Kinerja Pemerintahan Desa

3.1. Kinerja Pemerintahan Desa

3.1.1. Keterlibatan Pemerintah Desa dalam Penanggulangan Masalah Penting

Data-data yang ada menunjukkan bahwa dari 105 upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah penting yang ada, pihak pemerintah, dari berbagai kategori dan tingkatan, terlibat dalam 73 upaya. Artinya, peran pemerintah itu terjadi pada sekitar 2/3 dari keseluruhan upaya yang teridentifikasi. Dari jumlah itu, ada 9 upaya yang tergolong sebagai upaya berhasil. Itu berarti pula bahwa pemerintah terlibat dalam sekitar separuh dari

jumlah keseluruhan upaya penanggulangan masalah yang dianggap berhasil 1 . Seperti halnya para pihak yang lain, para pihak dari unsur pemerintahan juga dapat berkontribusi dalam segala bentuk kemungkinan. Mulai dari ide/gagasan/pengetahuan; tindakan; dana; ketrampilan; hingga pihak yang mengambil keputusan. Dan itu dapat terjadi baik pada tahap perencanaan; pelaksanaan; maupun pemeliharaan. Tidak terlihat dengan jelas, pada kasus-kasus mana saja pemerintah bertindak sebagai pemberi ide/gagasan/pengetahuan saja atau berkontribusi dalam bentuk keterlibatan yang tertentu saja. Biasanya, pada setiap upaya, terdapat lebih dari satu bentuk keterlibatan. Dalam beberapa kasus bisa mencakup seluruh bentuk keterlibatan. Tapi umumnya keterlibatan pemerintah berupa kombinasi dari dua sampai tiga dari lima kemungkinan keterlibatan yang ada.

Untuk memahami lebih lanjut kinerja pemerintahan desa ini, pada bagian berikut akan diuraikan potret penyelenggaraan proyek-proyek maupun program pembangunan yang disponsori pemerintah di masing-masing desa yang diteliti. Baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun tahap pemeliharaan. Untuk mendapatkan gambaran perbandingan potret itu dilakukan pada program/proyek yang telah berlangsung sebelum tahun 1998 ataupun yang ada setelah tahun itu. Deskripsi masing-masing program/proyek yang akan dijadikan bahan pelajaran itu adalah sebagaimana tersaji dalam Box

3.1 hingga Box. 3.8 berikut.

Box 3.1. : Proyek-proyek di Desa Mbay II

Proyek pengaspalan jalan (1997). Rencana proyek ini berawal dari keluhan masyarakat kepada Pemerintah Daerah pada saat kunjungan di Desa Mbay II. Usulan ini lalu dibuat secara tertulis, dan dituangkan dalam Musbangdes. Masyarakat mengetahui bahwa usulan ini mendapat respons, setelah beredarnya desas-desus, bahwa dana untuk pengaspalan itu ada. Informasi ini hanya menjadi desas-desus, karena masyarakat tidak pernah terlibat langsung dalam rapat- rapat formal yang diadakan oleh pemerintah desa, kecuali saat pertama kali mengajukan keluhan kepada pihak pemerintah daerah. Selebihnya, masyarakat hanya tahu tentang adanya sejumlah pertemuan yang dihadiri oleh pemuka dan pemimpin Lingkungan/RT, di mana keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan dan keterlibatan masyarakat di dalamnya, sudah terwakili dengan sendirinya. Untuk selanjutnya, atas keputusan para pemimpin desa, pekerjaan pengaspalan jalan dilaksanakan dengan keterlibatan masyarakat secara keseluruhan,

1 By definition , tentunya pemerintah seharusnya dilihat sebagai bagian dari pihak yang dapat diharapkan turut mengatasi masalah kehidupan yang dihadapi masyarakat, sebagaimana akan diperlakukan dalam

uraian sub-bab ini. Meski begitu, seperti yang akan terlihat nanti, rendahnya kinerja pemerintah menunjukkan posisi pemerintah yang lain, yaitu sebagai ‘bagian dari masalah itu sendiri’.

termasuk mendanai diri mereka sendiri untuk makan dan minum saat istirahat. Dalam tahap pemeliharaan, seperti menambal kalau ada jalan yang lubang, menggali got dan saluran pembuangan, serta membatasi kendaraan berat yang melintas di badan jalan, tidak lagi menjadi bagian warga Mbay II pada umumnya, melainkan para pemuda desa, Pemdes, dan LMD/LKMD, yang dana operasionalnya berasal dari sumbangan warga baik berupa uang maupun material.

Saat ini, fisik jalan yang sudah rusak, pecah-pecah (aspalnya), berlubang, dan tergenang air telah melahirkan ragam masalah yang disalingkaitkan oleh masyarakat dengan kinerja pemerintah desa yang kurang baik. Hal ini berkaitan dengan ketidakpuasaan masyarakat dalam proses pelaksanaan dan pemeliharaan fisik jalan, yakni menyangkut tidak transparannya pengelolaan dana dari pihak pemerintah desa, kualitas jalan yang mudah rusak, hilangnya sisa aspal yang diamankan oleh pemerintah kecamatan (sehingga penambalan jalan yang rusak harus dibiayai dari sumbangan masyarakat), hampir tidak ada koordinasi pihak pimpinan kelurahan dengan masyarakat dalam perbaikan jalan, dan belum adanya perangkat aturan desa untuk melarang truk-truk besar melewati jalan. Meski pada mulanya, masyarakat puas dengan selesainya pekerjaan, karena jalan desa telah diaspal dan tidak becek seperti sebelumnya.

Program Inpres Desa Tertinggal (1998). Program ini diperuntukkan kepada kelompok masyarakat ekonomi lemah di Desa Mbay II, guna pembangunan irigasi persawahan. Akan tetapi, saat ini dana yang laiknya digulirkan dalam Pokmas sudah macet, sementara anggota Pokmas lainnya belum mendapat giliran. Hal ini mengundang ketidakpuasan masyarakat dalam seluruh prosesnya, sejak perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan (keberlanjutannya). Menariknya, masalah ketidakpuasan ini berkaitan dengan pengelolaan manajemen program oleh pihak pemerintah desa, sebab tidak satupun masyarakat mengakui keterlibatannya dalam keseluruhan proses.

Ketidakpuasaan masyarakat Mbay II, sesungguhnya merupakan teguran terhadap model perencanaan yang diturunkan dari atas, lengkap dengan JUKLAK (petunjuk pelaksanaan) dan JUKNIS (petunjuk teknis). Akibatnya, ketika sampai di desa sasaran, karena sakralnya JUKLAKNIS bagi pemerintah desa maupun masyarakat, maka sifat wajib yang menyertainya mengesampingkan kebutuhan mendasar dari masyarakat. Di samping itu, kelompok sasaran yang pembentukannya juga ‘wajib’ sesuai dengan JUKLAKNIS itu, melahirkan dua akibat, pertama, kelompok dibuat secara mendadak karena mengejar terget waktu, dan kedua, penyaringan anggota kelompok tidak sesuai sasaran (karena efisensi dan efektivitas), di mana penunjukkan orang lebih karena dia telah dikenal (meski dianggap mampu) daripada dia jelas miskin tetapi tidak dikenal. Lagipula, model pengawasan yang diserahkan sepenuhnya kepada Pemdes maupun Pemda, melahirkan rasa enggan masyarakat (sebut saja tokoh adat, pemuda, dan anggota masyarakat yang tidak menjadi anggota Pokmas) penerima manfaat maupun yang bersangkutan untuk melakukan kontrol yang ketat. Teguran kepada seorang pengguna dana, bisa melahirkan kalimat, ‘ini bukan kewenangan anda’.

Box 3.2. : Proyek-proyek di Desa Nggolonio

Program Inpres Desa Tertinggal (1996-1998).

Untuk desa ini program IDT dikonsentrasikan penggunaannya pada kegiatan usaha produktif, yakni ternak, dagang, dan koperasi. Dalam tahap perencanaan semua unsur masyarakat desa (Pokmas, Pemdes, LKMD) terlibat dalam menyampaikan gagasan maupun pengambilan keputusan, selain pihak sarjana pendamping IDT, Pemerintah Kecamatan, dan Pemerintah Daerah Kabupaten. Demikian juga dalam tahap pelaksanaan dan pemeliharaan (keberlanjutan), semua pihak berkepentingan di Desa Nggolonio terlibat secara aktif, kecuali Pemerintah Kabupaten secara langsung, dan sarjana pendamping IDT yang pada tahap pemeliharaan (keberlanjutan) tidak aktif lagi karena dana fungsionalnya distop oleh pemerintah.

Kelayakterimaan program ini dipandang cukup baik, karena masyarakat merasa puas dengan pengelolaan dana yang diserahkan kepada kelompok dan langsung mendapat uang tunai. Namun, bukan berarti ketidakpuasaan masyarakat tidak ada, sebab, ternyata masih ada sebagian anggota Pokmas yang merasa tidak dilibatkan dalam perencanaan serta dominasi tenaga pendamping yang membatasi keleluasaan Pokmas mengelola dana secara mandiri.

Sementara rutinitas yang diharapkan dari tenaga pendamping dalam memotivasi sangat kecil, tidak sebanding dengan intervensinya yang besar dalam pengelolaan dana Pokmas.

Meskipun kontrol perintah yang kurang juga mendapat sorotan masyarakat, namun dengan dilibatkannya masyarakat dalam setiap tahapan program, di mana akses mereka dalam pengambilan keputusan juga terbuka, agaknya cukup menjelaskan tentang kinerja pemerintah desa yang lebih baik, dan berpotensi untuk mendorong terciptanya pemerintahan yang demokratis. Hal ini pula, yang memungkinkan proyek IDT di Desa Nggolonio masih terus berjalan meski tanpa tenaga pendamping.

Kinerja pemerintah yang cukup baik ini juga terlihat dalam Program Pengembangan Kecamatan (2000), di mana masyarakat terlibat pada setiap tahapannya, termasuk rasa puas dalam pengelolaan dana yang transparan. Tidak puasnya masyarakat, lebih tepat jika dikalimatkan, ‘tentunya akan lebih baik lagi jika program tidak hanya menyangkut air bersih saja’ dan kalaupun tidak memungkinkan, maka paling tidak perlu dibentuk suatu badan pengelola air minum di desa. Yang terakhir tentunya ditujukan kepada pemerintah desa, meski tidak secara langsung disampaikan.

Box 3.3. : Proyek-proyek di Desa Totomala

Proyek IFAD (1996). Pada awalnya proyek ini sempat ditolak oleh beberapa tokoh masyarakat dan kepala suku, sebab dengan pembagian tanah (sertifikasi) kepada petani-petani, mereka khawatir kehilangan hak penguasaan tanah. Akan tetapi, pihak Pemerintah Desa mengambil inisiatif untuk membahas hal ini bersama masyarakat dan pihak perkebunan. Hasilnya masyarakat menerima dan menyatakan puas atas dilaksanakannya proyek ini, di mana selain mendapat tanah berikut sertifikatnya, para petani juga memperoleh bibit yang hasilnya cukup baik. Rasa puas masyarakat peserta proyek (252 KK) juga ditunjang dengan keikutsertaan mereka dalam pengambilan keputusan.

Rasa tidak puas petani lebih ditujukkan pada proses pemeliharaan perkebunan, dan, meski tidak diungkapkan terang-terangan, para petani juga merasa tidak puas dengan pembagian lahan yang tidak merata (sebagian mendapat 0,5 Ha, dan sebagian kecilnya, yang adalah keluarga dekat pemerintah desa, mendapat 2 s.d. 3 Ha).

Proyek Padat Karya (1999). Proyek ini melibatkan seluruh warga Totomala dalam pembuatan jalan desa dari Kuru ke Sulu sepanjang 3 Km. Peserta proyek mendapat upah yang sangat rendah Rp. 5.000 perhari. Daripada proyek ini dialihkan ke desa lain, maka masyarakat menerima dengan rasa puas yang dipaksakan, paling tidak mereka untuk jalan desanya sendiri dan mendapat upah. Beberapa keputusan penting, terutama pengelolaan dana proyek tidak melibatkan masyarakat, seperti dana pemeliharaan yang tidak pernah disosialisasikan, dan dominannya pemuda asal Watu Api dalam pemeliharaannya.

Saat ini kondisi jalan rusak berat karena tidak ada deker (jembatan kecil) dan saluran air, sehingga jalan mudah terkikis air hujan dan berlubang-lubang.

Box 3.4. : Proyek-proyek Desa Langedhawe

Proyek Jalan Aemali-Danga (1991). Seluruh perencanaan proyek ada pada Pemerintah Daerah, sementara pemerintah desa, kontraktor, dan beberapa warga yang hanya terlibat dalam tahap pelaksanaan dalam bentuk keterampilan semata-mata (terutama bagi warga setempat yang menjadi buruh upahan). Dalam tahap pemeliharaan, seluruhnya, baik ide/gagasan, tindakan, dana (termasuk material), dibebankan kepada Pemdes (selaku pengambil keputusan) dan warga desa setempat. Tidak heran, dengan kondisi jalan yang rusak berat saat ini, masyarakat pada umumnya tidak merasa puas.

Program JPS Kartu Sehat (1998). Proyek ini sejak perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan tidak diketahui keberadaannya, dan karena itu mereka tidak puas. Akan tetapi, pelayanan kesehatan yang bebas biaya sedikit menutupi rasa tidak puas masyarakat. Alasan Program JPS Kartu Sehat (1998). Proyek ini sejak perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan tidak diketahui keberadaannya, dan karena itu mereka tidak puas. Akan tetapi, pelayanan kesehatan yang bebas biaya sedikit menutupi rasa tidak puas masyarakat. Alasan

Kedua proyek di atas sumber maupun besar dananya tidak diketahui oleh masyarakat.

Box 3.5. : Proyek-proyek di Desa Takatunga

Proyek Jalan Laja - Sarasedu - Takatunga (1996). Warga desa telah mengusulkan pembangunan jalan sejak beberapa tahun di belakang (1980-an). Meskipun tidak dilibatkan dalam perencanaan, masyarakat telah merasa puas karena tuntutan mereka akhirnya terpenuhi, bahkan sebagian masyarakat turut ambil bagian dalam pelaksanaan pembangunan jalan sebagai buruh upah harian, termasuk BP3 SD Ngorabolo yang memanfaatkan momentum itu sebagai pencarian dana (penggalian got = saluran air). Sebagian masyarakat menyatakan tidak puas (terutama di sepanjang ruas jalan Takatunga-Sarasedu), karena sepanjang kurang lebih 2 Km tidak diaspal sehingga dianggap tidak berfungsi pada musim hujan. Inisiatif masyarakat (bahkan turut menyumbangkan dana) dalam pemeliharaan jalan seiring dengan pemerintah daerah dan desa. Tetapi, menjadi menarik, masyarakat justru bertindak sebagai inisiator sekaligus pengambil keputusan dalam perbaikan jalan, tanpa keterlibatan pihak pemerintah desa. Pemdes turut ambil bagian, karena melihat masyarakat sedang melakukan penimbunan lubang atau membersihkan got. Tanpa kontrol dan respons yang minim dari pihak Pemdes menyebabkan perbaikan jalan terkesan asal-asalan.

Program Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT), Jalan Ngorabolo-Malakako

(1998). Proyek ini juga dibangun atas permintaan masyarakat. Respons atas permintaan ini memberi kepuasaan tersendiri kepada masyarakat, namun terhentinya proses pembangunan akibat kesalahan koordinasi antara konsultan dan kontraktor menyebabkan keterlibatan masyarakat untuk melanjutkannya secara swadaya. Hasil yang tidak maksimal ini mengundang rasa tidak puas masyarakat, padahal tidak sedikit tanaman produktif masyarakat ikut tergusur tanpa ganti rugi. Saat ini kondisi jalan yang menghabiskan dana 150 Juta itu rusak berat, menjadi kali pada saat musim hujan, dan jembatannya telah rubuh. Memang Medan jalan Takatunga cukup berat, sehingga alokasi dana yang direncanakan Rp. 150 juta membengkak hingga 199 juta, itupun belum cukup untuk hasil yang memuaskan. Keterlibatan masyarakat bersama pemdes dalam mencapai sepakat pengalihan dana pembangunan dekker untuk menutupi pembengkaka anggaran cukup menjelaskan tentang pentingnya keputusan bersama dalam kasus ini, sebab pemeliharaan sepenuhnya diserahkan kepada mereka nantinya (meski diakui intervensi pihak konsultan dan kontraktor mendominasi).

Box 3.6. : proyek-proyek di Desa Sangadeto

Program IDT (1996). Kelompok sasaran program ini adalah warga masyarakat yang sudah berkeluarga, kecuali PNS, yang lantas disebut Pokmas. Dalam semua proses baik perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharan anggota Pokmas tidak satupun terlibat dalam penyampaikan ide/gagasan maupun pengambilan keputusan. Mereka tinggal melaksanakan, kerena keputusan berikut perencanaan, tata cara pelaksanaannya berada dalam kewenangan kepala desa dengan bantuan tenaga pendamping yang fungsinya tidak sesuai dengan keinginan masyarakat (tidak memberikan penyuluhan peternakan, penanama palawija, maupun pemupukan).

Program ini boleh dibilang terhenti (sementara), karena semua kelompok ‘mandeg’ dan uang pengembaliannya dipegang oleh bendahara. Sampai saat penelitian ini dilaksanakan belum ada pertemuan untuk menyelesaikan masalah, dan tidak mungkin berharap pada tenaga pendamping yang sudah tidak ada. Karena itu, dana sebesar 60 juta terhenti pergulirannya, sementara masih banyak anggota Pokmas yang menunggu gilirannya.

Program Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT), Air Bersih dan MCK (1999).

Prasarana air minum diperuntukkan bagi warga dusun Koli, sedangkan Prasarna MCK (mandi, cuci, kakus) diperuntukkan bagi warga dusun Koli, Zepe, dan Olabolo. Seperti program lainnya, ada saja warga yang tidak puas dan yang puas atas proses pembangunannya. Bagi warga yang tidak puas, alasannya menyangkut pengelolaan dana (sumber dan besar dana tidak diketahui) Prasarana air minum diperuntukkan bagi warga dusun Koli, sedangkan Prasarna MCK (mandi, cuci, kakus) diperuntukkan bagi warga dusun Koli, Zepe, dan Olabolo. Seperti program lainnya, ada saja warga yang tidak puas dan yang puas atas proses pembangunannya. Bagi warga yang tidak puas, alasannya menyangkut pengelolaan dana (sumber dan besar dana tidak diketahui)

Box 3.7. : Proyek-proyek di Desa Todabelu

Peningkatan Saran Air Bersih (Bank Dunia, 1994). Proyek ini merupakan respons atas permintaan masyarakat yang memang sudah lama menghendakinya. Karena itu, selain membaktikan tenaganya, warga desa dan LKMD juga menyumbangkan dana (Bank dunia 68 juta dan warga 5 juta) meski mereka tahu kalau Pemerintah Kelurahan tidak turut menyumbang. Peran LKMD dalam pembangunan ini cukup baik, karena sering memberikan motivasi kepada warga untuk meningkatkan partisipasi. Yang menarik dari proyek ini adalah tidak terlibatnya Pemerintah Kecamatan dan Kabupaten, karena tidak tahu. Jadi proyek ini merupakan kerja sama langsung antara Bank Bunia dengan masyarakat dan Pemerintahan Desa (termasuk tokoh-tokoh masyarakat). Masyarakat pada umumnya merasa puas, karena tingginya partisipasi yang ditunjukkan oleh warga umumnya. Karena itu, tidak heran jika airnya lancar sampai saat ini. Namun, masih juga ada sedikit rasa kurang puas dari beberapa warga, yakni menyangkut rasa kepemilikan yang minim dari beberapa warga yang mengikatkan hewan kerbaunya pada pipa air (sehingga rusak), kurang kontrol atas kebersihan, dan sejumlah anak yang iseng memasukan pasir atu kayu ke dalam pipa air.

Proyek Pengeboran Gas Bumi (2000). ‘Idealnya’ proyek ini diperuntukkan untuk masyarakat di Kabupeten Ngada. Saat ini pengeboran sudah selesai akan tetapi belum tampak manfaatnya. Dalam keseluruhan proses, perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharan, masyakarakat, LKMD, dan Pemerintah Kelurahan tidak tahu. Oleh sebab itu, tidak satupun masyarakat menyatakan kepuasannya, bahkan sebaliknya menggelisahkan warga yang mulai membaca tanda-tanda yang merugikan kesehatan dan ketenangan penduduk, serta tercemarnya tanaman oleh gas H2S yang berasal dari perut bumi akibat pengeboran.

Box 3.8. : Proyek-proyek di Desa Mangulewa

Proyek Hutan Rakyat (1980). Proyek ini dinilai tidak berhasil oleh masyarakat, karena memang tidak memberikan hasil apa-apa, kecuali sedikit untuk kebutuhan rumah tangga. Meskipun pada tahap perencanan warga terlibat dalam musyawarah (tanpa ikut memutuskan, bahkan jadwal kerja disusun tanpa keterlibatan warga), namun pada proses pelaksanaan dan pemeliharaan warga merasa “ditipu” oleh pemerintah desanya. Pendeknya, warga dimobilisasi untuk penggalian lubang (laki-laki) dan penanaman (perempuan). Tidak puasnya warga dan merasa ditipu, disebabkan janji pemdes tentang adanya upah tenaga kerja dan dana pemeliharaan, namun sampi proyek selesai, dana tersebut tidak pernah diketahui penggunaannya.

Program IDT (1998). Program ini dikhususkan untuk usaha simpan pinjam bagi 10 kelompok. Dana sebesar 60 juta dikabarkan secara transparan kepada masyarakat termasuk pengelolaannya (tiga tahap, 20 juta pertahap), dan karena itu masyarakat merasa puas. Saat ini program terus berjalan, uang perguliran relatif lancar (kecuali kelompok yang usahanya agak tersendat), bahkan jumlah dana semakin lancar dan terdapat anggota yang mulai mengembangkan usaha meubel.

Dengan merujuk deskripsi singkat proyek/program yang dilaksanakan di delapan desa sasaran di atas, terdapat beberapa hal menarik yang dapat diulas lebih jauh. Pertanyaan acuannya adalah: (a) Apa saja akibat-akibat (masalah bawaan) yang ditimbulkan oleh kinerja Pemerintahan Desa dalam Dengan merujuk deskripsi singkat proyek/program yang dilaksanakan di delapan desa sasaran di atas, terdapat beberapa hal menarik yang dapat diulas lebih jauh. Pertanyaan acuannya adalah: (a) Apa saja akibat-akibat (masalah bawaan) yang ditimbulkan oleh kinerja Pemerintahan Desa dalam

Jika pertanyaan-pertanyaan a & b di atas coba disandingkan satu sama lainnya maka hasilnya adalah sebagaimana tersajikan melalui Tabel 3.1. dan Tabel 3.2. berikut ini.

Tabel 3.1. Uraian Akibat (masalah bawaan/implikasi) Kinerja Pemerintah dalam Pengelolaan

Proyek/Program pembangunan

DESA Proyek/

Akibat (masalah bawaan) Program Pemdes

Kinerja

Proyek Masyarakat

Mbay II Pengaspalan • Tidak melibatkan

• ketidakpuasan jalan desa

Rusak, pecah,

• Ketidakpercayaan (1997)

warga dalam

berlubang,

pengambilan

tergenang air

• kekecewaan

keputusan

• motivasi pemeliharaan

• Tidak tepati janji

kurang

• Pengelolaan dana tidak transparan • tidak ada Pertanggungjawaban penggunaan dana kpd masyarakat

• ketidakpuasan (1996-1998)

IDT • Tidak menyesuaikan

Macet, tidak ada

Juklak/juknis dengan

perguliran dana

• Ketidakpercayaan

kondisi setempat

lagi,

• kekecewaan

• Tidak adil dalam

• penyelewengan dana

penetapan calon

oleh pengurus pokmas

penerima dana • Tidak transpranan dalam pengelolaan dana.

• kurang kontrol terhadap pengelolaan dana di kelompok

Nggolonio

IDT

• Kepuasan atas (1996-1998)

• Melibatkan Pokmas

dalam pengambilan

keterlibatan dalam

keputusan

Masih Bergulir

pengambilan

• Dana dibahas oleh

keputusan

Pemdes, pengurus

• Kurang puas atas

Pokmas, dan

intervensi

pendamping

pendamping yg

• Memberi kewenangan

berlebihan

kepada pendamping

• Tidak menyoalkan

mengelola dana

pertanggujawaban

Pokmas

dana, karen diserahkan kepada Pokmas

PPK • Melibatkan masyarakat Merasa Puas dan (2000)

dalam pengambilan

Masih Berjalan

percaya kepada

keputusan

baik dan sedang

pemerintah desa atas

• Transparansi

dikerjakan oleh

pengelolaan dana dan

pengelolaan dana

masyarakat

pelibatan dalam semua

• Memberi kepercayaan

proses

kepada masyarakat dalam pelaksanaan

• Ada pertanggungjawaban keuangan oleh LKMD

Totomala IFAD (1996) • Melibatkan masyarakat

Baik dan sudah

Merasa puas atas

dalam proses dan

menghasilkan

keterlibatan dalam

pengambilan

semua proses, termasuk

keputusan

dalam pengambilan

• Transparan dalam

keputusan. (meski

pengelolaan dana

sedikit tidak puas

(memberikan dana

karena pembagian lahan

perawatan 75.000/

yang berbeda)

bulan).

Padat Karya • Pemdes kurang andil,

• Ketidakpuasan (1999)

Terkikis air

karena dominasi

hujan,

masyarakat atas

konsultan dan

Berlubang,

upah Rp. 5000/hari

kontraktor

berumput, tanpa

• Pemeliharaan

• Tidak

dekker dan got.

didominasi oleh

disosialisasikannya

pemuda asal Watu

dana pemeliharaan

Api (menyangkut tidak adanya sosialisasi dana pemeliharan).

Langedhawe Proyek Jalan • Pemdes dan

• Tidak puas dalam Aemali-Danga

Rusak Parah,

keseluruhan proses. (1991)

masyarakat tidak

tidak beraspal

dilibatkan dalam

sampai kini

• Tidak percaya

perencanaan dan

kepada pemda

pelaksanaan oleh

(karena mengubar

Pemda selaku

janji)

penyandang dana

• Pemda menimpakan

• Pemdes dan warga

tugas pemelihraan

berpartisipasi dalam

kepada warga,

pemeliharaan (meski

menambah

tidak melibatkan warga

kekesalan warga.

dalam pengambilan

• Kecewa pada Pemda.

keputusan). JPS • Program langsung dari

Tidak puas karena pada Kartu Sehat

Masa berlaku

dasarnya mereka tidak (1998)

Pusat

Kartu sehat

• Pemdes tidak

sudah Habis

diberitahu. Karenanya

memberikan informasi

warga merasa ikut-

kepada warga.

ikutan (meskipun dilayani dengan baik di Puskesmas tanpa biaya).

Takatunga Proyek Jalan • Pemdes sekadar

• Masyarakat tidak Laja-Sarasedu-

Ruas jalan

tahu menahu dengan Takatunga

menyepakati inisiatif

Sarasedu-

seluruh proses. (1996)

warga dalam

Takatunga rusak

pemeliharaan dan ikut

berat (karena

• Merasa enggan

melaksanakannya

tidak diaspal)

berpartisipasi karena

tanpa turut

tidak tahu caranya

menyumbang dana

(prosedur)

bersama warga. (proyek Pemda/pusat)

• Warga sangat kecewa Pembukaan

P3DT • Kurang inisiatif, sebab

Jalan Rusak

karena telah banyak jalan

wargalah yang pada

berat, jembatan

berkorban, termasuk Takatunga -

mulanya mengajukan

rubuh, tergenang

Pohon cengkeh dan Mako

usulan dan

air kalau hujan,

tanaman produktif (1998)

kesiapannya

sehingga tidak

mengorbanan tanaman

dapat

lain tanpa ganti rugi.

yang akan dilalui.

dimanfaatkan

• Menyayangkan tidak

• Pemdes kurang andil

lagi. Padahal

adanya inisiatif

dalam pengambilan

jalan tersebut

pemerintah untuk

keputusan dan lebih

melintas di

perbaikan.

didominasi konsultan

kantong ekonomi

Sementara warga

dan kontraktor.

masyarakat.

sudah terlalu kecewa sehingga enggan untuk memulai tanpa keterlibatan pemerintah

Sangadeto IDT (1996) • Tidak melibatkan

• Perguliran

• Tidak puas kepada

warga dalam

macet,

pendamping yang

pengambilan

sampai tahun

tidak memberikan

keputusan,

2001 tidak

penyuluhan tentang

• Pemdes kurang

pernah ada

penanaman palawija,

kontrol/pengawasan

pertemuan

peternakan, dan

• Transparansi dana

Pokmas.

pemupukan.

yang ditampung di

• Dana

• Terjadi kemandegan

Pemdes tidak

tertahan di

perguliran karena

dinformasikan

Bendahara

hasil yang tidak

• Pendamping

maksimal

tidak ada

• Tidak puas soal Air Minum

P3DT • Tidak melibatkan

• Air terbuang-

dana. MCK

warga dalam

buang

• Rasa enggan (1999)

perencanan dan

• Pipa-pipa

Pengambilan

MCK rusak

memperbaiki karena

keputusan

tetapi fisik

kurangnya inisiatif

• Tidak transparan soal

MCK masih

dari pemdes.

dana

utuh

• Akan tetapi, merasa

• Kurang inisiatif dalam

puas dengan adanya

pemeliharaan/

sumber air minum

perbaikan keran dan

dan MCK.

pipa yang rusak.

Todabelu Sarana Air • Pemdes dan LKMD

• Partisipasi warga Bersih, Bank

Sampai kini Air

sangat baik, karena Dunia (1994)

melibatkan warga

Lancar

dalam setiap proses

seluruh proses

• Ada

sesuai dengan

Pertanggungjawaban

keinginan mereka.

dana dari Pemdes

• Agak disayangkan

• Memberi keluwesan

sikap sebagian warga

bagi warga untuk

yang kurang rasa

berinisiatif .

memilikinya (Keluwesan disalahgunakan).

Pengeboran • Sosialisasi tentang

• Tidak puas, Gas Bumi

Sudah Selesai

menyesal, dan protes (2000)

dampak kepada warga

Pengeboran

tidak dilakukan

(tetapi belum

(perorangan).

• Kurang respons

dimanfaatkan)

kondisi dan keluhan warga

Mangulewa

• Ada pembakaran (1980)

Hutan Rakyat

• Tidak melibatkan

• Tidak berhasil

warga dalam

dan tidak ada

sebagai ungkapan

perencanan.

hasil.

ketidakpuasan warga

• Menyusun Jadual

• Pohon hampir

• Tidak mau merawat,

kerja tanpa

semua mati

karena merasa

keterlibatan warga

ditipu.

• Memobilisasi warga

• Kecewa dan tidak

dengan iming-iming

percaya pemdes dan

upah tetapi tidak

pemdakab

diberikan. • Tidak transparan mengenai dana perawatan

IDT (1998) • Pengelolaan dana

Perguliran dana

• Kepuasan yang tinggi

sangat transparan

lancar

dari masyarakat.

• menyerahkan

• Penghargaan yang

sepenuhnya kepada

tinggi kepada pemdes

masyarakat

• Jumlah dana

(kepercayaan)

bertambah

• Pemdes aktif mengikuti

• Pengembangan

pelaporan keuangan

Usaha anggota

oleh Pokmas

(meubel)

• Melibatkan warga dalam pengambilan keputusan.

Sumber: Data Lapangan LLI (2) Tahap III, diolah. Catatan: Untuk Proyek/program tahun 1998 masuk pada kolom pasca 1998, karena menjadi awal perhitungan ‘kepascaannya’.

Sementara itu, perbandingan tingkat kepuasan atas model pengelolan proyek/program sebelum dan sesudah tahun 1998 adalah sebagaimana tersaji pada Tabel. 3.2. berikut.

Tabel: 3.2. Perbandingan tingkat kepuasan masyarakat atas model pengelolaan proyek/program sebelum dan sesudah tahun 1998

Perbandingan menurut alasan program

Proyek/ Model kelola

Proyek/

Model kelola

tingkat kepuasan masyarakat pra 1998

dan Kondisi

program

dan Kondisi

Pra 1998 Pasca 1998

Pengaspalan Nonpartisipan,

Ketidakpuasan; ketidakpuasan; Jalan

IDT Mbay II

Nonpartisipan,

Dominasi, Dominasi, Top Ketidakpercaya Ketidakpercaya Mbay II

an 1997

Top down

kekecewaan; kekecewaan; Rusak

Kondisinya

tidak bergulir

motivasi

penyelewengan pemeliharaan

dana oleh

kurang

pengurus pokmas

Kepuasan atas Merasa Puas Nggolonio

IDT Partisipatif,

PPK Nggolonio

Partisipatif,

dan percaya 1996

dana, non

kepada dominasi,

dana, non

dalam

pengambilan pemerintah Kondisinya

dominasi,

desa atas masih bergulir

Kondisinya

keputusan;

berjalan baik

Kurang puas pengelolaan

dan sedang

atas intervensi dana dan

dikerjakan

pendamping yg pelibatan

masyarakat

berlebihan;

dalam semua

Tidak

proses

menyoalkan pertanggujawab an dana, karena diserahkan kepada Pokmas

IFAD Partisipatif,

Merasa puas Ketidakpuasan Totomala

Padat Karya

atas upah Rp. dominasi,

dana, non

dominasi

keterlibatan

dalam semua 5000/ hari; Kondisinya

konsultan dan

Pemeliharaan baik dan sudah

kontraktor,

proses,

didominasi oleh menghasilkan

pemuda asal

dana

pengambilan Watu Api

(meski sedikit tidak adanya

Rusak tidak

tidak puas

sosialisasi dana

pembagian lahan yang berbeda)

Tidak puas Langedhawe

Jalan Raya Top Down,

JPS

Top down

Tidak puas

karena pada 1991

nonpartisipan,

Kartu Sehat

dasarnya tidak Pemdakab/pro

Tidak ada

keseluruhan

diberitahu. p.

sosialisasi

proses.

Tidak percaya Warga merasa Kondisi

kepada warga.

kepada pemda ikut-ikutan sekarang

Kondisi

(meskipun Rusak Parah

sekarang Masa

(karena

berlaku habis

mengubar janji) dilayani dengan Pemda otoriter

baik di

karena

Puskesmas menimpakan

tanpa biaya).

tugas pemeliharaan kepada warga, menambah kekesalan warga. Kecewa pada Pemda.

Proyek jalan Top down, P3DT

Kurang inisiatif

Masyarakat Warga sangat

Takatunga 1996

Pemdes kurang inisiatif, tidak thu menahu tentang dana dan pengelolan proyek (Pemda/pusat). Kondisinya Ruas jalan Sarasedu- Takatunga rusak berat.

Takatunga 1998

(menunggu usulan warga) Kurang andil dalam pengambilan keputusan dan lebih didominasi konsultan dan kontraktor. Kondisi sekarang: Jalan Rusak berat

tidak tahu menahu dengan seluruh proses. Merasa enggan berpartisipasi karena tidak tahu caranya (prosedur)

kecewa karena telah banyak berkorban, Menyayangkan tidak inisiatif nya pemdes untuk perbaikan. Karena terlalu kecewa enggan memulai tanpa keterlibatan pemdes

IDT Sangadeto (1996)

Non partisipan , Kurang kontrol/ pengawasan, Transparansi dana kurang. Kondisi sekarang : Perguliran macet, tidak pernah ada pertemuan Pokmas. Dana tertahan di Bendahara; pendamping tidak maksimal

P3DT (Air Minum, MCK) Sangadeto 1999

Non Partisipan, Tidak transparan soal dana, Kurang inisiatif dalam pemeliharaan/ perbaikan. Kondisi sekarang: Air terbuang- buang Pipa-pipa MCK rusak (fisik MCK masih utuh).

Tidak puas kepada pendamping yang tidak memberikan penyuluhan tentang penanaman palawija, peternakan, dan pemupukan. Terjadi kemandegan perguliran karena hasil yang tidak maksimal

Tidak puas soal dana; Rasa enggan memperbaiki karena kurangnya inisiatif dari pemdes. Akan tetapi, merasa puas dengan adanya sumber air minum dan MCK.

Peningkatan Sarana Air Bersih Todabelu (1994)

Partisiptif, ada Pertanggung- jawaban dana dari Pemdes. Keluwesan bagi warga untuk berinisiatif . Kondisi sekarang Air Lancar

Pengeboran Gas Bumi Todabelu (2000)

Top down, Tidak ada Sosialisasi tentang dampak kepada warga tidak dilakukan; Kurang respons kondisi dan keluhan warga. Kondisi sekarang: Pengeboran selesai (tetapi belum dimanfaatkan)

Kepuasan yang tinggi, Agak disayangkan sikap sebagian warga yang kurang rasa memilikinya (Keluwesan disalahgunaka n).

Tidak puas, menyesal, dan protes perorangan (belum terorganisasi).

Hutan Rakyat Mangulewa (1980)

Top down, Non Partisipan, one man show, memerintahkan (bukan mengajak), Mengubar janji “palsu” untuk dukungan, Tidak transparan soal dana perawatan. Kondisi sekarang Tidak berhasil dan tidak ada hasil. Pohon hampir

IDT Mangulewa (1998)

Partisipatif, Pengelolaan dana sangat transparan. Percayakan proses kepada masyarakat; Aktif dalam kontrol dan pengawasan. Kondisi sekarang Perguliran dana lancar.

Ada pembakaran sebagai ungkapan ketidakpuasan warga Tidak mau merawat, karena merasa ditipu. Kecewa dan tidak percaya pemdes dan pemdakab.

Kepuasan yang tinggi dari masyarakat; Penghargaan yang tinggi kepada pemdes; Jumlah dana bertambah; Pengembangan Usaha anggota (meubel).

semua mati. Sumber: Data Lapangan LLI (2) Tahap III, diolah. Catatan: Untuk Proyek/program tahun 1998 masuk pada kolom pasca 1998, karena menjadi awal perhitungan ‘kepascaannya’.

Rendahnya kinerja para pihak dari unsur pemerintahan ini akan makin terasa bila kita mencermati macam masalah penting di mana para pihak dari unsur pemerintahan tidak terlibat dalam upaya penanggulangannya. Kasus- kasus di mana pihak pemerintah tidak terlibat dalam upaya-upaya untuk mengatasinya adalah sebagai berikut:

(1) Kurangnya ketrampilan petani (Mbay II); (2) tapal batas lahan masyarakat dengan hutan lindung (Nggolonio); (3) perumahan masih darurat (Nggolonio); (4) keresahan masyarakat karena kasus pencurian peo suku Rendu (Langedhawe); (5) ketidakpastian dampak eksplorasi gas bumi (Todabelu); (6) rendahnya harga tanah (Todabelu); (7) pencurian hasil pertanian (Mangulewa); dan (8) banyaknya anak yang putus sekolah (Mangulewa).

Rincian di atas menunjukkan bahwa kejadian di mana para pihak dari unsur pemerintahan tidak terlibat dalam upaya penanggulangan terjadi pada sebagian besar desa-desa penelitian. Yaitu, terjadi pada 5 dari 8 desa penelitian. Malah, di dua desa, masing-masing Nggolonio (Kec. Aesesa) dan Todabelu (Kec. Golewa), terdapat masing-masing dua masalah penting di mana para pihak dari unsur pemerintahan tidak terlibat dalam upaya-upaya penanggulangannya.

Mencermati rincian masalah penting di mana unsur pemerintahan tidak terlibat di dalamnya, ada yang terasa agak ironis. Dikatakan ironis karena beberapa masalah yang dikemukakan penduduk itu pada hakekatnya adalah tugas yang seharusnya dikerjakan pihak pemerintah – termasuk pihak aparat keamanan setempat -- agar tidak terjadi masalah di dalam bidang-bidang itu. Misalnya, soal rendahnya ketrampilan petani; keresahan masyarakat karena kasus pencurian peo suku Rendu; ketidakpastian dampak eksplorasi gas bumi; pencurian hasil pertanian; dan banyaknya anak yang putus sekolah.

Apakah hal itu menandakan rendahnya kinerja pihak pemerintah pada umumnya? Untuk menjawab pertanyaan ini tentunya masih diperlukan penjelasan yang lebih jauh. Meski begitu, informasi tersebut mengindikasikan bahwa, khususnya di masing-masing desa di mana terdapat masalah penting yang unsur pemerintahan tidak terlibat dalam upaya penanggulangannya, kinerja berbagai unsur pemerintahan dapatlah dikatakan tidaklah sebagaimana yang diharapkan. Hal ini akan terasa semakin menguat ketika kita mendalami lebih lanjut kinerja pemerintahan, khususnya pemerintahan desa, sebagaimana yang akan diuraikan dalam bagian-bagian berikut.

Namun, yang segera tampak jelas adalah, dari uraian informasi di atas dapat dikatakan tidak terlihat indikasi yang kuat tentang adanya hubungan positif antara keterlibatan pemerintah dengan kinerja hasil yang dicapai oleh masing-masing upaya yang telah dilakukan. Yang ingin dikatakan adalah bahwa berhasil, kurang berhasil atau tidak berhasilnya sebuah upaya penanggulangan masalah yang ada tidak ditentukan oleh terlibat atau tidaknya pihak pemerintah.

3.1.2. Komunitas dan Kegiatan Pemerintahan Desa

Dalam mengetahui bagaimana corak hubungan antara pemerintahan desa (village government) 2 dengan ‘sistem pengelolaan hidup bersama yang dikembangkan komunitas’ (community governance), di samping melihat bagaimana corak keterlibatan masyarakat di dalam proses-proses penyelenggaraan program dan atau proyek sebagaimana telah diuraikan di atas, ada baiknya pula melihat keterlibatan masyarakat dalam kegiatan rutin pemerintahan desa lainnya. Di dalam survey yang dilakukan LLI (2) terdapat 3 (tiga) variabel yang digunakan untuk mengukur/melihat hal ini. Masing- masing adalah (a) perencanaan program di desa, misalnya tentang penentuan jenis, lokasi, dll. (Q5B.1); (b) menentukan sanksi ketika ada penyelewengan dana (Q5B.2); dan (c) penentuan biaya pembuatan surat-surat keterangan, seperti KTP, dll. (Q5B.3). Atas pertanyaan-pertanyaan itu ada 4 (empat) kemungkinan jawaban. Masing-masing adalah (a) ikut memutuskan; (b) memberi pendapat tetapi tidak ikut memutuskan; (c) sama sekali tidak ikut membahas; dan (d) tidak ada persoalan ini (artinya, pertanyaan ybs. tidak relevan bagi warga/responden ybs) (lihat Appendix 22).

Dalam hal keterlibatan masyarakat dalam perencanaan program/proyek di desa, seperti dalam hal menentukan jenis, lokasi, dll., dari proyek/program yang ada, hasil pengolahan data ‘survey HHQ’ menunjukkan hasil seperti yang tercantum pada Tabel 3.3. berikut ini.

Tabel 3.3 : Corak keterlibatan masyarakat di dalam proses perencanaan program/proyek di desa

Desa Ikut

Sama sekali Sama sekali Total memutuskan

Memberi

pendapat,

tidak ikut tidak ada

tetapi tidak membahas

tentang ini

memutuskan

Case pctn case Pctn case pctn case pctn Case Pctn

29 98,96 Nggolonio

Mbay II 14 48,28 6

Langedhawe 20 66,67 2 6,67 8 26,67 - - 30 100 Takatunga 8

2 6,90 11 37,93 - - 29 98,96 Mangulewa 10

4 1,68 238 100 Sumber data : Hasil survey LLI (2), November 2000.

2 Yang dimaksudkan dengan Pemerintahan Desa di sini adalah unsur-unsur yang mencakup Kepala Desa dan seluruh aparatnya; LMD/BPD; Kepala Dusun,; dan juga LKMD (jika masih ada). RT/RW tidak

termasuk di dalamnya.

Tabel 3.3 di atas menunjukkan bahwa, secara rata-rata, hanya ada 40,34 % rumahtangga yang mengaku ikut memutuskan bila ada perencanaan program/proyek di desa; 20,59 % mengaku memberi pendapat tapi tidak memutuskan; dan 36, 13 % mengaku bahwa mereka sama sekali tidak ikut membahas masalah ini.

Seperti dapat dilihat dalam tabel dimaksud, dalam hal ini, terdapat variasi antar desa cukup tinggi. Misalnya, dalam kasus jawaban ‘ikut memutuskan’, partisipasi tertinggi terjadi di Langedhawe, Kecamatan Aesesa, yang mencapai angka 66,67%, dan terendah di Takatunga dan Totomala, keduanya di Kecamatan Golewa, yang hanya mencapai angka 26,67% (atau 50% lebih sedikit dari angka rata-rata untuk keseluruhan desa). Begitu pula dengan jawaban ‘turut memberikan saran tapi tidak ikut memutuskan’: tertinggi mencapai angka 30% untuk desa Totomala (Kec. Aesesa) dan Sangadeto (Kec. Golewa), dan terendah di Todabelu (Kec. Golewa, 6,90%) dan Langedhawe (Kec. Aesesa, 6,67%). Hal yang sama juga terjadi dalam kasus jawaban ‘sama sekali tidak ikut membahas’: tertinggi di Takatunga (56,67%) dan terendah di Nggolonio dan Langedhawe (masing-masing 26,67%).

Dengan data-data tersebut dapat dikatakan bahwa, pada umumnya, tidak sampai separuh penduduk yang terlibat dalam proses perencanaan program/proyek yang diselenggarakan pemerintah desa: suatu tingkat partisipasi yang dapat dinilai cukup rendah.

Rendahnya partisipasi warga dalam kegiatan pemerintahan desa akan semakin terasa menyedihkan jika dilihat angka rata-rata untuk variabel ‘menentukan sanksi ketika ada penyelewengan dana (program/proyek desa’ dan variabel tentang ‘penentuan biaya pembuatan surat-surat keterangan, KTP, dll.’ (lihat Appendix 3).

Sebagaimana yang tersaji dalam tabel-tabel pada Appendix 3 dimaksud, angka rata-rata untuk jawaban ‘turut menentukan’ dalam ‘penentuan sanksi ketika ada penyelewengan dana desa’ adalah 19,33% dan berbanding lurus dengan angka rata-rata untuk jawaban ‘sama sekali tidak ikut membahas’ yang 54,21%. Sedangkan angka rata-rata untuk jawaban ‘turut menentukan’ dalam ‘penentuan biaya pembuatan surat-surat keterangan, KTP, dll.’ adalah 24,37% dan berbanding lurus dengan angka rata-rata untuk jawaban ‘sama sekali tidak ikut membahas’ yang mencapai angka rata-rata 62%!

Berbeda dengan variabel ‘keterlibatan warga dalam perencanaan program/proyek desa’, baik untuk variabel ‘penentuan sanksi ketika ada penyelewengan dana desa’ maupun untuk variabel ‘penentuan biaya pembuatan surat-surat keterangan, KTP, dll.’ tidak terjadi perbedaan (variasi) antar desa yang dapat dikatakan cukup berarti.

Data-data yang dikumpulkan melalui strategi ‘qualitative data collection’ dan ‘enthnograpy case study’ menunjukkan gambaran yang relatif sama. Misalnya, para peserta diskusi kelompok terarah di desa Mbay II cendrung berkesimpulan bahwa:

(…) pertama, masyarakat umum tidak terlibat dalam perencanaan secara langsung. Perencanaan hanya melibatkan ‘kaum elit’; dan kedua, kalaupun masyarakat kemudian ‘memperoleh’ informasi tetang proyek-proyek yang bersangkutan, informasi yang diterima penduduk itu bukanlah informasi yang memang direncanakan sedemikian rupa. Informasi diterima masyarakat umumnya melalui ‘berita desas-desus’ dalam pergaulan/kehidupan sehari-hari.

Dalam kenyataannya apa yang terjadi di Mbay II bukanlah kasus yang istimewa. Kasus serupa juga terjadi di desa-desa penelitian yang lain. Simaklah beberapa kutipan dari catatan diskusi-diskusi yang terjadi selama penelitian berlangsung berikut ini.

Di Totomala : (…) Dalam kasus proyek IFAD, hal ini meskipun kemudian diterima dan dilaksanakan, tetapi sejak semula masyarakat menolak kehadiran proyek ini, karena dengan sistim bagi tanah, dikuatirkan akan terjadi penguasaan tanah secara individu, maka kekuasaan akan tanah pada mosalaki akan hilang. Kalaupun kemudian ada penilaian bahwa dalam kasus ini masyarakat terlibat, hal ini lebih karena keterpaksaan.

Di Langedhawe : (…) Pada PPK (proyek-proyek, pen.) direncanakan melalui proses musbangdes 1 dan musbangdes 2, meski akhirnya diputuskan oleh UDKP tingkat kecamatan, bersama tim supervisi. (Pada tingkat UDKP ini, pen.), masyarakat tidak terlibat lagi dalam mengambil keputusan.

Meski begitu, ada juga contoh-contoh yang menunjukkan keadaan yang sebaliknya, sebagaimana yang dapat dilihat dalam beberapa kutipan dari catatan lapangan berikut ini:

Di Nggolonio : (…) Sementara dalam proyek Padat Karya, yakni proyek jalan yang menghubungkan Kuru – Sulu, banyak masyarakat yang terlibat. Baik laki-laki maupun perempuan. Walaupun dalam pelaksanaannya hanya dengan upah lima ribu rupiah (per hari, pen.). Masyarakat kurang puas, karena upah harian disini menurut masyarakat adalah sepuluh ribu per orang. (…) Demikian pula, dalam kasus PPMP, Kades mengundang seluruh warga untuk membahas tujuan penggunaan dananya. Kemudian ada kesepakatan bersama bahwa dana tersebut ditujukan untuk proyek air minum. Selanjutnya pelaksanaannya diserahkan ke tingkat dusun (beserta warga). (…) Demikian juga dengan kasus perencanaan program IDT. Semua warga dilibatkan dan menentukan jenis proyek apa yang dibutuhkan, dan kemampuan mengelolanya, sedangkan dalam kasus proyek air minum, partisipasi masyarakat terlihat dengan pengumpulan dana secara swadaya untuk mendukung penyelesaian proyek tersebut dan juga tenaga kerja. (…) Dan dalam proyek air minum, warga ikut serta dalam proses perencanaan, partisipasi masyarakat ini terlihat dengan terkumpulnya dana swadaya, sehingga proyek ini bisa berjalan dengan baik, Walaupun dikemudian hari terjadi sengketa antara warga karena pembagian air yang tidak adil, dimana dusun I dan II mendapatkan air secara baik, sedangkan dusun III tidak mendapatkannya. Padahal dalam proses perencanaan dan proses lanjutannnya, keterlibatan warga dari semua dusun tak terkecuali.

Sementara itu, di Langedhawe, tercatat laporan lapangan seperti berikut ini:

Pada proyek air minum masyarakat terlibat secara penuh. Tidak hanya sekedar mengumpulkan uang secara swadaya dan tenaga kerja, tetapi juga menentukan letak ‘kapteri’ (bak-bak penampung air, pen.). Dalam kasus ini dinformasikan bahwa semula bak air diletakkan di bawah kampung Kasikapa. Jika begitu maka Kasikapa tidak dapat air. Maka, berdasarkan permintaan orang Kasikapa bak air dipindahkan ke atas kampung Kasikapa, sekitar 300 meter dari lokasi semula. Keputusan ini diterima oleh kampung lainnya, meski akibatnya volume air menjadi berkurang. Pemindahan ini juga disetujui oleh pendamping teknis.

Informasi tentang ‘para pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan untuk menentukan jenis proyek’ juga menunjukkan kinerja yang relatif sama. Keterlibatan pihak masyarakat relatif rendah, terlebih lagi pihak masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai kelompok-kelompok marginal.

Kalaupun pihak masyarakat ada juga yang dikatakan terlibat, umumnya, itu

adalah kelompok masyarakat yang terhitung ‘elit’ desa 3 .

Rendahnya partisipasi ‘warga kebanyakan’, terlebih lagi kelompok- kelompok marginal, tergambarkan dalam beberapa catatan lapangan berikut ini.

Di Mbay II : Menurut masyarakat, pihak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, baik dalam kasus-kasus proyek sebelum dan sesudah tahun. 1998, adalah ketua RT, Ketua Lingkungan; anggota LKMD, dan Perangkat Desa. Masyarakat tidak terlibat secara langsung. Kepentingan mereka hanya diwakili oleh pihak-pihak ‘pimpinan desa’ itu. Tentang penggunaan keuangan biasanya diserahkan pada pihak-pihak yang akan mengurus proyek itu, dan pihak yang diberikan kewenangan untuk mengurusnya harus mempertanggungjawabkan penggunaan uang itu nantinya setelah proyek selesai. Pertangunggjawaban ini tidak langsung pada masyarakat tetapi pada pihak-pihak yang dianggap ‘mewakili’ masyarakat tadi. (…) masyarakat umum tidak terlibat dalam perencanaan secara langsung. Perencanaan hanya melibatkan ‘kaum elit’; dan kalaupun masyarakat kemudian ‘memperoleh’ informasi tentang proyek-proyek yang bersangkutan. Informasi yang diterima penduduk itu bukanlah informasi yang memang direncanakan sedemikian rupa. Informasi diterima masyarakat umumnya melalui ‘berita desas-desus’ dalam pergaulan/kehidupan sehari-hari.

Di Langedhawe : (…) dalam pengambilan keputusan, masyarakat tidak terlibat langsung, tetapi melalui wakil-wakilnya saja. Itupun tidak menyangkut pengalokasi dana. Soal ini hanya diserahkan pada pelaksana proyek. (…) Dalam PPK masyarakat terlibat langsung, karena pemilihan proyek terjadi di dalam kelompok (kasus usaha ternak sapi). Tapi ada juga indikasi yang menunjukkan bahwa pilihan usaha ini datang dari atas, karena seluruh kelompok mengusahakan usaha yang sama (ternak sapi). Untuk kasus sarana fisik, proyek dan penggunaan dana ditentukan oleh pihak-pihak yang mewakili masyarakat. (…) Kasus OPK: penambahan biaya menjadi 10 (harga asli 1000, tapi karena jalan jelek pihak angkutan minta tambah biaya 200.000, sehingga desa harus cari biaya tambahan) adalah keputusan pihak pemerintah desa saja. Kasus ini juga menunjukkan ketidakjelasan informasi tentang ‘tata biaya’ yang sebenarnya. Termasuk oleh pihak pemerintah desa itu sendiri.

Di Takatunga : (…) Dalam kasus jalan Laja - Takatunga – Sarasedu masyarakat tidak terlibat sama sekali. “Tiba-tiba ada proyek,” ujar seorang peserta diskusi kelompok terarah. “Kami hanya menonton,” sambung peserta yang lain. (…) Cerita yang agak berbeda terjadi dalam kasus proyek P3DT. Sebelum ada proyek memang sudah ada keinginan warga untuk membuka jalan dusun Ngorabolo - desa Bela yang dibicarakan di tingkat desa. Ketika ada P3DT, keinginan ini diteruskan oleh Kades. Kemudian warga terlibat dalam pertemuan yang membahas proses perencanaan. “Walaupun mereka hanya duduk mendengarkan penjelasan dari Pimpro dan Kontraktor mengenai informasi dana dan peruntukkannya,” cerita seorang peserta.

Di Mangulewa : (…) Pada tahun 1980 ada kasus proyek Hutan Rakyat. Usulan ini berasal dari beberapa tokoh masyarakat dan Pemdes. Secara umum, masyarakat tidak dilibatkan dalam proses perencanaan proyek ini. (…) Pada proyek IDT masyarakat lebih banyak mendengarkan sosialisasi dari pendamping bersama Pemdes, kemudian masyarakat diberi kesempatan membuat perencanaan kegiatan dalam kelompok. Ada kelompok yang dibentuk sendiri oleh anggotanya tapi banyak pula yang dibentuk dari atas. Akibatnya ada anggota masyarakat yang tidak mau menjadi anggota kelompok IDT tertentu.

3 Dalam alat penelitian yang digunakan disebutkan bahwa ada 5 (lima) kemungkinan pihak yang dapat terlibat dalam hal ini. Masing-masing adalah (a) kepala desa bisa ikut serta; (b) perangkat desa bisa

ikut serta; (c) kaum elit desa yang bisa ikut serta; (d) penduduk di pusat desa yang bisa ikut serta; dan (e) kelompok marjinal bisa ikut serta. Dalam penilaian digunakan skala penilaian 1 hingga lima: (1) bila hanya 1 dari 5 yang bisa ikut serta (skala penilaian terendah) dan (5) bila seluruh masyarakat ikut serta. Dalam proses penilaian bersama dengan anggota Tim NTT, ada peserta diskusi yang keberatan dengan ‘adanya lima komponen’ itu. Menurut ybs. sebenarnya yang ada hanya 3 komponen. Kepdes dan aparat desa termasuk ke dalam ‘kaum elit’.

3.1.3. Keterkaitan Peran Pemerintah Desa dengan Masalah Penting

Pertautan antara proyek/program terpilih dengan masalah penting yang lahir dari penggalian informasi bersama masyarakat di masing-masing desa, adalah sebagaimana yang tersaji dalam tabel berikut.

Tabel 3.3. Matriks Korelasi Masalah Penting dengan antara proyek/program Pemerintah Pasca Tahun 1998 Dirinci Berdasarkan Desa

Proyek Pasca 1998 Mbay II

Desa

Masalah Penting

IDT -

Padi terserang hama dan penyakit

Pembuatan -

Pekarangan dan rumah tergenang air

saluran irigasi permanen -

Berkurangnya hasil panen

OPK -

Padang penggembalaan semakin sempit

JPS Kartu -

Harga beras turun

Kurangnya ketrampilan petani (SDM

PPMP Nggolonio

Padat karya -

Menurunnya hasil panen

OPK -

Ternak mati

PPK -

Air kurang

PPMP -

Tapal batas hutan lindung

Perumahan masih darurat

Pelayanan kesehatan kurang memadai (manusia, ternak)

Totomala -

Padat karya -

Hasil panen turun

Ternak lepas dan merusak

Jalan tani -

Air minum kurang

Perbatasan tanah dengan desa

Salin tani

Tendakine

SDM rendah

Listrik tidak ada

Langedhawe -

Keresahan masyarakat atas hilangnya

PPK

Solar cell -

peo mole

JPS Kartu sehat -

Terhentinya JPKM

Beras OPK -

Hama dan penyakit menyerang tanaman

PMTAS (Program Makanan -

Mutu dan ketersediaan hutan menurun

Tambahan Anak Sekolah) -

Jalan Aemali-Danga rusak parah

Rendahnya harga komoditi rakyat (beras)

Makanan tambahan untuk bayi dan balita

Takatunga -

Sumber air terancam karena

Bantuan bibit kopi S795

dan saprodinya -

penebangan kayu di sekitar mata air

Gizi buruk pada bayi dan balita

P3DT

Serangan hama bekicot pada tanaman

JPS kartu sehat

rakyat

JPKM

Ketersediaan lahan yang semakin

Jamban keluarga

berkurang

MCK

Sarana transportasi dan komunikasi

PMTAS

Rehab kantor desa -

yang belum memadai

Kemampuan pengorganisasian wadah-

Beras OPK

wadah organisasi yang ada kurang

Sangadeto -

Proyek air -

Hasil panen menurun

minum -

Air untuk sawah kurang

Sengketa tanah Malawawo, Bheto, Pere,

P3DT

Beras OPK -

Koba Tuwa

Persehatian batas desa Sangadeto dan

Padat Karya

Desa -

desa Rowa

PMTAS -

SDM rendah

Jalan raya masuk kampung rusak

Todabelu -

Pemboran gas alam di -

Ketersediaan lahan semakin sempit

Ketidakpastian dampak eksplorasi gas

Daratei

Proyek kopi kartika -

bumi

Beras OPK -

Penebangan hutan secara liar

Harga tanah rendah

JPS/kartu sehat

Makanan Pendamping ASI -

Biaya pendidikan yang tinggi

Pendistribusian air yang tidak merata

Peningkatan gizi ibu hamil

Beasiswa untuk anak sekolah

Bantuan untuk para cacat dan jompo

Swadaya untuk pembuatan bak air ukuran 50 m3

Pengembangan pemasangan jalur pipa air (swadaya murni)

Mangulewa - Ternak lepas merusak tanaman

IDT -

P3MD -

Pencurian hasil pertanian

PMTAS -

Kurang air minum

Beras OPK kantong-kantong produksi

Tidak ada sarana penghubung (jalan) ke

Takesra -

Pembangunan -

Banyak anak putus sekolah

Tidak ada PPL kantor lurah

JPS

Jika diperhatikan informasi-informasi di atas maka terlihat bahwa, di Mbay II, ada 6 proyek pemerintah pasca 1998 dan 6 masalah penting di Mbay

II. Dari 6 proyek tersebut, hanya ada 2 proyek yang berhubungan secara tidak langsung dengan 2 masalah penting. Proyek tersebut adalah proyek pembuatan saluran irigasi permanen berkait tak langsung dengan berkurangnya hasil panen, dan proyek beras OPK berkait dengan masalah harga beras turun. Namun demikian keterkaitan proyek beras OPK dengan masalah harga beras turun perlu diperiksa lebih jauh, mengurangi dampak atau justru memperburuk keadaan. Masih ada 4 proyek lain yang tidak terkait dengan 4 masalah penting yang lain, yaitu ‘padi terserang hama dan penyakit’ pekarangan dan rumah tergenang air, padang penggembalaan semakin sempit, dan kurangnya ketrampilan petani (SDM rendah).

Di Nggolonio, da 4 proyek pemerintah pasca 1998 dan 6 masalah penting di Nggolonio. Dari 4 proyek tersebut hanya ada 1 proyek yang berhubungan langsung dengan 1 masalah penting di Nggolonio, yaitu PPK berkait langsung dengan kurangnya air minum. Dalam program ini masyarakat terlibat dalam setiap tahapannya, termasuk dalam pengelolaan dananya yang transparan. Namun masyarakat menginginkan bahwa proyek tidak hanya menyangkut air minum saja, tetapi paling tidak perlu dibentuk sutau badan pengelola air minum di desa. Masih ada 3 proyek yang lain yang tidak ada kaitannya dengan 5 masalah penting yang lain yaitu, menurunnya hasil panen, ternak mati, tapal batas batas hutan lindung, perumahan masih darurat, pelayanan kesehatan kurang memadai (untuk manusia dan ternak).

Di Totomala, ada 5 proyek pemerintah pasca 1998 daa 6 masalah penting di Totomala. Dari 5 proyek tersebut ada 4 proyek yang berkait secara tidak langsung dengan masalah penting yang dihadapi desa Totomala, yaitu Terasiring, KUT, Jalan Tani, Salin Tani berkait dengan masalah hasil panen turun. Namun keterkaitan ini masih perlu diperiksa lebih mendalam lagi, apakah dampak proyek-proyek di atas mengurangi dampak ataukah justru sebaliknya. Masih ada 1 proyek yaitu padat karya yang tidak terkait dengan 5 masalah penting ternak lepas dan merusak tanaman, air minum kurang, perbatasan dengan Tendakine, SDM rendah, listrik tidak ada.

Di Langedhawe, ada 6 proyek pemerintah pasca 1998 dan 6 masalah penting di Langedhawe. Dari 6 proyek tersebut hanya ada 1 proyek yang Di Langedhawe, ada 6 proyek pemerintah pasca 1998 dan 6 masalah penting di Langedhawe. Dari 6 proyek tersebut hanya ada 1 proyek yang

Sementara itu, di Takatunga, ada 9 proyek pemerintah pasca 1998 yang dilaksanakan di Takatunga, dan ada 6 masalah penting. Dari 9 proyek tersebut, ada 4 proyek pemerintah pasca 1998 yang berkait secara langsung dengan 2 masalah penting di Takatunga, yaitu masalah gizi buruk pada bayi dan balita terkait dengan proyek JPKM, JPS Kartu sehat, dan PMTAS, hanya saja belum dapat diketahui sejauh mana proyek ini efektif dan tepat sasaran. Sedangkan proyek P3DT berkait dengan masalah transportasi dan komunikasi yang belum memadai, Pada awalnya masyarakat puas karena permintaannya akan pembangunan jalan direspon oleh pemerintah. Tetapi proses pembangunannya terhenti karena ada kesalahan koordinasi antara konsultan dengan kontraktor yang menyebabkan keterlibatan masyarakat untuk melanjutkannya secara swadaya. Hasil yang tidak maksimal ini mengundang rasa tidak puas masyarakat, padahal tidak sedikit tanaman produktif milik masyarakat yang digusur tanpa ganti rugi. Masih ada 5 proyek lain yang tidak terkait dengan 3 masalah penting seperti sumber air terancam karena penebangan kayu di sekitar mata air, serangan bekicot pada tanaman rakyat, ketersediaan lahan yang semakin berkurang.

Di Sangadeto, ada 5 proyek pemerintah pasca 1998 yang dilaksanakan di Sangadeto, yaitu proyek air minum, P3DT, Beras OPK, Padat Karya desa dan PMTAS, tetapi tidak ada yang berkait langsung dengan 6 masalah penting di Sangadeto, yaitu hasil panen menurun, air untuk sawah kurang, sengketa tanah Malawawo, Bheto, Pere, Koba Tuwa, Persehatian batas desa Sangadeto dengan Rowa, SDM rendah, dan jalan raya masuk kampung rusak.

Di Todabelu, ada 10 proyek pemerintah pasca 1998 yang dilaksanakan di Todabelu, dan 6 masalah penting yang dihadapi masyarakat. Dari 10 proyek, ada 3 yang berkait secara langsung dengan masalah penting, yaitu proyek beasiswa untuk anak sekolah berkait dengan masalah biaya pendidikan yang tinggi; dan proyek pembuatan bak air ukuran 50m3 dan pemasangan jalur pipa air berkait dengan masalah pendistribusian air yang tidak merata. Dua proyek yang disebutkan terakhir merupakan swadaya murni masyarakat Todabelu. Proyek-proyek yang lain (7 proyek ) tidak terkait dengan 4 masalah penting lainnya. Sedangkan di Mangulewa, ada 7 proyek pemerintah pasca 1998 yang dilaksanakan di Mangulewa, dan ada 6 masalah penting yang dihadapi masyarakat. Tetapi dari 7 proyek tersebut tidak ada yang berkait secara langsung dengan masalah yang dihadapi oleh masyarakat.

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa ada 52 proyek pemerintah pasca 1998 yang dilaksanakan di 8 desa penelitian, dengan 48 masalah penting yang menonjol. Dari 52 proyek tersebut ada 15 proyek terkait langsung dan tidak langsung dengan 8 masalah penting di 8 desa penelitian, itupun ada

2 proyek yang merupakan swadaya murni masyarakat. Meskipun berkait secara langsung maupun tidak langsung, tetapi perlu diperiksa lebih jauh lagi mengenai dampak-dampak yang muncul, mengurangi dampak buruk ataukah justru memperburuk keadaan. Banyak proyek yang tidak menjawab persoalan 2 proyek yang merupakan swadaya murni masyarakat. Meskipun berkait secara langsung maupun tidak langsung, tetapi perlu diperiksa lebih jauh lagi mengenai dampak-dampak yang muncul, mengurangi dampak buruk ataukah justru memperburuk keadaan. Banyak proyek yang tidak menjawab persoalan

Jika diperbandingkan jumlah proyek yang berkaitan dengan masalah penting dan jumlah proyek yang tidak terkait dengan masalah penting maka diperoleh tabel berikut in.

Tabel 3.4 : Tabel Perbandingan Jumlah Proyek Pasca 1998 dan Masalah Penting Dirinci

menurut Desa Penelitian

Desa Jumlah Jumlah

Jml proyek yang proyek

Jumlah proyek yang

tidak terkait dengan pasca 1998

masalah

berkait dengan

masalah penting Mbay II

penting

masalah penting

4 proyek – 5 masalah Nggolonio

6 6 2 proyek – 1 masalah

3 proyek – 5 masalah Totomala

4 6 1 proyek – 1 masalah

1 proyek – 5 masalah Langedhawe

5 6 4 proyek – 1 masalah

5 proyek – 5 masalah Takatunga

6 6 1 proyek – 1 masalah

5 proyek – 4 masalah Sangadeto

9 6 4 proyek – 2 masalah

5 proyek – 6 masalah Todabelu

5 6 0 proyek – 0 masalah

7 proyek – 5 masalah Mangulewa

10 6 3 proyek – 2 masalah

7 6 0 proyek – 0 masalah

7 proyek – 6 masalah

Total

52 48 15 proyek – 8 masalah

37 proyek – 40 masalah

Sementara itu, jika dilihat dari indikator-indikator (a) aspek transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa serta (b) aspek ‘rasa tanggungjawab’ (responsiveness) pemerintahan desa, dapatlah dikatakan bahwa pemerintahan desa tidak memiliki syarat yang cukup untuk dijadikan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan masyarakat di masing-masing desa penelitian.

Untuk mengetahui kinerja aspek transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan desa ini coba digunakan indikator penilaian tentang (1) ketersediaan informasi pengelolaan keuangan dan akses untuk

memperolehnya 4 ; (2) cakupan pengetahuan tentang informasi pengelolaan keuangan; dan (3) kejujuran dalam proses pemilihan pemerintahan desa. Hasil penggalian informasi yang berkenaan dengan indikator dan sub- indikator tentang aspek transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan di masing-masing desa penelitian adalah sebagaimana yang dapat dilihat dalam catatan untuk desa Mbay II, sekedar menyebut satu contoh saja.

Tentang jumlah dana: Sebagaimana yang tergambarkan dalam pengetahuan masyarakat tentang proyek-proyek sebelum 1998, pada dasarnya masyarakat tidak mengetahui berapa dana ‘milik’ desa secara keseluruhan. Namun, ada indikasi yang menunjukkan bahwa mereka mengetahui jumlah dana pada beberapa kasus proyek, namun beberapa proyek lainnya tidak. Meski ada kalanya masyarakat tahu berapa jumlahnya, umumnya mereka tidak tahu uangnya ada di mana. Sebagai contoh dapat

4 Sub-indikator dalam indikator ini adalah (a) pengetahuan warga tentang jumlah dana pembangunan; (b) pengetahuan tentang alokasi dana; (c) pengetahuan tentang alokasi dana; dan (d) keberadaan sumber-sumber informasi yang berkaitan dengan kegiatan pembangunan di masing-masing desa itu sendiri.

dilihat dalam kasus proyek jalan …. -- ………. Menurut sejumlah informan, dari pihak kontraktor diketahui bahwa dana yang tersedia untuk proyek itu adalah 60 juta. Namun yang terpakai adalah 30 juta. Sisanya tidak tahu kemana dan untuk apa. “Material yang tersisa di proyek di bawa ke kecamatan, entah untuk apa”, cerita seorang peserta diskusi kelompok terarah. “Katanya hanya untuk disimpan. Nyatanya sudah tidak ada lagi,” lanjut yang bersangkutan. (…) “Contoh lainnya adalah tentang keberadaan traktor, yang tidak jelas statusnya. Ada yang bilang traktor itu dibeli dari uang bangdes. Tapi ada juga yang bilang traktor itu milik pribadi aparat desa ketika itu,” cerita peserta yang lain. “Ada pula yang mengatakan bahwa memang ada bantuan traktor untuk desa ini. Tapi tidak tahu berapa jumlahnya, dan untuk siapa traktor itu sebenarnya. Apakah dikelola oleh pemdes atau diserahkan kepada masyarakat yang berhak,” timpal seorang peserta yang lain lagi. (…) Lurah sekarang pun baru tahu bahwa traktor itu sebenarnya adalah untuk masyarakat. (…) Kasus lain adalah tentang program IDT. Dalam kasus ini masyarakat tahu berapa jumlah uang yang harus diterima oleh setiap pokmas, tetapi tidak tahu berapa jumlah dana IDT yang seharusnya jatuh ke desa mereka secara keseluruhan. (…) Dalam kasus proyek-proyek yang dilaksanakan setelah tahun 1998 keadaannya tidak berbeda. Ini terlihat dari ketidaktahuan masyarakat tentang jumlah dana PPK (Program Pengembangan Kecamatan) dan PPMP (Prgoram Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan) yang sudah turun pada tahun anggaran 2000 (PPK) dan 2001 (PPMK). Begitu juga dengan jumlah dana DPD (dana pembangunan desa). (…)

Tentang sumber atau asal dana: Masyarakat hanya tahu bahwa dana-dana itu berasal dari pemerintah. Tidak tahu asal dana yang lebih rinci. Misalnya dari proyek atau program apa, kecuali untuk beberapa kasus. Adakalanya masyarakat tahu sumber dana secara lebih rinci setelah ada ‘masalah’. Misalnya, kasus dana IDT yang digunakan untuk pembuatan jalan tani (perbaikan pematang-pematang sawah). Sebelumnya masyarakat tidak tahu kalau dana yang digunakan untuk pembangunan jalan tani itu dari program IDT. Setelah ITWILKAB turun untuk memonitoring program IDT, dan menemukan penggunaan dana IDT untuk pembangunan jalan tani dan tidak digunakan untuk usaha produktif/dana b ergulir, dan ITWILKAB mempermasalahkannya, barulah masyarakat tahu bahwa dana pembangunan jalan tani itu pada dasarnya adalah dana IDT yang harus digunakan untuk usaha produktif/dana bergulir. Situasi yang sama juga terjadi pada kasus proyek-proyek setelah 1998.

Tentang alokasi dana: Sama halnya dengan masalah jumlah dan sumber dana, pada dasarnya masyarakat tidak tahu tentang lokasi dana milik desa secara keseluruhan, bahkan alokasi dana per proyek sekalipun. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan kasus ‘Pembuatan saluran kwarter permanen’ yang dananya bersumber dari PPK. Dalam kasus ini masyarakat hanya tahu bahwa dana PPK itu digunakan untuk pembelian material, upah tenaga kerja, dan transportasi, dll. Tapi masyarakat tidak tahu berapa jumlah dana yang digunakan untuk masing-masing keperluan itu. Menurut informasi yang ada, dalam kasus ini, masyarakat, termasuk LKMD, hanya terlibat dalam menentukan jenis proyek, tapi tidak mengetahui ‘sistem anggaran’ (dimana alokasi penggunaan dana diatur) yang akan terjadi dalam proyek tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada dana PPMP dan DPD. “Yang mengetahui alokasi dana ini hanyalah Kepdes dan LKMD periode lalu, dan lebih khusus lagi hanya diketahui oleh orang-orang yang mengurus proyek- proyek itu,” ujar seorang peserta diskusi yang diamini oleh peserta diskusi lainnya. Malah, Lurah sekarang pun, yang baru dilantik pada Oktober 2000 lalu, belum mengetahui anggaran masing-masing proyek itu. “Tidak ada memori dari pejabat-pejabat sebelumya,” kilah Lurah Mbay II ketika dikonformasi.

Tentang realisasi dana: Sejauh ini, khususnya untuk proyek-proyek setelah tahun 1998, dapat dikatakan bahwa tidak ada realisasi yang menyimpang dari proyek-proyek yang dilaksanakan. Setidaknya, belum ada pengeluaran dana (untuk berbagai keperluan) yang dianggap aneh oleh masyarakat.

Tentang Keberadaan informasi: Informasi tentang jumlah, sumber, alokasi dan realisasi masing-masing dana proyek pada dasarnya tersedia. Tetapi, menurut masyarakat, mereka ‘tidak boleh’ – paling tidak dalam pengertian secara tidak langsung -- mengetahuinya, seperti yang terungkap dalam kata-kata: ‘kami tidak diundang karena kami bodoh’; ‘kami-kami yang banyak omong, kami tidak diundang, mungkin takut dikritik’. Perlu pula dikemukakan bahwa minat masyarakat untuk mengetahui masalah dana ini atau proyek secara keseluruhan relatif rendah. Sebagaimana yang Tentang Keberadaan informasi: Informasi tentang jumlah, sumber, alokasi dan realisasi masing-masing dana proyek pada dasarnya tersedia. Tetapi, menurut masyarakat, mereka ‘tidak boleh’ – paling tidak dalam pengertian secara tidak langsung -- mengetahuinya, seperti yang terungkap dalam kata-kata: ‘kami tidak diundang karena kami bodoh’; ‘kami-kami yang banyak omong, kami tidak diundang, mungkin takut dikritik’. Perlu pula dikemukakan bahwa minat masyarakat untuk mengetahui masalah dana ini atau proyek secara keseluruhan relatif rendah. Sebagaimana yang

Perlu pula ditambahkan bahwa pada umumnya informasi-nformasi tentang hal-hal di atas yang dimiliki oleh masyarakat lebih bersifat ‘desas-desus’. Artinya informasi yang di peroleh bukan dari saluran-saluran resmi dari pihak pemdes atau pihak yang berwenang/sumber resmi lainnya melalui mekanisme-mekanisme yang resmi pula. Selain itu, pernyataan-pernyataan itu tidak pula didukung oleh sumber-sumber tertulis yang resmi.

Karenanya, dapat pula dimaklumi jika tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja unsur-unsur pemerintahan desa terhitung rendah. Beberapa kesimpulan yang menarik untuk dipetik dalam kesempatan ini adalah sebagai berikut:

Di Mbay II : (…) Pada kasus Mbay II ini kebanyakan masyarakat bukannya hanya tidak puas dan hanya mampu ‘menggerutu’ saja, melainkan kebanyakan masyarakat sudah ‘tidak peduli’ dengan lembaga pemerintahan berikut program dan proyek-proyeknya. Ini terjadi karena masyarakat sudah sangat kecewa, berdasarkan pengalaman-pengalaman pada masa lalunya. Namun mereka juga tidak menunjukkan respon yang lebih ‘agresif’ (misalnya protes terbuka), melainkan hanya ‘menggerutu’. Ada kecendrungan untuk melakukan ‘perlawanan pasif’ dengan tidak mau ikut ‘perintah’ Lurah atau ketua-ketua lingkungan yang dianggap tidak mewakili kepentingan mereka. Mereka sangat kecewa dengan ‘sistem pemerintahan’ yang lama, di mana tidak ada pertanggungjawaban apapun, seperti penyelewengan-penyelewangan dana yang diyakini terjadi selama ini. Masalah ini menjadi kendala bagi pemerintahan yang baru, yang coba ‘berusaha bekerja secara lebih baik’.

Di Nggolonio : (…) Masyarakat tidak merasa puas dengan proses perencanaan proyek IDT. Ini terjadi karena tidak semua anggota pokmas dilibatkan. Selain itu, jumlah dana yang akan diterima juga ditentukan dari atas. Pendamping juga mendominasi kegiatan perencanaan ini. Meski begitu, dalam proses pelaksanaannya, masyarakat merasa puas karena dana dikelola sendiri. Artinya masyarakat dikasih kepercayaan dan langsung mendapatkan uang tunai. Tetapi ada faktor lain yang membuat masyarkat tidak puas, yaitu pendamping yang tidak memotivasi penduduk. Selain itu, juga karena pendamping ikut mengelola uang kelompok. Pada masa pemeliharaan proyek masyarakat merasa puas karena dana ditinggalkan pada kelompok, meski ada juga unsur tidak puasnya karena tidak ada perhatian lebih lanjut dari pemerintah. Di akhir proyek pendamping pun pergi tanpa pamit. (…) Pada umumnya masyarakat puas dengan proyek PPK. Ini terjadi karena masyarakat merasa dilibatkan baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pada masa pemeliharaan. Keterlibatan ini meliputi sebagian besar penduduk desa. Masyarakat merasa puas juga karena ada keterbukaan mengenai jumlah dan penggunaan dana. Selain itu juga karena proyek langsung ditangani oleh masyarakat sendiri. Meski begitu, masih juga terselip sedikit rasa tidak puas. Pasalnya, badan pengelola air minum belum juga terbentuk.

Di Totomala : (…) Sejak awalnya masyarakat sudah punya masalah dengan proyek IFAD. Hal ini berpangkal dari tidak meratanya pembagian tanah. Dalam perencanaan dikatakan bahwa setiap peserta proyek akan menerima 0,5 ha lahan. Nyatanya ada yang sampai mendapat 5 ha. (…) Masyarakat juga tidak puas dengan proyek Padat Karya. Hal ini berpangkal dari ketentuan dalam tahap pemeliharaan. Pada tahap itu, tanpa alasan yang jelas, tim pemelihara hanya berasal dari Watu Api saja (Dusun I). Keputusan saat itu dibuat oleh fasilitator yang berasal dari LSM. Protes berlangsung hanya dengan keluhan di “belakang”. (…) Dari kasus pembagian jatah air minum melalui pipa, ada protes dari penduduk Dusun III terhadap pembagian air yang tidak merata. Padahal mereka merasa telah membayar iuran dengan rajin. Padahal, di dusun lain, banyak warga dusun yang tidak rajin membayar iuran tetap.

Di Langedhawe : (…) Proses perencanaan proyek jalan Aemali – Danga tidak memuaskan masyarakat karena mereka tidak dilibatkan Proses pelaksanaan juga tidak memuaskan karena mutu jalan yang dihasilkan jelek. “Pemerintah menjanjikan jalan ini akan diaspal. Ternyata janji tinggal janji,” keluh seorang peserta diskusi kelompok terarah. Pada tahap pemeliharaan masyarakat juga merasa tidak puas karena juga meras tidak Di Langedhawe : (…) Proses perencanaan proyek jalan Aemali – Danga tidak memuaskan masyarakat karena mereka tidak dilibatkan Proses pelaksanaan juga tidak memuaskan karena mutu jalan yang dihasilkan jelek. “Pemerintah menjanjikan jalan ini akan diaspal. Ternyata janji tinggal janji,” keluh seorang peserta diskusi kelompok terarah. Pada tahap pemeliharaan masyarakat juga merasa tidak puas karena juga meras tidak

Di Takatunga : (…) Meski masyarakat tidak dilibatkan dalam proses perencanaan proyek jalan Sadha – Takatunga – Ssarasedu, masyarakat merasa puas dengan proyek ini. Ini terjad karena jalan yang menghubungkan ketiga kampung itu memang sudah diusulkan dan diidam-idamkan sejak lama. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus ruas jalan Laja – Takatunga. “Oto (kendaraan roda empat) sudah masuk, sehingga lebih mudah mengangkut barang hasil.” Jelas seorang peserta diskusi menjelaskan makna kepuasannya. Meski begitu, pada tahap pemeliharaan, masyarakat merasa tidak puas. Ini terjadi karena proses pemeliharaan ini kurang terpadu. “Di mana-mana terjadi kerusakan dan mutu jalan kurang baik,” ujar seorang peserta mengungkapkan kekecewaannya. (…) Begitu pula dengan kasus proyek jalan dari program P3DT, yang menghubungkan Ngorabolo – Malamako (Mauponggo). Masyarakat puas dengan proses perencanaannya. Begitu pula pada tahap pelaksanaan. “Ruas jalan ini melintasi kantong-kantong produksi,” ujar seorang peserta diskusi menjelaskan alasan kepuasannya. Hanya saja masyarakat kurang puas dengan proses pemeliharaan proyek. “Pemerintah tidak terlibat. Masak hanya dari masyarakat saja.” Kata seorang peserta diskusi.

Di Sangadeto : (…) Dalam kasus program IDT, warga merasa ‘terpaksa puas’. Artinya, masyarakat sebenarnya ingin dilibatkan secara penuh. Tapi, nyatanya, dalam proses perencanaan masyarakat kurang diberikan kesempatan yang memadai. Meski begitu, penjelasan pada tahap perencanaan dari pihak kecamatan cukup dimengerti masyarakat. Tahap pelaksanaan program IDT ini dinilai memuaskan karena masyarakat sudah mendapatkan manfaatnya (berupa uang tunai), walaupun tidak setiap kelompok yang terlibat dalam proses kelompok pada akhirnya menerima uang dimaksud. Pada Tahap 1 hanya 10 orang yang menerima dana bantuan (satu kelompok). Kelompok lainnya baru mendapat bantuan pada tahap-tahap pelakaksanaan selanjutnya. Penggiliran ini atas kesepakatan kelompok. Sementara itu, tahap pemeliharaan program IDT ini dinilai kurang memuaskan oleh masyarakat. Alasan utamanya adalah karena tidak ada pendamping yang memberikan penyuluhan (seperti beternak ayam yang baik, penanaman tanaman palawija dengan pemupukan dan pemberantasan hamanya), sebagaimana yang dijanjikan dalam tahap perencanaan. Hal yang hampir sama terjadi pula pada kasus proyek P3DT. Masyarakat juga mengaku merasa ‘terpaksa puas’. Mereka ‘terpaksa puas’ karena, meski pun mereka tidak diajak berunding dalam merencanakan proyek, bagimanapun, sudah ada dana untuk membangun proyek pengadaan air bersih dan sarana MCK di desa itu, yang memang sudah diinginkan sejak lama itu (khususnya sarana pengadaan air bersih). Mereka juga ‘terpaksa puas’ karena tidak tahu persis berapa jumlah dana untuk proyek tersebut. Tahap pelaksanaan proyek air bersih dan MCK yang menggunakan dana program P3DT ini dinilai masyarakat cukup memuaskan karena proyek dapat selesai dan difungsikan. Masalah ketidakpuasan muncul pada tahap pemeliharaan. Ini terjadi, setelah beroperasi beberapa tahun, beberapa keran mulai rusak dan tidak berfungsi. Masyarakat mengharapkan pemerintah desa lebih memperhatikan masalah perawatan ini.

Di Todabelu : (…) Masyarakat puas dengan kebijakan pemerintah yang mengalihkan status desa Todabelu ini menjadi kelurahan. Sebab, “dengan statusnya yang baru itu, masyarakat tidak perlu lagi memikirkan ‘gaji tambahan’ buat Lurah,” kata seorang peserta diskusi kelompok terarah. “Kepala kelurahan kan PNS (pegawai negeri sipil, pen.). Ia sudah digaji oleh Negara,” tambahnya. Selain itu, menurut warga, kinerja Lurah juga bagus. “Ia sangat gigih mengatasi masalah air minum di desa ini,” ujar peserta yang lain. “Ia bahkan sampai ikut tidur di sumber mata air selama 3 malam bersama warga lainnya, untuk menjaga bak penampungan yang sedang dikerjakan,” tambahnya.

Di Mangulewa : (…) Kasus beras OPK menunjukkan bahwa ada sebagian masyarakat yang tidak puas terhadap kebijakan Lurah bersama tokoh-tokoh masyarakat mengenai mekanisme pembagian beras OPK. Yang tidak puas adalah mereka yang tidak mengetahui kesepakatan tersebut. Hal ini terjadi karena ketika dalam proses mendesain Di Mangulewa : (…) Kasus beras OPK menunjukkan bahwa ada sebagian masyarakat yang tidak puas terhadap kebijakan Lurah bersama tokoh-tokoh masyarakat mengenai mekanisme pembagian beras OPK. Yang tidak puas adalah mereka yang tidak mengetahui kesepakatan tersebut. Hal ini terjadi karena ketika dalam proses mendesain

Meski begitu, menjadi menarik untuk lebih mendalami apa makna kehadiran pemerintahan desa itu jika dikaitkan dengan kenyataan-kenyataan yang kerab kali ditemui selama penelitian berlangsung, dan juga dalam berbagai kesempatan lain, seperti (a) patuhnya masyarakat terhadap ‘sistem lapor ke kades dulu sebelum sesuatu yang baru dapat/boleh dilaksanakan di

desa itu 5 ; (b) relatif tingginya keterlibatan para pihak dari berbagai unsur pemerintahan desa dalam berbagai upaya penanggulangan masalah yang ada; dan (c) dilibatkannya pemerintah hingga tingkat kabupaten dalam menanggulangi masalah-masalah, bahkan pada masalah yang dapat dianggap tidak begitu pelik? Ketiga kenyataan ini, kemudian, memang mengharuskan kita untuk mendalami corak hubungan antara ‘institusi komunitas’ dengan ‘institusi pemerintahan’ secara lebih jauh, sebagaimana yang akan dilakukan dalam bagian-bagian berikut. Namun, sebelumnya, terlebih dahulu akan diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan sistem pengelolaan hidup bersama yang dikembangkan dan berkembang dalam kehidupan komuniti-komuniti yang diteliti.