jika tanah sengketa adalah bekas tanah garapan, maka menurut adat suku Dhawe itu merupakan ku rebe; menurut adat Suku Dhawe hak penguasaan ku rebe kembali berada pada kepala suku; sehingga kepala suku berhak melepaskan/menyerahkannya kembali kepada siapa saja.

Penyerahan tanah (baik 1962 maupun 1987) adalah sah karena dilakukan secara adat oleh ketua-ketua suku Dhawe, karena memang hanya ada suku Dhawe. Sebenarnya yang disebut suku Mbay tidak ada; yang disebut-sebut sebagai suku Mbay dalam beberapa waktu belakangan ini pada dasarnya adalah apa yang disebut sebagai rumah pokok Rajo Goa, salah satu dari lima rumah pokok yang ada dalam (persekutuan masyarakat hukum adat) suku Dhawe. Sebab itupula ‘Suku Mbay’ telah terwakili dalam rumah pokok Rajo Goa. Karenanya penyerahan tanah 1962 dan 1987 sah, karena ketua suku Rajo Goa turut melepaskan tanah pada tahun 1962 dan 1987 itu. Dengan demikian pemberlakukan hukum adat Mbay pada tanah sengketa menjadi tidak relevan.

(b) Analisis Lapis 1

Dari sudut pandang pihak Amir Mandar, tanah yang disengketakan itu, yang dikonstruksi sebagai tanah terang, merupakan ‘hak individual secara adat’. Tanah terang menurut konsep tenurial ‘Suku Mbay’ adalah hak individual tetap melekat pada kebun yang pernah dibuka seseorang meski tanah itu ditinggalkan dalam waktu yang relatif lama. Karenanya Amir Mandar Cs. harus menggunakan klaim hak suku (dalam hal ini ‘Suku Mbay’), agar dapat membatalkan tindakan dan/atau alas hak ‘Suku Dhawe’ pada kasus penyerahan tanah 14 Mei 1987, yang dalam prosesnya memang tidak melibatkan ‘Suku Mbay’ (dari sudut pandang warga Suku Mbay), karena dianggap memang tidak pernah ada (menurut keterangan versi fungsionaris adat Suku Dhawe). Dengan adanya klaim keberadaan suku Mbay itulah posisi hak individual Amir Mandar sebagai ku rebe (bekas kebun) dihidupkan. Dalam kerangka klaim suku Dhawe bekas kebun yang sudah tidak digarap dalam jangka waktu yang relatif lama kembali menjadi tanah suku. Klaim hak ‘Suku Mbay’ oleh Amir Mandar diperkuat dengan adanya konsepsi tana sa watu leleng (tanah milik bersama, yaitu tanah Dhawe yang diperoleh melalui perang dengan Lape di mana Mbay turut membantu Dhawe). Karenanya warga suku Mbay juga punya hak atas bidang-bidang tanah yang masuk di dalam ‘wilayah ulaya’ suku Dhawe itu.

Sementara itu, dari sudut pandang Suku Dhawe, dengan meletakkan bekas kebun Amir Mandar sebagai ku rebe (sebagaimana yang dimaksudkan dalam sistem tenurial Suku Dhawe) maka hak Amir Mandar, yang kalaupun memang pernah membuka bidang tanah yang bersangkutan, menjadi lemah jika tidak dapat dikatakan hilang (karena Kepala Suku memang berhak mengatur peruntukan tanah-tanah suku). Dengan itu pula maka para Ketua ‘Suku Lima’ (5 sub-suku dalam suku Dhawe, lihat uraian dalam bagian berikut) terhindar dari keharusan memusyawarahkan pelepasan tanah pada tahun 1962 maupun tahun 1987 dengan para bekas penggarap (termasuk Amir Mandar). Dengan ‘pilihan posisi’ Para Tergugat (Suku Lima) yang demikian itu maka ‘keharusan’ bermusyawarah dengan ‘Suku Mbay’ (dalam pengertian kelompok warga tertentu, seperti bagian dari kelompok rumah pokok Rajo Goa sekalipun) menjadi tidak ada, dan pelepasan tanah pada tanggal 14 Mei 1987 menjadi sah pula adanya.

Karenanya, dari sudut pandang pihak Amir Mandar, upaya ‘menghidupkan’ Suku Mbay sebagai suatu suku yang berbeda dengan suku- suku yang ada, termasuk dengan Suku Lima, menjadi sesuatu yang niscaya.

Sebaliknya, dari sudut pandang Suku Dhawe, ‘Suku Mbay’ memang harus tidak ada, setidaknya dalam pengertiannya secara formal.

Nyatanya, bahwa ‘Mbay’ adalah ‘sesuatu’ di wilayah yang bersangkutan adalah suatu relitas sosiologis dalam kehidupan bermasyarakat di wilayah itu, tentunya merupakan suatu realitas sosiologis yang tidak dapat ditolak begitu saja. Masalahnya kemudian adalah, apakah ia (Mbay) memang telah mewujudkan diri sebagai suatu suku sebagaimana yang dimaknai dalam kehidupan sosial sehari-hari di wilayah itu? Apa sebenarnya makna suku dalam kehidupan masyarakat di wilayah itu sebenarnya? Bagaimana ia terbentuk dan berkembang? Bagaimana pula ia mempertahankan kelangsungan hidupnya?

Pertanyaan ini mau-tidak-mau mengharuskan kita melihat sejarah lebih jauh ke belakang. Betapapun, dalam pembicaraan sehari-hari memang biasa diidentifikasi kelompok-kelompok masyarakat yang disebut sebagai Mbay- Dhawe. Jika orang akan pergi ke tempat-tempat di mana terdapat orang-orang yang dikategorikan sebagai orang Mbay-Dhawe itu orang juga biasa menyebut Mbay-Dhawe sebagai suatu wilayah/tempat.

(c) Panggung Belakang: Aspek Sosio-antropologis Persekutuan dan Pertengkaran Suku Mbay dan Suku Dhawe

Keebet von Benda-Beckmann mengatakan bahwa hukum tidak hanya dapat diketahui melalui keputusan-keputusan dalam sengketa; suatu pandangan yang menolak asumsi yang didasarkan pada pemikiran bahwa hanya aturan-aturan yang mempunyai sanksi dapat secara memadai disebut sebagai hukum. Nyatanya hukum tidak hanya berlaku dalam sengketa, tetapi juga dalam kehidupan sosial yang bebas sengketa. Penanganan sengketa merupakan suatu bagian penting kehidupan hukum, tetapi tidak secara mendasar lebih penting dari misalnya, hukum yang menyangkut properti atau hubungan kerja, atau proses pembuatan keputusan dalam situasi yang bebas sengketa. Meski begitu, semuanya itu, termasuk penanganan sengketa, tidak akan bisa dipahami tanpa pemahaman tentang aspek sosial politik dari organisasi sosial yang menjadi setting sengketa dan proses pembuatan

keputusan-keputusan itu sendiri 10 .

Karenanya, untuk dapat memahami hal-hal yang terkait dengan perkara Nomor 9/Pdt.G/1994/PN.BJW, kita harus pula memeriksa ‘panggung belakang’ perkara dimaksud. ‘Panggung belakang’ itu mencakup sejumlah hal yang dalam penelitian ini disebut sebagai possible topics, termasuk hal-hal yang menyangkut sejarah asal-usul suku Dhawe dan posisi Mbay di dalamnya; kaitannya dengan tanah-tanah yang diklaim sebagai tanah adat suku Dhawe dan atau suku Mbay itu; sejarah asal-usul suku Mbay dan corak hubungan persekutuannya dengan suku Dhawe, berikut posisi tanah adat suku Dhawe bagi kehidupan warga suku Mbay; dinamika ‘pertumbuhan kesadaran bersuku-suku’ suku Mbay; serta ketegangan-ketegangan hubungan persekutuan suku Mbay dan suku Dhawe, sebagaimana terurai dalam bagian- bagian berikut ini.

Para ‘fungsionaris adat’ suku Dhawe sekarang mengaku sebagai generasi ke 37 dari garis lurus keturunan anak laki-laki pendahulu suku

10 Kebeet von Benda-Beckmann, op.cit., 2000, hal. 5.

Dhawe itu. Menurut para fungsionaris adat, Suku Dhawe terdiri lima rumah pokok, yaitu rumah pokok Kowa Dhawe; rumah pokok Rajo Goa; rumah pokok Tonga Nanga; rumah pokok Tiwu Tasi; dan rumah pokok Gako Tasi. Masing- masing rumah pokok memiliki tugasnya masing-masing, yang diselenggarakan sehubungan dengan keberadaan suku Dhawe. Rumah pokok Kowa Dhawe diakui sebagai inti atau asal pertama dari suku Dhawe. Karena itu rumah pokok Kowa Dhawe menduduki posisi semacam ketua dari persekutuan rumah-rumah pokok yang membentuk suku Dhawe itu.

Dalam struktur ‘pemerintahan adat’, kelima rumah pokok itu memiliki status dan peran yang berbeda satu sama lainnya (lihat Box 7)

Box 7 : Pembagian peran dalam persekutuan Suku Dhawe

Kowa Dhawe, merupakan pokok asal suku Dhawe, karenanya menjadi kepala/ ketua suku Dhawe. Sebagai kepala/ketua tentulah memegang peranan penting dan bertugas mengatur seluruh urusan suku-suku ini, karena itu dalam istilah suku di sebut waka ola/gili ola – perisai kampung. Rajo Goa adalah faksi asala panglima perang dari suku Dhawe. Sesuai dengan namanya, diceritakan ini berasal dari Sulawesi (Goa), dan merupakan orang kedua atau orang yang paling pertama datang dan beradaptasi dengan orang Dhawe. Dalam istilah dengan bahasa setempat disebut mosa sike, laki bani. Tonga Ngana, dalam perjalanan Tonga Ngana itu berasal dari Soa, dan mendapat tugas sebagai penyampai/semacam Humas untuk menyampaikan hal keputusan atau kesepakatan-kesepakatan kepada masyarakat umum. Tiwo Tasi, dikisahkan berasal dari Sumba/Wio, juga datang dan berjumpa dengan orang Dhawe, kemudian mendapat tugas sebagai pelaksanan upacara-upacara adat, urusan seni dengan istilah qu’ru. Gako Tasi, berasal dari Bugis/Makassar, dan karena mereka ini adalah pelaut-pelaut sebagaimanan Bugis pada umumnya, maka kepada mereka diserahkan tugas sebagai panglima perang tetapi khusus untuk daerah pesisir pantai (masih juga dengan istilah mosa sike laki bani).

Rumah pokok adalah unsur mawa dalam persekutuan suku Dhawe. Masing-masing mawa terbagi-bagi lagi ke dalam sejumlah sepi. Di dalam persekutuan suku Dhawe terdapat 17 sepi. Hubungan-hubungan yang terjadi antar mawa-mawa dan sepi-sepi inilah yang membangun apa yang disebut woe, atau yang sekarang populer disebut sebagai suku itu.

Masing-masing mawa dan sepi memiliki sejarah pertumbuhannya sendiri-sendiri, seiring dengan perjalan waktu yang dilalui oleh suku Dhawe. Suatu ketika, terjadilah perkawinan antara Tuju Bae (laki-laki, keturunan rumah pokok Rajo Goa) dengan Subhi (perempuan, anak Kraeng Jogo, yang kemudian bergelar Kraeng Mbay). Mereka tinggal di Nggolombay (menurut bahasa suku Mbay) atau Olambay (menurut bahasa Dhawe). Di Nggolombay ini dibangun Ngandung, semacam Peo, tapi berupa batang/tanaman yang hidup, tidak mati. Ini berbeda dengan lazimnya peo-peo yang ada di daerah itu, yang biasanya berupa pohon/kayu mati, sebagai tanda perkawinan antara Tuju Bae dengan Subhi.

Turunan Tuju Bae dan Subhi menjadi ‘bagian’ yang ‘kuat’ dalam jalur rumah pokok Rajo Goa. Ini terlihat dari pimpinan atau ketua rumah pokok Rajo Goa, dengan sendirinya, selalu dipegang oleh keturunan Tuju Bae dan Subhi ini. Posisi keturunan saudara dan saudari Subhi lainnya tidak ‘terlalu jelas’.

Nggolombay/Olambay dan kampung-kampung lain yang sekarang diklaim sebagai kampung-kampung suku Mbay pada dasarnya adalah kampung-kampung yang dihuni oleh keturunan Kraeng Mbay dan anak- anaknya.

Sejarah asal-usul suku Mbay dan corak hubungan persekutuannya dengan suku Dhawe, berikut posisi tanah adat suku Dhawe bagi kehidupan warga suku Mbay menurut petinggi-petinggi suku Mbay sekarang ini agak sedikit berbeda. Suku Mbay adalah keturunan Kraeng Jogo, berasal dari Sulawesi Selatan (terbukti dengan sebutan Kraeng yang disandangnya), yang kemudian bergelar sebagai Kraeng Mbay. Ketika datang ke daerah Mbay sekarang ini Kraeng Mbay membawa serta anak-anaknya. Masing-masing adalah: ……………….

Namun demikian, menurut sejumlah innforman yang mengaku sebagai ‘petinggi adat’ suku Mbay sekarang ini, suku Mbay tidak semata-mata berasal dari keturunan Kraeng Mbay ini semata. Sebelum Kraeng Mbay datang sudah ada orang-orang yang tergabung ke apa yang disebut suku Mbay itu yang tinggal di ‘kampung asal’ di Nggolombay (bahasa Mbay) atau Olambay (menurut bahasa Dhawe) dan 9 kampung suku Mbay lainnya. Dari mana asal orang-orang Mbay sebelum adanya keturunan Kraeng Mbay tidak dapat dijelaskan oleh pemuka-pemuka suku Mbay sekarang ini.

Kalaupun kemudian Kraeng Mbay yang menjadi semacam ‘puncak asal- asul’ suku Mbay oleh ‘pimpinan-pimpinan’ suku Mbay sekarang ini, itu terjadi karena orang-orang suku Mbay sekarang ini tidak mau menghitung garis asal- usulnya secara tidak akurat. Penghitungan ‘puncak pimpinan’ dibatasi hingga hanya pada tingkat Kraeng Mbay terjadi karena hanya hingga pada tingkat itulah penghitugnan garis keturuan itu dapat dilakukan secara akurat, artinya dapat dikenali.

Pimpinan suku Mbay sekarang ini adalah generasi ketujuh dari Kraeng Mbay. Jika satu generasi membutuhkan waktu sekitar 30 tahun untuk melahirkan generasi di bawahnya, maka umur suku Mbay ini, jika hanya Kraeng Jogo yang dijadikan patokan, adalah sekitar 200 tahun.

Menurut fungsionaris adat suku Mbay, bukti bahwa suku Mbay itu ada adalah terlihat dari keberadaan Ngandung, atau Peo Hidup, di Nggolombay (atau Mbay Dam sekarang). Mengapa peo sebagai tanda keberadaan suku Mbay berbeda dengan peo-peo dari suku-suku lain yang ada di daerah itu tidak dapat dijelaskan menurut cara-cara yang biasa digunakan dalam menjelaskan keberadaan peo.

Jika keberadaan suku Mbay terhitung sejak Kraeng Mbay ada maka itu berarti suku Mbay relatif adalah masyarakat pendatang di daerah itu. Menurut ‘pemimpin-pemimpin’ suku Mbay sekarang kesimpulan itu tidak benar. Alasannya, jika memang suku Mbay adalah keturunan para pendatang, menurut sumber dari suku Mbay sekarang, maka tidak mungkin pimpinan hamente Mbay pada masa Swapraja Nagekeo dulu berasal dari keluarga yang sekarang ini mengaku sebagai suku Mbay itu. Argumen in tentu saja ‘lemah’, karena ‘para pendatang’ yang kemudian tergabung ke dalam persekutuan suku Dhawe dapat saja memiliki posisi yang penting. Bahkan merupakan unsur yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja dalam ‘dewan pimpinan bersama’ suku Dhawe.

c.1. Dinamika ‘pertumbuhan kesadaran bersuku-suku’ suku Mbay

Pada masa Pemerintahan Swapraja Nagekeo (awal abad 20 hingga masa awal kemerdekaan), wilayah yang sekarang menjadi wilayah kecamatan Aesesa ini terbagi-bagi ke dalam 5 (lima) wilayah pemerintahan hamente (dialek lokal untuk menyebut gemeente/Bah. Belanda). Masing-masing adalah (1) Hamente

Dhawe; (2) Hamente Mbay; (3) Hamente Nataia; (4) Hamente Rendu; dan (5) Hamente …………..

Tidak terlalu jelas faktor-faktor apa yang menyebabkan wilayah-wilayah itu dibagi-bagi dengan cara demikian itu. Jika pembagian itu berdasarkan wilayah suku, maka pertanyaan pokoknya adalah mengapa tidak ada Hamente Lape (nama salah satu suku yang kerap muncul dalam cerita-cerita perang antar suku di daerah itu, termasuk dengan Dhawe, perang mana yang mengakibatkan sebagian tanah suku Lape menjadi tanah Dhawe sekarang ini); atau, kalau memang tidak ada suku Mbay, mengapa pula ada hamente Mbay?

Menurut para pemuka masyarakat suku Dhawe, ‘wilayah adat’ suku Dhawe terbagi ke dalam dua hamente, masing-masing adalah Hamente Dhawe dan Hamente Mbay. Menurut pemuka-pemuka suku Dhawe dan juga suku Mbay, pada dasarnya wilayah tanah yang kemudian menjadi wilayah Hamente Mbay itu berasal atau diperoleh dari perang melawan suku Lape. Dalam perang itu keturunan-keturunan Kraeng Mbay turut membantu (menurut pemuka suku Dhawe) atau turut terlibat, karena memang sudah menjadi kewajibannya (menurut pemuka suku Mbay). Bahkan, menurut kedua belah pihak, perang suku Dhawe melawan suku Mbay itu dipimpin oleh cucu Kraeng Mbay, yaitu anak dari Boe dengan Ana Kodha Madhu (orang dari Sulawesi yang datang ke daerah itu pada masa-masa setelah Kraeng Mbay bermukim di daerah itu) yang bernama Mandang. Oleh sebab itu, menurut pemuka suku Mbay, wilayah suku Dhawe yang dijadikan wilayah Hamente Mbay itu disebut sebagai tana sa watu leleng, kuru sa pu’u wae samata (tanah yang satu, rumput yang satu, air yang satu, dapat digunakan secara bersama-sama – antara suku Dhawe dan suku Mbay). Menurut suku Dhawe, tanah hanya tanah bekas hamente Mbay yang dapat dimanfaatkan oleh suku Mbay, tetapi seluruh tanah Dhawe, karena orang-orang yang sekarang mengaku sebagai suku Mbay itu adalah warga suku Dhawe juga, khususnya bagian suku Dhawe yang tergabung ke dalam rumah pokok Rajo Goa.

Dengan demikian, perang antara suku Dhawe (suku Mbay ada di dalamnya) dengan suku Lape ini terjadi pada generasi ketiga dari Kraeng Mbay atau generasi ke … jika dihitung dari garis keturunan suku Dhawe.

Kepala-kepala mere Hamente Mbay umumnya adalah keturunan garis lurus pihak ayah atau pihak laki-laki dari Mandang. Dari silsilah para kepala hamente, disebut kepala mere atau kepala meze, di Hamente Mbay, terlihat bahwa pada umumnya pra kepala mere Hamente Mbay itu berasal dari keturunan Boe (saudara perempuan Subhi). Dengan demikian, dari sudut garis keturunan, para kepala meze Hamente Mbay ini berasal dari garis keturunan perempuan dari pihak Kraeng Mbay. Garis keturunan laki-laki diperoleh dari Ana Kodha Mandu, pendatang dari generasi berikut setelah Kraeng Mbay.

Mane Tima (kepala meze Hamente Mbay 1925 – 1950) malah menjadi semacam ‘juru bicara’ para kepala meze dan suku-suku lainnya yang ada di wilayah Kecamatan Aesesa sekarang ini dengan Raja Nagekeo. Raja Nagekeo sendiri sempat beristrikan seorang perempuan bernama ……, keturunan dari garis Nono (anak laki-laki Kraeng Mbay yang lain).

Dalam pada itu, pada tahun 1949 terbit hasil penelitian Gaspar Gero yang mengatakan bahwa di wilayah penelitiannya (maksudnya wilayah adat suku Dhawe) terdapat apa yang disebutnya sebagai Suku Lima.

Sejarah pertumbuhan suku Dhawe menunjukkan bahwa suku itu pada dasarnya suatu persekutuan yang dinamis sifatnya. Bisa berubah-rubah Sejarah pertumbuhan suku Dhawe menunjukkan bahwa suku itu pada dasarnya suatu persekutuan yang dinamis sifatnya. Bisa berubah-rubah

Tidak diperoleh informasi yang dapat menunjukkan bahwa apakah pada masa-masa itu (hingga tahun 1950-an) terdapat niat untuk menjadikan Mbay sebagai salah satu rumah pokok (mawa) lainnya dalam woe Dhawe. Mengingat sejarah pertumbuhan suku Dhawe sendiri, tentunya hal itu bukan sesuatu yang baru sama sekali. Ini terlihat dari keberadaan rumah-rumah pokok di luar rumah pokok Kowa Dhawe, seperti yang telah disebutkan dalam bagian terdahulu. Boleh jadi, proklamasi Suku Lima oleh Gaspar Gero menjadi penghalang bagi masuknya suku Mbay sebagai salah satu rumah pokok dalam persekutuan suku Dhawe, dan tidak hanya ‘menjadi bagian dari rumah pokok Rajo Goa’ atau menjadi ‘satu sisi dari mata uang yang bernama suku Dhawe’.

Pada tahun 1952 dilakukan pelepasan tanah untuk pembangunan irigasi dan persawahan di daerah itu. Penandatangan surat pelepasan hak atas tanah suku-suku itu dilakukan oleh kepala-kepala suku Dhawe (suku Mbay tidak disebut-sebut), Lape dan Nataia. Kepala-kepala Hamente yang ada di daerah itu, termasuk Said Mane, Kepala mere Hamente Mbay ketika itu, turut menandatangani surat pelepasan hak tanah suku sebagai saksi.

c.2. Ketegangan-ketegangan hubungan persekutuan suku Mbay dan suku Dhawe

Pada tahun 1962, Papu Rae (ketua rumah pokok Tonga Nanga ketika itu), atas nama ketua-ketua suku Dhawe menyerahkan tanah untuk pembangunan perkantoran Kecamatan Aesesa kepada Bupati Ngada ketika itu. Menurut pemuka-pemuka suku Mbay, ketika itu suku Mbay sudah protes melalui Ibrahim Remang (ketua rumah pokok Rajo Goa pada saat itu). Menurut pemuka-pemuka suku Dhawe, Ibrahim Remang tidak pernah menyampaikan protes apa pun. Lebih dari itu, tidak mungkin Ibrahim Remang protes, karena penyerahan dilakukan oleh suku Dhawe, dan rumah pokok Rajo Goa yang diketuai Ibrahim Remang ketika itu termasuk ke dalam persekutuan suku Dhawe itu sendiri.

Menurut pemuka-pemuka suku Mbay, protes yang disampaikan pada Ibrahim Remang dan kemudian memang dilakukan Ibrahim Remang itu adalah protes suku Mbay, dan bukan protes Ibrahim Remang sebagai ketua rumah pokok Rajo Goa. Hal ini dimungkinkan karena Ibrahim Remang beristrikan orang suku Mbay dan tinggal di Desa Mbay I sekarang ini.

Mengapa Papu Rae yang menyerahkan tanah pada tahun 1962 itu? Secara adat rumah pokok Tonga Nanga memang merupakan komponen suku Dhawe yang bertugas sebagai pengundang dan sekaligus menjadi tuan rumah bagi pertemuan-pertemuan suku (lihat pembagian tugas antar rumah pokok). Namun, dari sudut suku Mbay, hal itu menunjukkan bahwa kondisi suku Dhawe sudah semakin ‘tidak jelas’, dan terkooptasi oleh kekuatan pemerintah. Æ tambahkan dengan deskripsi tentang kondisi/struktur ketua-ketua rumah pokok Dhawe ketika itu. Bagaimana kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik masing-masing ketua rumah pokok suku Dhawe ketika itu; apakah Papu Rae, selain memang memiliki tugas menurut aturan adat ketika itu, memiliki pula posisi-posisi penting lain non-adat, sehingga dia yang langsung berhadap-hadapan dengan pemerintah ketika itu?

Menurut H. Muhammad Husein Mane Tima (sekarang sebagai ……….) pada tahun 1966 ada usul suku Mbay pada ketua-ketua rumah pokok suku Dhawe untuk melakukan pencabutan/pembatalan perjanjian-perjanjian pelepasan tanah yang telah dilakukan suku Dhawe.

Sekitar akhir tahun 1960-an (1969?) Hamente Mbay dibubarkan. Bersamaan dengan itu ‘kampung-kampung’ ………….., yang tadinya mmerupakan bagian dari Hamente Mbay, diregrouping menjadi desa Mbay I; dan kampung-kampung …………. menjadi desa Mbay II.

Pada tahun 1975 ada sebuah surat pernyataan pelepasan tanah yang dilakukan antara lain oleh Herman Ngebu (kepala rumah pokok Tonga Nanga ketika itu) atas nama kepala suku Mbay-Dhawe. Namun, menurut Herman Ngebu, surat itu, dan juga surat-surat pernyataan yang lain, dikonsep oleh pihak pemerintah. Pihak kepala-kepala suku atau kepala-kepala rumah pokok tinggal tanda tangan saja. Pernah juga ada keberatan dari pihak kepala suku dan/atau kepala rumah pokok tentang ketidak sesuaian penyebutan itu. Tapi pemerintah tidak peduli dan tetap dengan konsep-konsep surat yang telah disusunnya.

Pada tahun 1985, dalam suatu deklarasi para mosalaki di Kecamatan Aesesa, tidak ada nama tokoh-tokoh yang sekarang menjadi pemuka-pemuka suku Mbay.

Pada tahun 1987, terjadi penandatanganan surat pelepasan hak atas tanah suku Dhawe. Pelepasan hak atas tanah suku pada tahun ini pada hakekatnya adalah pengukuhan pelepasan tanah suku yang telah terjadi pada tahun 1962. Menurut pengakuan H. Muhammad Husein Mane Tima dalam kesaksiannya pada perkara perdata Amir Mandar, seperti yang tertulis dalam Keputusan Pengadilan Negeri Bajawa hal. 15, ada keberatan yang diajukan kepada Bupati. Atas keberatan pihak suku Mbay ini dilakukan musyawarah yang dihadiri oleh Yusuf Suku (ketua suku Mbay sekarang ini), H. Muhammad Husein Mane Tima, dan para tergugat (ketua-ketua rumah pokok suku Dhawe ketika itu). Namun musyawarah itu tidak menghasilkan kesepakatan, dan dijanjikan akan dilanjutkan lagi. Namun, hingga perkara perdata gugatan Amir Mandar disidangkan, musyawarah lanjutan itu tidak pernah terselenggara.

Menurut M. Nur, anak kandung dan sekaligus kuasa penggugat, rencana gugatan pun kemudian dipersiapkan. Tahun 1994, Yusuf Suku dan H. Muhammad Husein Mane Tima, selaku ketua dan wakil ketua suku Mbay, menolak hasil penelitian tentang suku-suku di Kecamatan Aesesa yang dilakukan Pemda Ngada. Pada tahun yang sama, Amir Mandar mengajukan gugatan pada PN. Bajawa, konon juga karena merasa ditantang oleh saran yang dikemukakan Petrus Pena, Camat Aesesa ketika itu.

(d) Analisis Lapis 2

Persengketaan Dhawe – Mbay dapat ditelusuri dan sekaligus dipahami dari beberapa hal pokok berikut ini. Pertama, kasus ini berakar dari tidak jelasnya posisi Mbay dalam persekutuan suku Dhawe. Hal ini menjadi penting adalah karena tersingkirnya pemuka-pemuka suku Mbay dalam proses-proses pengambilan keputusan yang penting, terutama dalam pelepasan tanah suku. Kedua, tengah terjadi masalah kelangkaan tanah, baik anggota-anggota masyarakat yang posisinya dalam persekutuan suku ‘tidak kuat’ maupun keprihatinan terhadap masalah ketersediaan tanah pada umumnya.

Kasus ini juga tidak dapat dilepaskan dari pemberontakan ‘anak suku’ karena terkooptasinya pemuka-pemuka suku-suku oleh pemerintah. Terutama suku-suku dan ketua-ketua suku yang memiliki posisi dan peran penting (atau yang dipentingkan). Situasi ini meresahkan ‘unsur-unsur progresif’ dari suku- suku yang bersangkutan. Mereka-mereka ini akhirnya merintis jalan tersendiri yang diharapkan dapat memperbaiki situasi.

Menghadapi perkembangan yang ada, para pihak menggunakan – termasuk di dalamnya memanipulasi – ketentuan-ketentuan adat, termasuk sistem kekerabatan yang menjadi landasan utama sistem sosial dan sistem politik masyarakat yang bersangkutan. Realitas adat sebagai suatu yang dinamis telah menempatkan adat pada posisi yang dilematis. Di satu pihak, adat adalah ‘enegri sosial’ yang mampu menggerakkan kehidupan masyarakat. Namun di pihak lain, aspek dinamis adat telah menjadikan adat sebagai sesuatu yang sulit untuk dipedomani (karena wujudnya terus berubah); mudah diputarbalikkan maknanya; rawan rekayasa; terlebih lagi ketika ia digunakan sebagai ‘alat bukti’ dalam suatu mekanisme penyelesaian sengketa formal (yang sejatinya dibangun dengan paradigma yang berbeda sama sekali dengan paradigma adat itu sendiri).

Intervensi pihak luar, khususnya negara, semenjak masa pemerintahan swapraja hingga sekarang, memperkisruh permasalahan dan posisi intitusi- institusi masyarakat yang ada. Begitu pula, penyebutan-penyebutan suku, kepala suku, fungsionaris suku, kelompok masyarakat adat, rumah pokok yang tidak konsisten turut memperkisruh situasi.

(e) Analisis Lapis 3

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto (2000), azas teritorialitas dalam sistem pengorganisasi pemerintah di tingkat komunitas diintroduksikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda, termasuk cara desa-desa memperoleh kepalanya, melalui pemerintah ad interim Inggris (1812 – 1817). Kebijakan itu nyata kalau dimaksudkan untuk membuka apa yang dinamakan ruang publik (public sphere) yang menjadi prasyarat kehidupan demokratik. Lebih lanjut dikatakan bahwa, sekalipun tidak pernah dinyatakan secara eksplisit dalam wacana- wacana ilmu pemerintahan, patutlah diduga bahwa kebijakan kolonial itu -- apabila memang benar mengacu ke model gemeente (yang sepenuhnya merupakan public sphere tempat para warga dalam suasana egalitarian berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat) – mencoba secara berangsur- angsur mendorong kehidupan-kehidupan pedesaan di Jawa ke realitasnya yang pasca feodal dan/atau pasca adat gemeenschap yang kuno. Hanya saja karena pertimbangan-pertimbangan pragmatik (yang bersangkutan dengan masalah pembiayaan dan keuangan) sajalah yang menyebabkan pemerintahan kolonial tak hendak bertindak tergesa-gesa untuk menjadikan orang-orang Jawa di daerah pedesaan menjadi burgers dan desa-desa menjadi burger- gemeenschap. Maka kebijakan kolonial – yang karena alasan pragmatik tersebut di muka – hendak menerapkan sistem indirect rule dalam pemerintahan di tanah jajahan, dengan strategi integrasinya (dan bukan strategi asimilasi yang disebut vernederland-sing) tetaplah bertahan sampai pecahnya Perang Dunia II.

Dikatakan pula, teritorialisasi itu pada asalnya adalah suatu upaya menciptakan zone-zone netral yang bersuasana sebagai ruang publik, tempat Dikatakan pula, teritorialisasi itu pada asalnya adalah suatu upaya menciptakan zone-zone netral yang bersuasana sebagai ruang publik, tempat

Kajian atas kasus-kasus di Kecamatan Golewa dan Aesesa menunjukkan kepada kita bahwa upaya pembukaan ruang publik (yang bersifat inklusif) pada ruang-ruang kehidupan masyarakat yang masih bersuku-suku dan genealogis, sebab itu pula bersifat primordial (eksklusif), yang telah dimulai sejak awal abad ini, dan semakin gencar pada masa Orde Baru (terutama melalui perangkat UU No. 5/1979 yang telah dicabut itu), nyatanya telah gagal total. Upaya ini dalam kenyataannya bukannya menjadikan ruang hidup yang bersuku-suku itu menjadi hilang, melainkan malah menjadi subur dan tetap eksis, meski dalam satuan sosial yang warganya lebih kecil jumlahnya.

Yang terjadi di lokasi penelitian adalah bahwa wilayah-wilayah pengelolaan ruang kehidupan publik (khususnya kebijakan pembentukan desa sebagaimana yang diatur dalam undang-undang pemerintahan desa yang ada) justru menjadi wahana (basis materi) bagi terwujudnya satuan-satuan sosial ‘suku baru’ (yang hubungan-hubungan sosial dan teritorialnya didasarkan pada garis-garis hubungan genealogis terentu). Dengan demikian, upaya de- suku-isasi itu, yang dilaksanakan oleh negara, terkadang dengan kekuatan yang represif, justru memunculkan arus pemisahan diri yang mengencang (dengan semangat suku ‘baru’ dan ‘tersendiri’); yang pada akhirnya, logis saja, membuka ruang konflik harizontal sesama suku.

Sekarang, pemecahan suku ini dapat berlangsung jauh lebih mudah ketimbang masa-masa sebelumnya. Hal ini dimungkinkan oleh karena adanya kekuatan ‘supra suku’, dalam hal ini negara, yang dapat dijadikan suku (baru) sebagai pelindungnya dalam upaya membangun suku-suku baru itu. Keberadaan LSM yang salah kaprah menerapkan konsep pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat juga seringkali mondorong proses pencipataan suku-suku baru ini. Pada masa sebelum ada kekuatan ‘supra suku’ gerak pemisahan diri, dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya, memang sudah ada. Namun gerak itu relatif terhambat karena tidak adanya kekuatan ‘supra suku’ yang dapat dijadikan pelindung, kecuali embrio dan atau kehendak pemisahan suku itu sendiri.

Pada masa-masa sebelum adanya kekuatan ‘supra suku’ upaya pemisahan diri ini memerlukan kesiapan suku yang amat matang. Sekarang, Pada masa-masa sebelum adanya kekuatan ‘supra suku’ upaya pemisahan diri ini memerlukan kesiapan suku yang amat matang. Sekarang,

Meski begitu, proses yang demikian itu menjadikan suku sebagai suatu institusi dalam situasi yang dilematis (ambigu?). Gerak pemisahan diri itu tentu saja dapat dilihat sebagai adanya suatu kapasitas lokal yang sangat pontensial, di mana identitas suku dapat menggerakkan aksi bersama untuk mencapai tujuan bersama (memisahkan diri). Adanya identitas yang dijunjung bersama, tidak hanya sekedar menjadi bagian dari keberadaan suku yang lama, tentunya akan memicu solidaritas suku yang dapat dilairkan menjadi energi sosial kreatif bagi pencapaian tujuan-tujuan bersama susku itu sendiri. Namun, arus pemecahan diri yang demikian itu tentu saja akan menempatkan suku sebagai suatu kekuatan yang ‘kecil-kecil’, karena gerak pemecahan suku itu bagaimana pun akan disertai dengan gerak pemecahan kekuatan suku yang ada sebelumnya. Kondisi ini tentunya tidak akan ideal, karena, dengan demikian, akan menempatkan negara dalam posisi yang kuat di atas masyarakat (apa lagi bagi suku yang berlindung di balik kehadiran negara itu sendiri). Sementara, masyarakat sendiri akan berada dalam posisi yang saling bertentangan satu sama lainnya (sebagai akibat pemecahan suku itu).

Upaya teritorialisasi justru melahirkan tuan-tuan tanah, terutama karena dikenalkannya konsep ‘Raja’ pada tingkatan Pemerintahan Swapraja. Singgungan dengan pihak luar (negara dan program-programnya) mendorong terjadinya individualiasi jabatan pimpinan dalam tatanan suku (yang sebelumnya kolektif). Bersamaan dengan itu, pemipin yang makin tunggal ini menjelma pula menjadi tuan tanah (suatu konsep yang sebenarnya tidak dikenal), karena ketika negara dan programnya butuh tanah maka diperlukan pihak penguasa dari dalam suku yang dapat melepaskan pelepasan tanah suku itu (individualisasi jabatan dalam suku). Dalam prosesnya, tuntutan kehidupan berubah. Kebijakan-kebijakan negara juga tidak mendukung kebijakan-kebijakan dalam suku (misalnya hak adat tidak diakui). Kepala suku jadi selfist dan menjual tanah. Jabatan tuan tanah pun makin diaktifkan. Rakyat jadi terlantar. Hak ulayat yang tadinya bebas berubah menjadi tidak bebas lagi. Tanah ulaya dikuasai para individu, yaitu para tuan tanah itu.

Tentu saja arus besar membangkitkan suku baru tidak semata untuk memperoleh hegemoni budaya semata melainkan untuk memperoleh sumberdaya yang dialirkan (oleh negara) kepada desa. Aliran sumberdaya ini perlu direbut karena (1) sumber-sumber kehidupan lokal yang memang makin terbatas (sebagian akibat digerogoti negara, melalui pajak-pajak/retribusi/tata niaga yang tidak adil dan penyedotan pengahasilan lokal melalui pembelian barang-barang yang tidak dihasilkan di kapung/pengaruh perubahan gaya hidup maupun karena terjadinya peningkatan kebutuhan dari dalam sendiri); (2) tidak terdistribusinya sumberdaya yang masuk itu secara merata (hanya dikuasai oleh pihak-pihak tertentu, umumnya keluarga atau suku-suku dominan dalam desa yang bersangkutan).

Nyatanya sistem pemerintahan Swapraja justru ‘mengukuhkan’ nilai- nilai feodal yang semula masih terasa samar-sama saja. Swapraja menjadi pusat orientasi. Karena alasan adanya keterbatasan orang/staf dari luar pada akhirnya swapraja dibangun/didirikan/dijalankan melalui institusi/organisasi yang feodal yang ada. Karena alasan keterbatasan itu di satu pihak dan ‘dikungkunginya’ kesempatan yang ada di pihak-pihak lain, dalam rangka meningkatkan kualitas SDM di pusat pemerintahan, orang-orang terdidik Nyatanya sistem pemerintahan Swapraja justru ‘mengukuhkan’ nilai- nilai feodal yang semula masih terasa samar-sama saja. Swapraja menjadi pusat orientasi. Karena alasan adanya keterbatasan orang/staf dari luar pada akhirnya swapraja dibangun/didirikan/dijalankan melalui institusi/organisasi yang feodal yang ada. Karena alasan keterbatasan itu di satu pihak dan ‘dikungkunginya’ kesempatan yang ada di pihak-pihak lain, dalam rangka meningkatkan kualitas SDM di pusat pemerintahan, orang-orang terdidik

4.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Lokal

Kapasitas lokal di masing-masing desa yang diteliti ini dipengaruhi oleh sejumlah apa yang dalam penelitian ini disebut sebagai faktor-faktor internal, yaitu hal-hal yang sebenarnya berada di dalam ontrol komunitas sendiri; dan faktor-faktor eksternal, yatu hal-hal yang berada di luar kontrol komuniti yang bersangkutan. Faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal di maksud adalah sebagai berikut.

4.2.3.1. Faktor Internal

(a) Sistem sosial yang timpang Ada dua hal yang menyangkut masalah sistem sosial yang timpang ini. Pertama, soal kedudukan ‘istimewa’ kelompok mosalaki; dan kedua, adanya ketidaksetaraan status dan peran di antara ‘faksi’ di dalam suatu woe, atau mawasepi, atau yang secara populer sekarang ini disebut suku.

Sistem sosial yang merupakan produk proses sosial politik pada masa- masa sebelumnya ini sangat jelas memperlihatkan ketidakmerataan akses sumber daya dan politik. Mosalaki memegang seluruh sendi kehidupan lapisan sosial yang lain, sehingga apapun upaya yang dilakukan oleh golongan non mosalaki, ia tetap tidak akan mempunyai akses sumber daya dan politik yang sama sebagaimana mosalaki hanya karena ia bukan keturunan mosalaki. Sistem sosial seperti itu potensial menyebabkan kohesi sosial masyarakat di masing-mamsing komuniti yang diteliti terancam, yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses penciutan kapasitas lokal bersama-sama dengan masuknya faktor-faktor eksternal. Dalam jangka panjang, proses penciutan kapasitas lokal ini menyebabkan kinerja kapasitas lokal menjadi rendah.

(b) Pergeseran nilai-nilai sosial menjadi nilai-nilai ekonomi Pergeseran nilai sosial menjadi nilai ekonomi terjadi di berbagai sisi kehidupan seperti pergeseran tata guna dan tata kuasa atas sumber daya alam, perkembangan-perkembangan yang terjadi di dalam komuniti, feo (kerja gotong royong), upacara adat dan interaksi sosial, dan nilai-nilai komunal menjadi individu (semangat kekeluargaan dan kebersamaan melemah).

(c) Pergeseran tata guna dan tata kuasa atas sumber daya alam Menurunnya ketersediaan dan kualitas pelayanan alam sangat berkaitan dengan persoalan tata guna dan tata kuasa atas sumber daya alam. Dulu, di

Totomala misalnya, komuniti menjaga alam melalui aturan adat dengan pembagian kerja, misalnya suku Dodo mengatur masalah tanah, suku Bupo mengatur sumber daya yang lain sehingga keterjagaan dan pelayanan SDA tetap terjaga. Komunitas berjuang bersama untuk menjaga dan melestarikan sumber daya alam dengan mentaati kearifan-kearifan lokal serta aturan-aturan adat, selalu mengutamakan kebersamaan dan tidak memperhitungkan nilai ekonomis dari satu kegiatan bersama, artinya lebih mementingkan nilai sosial ketimbang nilai ekonomis. Sekarang komuniti mulai bergeser dari nilai pelestarian kepada pemanfaat sumber daya alam (tata kuasa individu). Misalnya penguasaan akan padang garam, hutan atau padang rumput secara individu. Tidak ada lagi upacara-upacara adat yang bertujuan untuk menjaga kelestarian alam seperti upacara adat di mata air atau tempat tertentu agar air tetap besar, pohon-pohon besar terjaga, dan burung-burung terlindungi. Hal ini disebabkan oleh tuntutan pola hidup yang selalu mengikuti perkembangan zaman, sehingga menggeser nilai adat yang diwariskan oleh nenek moyang.

(d) Perkembangan-perkembangan yang terjadi di dalam komuniti Di dalam komuniti, berjalan paralel dengan pertambahan penduduk, penggunaan tanah dan kebutuhan hidup lainnya juga semakin meningkat. Pertambahan penduduk yang disebabkan oleh kurang berhasilnya program KB (Takatunga), kasus kawin kontrak (dengan buruh-buruh proyek, Todabelu), tradisi ‘kawin masuk’ (Takatunga), dan banyaknya pendatang (termasuk buruh-buruh proyek dan PNS, Todabelu), telah menuntut adanya sarana pemukiman yang semakin luas. Di samping itu, banyaknya kasus penjualan tanah ke orang lain, dan peruntukan lahan untuk perkebunan juga telah menambah semakin sempitnya ketersediaan lahan. Kondisi yang demikian, tak mengherankan jika seiring dengan sempitnya lahan, orang semakin merasa perlu untuk menguasai tanah dan memperjelas batas tanah yang diklaim sebagai miliknya ataupun milik suku tertentu. Kepentingan ini dilandasi oleh kebutuhan hidup yang semakin meningkat sehingga penguasaan atas sumber daya alam mutlak diperlukan.

(e) Memudarnya foe (kerja gotong royong) Foe atau kerja gotong royong merupakan satu bentuk kerjasama antara warga masyarakat. Kerjasama ini sebenarnya mendorong orang untuk tidak lagi menjadi kuli pada orang lain. Foe ada dua macam, yaitu foe kedhi yang terdiri dari 10 –20 orang dan foe meze yang terdiri dari 200 – 300 orang. Keterlibatan orang dalam foe berdasarkan wilayah teritorial, yaitu sekampung, tetapi bisa juga dengan kebun-kebun yang berdekatan. Dalam foe kedhi maupun foe meze tidak terlalu dipentingkan soal makan dan minum. Makan apa adanya seperti ubi, jagung, pisang, dan lain-lain tetapi harus ada daging karena daging dianggap sebagai perekat.

Dalam foe meze yang terlibat adalah orang-orang dari beberapa kampung, baik dari keluarga kerabat maupun dari orang-orang yang dikenal. Dengan foe ini orang-orang merasa persaudaraan tinggi dan akrab. Foe mulai makin jarang dilakukan. Apalagi foe meze. Dalam mengerjakan kebun fungsi foe sekarang sudah mulai digantikan traktor dan untuk tanam dan menyiang menyewa tenaga dengan upah harian.

(f) Pergeseran upacara adat dan integrasi sosial. Pergeseran nilai dari nilai sosial ke nilai ekonomi juga terjadi dalam tata upacara adat. Kegiatan-kegiatan adat yang mengorbankan banyak biaya untuk kebutuhan bersama, sekarang sudah diperhitungkan nilai jualnya, misalnya nilai jual hewan untuk upacara adat. Dulu banyak kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama (To’o moko, Pani kapi) seperti upacara Gua (sunat) sebagai pendewasaan bagi laki-laki, Wetu Ngi’i (potong gigi) sebagai pendewasaan bagi perempuan, sekarang sudah tidak dilakukan lagi karena pengaruh faktor dari luar yaitu kebijakan pemerintah yang menyebutkan bahwa kegiatan Gua dan Wetu Ngi’i dianggap sebagai pemborosan. Faktor agama juga merupakan penyebab pergeseran dari nilai adat ini, karena upacara adat dianggap menyembah berhala.

(g) Nilai-nilai komunal menjadi individu (Semangat kekeluargaan dan kebersamaan melemah) Ini dapat dilihat dari respon masyarakat terhadap masalah penting yang dihadapi cenderung menjadi individual, dan hasilnya sekedar mengurangi dampak karena masalahnya sendiri masih tetap ada. Misalnya dalam mengatasi masalah hama, kebanyakan petani melakukan secara individu sehingga kurang berhasil.

Rasa saling percaya mulai menurun misalnya kepercayaan terhadap kegiatan-kegiatan bersama seperti arisan belis sangat kuat, tetapi sekarang mulai ada kekhawatiran ada yang tidak mengembalikan arisan belisnya karena jika dilihat lebih jauh tidak ada aturan yang mengikat semua anggota untuk mengembalikan lagi arisan yang lain.

4.2.3.2. Faktor Eksternal

(a) Proses teritorialisasi yang mempublikkan hal-hal yang bersifat privat diperkuat dengan UUPD No. 5 /1979 (sudah dicabut) Perubahan kepemimpinan adat/informal menjadi kepemimpinan formal menyebabkan pemimpin informal menjadi terasing dari masyarakatnya sendiri karena pertanggungjawaban pemimpin bukan lagi ke masyarakat tetapi cenderung kepada atasannya. Dengan sendirinya aturan-aturan adat yang sudah lama hidup dan menjadi pegangan masyarakat pun menjadi tidak berfungsi, sehingga menimbulkan banyak friksi dan berubah menjadi konflik terbuka.

(b) Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pasar Faktor penyebab langsung turunnya harga-harga komoditas pertanian adalah perlakuan pasca panen yang buruk, mutu beras rendah, KUD tidak mampu membeli beras petani, maraknya beras impor, dll. Persoalan ini hanya menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat, tetapi tidak ada upaya yang dilakukan oleh masyarakat karena ada ‘kebuntuan cara’, apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Petani yang melakukan pengolahan lahan, penanaman, perawatan sampai panen, tetapi ketika harus menjual, petani dihadapkan pada harga pasar yang tidak dapat dikontrolnya. Tentu saja hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah dalam mengatasi krisis dengan mengimpor beras dari luar negeri sehingga menyebabkan harga beras dalam negeri menjadi terpuruk.

(c) Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pertanian Munculnya ledakan hama, menurunnya kesuburan tanah, mahalnya sarana produksi, menurunnya hasil panen, adalah merupakan dampak dari kebijakan pemerintah pada tahun 1960-an, yaitu revolusi hijau. Penyebab langsung dari masalah menurunnya hasil panen adalah karena curah hujan kurang, ketersediaan lahan yang menurun, kurangnya tenaga, perawatan tanaman yang tidak teratur, serangan hama dan penyakit, kurang modal usaha, dan sebagainya. Upaya yang dilakukan masyarakat berupa melakukan pekerjaan sampingan seperti menganyam, iris moke, beternak, tukang, dll tidak dapat mengatasi masalah secara langsung karena cenderung mengurangi dampak daripada sebagai mengatasi masalah. Kalaupun faktor-faktor penyebab dieliminir satu persatu, belum tentu persoalannya akan hilang karena dibalik itu ada kebijakan pertanian yang sangat berpengaruh pada matapencaharian masyarakat, dimana hal itu di luar kontrol masyarakat.