Pengaruh Kaharingan pada Hukum Perkawinan Adat
C. Pengaruh Kaharingan pada Hukum Perkawinan Adat
Ajaran Kaharingan menyebut perkawinan sebagai peristiwa penting yang mengawali adanya hubungan lahir dan batin antara manusia, kerabat/keluarga dan
Ning Bhatara Langit. 144 Hal tersebut menyebabkan adat dan hukum adat terkait perkawinan yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu dipengaruhi
oleh ajaran Kaharingan.
Hukum adat terkait perkawinan merupakan norma adat yang memuat sanksi dalam pelaksanaan perkawinan. Hukum adat terkait perkawinan ditunjukkan pada pelaksanaan mamang larang. Pihak laki-laki dan keluarganya yang tidak melaksanakan mamang larang dengan baik akan dijatuhi sanksi berupa Tahil pada saat pelaksanaan sidang kawin (pander).
Mamang larang mengandung nilai dalam ajaran Kaharingan yaitu terjalinnya hubungan lahir dan batin antara keluarga/kerabat dari kedua pasangan yang melangsungkan perkawinan. Hal tersebut mendasari diberikannya sanksi dalam pelaksanaan mamang larang. Karena dengan tidak dilaksanakannya
Hasil wawancara dengan Bapak Suhaderi (Penghulu Adat dan Gurujaya Balai Kiyu) pada tanggal 7 Mei 2016.
mamang larang, maka sama artinya dengan tidak menghormati kerabat/keluarga sekaligus memutus tali persaudaraan diantara penganut Kaharingan. Oleh
karenanya pada saat pelaksanaan sidang kawin (pander) , semua pihak keluarga/kerabat dan tamu undangan akan dimintai keterangan pelaksanaan mamang larang.
Meskipun beberapa tahun belakangan terdapat pergeseran terhadap kebiasaan mamang lara ng yang tidak mewajibkan menggunakan Anggit , Piring dan Sapu Tangan (pada pelaksanaan perkawinan barupak). Kewajiban untuk melaksanakan mamang larang dengan penyampaian lisan tetap diharuskan. Karena mamang larang merupakan implementasi ajaran Kaharingan yang bertujuan untuk membuat hubungan baik/tali persaudaraan sesama manusia. Sehingga pelaksanaan mamang larang wajib dilaksanakan pada semua bentuk perkawinan.
Larangan untuk memutus hubungan baik/tali persaudaraan sesama manusia yang terdapat dalam ajaran Kaharingan juga sangat diresapi oleh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu. Hal tersebut terlihat dari minimnya angka perceraian yang terdapat di Balai Kiyu. Perceraian menurut ajaran Kaharingan merupakan perbuatan yang memutus hubungan baik/tali persaudraan sesama manusia dan Larangan untuk memutus hubungan baik/tali persaudaraan sesama manusia yang terdapat dalam ajaran Kaharingan juga sangat diresapi oleh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu. Hal tersebut terlihat dari minimnya angka perceraian yang terdapat di Balai Kiyu. Perceraian menurut ajaran Kaharingan merupakan perbuatan yang memutus hubungan baik/tali persaudraan sesama manusia dan
Penjabaran terkait mamang larang dan perceraian diatas memperlihatkan bahwa hukum adat terkait perkawinan yang memuat sanksi merupakan hasil implementasi dari nilai-nilai yang terdapat pada ajaran Kaharingan.
Adat terkait perkawinan dapat dilihat pada proses perkawinan. Maruji merupakan bagian dari proses perkawinan yang memperlihatkan hubungan perkawinan tidak hanya sebatas pada calon suami-isteri serta keluarganya. Ning Bhatara Langit juga merupakan pihak yang wajib melihat pasangan yang melakukan perkawinan. Bintang dan langit merupakan perantara Ning Bhatara Langit dalam menyaksikan dimulainya hubungan laki-laki dan perempuan menjadi suami dan isteri.
Setelah proses Maruji, dilanjutkan dengan pelaksanaan mamayak . Mamayak dipimpin oleh Penghulu dengan melantunkan doa-doa sekaligus ayat-ayat yang disampaikan kepada Ning Bhatara Langit dan bertujuan untuk mendapatkan berkah dan rahmat selama perkawinan. Ritual mamayak juga mewajibkan kepada kedua keluarga yang melangsungkan perkawinan untuk memberikan sesaji untuk seserahan bagi Pasarupa yang akan disampaikan kepada Ning Bhatara Langit.
Norma adat terkait perkawinan di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu hampir seluruhnya dipengaruhi oleh unsur-unsur Kaharingan. Ritual atau acara
Hasil wawancara dengan Bapak Suhaderi (Penghulu Adat dan Gurujaya Balai Kiyu) pada tanggal 7 Mei 2016.
yang dilaksanakan pada saat perkawinan sangat kental akan unsur-unsur Kaharingan karena menunjukkan hubungan antara manusia, Pasarupa dan Ning Bhatara Langit . Selain itu, nilai-nilai Kaharingan juga terimplementasi dalam hukum adat terkait perkawinan karena berlakunya sanksi berupa Tahil dalam pelaksanaan Mamang La rang dan Perceraian.
Dua norma baik tanah adat maupun perkawinan adat tidak menunjukkan bahwa seluruhnya merupakan hasil resepsi (penerimaan) nilai-nilai ajaran Kaharingan. Selain itu, implementasi nilai-nilai Kaharingan yang tertuang dalam norma maupun kebiasaan juga tidak seluruhnya menjadi bagian dari dua norma tersebut.
Penjabaran tersebut menunjukkan bahwa teori yang relevan dengan kondisi dari hukum adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu adalah teori receptie. Karena teori receptie menyatakan bahwa tidak semua nilai-nilai/norma agama (dalam hal ini kepercayaan Kaharingan) dapat diterima atau menjadi bagian dari hukum adat dan hal tersebut ditunjukkan dari hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu.