Teori Makna Semiotika Charles Sanders Peirce

B. Teori Makna Semiotika Charles Sanders Peirce

Semiotika sebagai sebuah pendekatan agar tidak telanjur terjatuh ke dalam kerancuan konseptual perlu lebih dahulu ditempatkan di dalam tradisi pemikiran Charles Sanders Peirce. Dengan berbekal gagasan-gagasan Peircian ini sedikit-banyak kita dapat mulai memasuki beragam teori semiotika yang lain.

Sebuah tanda atau representamen (representamen), menurut Charles S. Peirce (1986: 5 & 6), adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu dinamakan sebagai interpretan (interpretant) dari tanda yang pertama pada gilirannya mengacu kepada objek (object). Dengan demikian, sebuah tanda atau representamen memiliki relasi triadik langsung dengan interpretan dan objeknya. Apa yang disebut sebagai proses semiosis merupakan suatu proses yang memadukan entitas yang disebut sebagai representamen tadi dengan entitas lain yang disebut sebagai objek. Proses semiosis ini sering pula disebut sebagai signifikasi (signification).

Proses semiosis seperti tergambarkan pada skema di atas menghasilkan rangkaian hubungan yang tak berkesudahan, maka pada gilirannya sebuah interpretan akan menjadi representamen, menjadi interpretan lagi, menjadi representamen lagi, dan seterusnya, ad infinitum. Gerakan yang tak berujung- pangkal ini oleh Umberto Eco dan Jacques Derrida kemudian dirumuskan sebagai proses semiosis tanpa-batas (unlimited semiosis). Maka dari itu, sekali lagi secara skematik, proses tersebut dapat digambarkan demikian.

Upaya klasifikasi yang dikerjakan oleh Peirce terhadap tanda-tanda sungguh tidak bisa dibilang sederhana, melainkan sangatlah rumit. Meskipun demikian, pembedaan tipe-tipe tanda yang agaknya paling simpel dan

interpretant

represantamen object

interpretant...., dst

represantamen object

interpretant

represantamen object

interpretant

represantamen object represantamen object

(1) Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan “rupa” (resemblance) sebagaimana dapat dikenali oleh para pemakainya. Di dalam ikon hubungan

antara representamen dan objeknya terwujud sebagai “kesamaan dalam beberapa kualitas”. Suatu peta atau lukisan, misalnya, memiliki hubungan ikonik dengan

objeknya sejauh di antara keduanya terdapat keserupaan. Kata-kata onomatope di dalam bahasa Indonesia, misalnya kukuruyuk, demikian pula. Sebagian besar dari rambu-rambu lalu-lintas boleh dibilang merupakan tanda-tanda ikonik. Contoh yang sangat jelas dapat kita saksikan pada rambu yang dimaksud untuk menunjukkan adanya petugas yang sedang memperbaiki jalan serta sekaligus adanya alat-alat dan bahan material untuk perbaikan jalan tersebut.

(2) Indeks adalah tanda yang memiliki keterikatan fenomenal atau eksistensial di antara representamen dan objeknya. Di dalam indeks hubungan antara tanda dan objeknya bersifat konkret, aktual, dan biasanya melalui suatu cara yang sekuensial atau kausal. Jejak telapak kaki di atas permukaan tanah, misalnya, merupakan indeks dari seseorang yang telah lewat di sana; ketukan pada pintu merupakan indeks dari kehadiran atau kedatangan seseorang di rumah kita.

Demikian pula halnya dengan rambu lalu-lintas yang bertuliskan kata KEDIRI yang dicoret. Sebagaimana kebanyakan kata-kata di dalam repertoar

Kombinasi huruf-huruf (tepatnya: fonem-fonem) K-E-D-I-R-I yang merujuk kepada kota Kediri serta sebuah garis merah diagonal yang menoreh di atasnya adalah semata-mata sebuah konvensi. Namun begitu, bagi para pengguna kendaraan di jalan raya, rambu ini terutama adalah sebuah indeks, yakni indeks bagi berakhimya wilayah kota Kediri dan (akan) tibanya mereka di sebuah kota lain di luar Kediri.

(3) Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat arbitrer dan konvensional. Tanda-tanda kebahasaan pada umumnya adalah simbol-simbol. Dengan kata lain, menilik pengertian yang terakhir ini, apa yang disebut sebagai simbol sebetulnya berekuivalensi dengan pengertian Saussure tentang tanda (lihat bab berikutnya). Adalah suatu hal yang penting untuk dicatat bahwa kedua peletak dasar semiotika ini ternyata saling berkesesuaian mengenai pengertian yang fundamental ini.

Peirce (1986: 7-9) juga memilah-milah tipe tanda menjadi kategori- kategori lanjutan, yakni: kategori firstness, secondness, dan thirdness yang lain. Tipe-tipe tanda tersebut meliputi (1) qualisign, (2) sinsign, dan (3) legisign, serta (1) rema (rheme), (2) tanda disen (dicent sign atau dicisign), dan (3) argumen (argument). Dari berbagai kemungkinan persilangan diantara seluruh tipe tanda ini tentu dapat dihasilkan berpuluh-puluh kombinasi yang kompleks. Teori makna semiotika dari Charles Sanders Peirce yang dibatasi oleh ikon, indeks, dan simbol ini akan digunakan sebagai data acuan untuk mengetahui makna-makna yang Peirce (1986: 7-9) juga memilah-milah tipe tanda menjadi kategori- kategori lanjutan, yakni: kategori firstness, secondness, dan thirdness yang lain. Tipe-tipe tanda tersebut meliputi (1) qualisign, (2) sinsign, dan (3) legisign, serta (1) rema (rheme), (2) tanda disen (dicent sign atau dicisign), dan (3) argumen (argument). Dari berbagai kemungkinan persilangan diantara seluruh tipe tanda ini tentu dapat dihasilkan berpuluh-puluh kombinasi yang kompleks. Teori makna semiotika dari Charles Sanders Peirce yang dibatasi oleh ikon, indeks, dan simbol ini akan digunakan sebagai data acuan untuk mengetahui makna-makna yang