Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu

Dinamika Kapasitas Lokal di ‘Negeri Bersuku-suku’: Pelajaran dari Kabupaten Ngada, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia

Oleh: R. Yando Zakaria Ronny So Tita Naovalita 1

1. Pendahuluan

1.1. Tujuan Penelitian dan Alur Pelaporan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kapasitas institusi lokal di masing- masing desa yang diteliti. Kapasitas lokal adalah terminologi yang digunakan untuk menandai ‘kemampuan suatu komuniti dalam mengorganisasikan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalah-

masalah bersama’ 2 . Penanggulangan secara bersama di sini tidak diartikan secara sempit sebagai berlangsungnya tindakan bersama (berupa gotong royong atau semacamnya), melainkan secara luas termasuk berjalannya mekanisme kepemimpinan, jaringan dan institusi, di sini disingkat LNI (dari leadership, networks, dan institutions) dalam penanggulangan persoalan itu. Demikianlah, maka usaha yang sekilas tampaknya individual dapat saja dikategorisasikan sebagai upaya kolektif jika usaha itu dilandasi oleh

1 Tersedianya data primer dan sekunder untuk penulisan laporan ini dimungkinkan oleh keterlibatan sejumlah teman yang telah turut membantu sebagai supervisor dan enumerator di dalam ketiga tahap penelitian LLI (2) ini. Masing-masing adalah Anna Marlinda Boleng, Damianus Soba, Michael Heriso, Mathilde Paulina Dhae, Florianus Lengu, Ferdinandus Hamid, Hendrik Supardi, Tiburtius Djehani, dan John Bala, yang kesemuanya adalah ‘putra-putri asli Flores’. ‘Tim NTT’ yang dipimpin R. Yando Zakaria ini patut pula berterima kasih pada para responden dan/atau informan yang sempat terlibat selama penelitian berlangsung. Terima kasih pula pada para reviewer, masing-masing Drs. Haswinar Arifin, MA; Pieter J. Evers, MA; dan Hans Antlov, Ph.D. Ucapan terima kasih patut pula diberikan kepada Anna Maria Wetterberg (Ketua Tim LLI (2) ) dan Scott Guggeinheim, Ph.D, yang bertindak selaku Task Manager Proyek Penelitian LLI (2) ini. Penelitian ini dimungkin oleh dana hibah Pemerintah Norwegia yang dikoordinasikan oleh kantor World Bank Washinton, Amerika Serikat. Ucapan terima kasih patut pula diberikan pada para penyandang dana penelitian ini. Ucapan terima kasih perlu pula diberikan pada Lenny Darmawan, Ph.D (Ketua ‘Tim Jateng’); Ir. Erwin Fahmi, MURP (Ketua ‘Tim Jambi); dan seluruh anggota ‘Tim Jateng’ dan ‘Tim Jambi’ yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu. Secara khusus saya (R. Yando Zakaria) ingin pula mengucapkan terima kasih kepada Eduardus Sareng dan Nong Susar, serta teman-teman di SANRES lainnya (Maumere); Vincent Mosafoa dan Nico (Mbay);Lerry Mbuik (PIAR/Kupang), Leonardo Simandjuntak dan Tori (PIKUL/Kupang); serta Kurniawan (Jakarta) dan Nona (PIAR/Kupang), kedua orang disebut terakhir adalah anggota Tim NTT untuk TTS (bagian studi yang tidak dilanjutkan). Begitu pula, saya ingin pula berterima kasih kepada Kamala Chandrakirana (Jakarta); Noer Fauzi (Bandung); dan Hendro Sangkoyo (Melbourne). Terakhir saya harus mengucapkan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi kepada Hendriati Trianita, istri saya, serta Bugi dan Geri, anak-anak saya. Tanpa pengertian, kerjasama, dan ‘rasa pertemanan’ semua pihak, baik ‘peneliti’, ‘pihak yang diteliti’, maupun ‘para pihak lain yang memungkinkan berjalannya penelitian ini pada umumnya’, niscaya rangkaian kegiatan penelitian ini tidak akan berjalan dengan sukses. Tima tii woso (Terima kasih banyak, Bah. Bajawa).

2 Lihat juga Pieter J. Evers, “Resourcefull Villagers, Powerless Communities: Rural Village Government in Indonesia”, Working Draft Local Level Institution Study/Indonesia, a Word Bank

/Bappenas Research Project, January 2000, hal. 2).

bekerjanya LNI tertentu. Dengan kata lain, penelitian ini memberikan perhatian khusus pada kemampuan mengatur diri sendiri (self-governance)

pada komuniti-komuniti yang dikaji itu 3 .

Berkaitan dengan suatu upaya evaluatif tentang ‘ada-tidak’ atau ‘tinggi- rendah’-nya kapasitas institusi lokal ini, sebagai ‘alat bantu’, ada baiknya menggunakan kerangka kerja yang dikemukakan Uphoff. Uphoff mengatakan bahwa kapasitas setiap organisasi, apakah ia juga dapat disebut sebagai institusi ataupun bukan, tergantung pada baiknya kinerja (1) pengambilan keputusan (baik dalam perencanaan maupun tahap evaluasi); (2) mobilisasi dan pengelolaan sumberdaya; (3) komunikasi dan koordinasi; (4) dan kegiatan-

kegiatan resolusi konflik 4 . Jika kinerja pada masing-masing hal itu tidak baik, setidaknya pada suatu tingkatan tertentu, maka sulit untuk mengatakan bahwa organisasi itu ada, meskipun wujud formalnya ada. Jika kinerja baik itu muncul secara lebih sering, lebih utuh, dan lebih efektif, kita dapat mengatakan telah ada kapasitas organisasi yang besar dan lebih potensial

dalam melembagakan efektifitas kerjanya’ 5 .

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa makna substantif kapasitas lokal adalah mengacu pada proses dan bukan ‘suatu benda’. Karenanya pemahaman tentang kapasitas lokal secara optimal hanya dimungkinkan melalui pengamatan yang mendalam atas kejadian-kejadian yang berlangsung pada kasus-kasus yang terbatas sifatnya. Tentu saja, segera harus diberikan catatan, ini bukan berarti sama sekali tertutup kemungkinan bagi suatu upaya pemahaman lain yang lebih memberikan perhatian pada cakupan wilayah keberlakuan (sebaran kuantitatif) dari kapasitas lokal itu.

3 Dalam penelitian ini masalah bersama ini dikategorikan ke dalam 3 bidang masalah. Masing-masing adalah masalah dalam bidang keselamatan hidup; masalah dalam bidang pelayanan alam; dan masalah

bidang peningkatan kesejahteraan hidup (getting ahead). Survival didefenisikan sebagai pemenuhan kebutuhan dasar (makanan, papan, sandang). Masalah survival, dengan demikian, adalah keadaan yang mengancam kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok itu dalam jangka waktu pendek (dalam rentang waktu hingga bulan depan). Dalam pelaksanaan di lapangan ‘definisi kerja’ untuk masalah survival ini tidak dapat diterapkan sepenuhnya di lapangan. Tidak ada masalah yang dapat dikategorikan sebagai ‘keadaan yang mengancam kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok itu jangka waktu pendek (dalam rentang waktu hingga bulan depan). Maka, masalah survival dalam penilaian ini sebenarnya ‘hanyalah’ merupakan masalah yang potensial saja. Ancamannya pun tidak akan terwujud dalam jangka waktu yang sesingkat itu (satu bulan ke depan). Sementara itu, pelayanan alam didefinisikan sebagai sistem pendukung untuk memenuhi kebutuhan pokok dan pengembangan daya hidup. Masalah pelayanan alam, dengan demikian, adalah keadaan yang mengancam kualitas dan kemampuan sistem pendukung ini dalam jangka waktu menengah dan jangka panjang (lebih dari 6 bulan). Sedangkan Pengembangan daya hidup didefinisikan sebagai perbaikan kualitas hidup setelah mampu memenuhi kebutuhan dasar. Dengan demikian, masalah pengembangan daya hidup adalah kendala-kendala untuk memperoleh saluran untuk pengembangan daya hidup. Disain terakhir mengasumsikan hanya akses pada produksi yang menjadi peningkatan kesejahteraan. Perlu dikemukakan bahwa apakah satu masalah diklasifikasikan sebagai kelompok masalah survival, pelayanan alam, atau getting ahead, sepenuhnya ditentukan sendiri oleh peserta diskusi, tentunya setelah mendapat penjelasan tentang makna masing-masing masalah dari para fasilitator. Oleh sebab itu, dapat saja terjadi dua masalah yang sama dikategorikan secara berbeda oleh masing-masing kelompok.

4 Uphoff, op.cit., menekankan bahwa keempat hal itu bukanlah organisasi itu sendiri melainkan aktifitas-aktifitas organisasi yang esensial.

5 Norman Uphoff, “Institutional Capacity and Decentralization for Rural Development”. Paper presented at Technical Consultation on Decentralization, FAO, Rome, 16 – 18 December 1997, hal. 9.

Dengan penjelasan itu ingin dikatakan bahwa pemahaman makna substantif kapasitas lokal dimungkinkan dengan menggunakan pendekatan dan penggunaan tehnik-tehnik penelitian kualitatif. Dengan pendekatan dan penggunaan tehnik-tehnik yang demikian itulah dapat dikumpulkan seperangkat informasi yang dibutuhkan dalam memahami apa dan bagaimana sejumlah internal/dependent factor dan external/independent factor bekerja dan mempengaruhi dinamika kapasitas lokal. Penggunaan sekedar tehnik- tehnik penelitian kuantitatif semisal ‘household survey’ akan memberikan ‘dimensi kuantitatif’ dari makna substantif kapasitas lokal dalam suatu setting sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas.

Karena itu, sebelum membahas kinerja dinamika kapasitas lokal di masing-masing komuniti dan/atau desa yang diteliti secara lebih lanjut, sebagaimana yang disarankan Uphoff di atas, termasuk di dalamnya uraian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kapasitas lokal, terlebih dahulu akan disajikan ‘peta dasar’ tentang hal-ihwal yang berkaitan dengan kapasitas lokal, khususnya yang berkaitan dengan macam-macam masalah bersama yang dihadapi warga masyarakat di masing-masing desa penelitian. Peta dasar ini akan diuraikan pada Bab 2 berikut. Termasuk di dalamnya adalah ‘peta dasar’ tentang upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah bersangkutan dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya; indikasi kinerja upaya-upaya penanggulangan masalah; berikut bentuk/macam peran yang dimainkan oleh para pihak yang terlibat itu. Uraian pada Bab 2 ini terutama akan menyandarkan diri pada data-data yang terkumpulkan melalui penerapan strategi ‘household survey’ dan ‘qualaitative data collection’ (khususnya melalui tehnik diskusi kelompok terarah).

Sebagai sebuah ‘peta dasar’ tentunya uraian dimaksud tidak bisa langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok penelitian ini. Dengan ‘peta dasar’ tentu saja agak sulit menarik kesimpulan yang lebih konprehensif, mengingat terdapat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kapasitas lokal dimaksud. Faktor-faktor itu harus diamati secara cermat dalam proses- proses sebagaimana yang disarankan Uphoff di atas. Karenanya, uraian ini perlu dilanjutkan pada uraian dan pembahasan yang mendalam tentang

dinamika kejadian pada kasus-kasus masalah penting terbatas saja 6 . Langkah yang demikian diperlukan juga mengingat, nyatanya, penggunaan berbagai ‘strategi penelitian’ yang diterapkan dalam agenda penelitian LLI (2) ini, sedikit banyaknya, telah menghasilkan kerumitannya

sendiri 7 . Dalam beberapa hal – untuk tidak mengatakannya dalam banyak hal

6 Pada dasarnya pembahasan pada tahap kedua akan memberikan informasi yang lebih utuh ketimbang uraian pada tahap pertama. Hanya saja, kelemahannya, penelitian ini ‘hanya’ menggali informasi

tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah penting yang tengah terjadi atau tengah dialami (current/actual problems). Dengan cara itu, dengan sendirinya, masing-masing masalah penting yang mengemuka pastilah masalah yang masih/tengah berlangsung. Secara teknis, dengan demikian, masalah yang sudah selesai ditangani, cenderung tidak akan terjaring. Karenanya pula, data-data yang terungkap cenderung menunjukkan ketidakberhasilannya, sebagaimana yang akan terlihat nanti. Itu berarti pula bahwa pemahaman tentang kapasitas lokal, khususnya dilihat dari sudut kinerja hasilnya, pada dasarnya akan menjadi kurang optimal juga. Masih diperlukan langkah pelengkapan data-data yang dibutuhkan.

7 Terdapat 3 (tiga) ‘strategi penelitian’ yang diterapkan dalam paket penelitian LLI (2) ini. Masing- masing disebut sebagai ‘ethnographic case studies’ (Tahap I); ‘household survey’ (tahap II); dan

‘qualitative data collection’ (Tahap III). Lebih lanjut lihat Appendix 1.

terdapat gap – untuk tidak mengatakannya kontradiksi -- antara informasi- informasi yang terkumpulkan oleh berbagai strategi penelitian yang digunakan

itu 8 . Sebab itulah, untuk kebutuhan analisis yang lebih mendalam, pemahaman tentang dinamika kapasitas lokal ini, sebagaimana akan dilakukan dalam Bab 4 nanti, akan dibangun terutama melalui pendalaman terhadap kasus-kasus tertentu saja, yang atas beberapa pertimbangan tertentu, sebagaimana yang akan dijelaskan pada saatnya nanti, dianggap dapat memberikan pelajaran yang berharga. Tentu saja, dalam pembahasan tentang dinamika kapasitas lokal di wilayah penelitian dimaksud, uraian tersebut juga akan dilengkapi dengan sejumlah ilustrasi lain yang bersumber dari ‘peristiwa-peristiwa penting’ dan hasil ‘ethnography case studies’ yang

sempat dilakukan 9 .

Pada Bab 4 itulah pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan ‘apakah kapasitas lokal di masing-masing komuniti dan/atau desa yang diteliti lebih kuat atau melemah jika dibandingkan waktu-waktu yang lampau?’; ‘faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi dinamika kapasitas lokal itu?’; ‘faktor- faktor apa saja yang menyebabkan perbedaan respons’ antar desa’: ‘mengapa suatu kasus masalah penting di desa tertentu diupayakan jalan keluarnya sementara kasus yang sama tidak diupayakan di desa lain?’; ‘faktor-faktor apa pula yang menyebabkan adanya perbedaan kinerja hasil dari berbagai upaya pada kasus masalah penting yang sama?’; ‘faktor-faktor apa yang menyebabkan adanya fenomena-fenomena yang bertolak belakang itu?’; dan pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya, akan dijawab.

Sementara itu, penelitian ini juga mengasumsikan bahwa ‘pemerintahan desa’ adalah bagian penting dari realitas kehidupan masing-masing komuniti dan/atau desa yang diteliti. Kajian-kajian yang pernah ada 10 , termasuk kajian LLI (1) terdahulu 11 , menunjukkan bahwa keberadaan pemerintahan desa ini tidak dapat dilepaskan perannya dalam mempengaruhi dinamika kapasitas lokal. Baik pengaruh ke arah negatif (memperlemah kapasitas lokal) maupun yang ke arah positif (memperkuat kapasitas lokal). Karenanya, laporan ini juga akan dilengkapi dengan ulasan hal-ihwal yang berkaitan dengan kehadiran pemerintahan desa, khususnya yang berkaitan dengan kinerja dinamika kapasitas lokal, sebagaimana yang akan dilakukan pada Bab 3.

Selain itu, sekedar mengantarkan pembaca pada konteks di mana uraian tentang kapasitas lokal ini terjadi, pada Bab 1 ini, terlebih dahulu akan diuraikan pula secara sekilas hal-hal yang menyangkut kondisi alam,

8 Karenanya, sebagaimana yang tergambarkan dalam alur pembahasan nanti, diperlukan semacam jembatan yang menyambungkan gap yang ada itu.

9 Dalam penerapan strategi ‘qualitative data collection’ terdapat 4 (empat) tehnik pengumpulan data. Masing-masing (1) penyelenggaraan diskusi kelompok terarah, yang dilakukan masing-masing dalam

4 ronde. Setiap ronde mendiskusikan topik tertentu. Selain itu, penerapan strategi ‘qualitative data collection’ ini juga dilengkapi dengan penggunaan beberapa alat perekaman data lainnya. Masing- masing adalah (2) pengamatan dan wawancara mendalam terhadap 1 – 2 ‘peristiwa penting’ terpilih (baik karena menjadi prioritas melalui diskorah ataupun karena alasan lain); (3) pengamatan dan wawancara mendalam tentang 2 profil LNI menonjol menurut ‘household survey’; (4) perekaman data tentang ‘rona situasi desa’. Keempat tehnik pengumpulan data ini dilengkapi pula dengan upaya pengumpulan data-data sekunder.

10 Sekedar menyebut satu sumber, lihat R. Yando Zakaria, Abih Tandeh, Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru . Jakarta: Lembaga Studi Advokasi dan Masyarakat, 2000.

11 Evers, op.cit., dan Chandrakirana, op.cit.

pemerintahan, kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Baik pada tingkat propinsi, kabupaten, dan perbandingannya pada tingkat nasional, maupun pada tingkat desa di mana penelitian ini dilakukan. Laporan ini akan ditutup oleh Bab 5 yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.

Dengan tahap-tahap penjelasan yang demikian itu diharapkan pemahaman tentang dinamika kapasitas lokal yang lebih konprehensif akan diperoleh. Bersamaan dengan itu, diharapkan pula, kelemahan-kelemahan masing-masing strategi penelitian yang diterapkan dalam agenda penelitian LLI (2) ini justru dapat ditransformasikan menjadi suatu kekuatan yang berdaya guna. Dengan itu pula, seluruh langkah yang telah diayunkan akan ada manfaatnya: bukan sekedar langkah akomodasi dan/atau kompromi yang semu.

1.2. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1.2.1. Latar Geografi, Kependudukan, dan Administrasi Pemerintahan

Nusa Tenggara Timur, selanjutnya disingkat NTT, adalah salah satu dari sedikit propinsi di Indonesia yang wilayahnya terpisah-pisah ke dalam sejumlah ‘pulau besar’ dan ‘pulau kecil’. Beberapa ‘pulau besar’ yang penting

untuk disebut adalah Timor, Flores, Sumba, Rote, Alor, Sawu, dan Lembata 12 . Banyak di antara ratusan pulau-pulau kecil yang termasuk ke dalam wilayah propinsi ini yang tidak tergambarkan dalam peta-peta resmi yang ada. Karenanya banyak pula yang tidak dikenal namanya secara luas.

Bentangan alam NTT dicirikan oleh medan yang berbukit-bukit dengan kemiringan yang mencapai 80%. Tentu saja kondisi ini potensial terancam erosi yang dapat melahirkan tanah kritis. Pada tahun 1976, menurut Biro Penelitian Universitas Cendana, Kupang, luas tanah kritis di Nusa Tenggara

Timur mencapai 4,1% 13 . Pada umumnya wilayah NTT merupakan bagian wilayah kepulauan Indonesia yang, di samping berbukit-bukit, terdiri dari berbagai bentuk batu-batuan yang berbeda-beda. Baik mengenai umurnya maupun mengenai susunannya. Pulau Timor dan Pulau Sumba serta gugusan pulau-pulau sekitarnya, tidak memiliki gunung berapi (non-vulkanik). Lapisan tanahnya mempunyai dasar kapur dan merupakan tanah datar yang cukup luas. Karena itu, di Timor dan Sumba terdapat banyak tanah pangonan atau tanah penggembalaan yang cukup luas. Gugusan Pulau Flores dan Alor merupakan pulau-pulau yang memiliki gunung berapi (vulkanis) yang umurnya masih muda, dan merupakan perpanjangan rentetan gunung berapi sampai ke Lautan Teduh. Pulau-pulau vulkanis umumnya memiliki tanah- tanah yang lebih subur dari pada pulau-pulau non-vulkanis. Karena itu di

Flores dan Alor terdapat tanah pertanian yang cukup subur 14 .

12 Tiga pulau besar yang terpenting adalah Flores, Sumba, dan Timor. Sebab itu pula Nusa Tenggara Timur seringkali pula dikenal dengan sebutan populernya: ‘Negeri Flobamor’ atau ‘Nusa Flobamor’.

13 Biro Penelitian Universitas Cendana, Laporan Penelitian No. 16, 1978. Dikutip dari Rachmat Nuri, Geografi Budaya dalam Wilayah Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Timur . Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, hal. 1.

14 Ace Partadiredja, et.al., Pengaruh Hak Adat Tanah atas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan di Nusa Tenggara Timur . Laporan Penelitian. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Ekonomi, Universitas Gadjah Mada & Departemen Pertanian, 1973, hal. 10.

Iklim di daerah ini sering dinilai ‘kurang bersahabat’ 15 . Seluruh wilayah NTT tergolong daerah dengan iklim kering. Musim kemarau lebih panjang jika dibanding dengan musim hujan 16 . Di samping itu, curah hujan pun sangat bervariasi dari tahun ke tahun. Suhu udara harian berkisar antara 24 0 C

(minimum) hingga 32 0 C (maksimum).

Penelitian LLI (2) di NTT, semula, berdasarkan pertimbangan- pertimbangan tertentu, diselenggarakan di 2 kabupaten. Masing-masing adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan (terletak di Pulau Timor) dan Kabupaten Ngada (terletak di Pulau Flores). Namun, karena adanya kasus ‘gangguan keamanan’, khususnya dengan terjadinya ‘Kasus Belu’ yang menewaskan pekerja sosial dari badan international WHO pada sekitar bulan Oktober 1999 lalu, penelitian di Timor Tengah Selatan dihentikan. Dengan demikian, untuk selanjutnya penelitian di NTT hanya dilakukan di Kab. Ngada.

Luas wilayah Kabupaten Ngada adalah 3.037,88 km 2 . Kabupaten Ngada tergolong daerah yang beriklim tropis. Bentang alam di wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Ngada dicirikan pula oleh banyaknya padang rumput. Namun ditemui pula beragam tumbuhan pepohonan seperti kemiri, asam, kayu manis, lontar dan sebagainya. Fauna di wilayah ini juga terhitung kaya. Antara lain terdapat hewan-hewan peliharaan besar (seperti kerbau, sapi, dan kuda), hewan peliharaan kecil (seperti kambing, domba dan babi). Di samping itu terdapat pula berbagai jenis binatang liar. Terdapat pula sejumlah objek wisata. Di antaranya adalah Taman Laut 17 Pulau (Riung) dan peninggalan batu megalitik.

Wilayah administrasi Kabupaten Ngada terbagi-bagi lagi ke dalam 9 (sembilan) wilayah pemerintahan Kecamatan, dan dua Kecamatan Pembantu; dengan 127 desa dan 12 kelurahan (1998). Kecamatan Aesesa, salah satu kecamatan di mana penelitian ini diselenggarakan, merupakan wilayah yang terluas, yaitu sebesar 22,56% dari luas Kabupaten Ngada secara keseluruhan. Sedangkan Kecamatan Ngada Bawa, yang menjadi ‘pusat pemerintahan’ Kabupaten Ngada, memiliki luas wilayah terkecil, yaitu hanya 1,46% (1998).

Jumlah penduduk pada tahun 1998 lalu, menurut sumber resmi (BPS, 1999, hal. 59 –60), adalah 215.865 jiwa (39.085 KK). Jumlah itu meningkat sekitar 1,6% jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 1997. Dengan demikian rata-rata banyaknya anggota rumah tangga pada tahun 1998 adalah 5,5 jiwa/KK. Beban tanggungan penduduk usia produktif adalah 65,63. Penduduk yang berstatus belum menikah adalah 42,54%.

Tingkat kepadatan penduduk rata-rata Kabupaten Ngada 71 jiwa/km 2 . Meski begitu, persebaran penduduk pada 9 Kecamatan dan 2 Kecamatan Pembantu itu pada dasarnya tidak atau belum merata.

15 Informasi-informasi tentang iklim dalam bagian-bagian berikut bersumber dari Nuri, 1985, ibid., hal 9 – 10, kecuali disebutkan lain. Uraian yang cukup lengkap tentang kondisi fisik daerah Nusa Tenggara, di mana Propinsi Nusa Tenggara Timur tercakup di dalamnya, periksalah Kathryn A. Monk, Yance de Fretes, dan Gayatri Reksodihardjo – Lilley, Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku, Seri Ekologi Indonesia, Buku V . Jakarta: Prenhallindo & Canadian International Development Agency (CIDA), 2000.

16 Musim hujan adalah bulan-bulan Desember/Januari hingga Maret/April, dan musim kemarau adalah bulan-bulan Mei/Juni hingga Oktober/November.

1.2.2. Ciri-ciri Dasar Sistem Sosial dan Budaya

Molnar (1998: 13 – dst.) mengemukakan bahwa wilayah NTT menyajikan keragaman etnografik yang sangat kaya. Tetapi, di luar hubungan kolonialnya dengan Belanda dan Portugis, tidak banyak yang diketahui tentang penduduk dan kebudayaannya sampai masa-masa terakhir ini. Untuk kasus Flores misalnya, sesuai dengan pengamatan LeRoux pada tahun 1920, nampaknya tidak banyak perhatian tercurah pada pulau dan penduduknya hingga awal abad 20. Walau Flores Timur dikuasai Portugis pada tahun 1511 dan kemudian ditaklukan Belanda pada tahun 1641 (?), bagian sebelah Barat Flores, yang sekarang dikenal dengan nama Manggarai dan Ngada, sama sekali tidak menarik perhatian kolonial Belanda sampai dengan tahun 1907. Wilayah

ini bahkan diabaikan oleh para pendahulunya 17 .

Sementar itu, Fox (dalam Molnar, ibid., hal. 14 – dst.) menunjukkan pentingnya tema-tema tentang ‘sumber’ (source) dan ‘asal-mula’ (origin) yang berulang kali mucul dalam masyarakat Indonesia, khususnya pada masyarakat Indonesia bagian Timur. Fox menamakan konfigurasi-konfigurasi yang berbeda satu sama lainnya itu sebagai ‘struktur asal-mula’ (origin structures). ‘Struktur asal-mula’ mencakup semua struktur sosial dan ide-ide yang mengaitkan seseorang atau sekelompok orang dengan apa yang dianggap asal-mula dari sekelompok orang tersebut. ‘Struktur asal-mula’ ini dapat berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain. Tetapi, di antara orang-orang Austronesia seperti kelompok-kelompok penduduk di Nusa Tenggara Timur, terdapat banyak konsep yang sama dalam ‘struktur asal- mula’ ini, yakni konsep pun/hun/fun , atau semacam peo di Aesesa dan yang

semuanya mengacu pada metafor pohon 18 .

Fox menyarankan pula bahwa studi tentang ‘struktur asal-usul’ dan tentang system of precedence yang dihasilkan dari ‘struktur asal-mula’ tersebut, merupakan bentuk-bentuk perbandingan yang lebih bermanfaat bagi

masyarakat-masyarakat Austronesia 19 . ‘Rumah’ telah diidentifikasi oleh sejumlah peneliti Austronesia sebagai salah satu dari kategori-kategori penting yang menandakan ‘a particular kind of social unit’. House societies atau house communities adalah masyarakat atau komunitas yang berbasis pada rumah sebagai salah satu ‘origin group’ atau ‘kelompok asal-mula’ yang penting atau terpenting bagi masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini ‘rumah’ dapat memiliki makna lebih penting atau sepenting ‘klen’, atau kelompok keturunan (descent group) yang lain. Dengan demikian, menurut Molnar (op.cit., hal. 15), kategori rumah ini menjadi dasar bagi serangkaian hubungan-hubungan

17 Andrea K. Molnar, “Kemajemukan Budaya Flores: Suatu Pendahuluan”, dalam Antropologi Indonesia, No. 56, Thn. XXII, Mei – Agustus 1998. Jakarta: Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Indonesia. Lihat juga Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi . Ende: Penerbit Nusa Indah, 1999.

18 Lihat uraian pada Bab 3 berikut.

19 System of precedence atau order of precedence adalah pola urutan derajat seseorang berdasarkan pada ‘asal-mulanya’. Misalnya, salah seorang penduduk asli setempat memperoleh derajat yang tinggi

dalam ‘ritual tanah’. Penduduk yang lain, karena melecehkan nenek moyang penduduk asli, hanya memperoleh pengutamaan atau derajat/kedudukan dalam pemerintah lokal. Keturunan raja memiliki derajat/kedudukan berdasarkan pada jauh dekatnya hubungan genealogi yang dimilikinya. Mereka yang lebih dekat hubungan genealoginya memiliki derajat yang lebih tinggi dari pada mereka yang memiliki genealogi yang lebih jauh.

dalam organisasi-organisasi sosial masyarakat tersebut. Bahkan, di antara banyak kelompok-kelompok penduduk Flores, menjadi ‘masyarakat berbasis rumah’ merupakan suatu aspek penting dari identitas kelompok. Menurut Mc Kinnon (dalam Molnar, op.cit., hal. 15) suatu aspek penting dari konseptualisasi asli tentang ‘masyarakat berbasis rumah’ ini menyangkut ide- ide lokal tentang nilai-nilai yang dikaitkan pada hubungan-hubungan sosial.

Lebih jauh Molnar mengatakan (op.cit., hal. 15) bahwa pengidentitasan diri ini acapkali dan terutama memanfaatkan konseptualisasi asli dari penduduk setempat yang diekspresikan dalam ‘metafor-metafor yang serupa’ dan ‘origin structures’. Terdapat banyak macam identifikasi diri dari berbagai budaya Flores dan tidak ada satu pun kumpulan ciri-ciri yang dapat menentukan ‘identitas lokal’ seseorang. Identitas lokal tidak sekedar merupakan masalah lokasi spasial atau geografis. Dengan identitas tersebut terkait ‘imagined community’ (Anderson, 1983). Identitas lokal tidak pula terbentuk hanya oleh hubungan-hubungan kekuasaan di antara penduduk ‘marjinal’ atau ‘periferi’, atau mereka yang memiliki ‘otoritas’, pusat kekuasaan, baik dalam konteks pra-kolonial, kolonial, ataupun pasca-kolonial. Identitas lokal atau defenisi yang dibentuk sendiri (self-definition) untuk kelompok- kelompok ini melibatkan suatu perumusan yang berlangsung terus-menerus (dan bahkan penciptaan kembali atau re-invention) yang dipengaruhi oleh situasi-situasi sejarah, politik, dan ekonomi yang khusus, dan merupakan ‘a matter of its historical interactions with contrasting others’ (Keane 1997). Terdapat suatu dialektika yang kompleks antara kategori-kategori penduduk setempat dengan ‘definisi yang dibentuknya sendiri’ atau identitas suatu kelompok, atau individu-individu, dengan pengalaman-pengalaman sejarah kolonial yang berbeda, dan dengan perubahan-perubahan yang lebih mutakhir karena modernisasi dan politik negara Indonesia.

Sementara itu, wilayah administrasi Kabupaten Ngada sekarang ini sering pula dikatakan mencakup tiga wilayah kebudayaan. Masing-masing adalah ‘wilayah budaya’ Ngada; ‘wilayah budaya’ Nage-Keo (yang terpilah pula ke dalam dua ‘wilayah budaya’ Nage dan Keo); serta ‘wilayah budaya’ Riung’. Dalam pembicaraan sehari-hari tidak jarang pula penduduk, termasuk dari kalangan yang terdidik, mengidentifikasikan diri sebagai ‘suku Ngada’, ‘suku Nage-keo’, dan ‘suku Riung’. Pengidentifikasian itu mengarah pada pemaknaan sebagai sukubangsa. Tidak tersedia literatur atau sumber-sumber tertulis ataupun lisan yang menunjukkan bahwa ketiga kategori ‘kelompok budaya’ itu telah ada sebelum hadirnya sistem pemerintahan kolonial Belanda, yang sejatinya baru dimulai pada awal abad 20. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dulu, wilayah administrasi Kabupaten Ngada sekarang ini memang terbagi ke dalam 3 wilayah pemerintahan swapraja. Masing-masing adalah

Swapraja Ngada, Swapraja Nage-Keo, dan Swapraja Riung 20 . Besar pula kemungkinan dikenalnya sebutan raja, yang mengacu pada pimpinan tertinggi, baru dikenal setelah masalah pemerintahan swapraja itu diberlakukan. Raja

20 Tentang hal ini lihat Mr. Usep Ranawidjasa, Swapraja, Sekarang dan Dikemudian Hari. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1955. Dalam daftar lengkap nama-sama Daerah Swapraja di Propinsi Nusa

Tenggara pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), tercatat nama-nama Swapraja Ngada (berdiri atas dasar Pernyataan Pendek 8 Mei 1921); Swapraja Riung (berdasarkan Penyataan Pendek 13 Desember 1918); dan Swapraja Nogeh (Nage-Keo?), yang berdiri atas dasar Pernyataan Pendek 21 Oktober 1927).

dalam konteks ini adalah jabatan publik, karenanya terbuka, dan bukan sebuah jabatan yang terikat pada suatu keturunan tertentu.

Yang menarik adalah perkembangan lanjut dari satuan wilayah-wilayah swapraja itu. Sekarang ini wilayah bekas swapraja itu secara sosial dan budaya diklaim sebagai wilayah suku dengan nama (bekas) swapraja itu, lengkap dengan adanya ‘status penguasa tertinggi’ – dan previllage yang melekat padanya -- di tingkat suku yang berada pada tangan turunan bekas raja-raja

Swapraja dulu 21 . Perkembangan yang demikian tidak jarang menimbulkan sengketa dengan suku atas dasar sistem kategorisasi yang lain. Di kabupaten Ngada, secara umum ditemukan sistem penggolongan masyarakat yang terdiri dari 3 (tiga) lapisan 22 . Masing-masing adalah (1) golongan bangsawan atau mosalaki; (2) ‘golongan janda atau anak yatim atau piatu’; dan (3) ‘golongan hamba sahaya atau budak’.

Golongan bangsawan atau mosalaki adalah golongan asal pemimpin dan pemegang adat. Golongan inilah yang mengurus (turun-tangan) bila di kampung-kampung terjadi masalah dan dari golongan ini pula pemimpin- pemimpin dalam masyarakat berasal. Ada beberapa bentuk pengelompokan mosalaki, seperti yang ditemukan pada suku Lambo. Masing-masing adalah: (a) Mosa tana laki watu, adalah mosalaki yang memiliki tanah luas dan berhak mengatur pembagian tanah suku; (b) Mosa bhada laki wea, adalah mosalaki yang memiliki banyak harta; (c) Mosa ulu laki eko, adalah mosalaki di dalam kampung; (d) Mosa lado bhada laki wonga wea, adalah mosalaki yang berani/pemimpin perang; (e) Mosa wesi laki peni, adalah mosalaki yang rajin; (f) Mosa pusu muku laki tagalai, adalah mosalaki yang tidak memiliki apa-apa, ia bekerja hanya habis untuk mengisi perutnya saja.

Golongan kedua adalah golongan para janda dan anak yatim atau kuju noe walu halo. Dalam tulisan Marlinda (1997:26) yang berdasarkan penelitiannya mengenai makna belis pada kelompok etnis Nage Keo di Flores, disebutkan bahwa golongan ini adalah golongan masyarakat biasa. Biasanya hidup mereka hanya pas-pasan saja, tetapi mereka tetap dihargai oleh masyarakat sekitarnya.

Golongan ketiga adalah golongan hamba sahaya/budak atau ro’o, yaitu

orang-orang yang menjadi milik atau berada di bawah kekuasaan mosalaki.

Pada jaman dahulu, seorang hamba bisa dijadikan tebusan hutang, mas kawin, atau dijual. Jadi sering berganti tuan. Seorang ro’o hampir tidak memiliki apa-apa di dalam kampung maupun di dalam suku-nya. Ia hanya boleh bekerja dengan mengabdi kepada mosalaki yang menjadi tuannya. Ia

juga tidak mempunyai hak untuk memiliki tanah dan sumber daya lainnya.

Hidupnya sepenuhnya bergantung kepada tuannya. Golongan ini tidak terlibat dalam pertemuan-pertemuan kampung dan tidak bisa mengurus atau menyelesaikan masalah-masalah.

21 Dalam suatu kesempatan wawancara , seorang tokoh masyarakat yang telah berusia lebih dari 70 tahun, mantan pegawai negeri yang banyak mengamati masalah budaya Ngada pernah mengatakan

bahwa konsep kerajaan, sebagaimana yang umum dikenal sekarang ini, tidak pernah dikenal sebelum masa swapraja dulu. Begitu pula dengan sebutan ‘raja’. Toda, op.cit., kurang lebih juga berpandangan sama.

22 Istilah untuk setiap golongan tersebut bisa berbeda antara suku satu dengan lainnya kecuali mosalaki (golongan bangsawan). Istilah kuju noe walu halo (golongan janda dan anak yatim) dapat ditemukan di

Nage Keo, sedangkan istilah ro’o (golongan hamba sahaya/budak) dapat ditemukan di Lambo dan Lape (masuk Kec. Aesesa sekarang).

Ada banyak sebab yang menyebabkan seseorang menjadi seorang ro’o. Di antaranya: (a) Karena kalah perang dengan suku lain, sehingga ia menjadi tawanan dan diperlakukan seperti budak; (b) Keluarganya miskin, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, kemudian mereka mencari perlindungan dengan mengabdi kepada para mosalaki agar bisa memenuhi kebutuhannya tersebut; (c) Tidak mampu membayar hutang, sehingga dirinya

menjadi tebusan hutang tersebut 23 .

Saat ini keturunan ro’o sudah ada yang maju taraf pendidikan dan ekonominya. Namun perbedaan yang disebabkan sistem penggolongan tersebut masih terasa. Keturunan ro’o tetap kurang dihargai dalam masyarakat. Masyarakat masih lebih menghargai keturunan mosalaki, meski ternyata berpendidikan rendah, wawasannya sempit, dan ekonomi yang pas-pasan.

1.3. Perekonomian

1.3.1. Beberapa Indikator Ekonomi Makro

Struktur dan Perkembangan PDRB Kab. Ngada, menurut sumber resmi yang ada 24 , sampai pada tahun 1997 lalu, masih bertumpu pada sektor primer dengan kontribusi sebesar 50,38%. Namun sumbangan sektor primer tersebut dalam pembentukan PDRB terus mengecil dari tahun ke tahun dan beralih ke sektor-sektor sekunder. Di samping itu, pertumbuhan PDRB berfluktuasi, yakni dari 20,58% pada tahun 1995 menjadi 11,71% pada tahun 1996; dan turun pula menjadi 9,44% pada tahun 1997.

Dinamika Inflasi Kabupaten Ngada dari tahun ke tahun cenderung meningkat dan terlihat cukup tinggi. Pada tahun 1995 inflasi PDRB sebesar 17,40%. Pada tahun 1996 meningkat menjadi 22,84%; dan meningkat lagi menjadi 29,75% pada tahun 1997.

Pendapatan Per Kapita Penduduk pada tahun 1997 telah mencapai Rp. 888.687. Dengan demikian telah tumbuh sebesar 7,52% dari angka rata-rata pada tahun 1996. Namun, jika dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 1996, pertumbuhan angka per kapta tahun 1997 ini lebih lamban. Pada tahun 1996 angka pertumbuhan pendapatan per kapita ini adalah 11,07%.

1.3.2. Matapencaharian Penduduk dan Ketenagakerjaan

Sesuai dengan struktur PDRB di atas, pada tahun 1998, sebagian besar penduduk yang bekerja memiliki lapangan usaha di sektor primer (86,92%). Hal itu turut mewarnai jenis pekerjaan utama penduduk yang didominasi sebagai petani (BPS, 1999, hal. 60 – 61).

Dilihat dari status pekerjaan utama, 8,99% penduduk bekerja sebagai buruh atau karyawan. Hal yang menarik dari angka-angka mata pencarian penduduk ini adalah bahwa jumlah penduduk yang bekerja dengan status

23 Seorang pengamat budaya Ngada, sebutkan nama ybs., mengatakan bahwa penerjemahan ro’o sebagai ‘budak’ dalam pengertian umum sekarang ini tidaklah tepat. Pengertian ro’o sama dengan apa

yang disebut budak itu relatif sebuah perkembangan baru (khususnya semenjak masa pemerintahan kolonial Belanda dulu). Menurut yang bersangkutan, sejatinya ro’o mengacu pada orang-orang yang sedang mengalami hukuman karena tidak dapat memenuhi ketentuan-ketentuan adat ttg. bagaimana menjadi manusia yang sebenarnya (misalnya, malanggar peraturan adat tertentu, dll.).

24 Berbagai informasi dalam bagian ini bersumber dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Ngada, 1999, op.cit., hal. 337 – 338. Kecuali disebutkan lain.

‘pekerjaan keluarga’ separuh (50,92%) dari jumlah penduduk yang bekerja. Sebagian besar penduduk bekerja dengan jam kerja antara 25 – 34 jam dan 35 – 44 jam kerja seminggu. Sekitar 33,70% bekerja antara 25 – 34 jam seminggu dan 29,96% bekerja antara 35 – 44 jam kerja seminggu.

Angka pengangguran terbuka sebenarnya cukup rendah, yakni 1,74%. Meski begitu perbandingan penduduk yang bekerja dengan angkatan kerja (usia produktif) sangat tinggi, yaitu 98,26%. Angka pengangguran Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penduduk laki-laki lebih tinggi dibanding penduduk perempuan. Meski begitu, angka kesempatan kerja laki-laki lebih rendah dari perempuan atau angka ‘pengagguran terbuka’ laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan.

1.3.3. Fenomena Kemiskinan

Dengan ciri-ciri alam sebagaimana yang dijelaskan dalam bagian terdahulu, kemiskinan adalah objek perhatian yang mewarnai banyak penelitian sosial, ekonomi, dan budaya yang dilakukan di NTT selama ini. Penelitian-penelitian itu bahkan menengarai persoalan kemiskinan ini sudah begitu lama mewarnai kehidupan masyarakat NTT umumnya. Data-data statistik resmi menunjukkan bahwa NTT termasuk 13 propinsi berpendapatan dan dengan laju pertumbuhan rendah antara tahun 1975 – 1984 (Manuwoto,

1991) 25 , maupun masa 1983 – 1989 (Kaunang, 1991, seperti dikutip Sayogyo (1994) 26 . Meski, di lain pihak, dengan memakai ukuran pengeluaran rumah tangga, ekonomi rumah tangga di pedesaan NTT dalam masa 1980 – 1990, menunjukkan laju peningkatan 14% per tahun (Sayogyo, 1994: xiv) 27 . Walaupun menunjukkan kecenderungan yang terus menurun, jumlah penduduk yang dikategorikan miskin pada tahun 1996 lalu masih terhitung besar, yakni 20,57% dari jumlah keseluruhan penduduk ketika itu. Ini tentu relatif lebih baik jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, yakni

32,5% (1984), 24% (1987) 28 , serta 24,2% (1990) 29 .

1.4. Desa-desa Lokasi Penelitian

1.4.1. Karakter masing-masing desa penelitian

Sebagaimana yang terjadi pada penelitian LLI (1) pada 1996 terdahulu, penelitian LLI (2) di Kab. Ngada ini dilakukan pada dua wilayah administrasi pemerintahan kecamatan. Masing-masing adalah Kecamatan Golewa dan Kecamatan Aesesa. Sesuai dengan kebutuhan penelitian, Kecamatan Golewa dipilih secara a priori sebagai wakil dari wilayah kecamatan yang dekat dengan pusat pelayanan sosial dan pemerintahan Kab. Ngada. Sedangkan Kec. Aesesa dipilih, juga secara a priori, sebagai wilayah kecamatan yang mewakili wilayah

25 Manuwoto, “Approaches to Regional Development in Indonesia and the NTT”, dalam Collin Barlow, Alex Bellis & Kate Andrew, eds., Nusa Tenggara Timur: The Challenges of Development. Canberra:

Departement of Political and Social Change, Research School of Pasific Studies, The Australian National University, 1991.

26 Sayogyo, ed., Kemiskinan dan Pembangunan di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994.

27 Sayogyo, 1994, ibid.

28 Sayogya, 1994, ibid., hal. xiv.

29 Mukhtar Sarman & Sajogyo, Masalah Penanggulangan Kemiskinan: Refleksi dari Kawasan Timur Indonesia . Yogyakarta: Puspa Swara & Pusat P3R – YAE, hal. 62.

kecamatan yang letaknya jauh dari pusat pelayan sosial dan pemerintahan Kab. Ngada.

Dari sisi ciri-ciri geografisnya kedua kecamatan ini juga relatif berbeda satu sama lainnya. Kec. Golewa dapat dikatakan mewakili ‘wilayah pergunungan dan/atau daratan’. Sedangkan Kec. Aesesa, terutama beberapa desanya, terletak di wilayah pesisir. Tepatnya terletak di wilayah pantai Utara P. Flores. Faktor letak ini, seperti akan terlihat nanti, juga akan berpengaruh pada ciri-ciri demografis dan keberagaman faktor-faktor sosial dan budayanya. Berbeda dengan keadaan di desa-desa di Kec. Golewa, beberapa unsur kebudayaan di wilayah Kec. Aesesa jelas sekali banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur kebudayaan lain dari luar. Baik pengaruh dari kebudayaan ‘sesama Flores’ (terutama dari wilayah Ende dan Manggarai), bahkan dari kebudayaan Bugis dan/atau Makassar (Sulawesi Selatan). Pengaruh itu bahkan hingga pada ‘inti kebudayaan’, seperti status dan peran ‘turunan pendatang Bugis dan/atau Makassar’ dalam struktur sosial suku yang ada di wilayah Kec. Aesesa (lebih lanjut lihat uraian pada Bab 4 berikut).

Selain itu, akibat dari beberapa program pembangunan yang diselenggarakan pemerintah, khususnya program pencetakan sawah (sebelumnya diawali dengan upaya pembangunan bendungan dan saluran irigasi yang dimulai sekitar tahun 1950-an dan terealisasi pada awal tahun 1970-an), dan pemukiman kembali (terjadi dalam beberapa gelombang), berbeda pula dengan keadaan di Kec. Golewa, banyak warga desa-desa yang ada di Kec. Aesesa, bahkan ada yang hampir seluruh warga desanya, adalah para ‘pendatang’. Yakni warga suku yang sebenarnya berasal di daerah pegunungan di sekitar wilayah Kec. Aesesa yang ‘diturunkan’ ke pemukiman- pemukiman dan/atau desa-desa baru yang sejatinya adalah ‘tanah air’ suku yang lain. Melalui program pencetakan sawah banyak warga desa-desa di Kec. Aesesa yang memiliki sawah (melalui program redistribusi lahan) di ‘lembah’ Mbay.

Sementara itu, lokasi desa-desa di Kecamatan Golewa sekarang pada umumnya juga merupakan ‘lokasi yang baru’, meski dapat dikatakan tetap berada di ‘tanah air’-nya sendiri. Ini terjadi karena keinginan warga desa-desa yang bersangkutan untuk lebih dekat dengan berbagai pelayanan pemerintahan dan sosial, terutama jalan raya. Situasi ini juga disebabkan oleh makin padatnya ‘kampung asli’, sehingga tidak mungkin lagi menampung perkembangan jumlah penduduk yang ada.

Sesuai pula dengan kebutuhan penelitian, pada masing-masing kecamatan terpilih dipilih pula secara a priori 4 desa. Dengan rincian: dua desa yang mewakili desa-desa yang jauh dari pusat pelayanan sosial dan pemerintahan kecamatan dan dua desa sebagai wakil desa-desa yang dekat dengan pusat pelayanan sosial dan pemerintahan masing-masing kecamatan.

Rincian ‘persamaan dan perbedaan karakter’ dari kedelapan desa yang terpilih menjadi lokasi penelitian ini adalah sebagaimana yang tercatum dalam Tabel 1.1. berikut.

Tabel 1.1 : Rincian persamaan dan perbedaan karakter desa-desa lokasi penelitian

Desa

Status jarak pusat desa dengan

Ciri-ciri geografis

Ciri-ciri pembeda lainnya

pusat Kecamatan

Kecamatan Aesesa 1. Mbay II

Dekat dan mudah. Jaraknya

Sebagian wilayah pesisir,

‘asli setempat’; sebagian

sekitar 5 km. Jalan beraspal.

sebagian dataran; sebagian

keturunan Bugis/Makassar

Ada kendaraan umum reguler

berupa sawah irigasi

(sudah lebih dari 5 generasi).

(lebih dari 10 kali sehari).

Sebelum dipecah menjadi 3

Dusun terjauh dapat dicapai

desa (1999), dua dusun

dalam waktu kurang dari 1 jam

dimukimi pendatang dan

jalan kaki

keturunan Bugis/Makassar yang lebih baru.

2. Nggolonio

Relatif jauh (lebih dari 10 km)

Sebagian wilayah pesisir;

Sebagian besar ‘asli setempat’;

namun akses mudah. Jalan

sebagian lain dataran dan

sebagian kecil lainnya adalah

beraspal Ada kendaraan

pegunungan

‘pendatang’ (melalui

reguler (lebih dari 10 kali

pemukiman kembali)

sehari). Dusun terjauh dicapai dalam waktu 1 jam jalan kaki.

3. Totomala

Relatif jauh (lebih dari 10 km).

Sebagian wilayah pesisir ;

Sebagian besar ‘asli setempat’;

Tetapi relatif mudah. Jalan

sebagian berupa wilayah

sebagian kecil lainnya

beraspal (meski mulai ada

pegunungan

‘pendatang’ (melalui

yang rusak). Ada jalur trayek

pemukiman kembali). Setelah

kendaraan umum. Lebih dari 5

pemekaran desa (1999),

kali sehari. Dusun terjauh

‘pemukiman pendatang’ telah

dicapai dalam waktu lebih dari

menjadi desa sendiri yang

2 jam jalan kaki.

terpisah dari desa Totomala; sebagian ‘pemukim asli’ lainnya menjadi desa tersendiri pula.

4. Langedhawe

Relatif dekat’(sekitar 7 km,

Wilayah pergunungan

‘asli setempat’; sebagian

kurang dari 10 km) tapi akses

penduduk memiliki sawah di

sulit. Tidak ada sarana

‘lembah Mbay’.

transportasi yang memadai. Jalan rusak berat sehingga sulit dilalui kendaraan roda 4. Hanya bisa dilalui truk (hanya sekali seminggu). Sepeda motor juga susah (butuh ketrampilan tertentu untuk dapat melewatinya). Cara yang paling umum adalah jalan kaki (sekitar 3 – 5 jam). Dusun terjauh dicapai dalam waktu lebih dari 2 jam jalan kaki.

Kecamatan Golewa 1. Takatunga

Jauh (lebih dari 15 km). Akses

Wilayah pegunungan dengan

Umumnya ‘asli setempat’;

relatif susah, terutama pada 5

sedikit sawah tadah hujan

walau tidak lagi merupakan

km terakhir (dari percabangan

‘wilayah asal’ (desa adat

jalan utama/jalur kendaraan

berada 2 - 3 kilometer dari

umum); kondisi jalan ini juga

lokasi desa sekarang).

rusak berat (tapi masih mudah

Pendatang dari luar relatif

dilewati kendaraan roda 2).

sedikit.

Jalur utama dilewati kendaraan umum secara reguler (lebih dari 15 kali sehari). 5 km terakhir hanya ada kedaraan umum sekali dalam seminggu. Umumnya ruas ini ditempuh jalan kaki. Dusun terjauh dicapai lebih dari dua jam jalan kaki,

2. Sangadeto

Jauh (lebih dari 20 km dan

Wilayah pegunungan dengan

Umumnya ‘asli setempat’.

harus melewati wilayah

sedikit sawah tadah hujan

Pendatang dari luar relatif

kecamatan lain). Akses sulit.

sedikit.

Dapat menggunakan kendaraan roda 2. Umumnya ditempuh jalan kaki. Diperlukan waktu lebih dari 3 Dapat menggunakan kendaraan roda 2. Umumnya ditempuh jalan kaki. Diperlukan waktu lebih dari 3

3. Todabelu

Relatif dekat dan mudah. Jalan

Pegunungan dan dataran

Umumnya ‘asli setempat’.

beraspal dan merupakan jalur

Pendatang dari luar relatif

kendaraan umum (lebih dari

banyak (umumnya pegawai

20 kali sehari). Dusun terjauh

negeri)

dapai dicapai kurang dari 1 jam jalan kaki.

4. Mengulewa

Sda.

Pegunungan dan dataran

Umumnya ‘asli setempat’. Pendatang dari luar relatif banyak (umumnya pegawai negeri)

Sumber: Penelitian lapangan LLI (2), diolah.

1.4.2. Perekonomian Penduduk di Desa-desa Penelitian

Jenis Pekerjaan yang tergali selama diskusi kelompok terarah berlangsung adalah (1) bertani (sawah & ladang/lahan kering; (2) Nelayan; (3) beternak (besar & kecil); (4) mengembala ternak; (5) Tukang (kayu & batu); (6) menenun; (7) menganyam tikar; (8) menyadap lontar/tuak/moke; (9) mencari madu; (10) Pegawai negeri sipil (non-guru); (11) Guru (PNS & swasta); (12) Pegawai swata; (13); catut/dagang kecil-kecilan/usaha kios/warung; (14) jualan sayuran; (15) usaha mesin giling padi; (16) penyewaan traktor; (17) usaha angkutan; kontraktor; (18) Sopir; dan (19) Penjahit.

Tingkat Kesejahteraan penduduk tergambarkan dari data-data tentang komposisi penghasilan terhadap pengeluaran penduduk. Menurut Susenas 1998, untuk tingkat Kabupaten Ngada, pengeluaran untuk makanan sebesar 63,63%, dan bukan makan 36,37%. Angka-angka ini relatif membaik jika dibandingkan dengan angka-angka untuk tahun 1987, di mana pengeluaran untuk makanan adalah 66,70% dan 33,30% untuk pengeluaran non

makanan 30 . Menariknya, angka komposisi hasil diskusi kelompok terarah relatif tidak jauh berbeda dengan hasil survey yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Ngada (1999) sebagaimana telah dikutipkan di atas. Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan penduduk, penelitian ini coba mengungkap informasi tentang kontribusi penghasilan pokok dan penghasilan terhadap konsumsi, serta proporsi total penghasilan (pokok dan sampingan) terhadap

kebutuhan survival dan kebutuhan untuk peningkatan kesejahteraan hidup 31 . Hasil diskusi kelompok terarah yang dilakukan dalam penelitian ini selengkapnya adalah sebagaimana yang tercantum pada Tabel ‘Komposisi Penghasilan Terhadap Pengeluaran’ berikut. Dari tabel dimaksud terlihat bahwa daya dukung – jika dapat dikatakan begitu – penghasilan pokok terhadap kebutuhan konsumsi relatif bervariasi di antara masing-masing desa penelitian. Sebagian desa mampu memenuhi kebutuhan konsumsinya di atas 70% (kira-kira 2/3 kebutuhan konsumsi) dari penghasilan pokoknya. Sebagiannya lagi hanya mampu memenuhi sekitar separuh kebutuhan saja (antara 50% - 60%). Meski begitu, data-data tersebut secara jelas

30 Badan Pusat Statistik Kabupaten Ngada, Ngada Dalam Angka 1998. Bajawa: Badan Pusat Statistik Kabupaten Ngada, 1999, hal. 93.

31 Sesuai definisi survival yang digunakan, kebutuhan survival ini, kurang-lebih, dapat dikomparasikan dengan kebutuhan makanan dalam survei sosial dan ekonomi nasional (SUSENAS).

menunjukkan bahwa tak ada satu desapun yang mampu memenuhi kebutuhan konsumsinya sepenuhnya dari penghasilan pokok saja. Dengan demikian, dapat disimpulkan, pekerjaan sampingan memiliki peran yang relatif penting dalam memenuhi kebutuhan konsumsi ini.

Hasil diskusi kelompok terarah ini juga menunjukkan bahwa, sebagaimana dapat dilihat dalam tabel dimaksud, proporsi terbesar dari penghasilan total terhadap kebutuhan survival rata-rata di atas 60%. Hanya ada dua desa, masing-masing Takatunga dan Todabelu (keduanya berada di Kecamatan Golewa), yang berada di bawah itu (sekitar 40%). Dengan kata lain, rata-rata, proporsi total penghasilan terhadap kebutuhan survival lebih tinggi daripada proporsi untuk kebutuhan peningkatan kesejahteran hidup.

Tabel 1.2 : Komposisi Penghasilan terhadap Pengeluran

Desa Kontribusi Kontribusi

Proporsi Total Penghasilan pokok

Proporsi Total

Penghasilan pada pada Konsumsi

Penghasilan

Penghasilan pada

Sampingan pada

Survival

Peningkatan

Kesmas Mbay II 65% 35% 60% 40% Nggolonio

Konsumsi

60% 40% 70% 30% Totomala

90% 10% 75% 25% Langedhawe 60% 40% 75% 25% Takatunga 80% 20% 40% 60% Sangadeto 75% 25% 75% 25% Todabelu

50% 50% 40% 60% Mangulewa 60% 40% 60% 40% Sumber: Penelitian Lapangan LLI (2) Tahap III, Maret – April 2001, diolah.

Dengan asumsi semakin rendah persentase pengeluaran makanan maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan suatu masyarakat, ‘data-data statistik’ di atas dapatlah dikatakan bahwa rata-rata tingkat kesejahteran penduduk di masing-masing desa penelitian ini masihlah terhitung rendah.