Pengaruh Kepercayaan Kaharingan pada Huk

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS HUKUM PENULISAN HUKUM

PENGARUH KEPERCAYAAN KAHARINGAN PADA HUKUM TANAH

ADAT DAN HUKUM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT HUKUM ADAT BALAI KIYU, KALIMANTAN SELATAN

Penulisan Hukum ini disusun untuk melengkapi persyaratan dalam memperoleh

gelar Sarjana Hukum

Diajukan oleh

Nama

: Bimantara Adjie Wardhana

NIM

: 12/328565/HK/19041

Departemen : Hukum Adat

YOGYAKARTA 2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala hikmat, berkat, cinta kasih, dan anugerahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum yang berjudul “Pengaruh Kepercayaan Kaharingan pada Hukum Tanah Adat dan Hukum Perkawinan Adat Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu, Kalimantan Selatan,” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Penulisan Hukum ini menjadi sebuah kesempatan yang baik bagi penulis untuk menerapkan teori-teori dan ilmu yang telah penulis dapatkan selama mengikuti perkuliahan untuk memberikan manfaat khususnya bagi perkembangan ilmu hukum adat yang semakin hari semakin sedikit peminatnya, padahal ilmu hukum adat merupakan bagian hukum yang hidup dan berkembang di Indonesia.

Selama proses penyusunan Penulisan Hukum ini, penulis banyak memperoleh dukungan, semangat, ide, bantuan, petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Ibu Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., selaku Rektor Universitas Gadjah Mada, beserta segenap Pimpinan Universitas Gadjah Mada.

2. Bapak Prof. M. Hawin, S.H., LL.M., Ph.D., Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, beserta segenap Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan bantuan, dukungan dan kemudahan selama penulis mengenyam pendidikan dan juga Dekan Baru Fakultas Hukum UGM yaitu Bapak Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M pada saat Penulisan Hukum ini diselesaikan. Terima Kasih Bapak-Bapak Profesor hebat.

3. Kedua orangtua penulis Dra. Ismamik Sumaryani dan Drs. Trinoegroho Wishnoe Wardhana beserta Keluarga Besar, yang tidak henti-hentinya mendukung, memberikan kepercayaan dan motivasi bagi penulis untuk menempuh studi di Yogyakarta dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum. Lebih khusus kepada ibu penulis, terimakasih karena selalu ada dan terus memotivasi penulis.

4. Bapak Dr. Rikardo Simarmata, S.H., selaku Dosen Pembimbing Penulisan Hukum penulis yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan penulisan hukum ini. Motivasi dan dukungan yang diberikan telah membantu penulis menyelesaikan Penulisan Hukum ini. Terima Kasih banyak untuk ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis yang didapatkan dengan hasil bertukar-fikiran dengan Bapak, hal tersebut merupakan suatu berkah tersendiri bagi penulis.

5. Mas Tody Sasmitha Jiwa Utama S.H., LL.M, selaku Dosen yang sudah penulis anggap sebagai kakak penulis dan sudah banyak membantu memperkenalkan ilmu hukum adat dan penelitian secara lebih mendalam kepada penulis. Terima kasih banyak mas telah memberikan banyak pembelajaran dari hasil penelitian-penelitian dan diskusi kecil yang sering dilakukan, sekaligus dorongan dan motivasi untuk menyelesaikan Penulisan Hukum ini.

6. Bapak Dr. Paripurna Sugarda, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis yang telah banyak membantu dalam hal aktivitas akademik yang dilalui oleh penulis.

7. Bapak dan Ibu Dosen-Dosen pada Departemen Hukum Adat yaitu Bapak Dr. Djoko Sukisno, S.H., C.N., Dr. Sulastriyono, S.H., M.Hum., Bapak Dr. Agus Sudaryanto, S,H., M.Hum., Ibu Darmini Mawardi, S.H., S.U., Ibu Pudjiastuti, S.H., S.U., Ibu Sri Natin, S.H., S.U dan Mbak Rimawati., S.H., M.Hum yang juga telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat khususnya ilmu hukum adat yang sudah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

8. Segenap Bapak dan Ibu Dosen beserta Staf dan Karyawan Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

9. Seluruh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu yang sudah sangat berperan memberikan sumbangsihnya dalam penulisan hukum ini, terima kasih yang sangat besar bagi Bapak Makurban, Bapak Suhaderi, Bapak Suliman, Bapak Zakarsi, Bapak Maribut, Bapak Rusmin , Bapak Baderi dan Keluarga Bapak

Lamberi dan Ibu Ingsep yang sudah sangat berkenan menyambut penulis seperti layaknya anak sendiri dalam keluarga Bapak dan Ibu. Terima Kasih untuk segala keramah-tamahan dari Masyarakat Adat Balai Kiyu, semoga saya bisa kembali lagi pada lain waktu.

10. Keluarga Besar Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum yang sudah memberikan kesempatan untuk belajar hukum dalam dunia praktik dan memberikan pengalaman yang sangat berharga untuk berproses di dalamnya, penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Hariyanto, S.H., M.Kn., Mbak Saida Rusdiana, S.H., LL.M., Mas Imam Munandar, S.H., dan Mas Zahru Arqom., S.H., M.Hlit. Begitu juga dengan teman-teman paralegal yang sudah memberikan rasa kekeluargaan dalam PKBH FH UGM yaitu Astri, Wiarta, Ais, Alif, Laili, Cynthia, Tissa, Wiwid, Fifi, Vivi dan Farah.

11. Sahabat-Sahabat Penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Galih, Sendy dan Rafi. Begitu juga dengan kelompok bermain penulis yang akrab disapa “Mokondo Megawati”:

Hesma, Bayu, Sinyo, Prakoso, Lodom, Rosi, Pesek, Mbendhol, Majid, Palguna, Muslih, Alvin, Kemal, Gotrek, Habi, Ilham, Helda, Wagiman dan Haryogi, Gigin dan Priaji. terima kasih banyak gaesss sudah memberikan waktunya untuk bermain dan belajar bersama dengan penulis.

12. Keluarga Besar BI DIY dan GenBI DIY, yang sudah memberikan saya kesempatan untuk diberikan sponsor beasiswa untuk melaksanakan kuliah selama kurang lebih 2 (dua) semester dan berproses bersama teman-teman lain yang diantaranya adalah Ibu Shirley, Om Jauharie, Ibu Retno dan Mbak Laras. Teman-teman GenBI DIY lain yang merupakan keluarga perjuangan perintis hidupnya komunitas penerima beasiswa Bank Indonesia, Bli Aji, Bro Nizar, Bro Ozan, Bro Yogo, Bro Maup, Bro Dugong, Bro Aziz, Bro Bayu, Dilla, Anes, Mita dan Kiki. Juga senior GenBi lain yaitu Bos Amel, Bos Najih, Bos Ahong, Bos Lita dan Mbakkun. Terima Kasih kesempatan belajar berproses bersama kalian.

13. Teman-Teman KKN-JTM 09 (Desa Ngabab, Pujon, Kab. Malang) yang bersama-sama selama 60 hari untuk mengabdi bersama kepada Masyarakat Desa Ngabab, yaitu Arif, Deden, Dea, Arbi, Windy, Septi, Nina, Ayu, Haris, Evy, Adit, Memed, Cak Sur, Cak Bagus, Kevin dan Jeki, Imam, Eliz, Cicik, Ika, Ariska, Riska, Ais, Tiara, Bagas, Fitri, Elsa, The 2nd Big Boss yang juga Sahabat Penulis yaitu Afia dan yang terakhir adalah Mutia Laraswati yang sudah banyak memberikan pengalaman dan kontribusinya untuk mengabdi pada Desa Ngabab. Begitu juga dengan Keluarga Besar Ngabab, yang menjadi orangtua kami selama 2 bulan, terima kasih kami ucapkan kepada Pak Carik (Pak Amin) beserta Istri, Bu Mah dan Dua Cak yaitu Cak Gisan dan Cak Dublin. Terima Kasih semua pihak yang sudah berandil dalam KKN Ngabab 2015.

14. Keluarga MCC DEMA 2013, yang memperkenalkan penulis kepada dunia praktek dan belajar untuk lebih serius dalam bidang hukum. Terima Kasih yang sebesar- besarnya pada Mas Adit “Suhu MCC”, Kak Disa, Kak Ola dan Kak Wabhe. Galer dan Priaji yang menjadi backup penulis sebagai Ketua Delegasi. Adik-adik dan teman-teman seperjuangan, Gigin, Faiz, Fafa,

Karin, Saski, Vesa “Sang Partner”, Wiwid, Mita, Sesty, Belinda, Radit dan Mira yang sudah banyak berjuang bersama demi nama baik Dema Justicia dalam PDFH IX. Kalian Keren, karena Kita semua SIAP MENANG !!

15. Teman-teman yang tergabung dalam komunitas “Adat Recht” yang digagas oleh teman-teman konsentrasi Hukum Adat dan membantu kegiatan Pusat Kajian Hukum Adat “Djojodigoeno” yang terdiri dari Mas Pras, Ben, Brian als Bra, Arifan, Putra dan Srikandi Hukum Adat “Almonika”.

16. Terima Kasih banyak bagi seluruh pihak-pihak yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan Penulisan Hukum serta dalam kehidupan kampus Penulis.

Yogyakarta, Oktober 2016 (Bimantara Adjie Wardhana)

DAFTAR TABEL DAN LAMPIRAN

Tabel 1. Perbandingan Kepercayaan, Agama dan Kebatinan ..................... 21 Lampiran 1. Daftar Responden .......................................................................... 87 Lampiran 2. Foto Kegiatan Penelitian ............................................................... 90

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam suku. Suku-suku tersebut melahirkan bermacam-macam budaya yang disebut sebagai keragaman budaya. Salah satu bagian dari keragaman budaya adalah keragaman hukum. Keragaman hukum (yang dikenal sebagai pluralisme hukum) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Indonesia.

Pluralisme hukum di Indonesia ditandai dengan beragamnya otoritas pengaturan ( governing authorities ) yang menghendaki kepatuhan pada anggota

atau warga yang diaturnya. 1 Salah satu sistem hukum yang merupakan bagian dari pluralisme hukum di Indonesia adalah hukum adat. Hukum adat telah berkembang

2 sejak zaman nenek moyang (zaman sebelum datangnya agama 3 dan kolonialis). Hilman Hadikusuma membagi periode perkembangan hukum adat ke dalam 5

(lima) bagian yaitu: 5

1 Rikardo Simarmata, Tanpa Tahun, Pluralisme Hukum dan Isu-Isu yang Menyertainya, Perkumpulan HuMa, Jakarta, hlm. 12

2 Agama pada penelitian ini merujuk kepada agama Abrahamiah (Samawi) yaitu Agama Islam, Yahudi dan Nasrani. Hal tersebut dilakukan pada penelitian ini untuk membedakan konsep antara

kepercayaan dan agama yang meminjam pemikiran Kontjaraningrat. Koentjaraningrat membedakan agama Abrahamiah (Samawi) dengan Kepercayaan karena keduanya memiliki perbedaan pada konsep dan sumber ajaran. Secara lebih lengkap dapat dilihat pada halaman 21 pada penelitian ini – Lihat juga Koentjaraningrat, 1977, Kebudayaan Mentelitet dan Pembangunan: Cetakan Keempat, PT. Gramedia, Jakarta hlm. 122

3 Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung, hlm. 53

5 Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia , Mandar Maju, Bandung,

1) Hukum Adat di Zaman Hindu;

2) Hukum Adat di Zaman Islam;

3) Hukum Adat dan Peradilan di Zaman Kompeni;

4) Hukum Adat di Zaman Hindia Belanda; dan

5) Hukum Adat setelah Kemerdekaan.

Berdasarkan catatan sejarah, faktor-faktor yang berperan dalam perkembangan hukum adat adalah faktor animisme, faktor agama dan faktor

kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat. 6 Agama sebagai salah satu faktor yang berperan dalam perkembangan hukum adat terlihat dalam teori

hukum adat yang dipengaruhi oleh unsur-unsur agama. Teori hukum adat yang dipengaruhi oleh unsur-unsur agama terdiri dari 2 (dua), yaitu teori receptio in

complexu 7 dan teori receptie.

Teori receptio in complexu dicetuskan oleh Salomon Keyzer dan Van Den Berg yang menyatakan apabila suatu masyarakat menjadi pemeluk agama tertentu, maka hukum adatnya adalah hukum agama yang dipeluknya. Bushar

Muhammad menyebut teori receptio in complexu menganggap hukum adat sebagai hal yang diterima secara bulat-bulat (sepenuhnya) dari hukum agama

yang dianut oleh masyarakat tersebut. 8

Van Den Berg menambahkan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam, walaupun dalam pelaksanaan tersebut terdapat penyimpangan. Salah satu bentuk prakteknya terlihat di zaman kolonial ketika terjadi peristiwa perkawinan dan kewarisan Islam yang dilaksanakan oleh hakim-hakim Belanda, mereka

6 Djojodigoeno, 1961, Asas-Asas Hukum Adat, Prandja Pramita, Jakarta, hlm. 6

7 Bushar Muhammad, 1961, Pengantar Hukum Adat: Djilid I, Penerbit Ichtiar, Jakarta, hlm. 14 7 Bushar Muhammad, 1961, Pengantar Hukum Adat: Djilid I, Penerbit Ichtiar, Jakarta, hlm. 14

complexu terlihat nyata terjadi dalam masyarakat Indonesia pada masa itu.

Dalam perkembangannya, teori receptio in complexu mendapat kritik dari banyak sarjana hukum. Salah satunya adalah Snouck Hurgronje yang menyangkal teori receptio in complexu dengan teori receptie. Snouck Hurgronje menyatakan bahwa tidak semua hukum agama diterima dalam hukum adat, hukum agama hanya memberikan pengaruh pada kehidupan manusia yang sifatnya sangat

pribadi (dalam hal ini hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum waris). 10

Ter Haar membantah pendapat Snouck Hurgronje terkait dengan dikategorikannya hukum waris sebagai bagian yang dipengaruhi oleh hukum agama. Ter Haar berpendapat bahwa hukum waris merupakan hukum adat yang asli, bukan pengaruh dari hukum Islam. Hal tersebut ditunjukkan oleh temuan Ter Haar di tanah Minangkabau. Hukum waris yang berlaku di wilayah Minangkabau merupakan perwujudan norma-norma yang sesuai dengan susunan dan struktur

masyarakat Minangkabau. 11

Para penganut teori receptie menegaskan bahwa hukum adat yang berlaku di Indonesia sempat merasakan pengaruh dari hukum Islam sebagaimana telah disebutkan diatas, akan tetapi pengaruh hukum Islam dapat dikatakan memiliki kekuatan yang berlaku dan mengikat ketika ketentuan hukum tersebut

9 Sajuti Thalib, 1982, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), Bina Aksara, Jakarta, hlm. 16

10 Iman Sudiyat, 1978, Asas-asas Hukum Adat: Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 3 10 Iman Sudiyat, 1978, Asas-asas Hukum Adat: Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 3

Penjabaran dua teori di atas hanya menggambarkan pengaruh agama Islam terhadap hukum adat. Hal tersebut didasarkan atas 2 (dua) alasan. 13 Pertama,

pemerintahan kolonial menganggap bahwa kekuatan pemberontakan Bangsa Indonesia dipelopori oleh keyakinan keagamaan khususnya agama Islam. Kedua , usaha untuk melemahkan keyakinan keagamaan tersebut adalah dengan menghapus dasar berlakunya hukum Islam dan menompangkannya ke dalam hukum adat sekaligus mempertentangkan antara hukum Islam dengan hukum adat. Dua alasan tersebut yang menyebabkan dominannya agama Islam dalam perbincangan dua teori di atas.

Dua teori di atas belum menyinggung adanya kepercayaan-kepercayaan yang terdapat di Indonesia sebagai salah satu unsur yang berperan dalam memengaruhi hukum adat. Apabila merujuk kepada beberapa masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia, sebagian besar dari adat dan hukum adat yang berlaku dipengaruhi oleh unsur-unsur kepercayaan yang dianut oleh mereka. Selain itu, kepercayaan tersebut diyakini sebagai pedoman sekaligus batasan dalam

kehidupan sehari-hari. 14

12 Sajuti Thalib, op.cit, hlm. 23 13 Ibid, hlm. 12

14 Salah satu contoh hukum adat yang dipengaruhi oleh unsur kepercayaan adalah hukum adat yang berlaku pada Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang yang terletak di Kabupaten

Bulukumba, Sulawesi Selatan dan Masyarakat Hukum Adat Baduy di Kabupaten Lebak, Banten. Lihat Basrah Gising, 2011, Sistem Kepercayaan Orang Kajang dalam Pandangan Anthropologi

Salah satu kepercayaan yang sampai saat ini tetap dijadikan pedoman hidup bagi sebagian komunitas Dayak di Kalimantan adalah adalah Kaharingan. Kaharingan sering diidentikkan sebagai kepercayaan asli suku Dayak, karena Kaharingan berkembang di 3 (tiga) suku Dayak yang tersebar di Pulau Kalimantan yaitu suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, suku Dayak Tunjung

15 dan Benuaq di Kalimantan Timur, 16 dan Dayak Meratus Kalimantan Selatan.

Dayak Meratus tersebar di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Wilayah yang memiliki jumlah penganut Kaharingan terbesar dari kedua wilayah tersebut adalah Kecamatan Batang Alai Timur yang terletak di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Hulu Sungai Tengah tahun 2015, jumlah penganut Kaharingan yang terdapat pada Kecamatan Batang Alai Timur adalah 2.898 (dua ribu delapan ratus sembilan puluh delapan) jiwa yang tersebar di 2 (dua) desa

yaitu Desa Hinas Kiri dan Desa Juhu. 17

Penganut Kaharingan di Desa Hinas Kiri terdapat di Balai Kiyu yang merupakan tempat dimana Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu bertempat

tinggal. 18 Mayoritas Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu adalah penganut

Wahid, Tanpa Tahun, Sunda Wiwitan : Penjaga Alam Kanekes, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten, hlm. 4.

15 Martin Baier, 2007, The Development of Kaharingan in Dayak Community at Central and East Kalimantan, Anthropos Vol. 102.

16 Anna Lowenhaupt Tsing, 1998, Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi pada Masyarakat Terasing (Terjemahan oleh Yayasan Obor Indonesia), Penerbit Obor, Jakarta.

17 Badan Pusat Statistik Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 2015, Kabupaten Hulu Sungai Tengah dalam Angka, Barabai, hlm. 48

18 Istilah ‘balai’ diambil dari nama bangunan yang merupakan aset komunal yang digunakan oleh

Kaharingan, hal itu tercermin dari jumlah penganut Kaharingan di wilayah Balai Kiyu yang mencapai +/- 285 (kurang lebih dua ratus delapan puluh lima) jiwa. 19

Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu merupakan bagian dari sub-etnik Dayak Meratus atau Dayak Bukit. Dayak Meratus atau Dayak Bukit ini merupakan pembagian Dayak yang didasarkan atas penggunaan bahasa yang

terbagi kedalam 5 (lima) kelompok. 20 Pada kesempatan yang lain disebut sebagai Dayak Meratus karena Masyarakat Dayak tersebut bertempat tinggal di kaki

Pegunungan Meratus. 21

Kepercayaan Kaharingan telah lama dianut oleh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu. Mereka meyakini bahwa ajaran-ajaran dalam Kaharingan yang diwariskan oleh nenek moyang merupakan pedoman sekaligus batasan hidup yang ada dan ajaran-ajaran Kaharingan tersebut telah menjadi bagian dari kehidupan

mereka. 22

Kaharingan) dan upacara perkawinan. Balai juga digunakan oleh warga setempat untuk tempat menginap bagi tamu dari luar persekutuan – Lihat Departemen Hukum Adat FH UGM & Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Identifikasi Kesiapan (Calon) Desa Adat untuk Menyelenggarakan Urusan Pemerintahan pasca Pemberlakuan Undang- Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (Studi di Kampung Adat Anak Rawa, Riau dan Balai Kiyu, Desa Hinas Kiri, Kalimantan Selatan), Tidak Dipublikasikan, hlm. 4

19 Hasil wawancara dengan Bapak Norsewan (Sekretaris Desa Hinas Kiri), pada tanggal 7 Mei 2016 yang menerangkan Profil Desa Hinas Kiri.

20 Paschalis Maria Laksono, 2006, Pergulatan Identitas Dayak dan Indonesia: Belajar dari Tjilik Riwut, Galang Press, Yogyakarta, hlm. 26

21 M. Salleh Lamry, 2007, Orang Banjar dan Dayak di Kalimantan Selatan: Asal-Usul dan Perhubungan Mereka, Kertas Kerja untuk Konferensi Antar-Universitas se-Borneo Kalimantan

ke-3, Banjarmasin 15-17 Juni 2007, hlm. 9

22 Hasil diskusi dengan perwakilan Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu yang dilaksanakan pada

Dalam kesehariaannya, Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu merupakan masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya pada sektor agraris. Mereka menganggap bahwa tanah sebagai sesuatu yang sangat berharga dan merupakan tempat tinggal yang diwariskan oleh nenek moyang sekaligus menjadi sumber

utama penghidupan mereka. 23 Dalam mengelola tanah, mereka masih menggunakan hukum tanah adat sebagai acuannya.

Di bidang lain, hukum perkawinan adat yang terdapat di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu masih terjaga hingga saat ini. Pelaksanaan perkawinan oleh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu tetap menjalankan beberapa proses menjelang perkawinan dan tata cara perkawinan menurut hukum perkawinan adat.

Dua norma tersebut menjadi fokus dalam penelitian ini dikarenakan keduanya masih dipertahankan dan diberlakukan sampai saat ini. Hal ini yang memunculkan anggapan bahwa eksistensi dari hukum adat yang dipengaruhi oleh suatu kepercayaan hidup dan digunakan oleh sebagian kecil masyarakat yang terdapat di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih dalam terkait hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu. Hal lain yang juga diperiksa adalah pengaruh kepercayaan Kaharingan terhadap hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku di wilayah Balai Kiyu.

23 Departemen Hukum Adat FH UGM & Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu? Rumusan Masalah ini memberikan penjelasan mengenai hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu didasarkan pada konsep-konsep hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat.

2. Bagaimana pengaruh kepercayaan Kaharingan pada hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu? Rumusan Masalah ini menjelaskan bagaimana pengaruh kepercayaan Kaharingan pada hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat sekaligus menilai kesesuaian teori receptio in complexu dan teori receptie pada hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Subjektif

Tujuan subjektif merupakan tujuan dari penulis, yaitu untuk menambah pengetahuan penulis terkait dengan pengaruh kepercayaan pada hukum adat yang berlaku di Indonesia. Selain itu, penelitian ini merupakan salah satu bagian dari mata kuliah Penulisan Hukum yang digunakan oleh penulis untuk memperoleh gelar sarjana hukum.

2. Tujuan Objektif

Tujuan objektif dari penelitian ini antara lain adalah :

a. Untuk mendapatkan informasi terkait hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu;

b. Untuk mengetahui pengaruh kepercayaan Kaharingan pada hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu serta menilai relevansi teori receptio in complexu dan receptie pada kasus sampel penelitian.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan penulis, ditemukan beberapa penelitian yang membahas mengenai kepercayaan Kaharingan di Indonesia. Beberapa diantaranya adalah :

1. Tesis Nuhrison pada Jurusan Kajian Agama-Agama dalam Program Studi Pengkajian Islam Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “ Studi Agama Kaharingan: Sejarah dan

Perkembangannya Pasca Reformasi (Studi Kasus di Kota Palangkaraya dan Kabupaten Kapuas) 24 ”. Penelitian ini memfokuskan pada 2 (dua) hal

yaitu :

24 Nuhrison, 2009, Tesis: Studi Agama Kaharingan: Sejarah dan Perkembangannya Pasca Reformasi (Studi Kasus di Kota Palangkaraya dan Kabupaten Kapuas), Universitas Islam Negeri 24 Nuhrison, 2009, Tesis: Studi Agama Kaharingan: Sejarah dan Perkembangannya Pasca Reformasi (Studi Kasus di Kota Palangkaraya dan Kabupaten Kapuas), Universitas Islam Negeri

b. Menerangkan upaya-upaya pemeluknya untuk memperjuangkan

Kaharingan sebagai agama resmi yang diakui oleh Pemerintah.

Tesis ini juga memaparkan aspek-aspek yang terdapat dalam kepercayaan Kaharingan (dalam hal ini kekuatan adikodrati yang memiliki kuasa/ Ranying Hatalla , tata cara ibadah dan upacara keagamaan) yang dilakukan untuk menggambarkan bagaimana kepercayaan Kaharingan hidup dan dianut oleh banyak masyarakat yang terdapat di Kalimantan Tengah.

2. Disertasi Marko Mahin pada Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia yang berjudul “ Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah 25 ”. Penelitian ini

memfokuskan pada 2 (dua) hal yaitu :

a. Bagaimana dinamika kepercayaan Kaharingan di panggung kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah eksis hingga masa kini sebagai entitas sosial, politik, budaya dan agama; dan

b. Bagaimana bentuk peran aktif para penganut kepercayaan Kaharingan dalam dinamika tersebut.

25 Marko Mahin, 2009, Disertasi: Kaharingan, Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah, Universitas Indonesia, Jakarta

Disertasi ini meninjau kedudukan kepercayaan Kaharingan melalui sudut pandang sejarah. Kesimpulan dalam disertasi ini menyebut bahwa Kaharingan dapat digolongkan ke dalam agama resmi dan bukan lagi menjadi bagian dari kepercayaan.

Dua penelitian yang disebutkan di atas lebih fokus menjelaskan kepercayaan Kaharingan dari pendekatan anthropologi dan sosiologi. Dengan demikian, kedua penelitian tersebut tidak membahas pengaruh kepercayaan Kaharingan pada hukum adat. Selain itu lokasi kedua penelitian tersebut berbeda dengan lokasi dalam penelitian ini. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas, Penulis menganggap penelitian yang dilakukan tidak tumpang tindih dengan penelitian- penelitian yang sudah ada sebelumnya.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang jelas, diantaranya adalah :

1. Manfaat secara teoritis

Penelitian ini memfokuskan pada penambahan pengetahuan terkait dengan norma hukum adat yang diperoleh dari doktrin-doktrin ahli hukum adat sekaligus teori- teori yang mewarnai perkembangan pengaruh agama dan kepercayaan terhadap hukum adat yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, penelitian akan menyajikan analisa terkait dengan pengaruh kepercayaan Kaharingan pada hukum adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu.

2. Manfaat secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara langsung terkait norma-norma hukum adat (khususnya hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat) yang dapat membuktikan bahwa hukum adat hidup dan berkembang di sebagian kecil wilayah Indonesia. Penelitian ini juga menyajikan penjelasan terkait dengan pengaruh kepercayaan Kaharingan pada hukum adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu.

F. 26 Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggabungkan antara pendekatan normatif dan pendekatan empiris (yang lebih sering dikenal sebagai normatif-empiris/yuridis-empiris). Pendekatan normatif yang dilakukan memfokuskan pada pendekatan terhadap norma-norma adat, khususnya pada norma tanah adat dan norma perkawinan adat.

Pendekatan ini juga digunakan untuk memahami konsep atau teori hukum, 27 khususnya konsep atau teori hukum yang berhubungan dengan hukum tanah adat

dan hukum perkawinan adat guna menjawab rumusan masalah pertama.

Sementara pendekatan empiris digunakan untuk mengetahui dalam hal apa kepercayaan Kaharingan memiliki pengaruh pada hukum tanah adat dan hukum

26 Metode Penelitian pada Penulisan Hukum ini tidak mengikuti kelaziman yang terdapat pada Penulisan Hukum lainnya. Hal ini disebabkan karena Metode Penelitian memuat instrumen-

instrumen penelitian yang merupakan bagian awal (Pendahuluan) dari sebuah penelitian. Alasan tersebut yang membuat Penulis menampilkan Metode Penelitian menjadi satu-kesatuan dengan Bab Pendahuluan.

perkawinan adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu untuk menjawab rumusan masalah kedua.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan dengan mengambil lokasi di Balai Kiyu, Desa Hinas Kiri, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Balai Kiyu merupakan tempat tinggal bagi Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu. Alasan yang mendasari dipilihnya lokasi Balai Kiyu karena di wilayah Balai Kiyu masyarakat masih memberlakukan hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat. Hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku dipercaya oleh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu sebagai hukum adat yang dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Kaharingan.

Hal tersebut diketahui karena sebelumnya penulis terlibat dalam penelitian yang dilakukan oleh Dosen-Dosen Departemen Hukum Adat Fakultas Hukum UGM yang bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dengan judul “Identifikasi Kesiapan (Calon) Desa Adat untuk Menyelenggarakan Urusan Pemerintahan pasca Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (Studi di Kampung Adat Anak Rawa, Riau dan Balai Kiyu, Desa Hinas Kiri, Kalimantan Selatan) ”.

Dalam penelitian tersebut, penulis merupakan Asisten Peneliti yang ikut serta dalam penelitian lapangan di wilayah Balai Kiyu, Desa Hinas Kiri selama 8 (delapan) hari. Pengalaman pada kunjungan periode pertama menggugah niat Dalam penelitian tersebut, penulis merupakan Asisten Peneliti yang ikut serta dalam penelitian lapangan di wilayah Balai Kiyu, Desa Hinas Kiri selama 8 (delapan) hari. Pengalaman pada kunjungan periode pertama menggugah niat

3. Responden Penelitian

Responden merupakan seseorang yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Penentuan responden dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara 28 purposive sampling. Responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 29

a. Pemangku Adat Balai Kiyu;

b. Sekretaris Desa Hinas Kiri;

c. Gurujaya (Kepala Pemuka Agama) Balai Kiyu;

d. Balian (Pemuka Agama) Balai Kiyu; dan

e. Tokoh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu.

4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data sekunder yang dilakukan Penulis adalah dengan membaca literatur-literatur yang memuat doktrin ahli hukum, khususnya doktrin- doktrin dalam hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat guna menjawab pertanyaan pada rumusan masalah pertama. Sementara, pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara tidak terstruktur dan diskusi yang berbentuk

28 Purposive Sampling yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cara menentukan responden yang didasarkan atas suatu unsur. Unsur yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk kepada

pemangku adat dan tokoh-tokoh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu sebagai representasi dari pihak yang mematuhi hukum adat yang berlaku dan sebagai penganut kepercayaan Kaharingan - Lihat Soerjono Soekanto, 2014, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 51

29 Secara lebih lengkap, nama-nama yang tercantum sebagai responden terdapat pada lampiran 29 Secara lebih lengkap, nama-nama yang tercantum sebagai responden terdapat pada lampiran

Teknik pengamatan bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap hal yang berkaitan dengan topik penelitian, seperti ajaran- ajaran Kaharingan yang dianut oleh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu serta melihat kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu. Teknik pengumpulan data primer tersebut berguna untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah kedua dalam penelitian ini.

Alat pencari data yang penulis gunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan data primer adalah pedoman wawancara dan alat penunjang lain. Alat penunjang lain yang dimaksud adalah beberapa catatan hasil diskusi dengan beberapa Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu untuk melengkapi pelaksanaan wawancara dalam penelitian ini.

5. Analisis Data

Data primer dan sekunder yang berhasil dikumpulkan selanjutnya dikelompokkan dan dipilah dengan cara mencari data yang relevan serta representatif terkait masalah yang diteliti. Hasil penelitian dan pembahasan memaparkan data primer dan data sekunder yang telah dipadukan. Hal tersebut Data primer dan sekunder yang berhasil dikumpulkan selanjutnya dikelompokkan dan dipilah dengan cara mencari data yang relevan serta representatif terkait masalah yang diteliti. Hasil penelitian dan pembahasan memaparkan data primer dan data sekunder yang telah dipadukan. Hal tersebut

G. Organisasi Penulisan

Penelitian ini diawali dengan pengantar yang termuat di dalam Bab I (Pendahuluan). Bab tersebut berisi paparan umum terkait dengan perdebatan teoritik mengenai hukum adat yang dipengaruhi oleh unsur-unsur agama sekaligus memberikan gambaran umum terkait kasus sampel dalam penelitian ini. Selanjutnya, konsep-konsep yang dijadikan rujukan dalam penelitian dijabarkan pada Bab II (Kerangka Konseptual).

Hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini akan tertuang dalam Bab III (Hukum Tanah Adat dan Hukum Perkawinan Adat Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu) dan Bab IV (Pengaruh Kepercayaan Kaharingan pada Hukum

Tanah Adat dan Hukum Perkawinan Adat Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu). 30 Penelitian ini diakhiri dengan Bab V (Penutup) yang memaparkan kesimpulan

dari hasil penelitian.

30 Bab Tinjauan Pustaka yang lazimnya digunakan pada Penulisan Hukum di Fakultas Hukum UGM tidak digunakan dalam Penulisan Hukum ini. Penulis memilih menggunakan Kerangka

Konsep karena bab tersebut memuat konsep dan teori yang digunakan sebagai rujukan dalam Penulisan Hukum ini. Selain itu, bab Hasil Penelitian dan Pembahasan akan dibagi kedalam dua

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL

Bab ini memaparkan konsep-konsep yang meliputi kepercayaan, adat dan hukum adat serta hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat. Sekalipun berfokus pada penjelasan konsep-konsep tersebut, bab ini juga menjelaskan teori yaitu teori receptio in complexu dan teori receptie .

A. Kepercayaan

Penjelasan mengenai konsep kepercayaan akan meliputi definisi serta perbedaan antara kepercayaan, agama dan kebatinan. Definisi kepercayaan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kesimpulan yang diambil dari beberapa literatur. Kepercayaan, agama dan kebatinan dibedakan berdasarkan definisi, konsep dan sumber ajaran.

1. Definisi Kepercayaan

Kepercayaan didefinisikan sebagai konsep keyakinan yang bersumber dari nenek moyang terhadap hal baik yang bersifat materiil/immateriil. 31 Soeganda

Poerbakawatja dalam buku yang dikutip oleh IGM Nurdjana menyatakan bahwa kepercayaan merupakan suatu paham yang terjalin dengan adat istiadat yang

31 Alshad El Hafidy, 1977, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, Penerbit Ghalia, Jakarta, hlm. 87 31 Alshad El Hafidy, 1977, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, Penerbit Ghalia, Jakarta, hlm. 87

IGM Nurdjana sendiri menyebut kepercayaan sebagai sebuah keyakinan terhadap kekuatan spiritual yang bersifat mistis dan merupakan warisan leluhur

yang telah membudaya dalam masyarakat. 33 Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian kepercayaan sebagai suatu paham yang mengakui adanya

kekuatan ghaib yang tidak berdasarkan ajaran agama. 34

Penelitian ini mendefinisikan kepercayaan sebagai sebuah keyakinan terhadap kekuatan adikodrati yang merupakan warisan dari nenek moyang dan

digunakan sebagai pedoman serta batasan dalam kehidupan seseorang. 35 Pemaknaan mengenai definisi tersebut juga digunakan oleh beberapa komunitas

adat di Indonesia seperti Masyarakat Hukum Adat Ammatoa’ Kajang dan Masyarakat Hukum Adat Badui.

Kepercayaan yang dianut oleh Masyarakat Hukum Adat Ammatoa’ Kajang meyakini keberadaan dari “ Turiek Akrakna ” (Yang Maha Mengetahui) dan “ Toa Manurung atu’ Ammatoa” (roh leluhur) sebagai kekuatan adikodrati yang telah

diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka 36 . Contoh kedua

32 IGM. Nurdjana, 2009, Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 21

33 Ibid. 34 Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 312

35 Adikodrati diartikan sebagai kekuatan yang memiliki kuasa diluar batas jangkauan manusia (dikenal juga dengan kekuatan supranatural) - Lihat Ibid, hlm. 12

36 Basrah Gising, loc.cit.

adalah Masyarakat Hukum Adat Badui yang meyakini adanya kekuatan adikodrati yang mereka sebut dengan “ Sang Hiyang Keresa ” dan ajaran Karuhun (leluhur) mereka adalah sesuatu hal yang baik bagi mereka. 37

2. Perbedaan antara Agama dan Kebatinan

Agama berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti peraturan atau upacara untuk kebaktian manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa. 38 Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, agama diartikan sebagai ajaran dan sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta kaidah yang

berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia lainnya. 39

Agama juga disebut sebagai sesuatu yang disyaratkan oleh Tuhan berisi perintah dan larangan untuk kemaslahatan manusia, baik dalam urusan di dunia

maupun di akhirat. 40 Agama dianggap sebagai sebuah dogma yang kebenarannya tidak bisa dipermasalahkan oleh akal manusia. 41

Adapun kebatinan merupakan sistem spiritual yang ada di Indonesia selain agama ataupun kepercayaan. Aliran kebatinan mulai berkembang di tahun 1950an, kebatinan menitikberatkan pada ilmu yang diajarkan oleh seorang guru yang berdasarkan wahyu/wangsit yang diperoleh dari dari Tuhan berdasar pada

37 Masykur Wahid, op.cit, hlm. 2 38 Alshad El Hafidy, op.cit, hlm. 85 39 Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, hlm. 56

40 A.C. Kruyt, 1976, Keluar dari Agama Suku masuk ke Agama Kristen, Gunung Mulia, Jakarta hlm. 15

41 Alshad El Hafidy, loc.cit.

pengakuannya. 42 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebatinan merupakan segala sesuatu yang dirasakan dan diyakini oleh manusia terkait adanya suatu

kebenaran yang bersumber pada batinnya yang paling dalam. 43

Sejumlah pemikiran menganggap bahwa kepercayaan, agama dan kebatinan merupakan satu kesatuan. Salah satu pemikir yang pendapatnya sering dirujuk adalah Wongsonegoro. Menurut Wongsonegoro, kepercayaan, agama dan kebatinan merupakan satu-kesatuan karena sama-sama berbakti kepada Panembah

(Ketuhanan Yang Maha Esa). 44

Sementara Koentjaraningrat menyebut bahwa kepercayaan, agama dan kebatinan memiliki persamaan dan perbedaan sekaligus. Ketiganya memiliki persamaan karena sama-sama meyakini wujud dari alam ghaib (supranatural) dan menyebabkan manusia menjadi religius, adapun perbedaan dari ketiganya karena

masing-masing memiliki keyakinan terhadap kekuatan wujud supranatural. 45

Dua pendapat diatas, sampai saat ini merupakan bagian dari perdebatan dalam kajian anthropologi religi. 46 Untuk kepentingan penelitian ini, Penulis

memilih untuk menggunakan pendapat dari Koentjaraningrat karena ketiganya memiliki unsur pembeda yang tercantum pada tabel dibawah ini:

42 IGM. Nurdjana, op.cit. hlm. 24 43 Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, hlm. 278

44 Pernyataan tersebut diucapkan Wongsonegoro pada saat pelaksanaan Kongres Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) yang diselenggarakan pada tahun 1955. Wongsonegoro juga

merupakan Ketua dari Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) - Lihat Koentjaraningrat, 1977, op.cit, hlm. 129

45 Ibid, hlm. 137 46 Irwansyah Harahap, 2000, Rasionalisasi Religius dalam Diskursus Keagamaan di Indonesia:

Kasus Parmalim Batak Toba, Jurnal Anthropologi Indonesia, Universitas Indonesia, hlm. 137

Tabel 1. Perbandingan Kepercayaan, Agama dan Kebatinan Unsur Pembeda

Definisi

Sumber Ajaran

Konsep

Kepercayaan Sebuah keyakinan terhadap kekuatan

Percaya kepada dewa atau adikodrati yang merupakan warisan

Ajaran bersumber dari cerita-

kepada roh nenek moyang dari nenek moyang dan digunakan

cerita nenek moyang yang

dimana alam semesta yang sebagai pedoman serta batasan dalam

berdasarkan kehidupan seseorang

berasal dari tutur kata dan

Memiliki objek yang sangat luas,

kebiasaan yang dilakukan oleh

dapat berbentuk animisme atau

nenek moyang.

dinamisme.

Agama

Percaya kepada Tuhan dan keimanan dan peribadatan kepada

Suatu sistem yang mengatur tata

Ajaran bersumber dari wahyu-

menganggap Tuhan sebagai Tuhan Yang Maha Esa beserta

pencipta semesta alam. kaidahnya berkaitan dengan adanya

disampaikan melalui orang-

Memiliki suatu pola dan sistem pergaulan manusia kepada manusia

orang terpilih yang diutus-Nya.

dalam beribadah. yang lainnya.

Sumber ajaran tertuang dalam

Kitab Suci.

Kebatinan

Batin manusia sebagai sesuatu diyakini oleh manusia terkait adanya

Segala sesuatu yang dirasakan dan

Ajaran bersumber dari manusia

yang dapat dipercaya. suatu kebenaran yang bersumber

yang mendapatkan hidayah dan

Memiliki objek yang lebih pada batinnya yang paling dalam.

mimpi yang berasal dari dalam

jiwa manusia.

sempit, hanya sebatas pada

Sumber ajaran berasal dari

lingkup batin manusia.

batin manusia.

Tabel diatas memberikan penjelasan perbedaan antara kepercayaan, agama dan kebatinan yang didasarkan atas definisi, konsep dan sumber ajaran yang dipakai dari ketiga istilah tersebut. Dengan kata lain, Kaharingan dikategorikan sebagai suatu kepercayaan karena penganut Kaharingan meyakini keberadaan dari Ning Bhatara Langit (Yang Maha Kuasa) sebagai pemilik dari seluruh alam. Mereka juga percaya bahwa pasarupa (roh leluhur) mengawasi kehidupan mereka sehari-hari dan keyakinan tersebut merupakan ajaran yang telah diwariskan oleh

nenek moyang secara turun-temurun. 47

B. Adat dan Hukum Adat

Bagian ini melihat konsep adat berdasarkan asal-muasal adat dan definisinya, sedangkan hukum adat merujuk pada konsep hukum adat yang dipengaruhi oleh unsur-unsur agama karena berkaitan dengan topik penelitian. Selanjutnya, bagian ini juga membahas perbedaan antara adat dengan hukum adat.

1. Adat

Kata ‘adat’ berasal dari bahasa arab yaitu “adah” yang memiliki definisi sebagai kebiasaan. Dalam bahasa daerah yang terdapat di Indonesia, istilah adat

47 Hasil diskusi dengan perwakilan Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu yang dilaksanakan pada tanggal 12 Mei 2016.

juga sudah lama dikenal, misalnya di daerah Gayo menyebutnya sebagai odot dan di daerah Jawa Tengah serta Jawa Timur disebut sebagai 48 adat atau ngadat.

Definisi adat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:

a. aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala;

b. cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan- kebiasaan; dan

c. wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.

Penulis mendefinisikan adat sebagai aturan yang bermula dari perbuatan yang dilakukan oleh manusia secara berulang-ulang sehingga menimbulkan kebiasaan yang membentuk suatu nilai atau norma.

2. Hukum Adat

Hukum Adat diartikan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan Republik Indonesia dan didalamnya

mengandung unsur-unsur agama. 49 Djojodigoeno menjelaskan bahwa hukum adat merujuk kepada hukum yang bersumber dari 50 ugeran-ugeran .

48 Adat di masing-masing daerah merujuk kepada kebiasaan yang dilakukan oleh warga atau masyarakat yang dianggap sebagai sesuatu yang baik. Lihat Bushar Muhammad, 1961, op.cit, hlm.

13. 49 Risalah Kesimpulan Hasil Seminar Hukum Adat yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan

Hukum Nasional bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 15- 17 Januari 1975.

50 Istilah ugeran dimaknai sebagai aturan/norma yang membebankan suatu kewajiban atau pantangan yang bertujuan untuk membatasi sikap, tingkah laku atau perbuatan agar tidak

menimbulkan hal-hal yang tidak baik.

Ugeran-ugeran berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang terdapat di masyarakat dan dipengaruhi oleh unsur agama. Salah satu contoh adalah ugeran

fiqh dalam hukum perkawinan Islam yang mengatur perkawinan, talak dan rujuk. Dalam perkembangannya, hukum perkawinan Islam disimpangi oleh kebiasaan- kebiasaan yang sudah dilaksanakan secara teratur oleh masyarakat. Kebiasaan menyimpang yang memiliki tujuan dan mengandung hal-hal baik disebut sebagai

hukum adat. 51

3. Perbedaaan antara Adat dan Hukum Adat

Van Dijk dan Van Vollenhoven menyebut bahwa adat dan hukum adat memiliki perbedaan sangat tipis, perbedaan tersebut terletak pada akibat hukum

yang ditimbulkan yaitu sanksi. 52 Sanksi yang digambarkan oleh Van Vollenhoven merupakan bentuk akibat hukum yang secara tegas membedakan keduanya.

Perbedaan yang sangat tipis membuat anggapan antara adat dan hukum adat menjadi suatu hal yang sama, padahal terdapat perbedaan diantara keduanya.

Ter Haar memiliki pandangan berbeda dengan Van Dijk serta Van Vollenhoven, Ter Haar membedakan adat dengan hukum adat dengan Beslissingenleer Theory yang dicetuskannya . Teori ini menganggap adat dapat menjadi hukum adat sepanjang adanya keputusan para petugas hukum yang

51 Djojodigoeno, op.cit, hlm. 8 52 Van Dijk, 1971, Pengantar Hukum Adat Indonesia (Cetakan Ketujuh), Penerbitan Sumur,

Bandung, hlm. 9 Bandung, hlm. 9

Otje Salman Soemadiningrat menyebut bahwa adat menjadi hukum adat sepanjang memenuhi 3 (tiga) syarat: Pertama , masyarakat meyakini bahwa kebiasaan tersebut merupakan sebuah keharusan yang harus dilaksanakan. Kedua, bahwa terdapat keyakinan dalam masyarakat kebiasaan tersebut bersifat mengikat

(kewajiban yang harus ditaati). Ketiga, adanya pengukuhan yang berupa pengakuan (erkenning) dan/atau penguatan (bekrachtiging) dari keputusan yang berwibawa

untuk melekatkan sanksi pada kebiasaan-kebiasaan tersebut. 54 Penelitian ini memilih menggunakan pemikiran Van Dijk dan Van

Vollenhoven untuk membedakan antara adat dengan hukum adat, karena akibat hukum berupa sanksi merupakan poin tegas yang membedakan kedua konsep.

C. Hukum Tanah Adat dan Hukum Perkawinan Adat

Bagian ini memberikan pemahaman mengenai konsep hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang dihimpun dari doktrin-doktrin ahli hukum adat. Selanjutnya, konsep-konsep tersebut bertujuan untuk memberikan gambaran terkait dengan hukum tanah adat dan hukum perkawinan adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu.

53 Ter Haar, op.cit, hlm. 53 54 Otje Salman Soemadiningrat, op.cit, hlm. 12

1. Hukum Tanah Adat

Hak atas tanah dalam hukum adat dibagi kedalam 2 (dua) jenis yaitu hak ulayat dan hak perorangan. Ter Haar menyebut bahwa kedua jenis hak memiliki

hubungan timbal- 55 balik yang disebut dengan “Teori Bola”. Maria SW Sumardjono menyebut bahwa hak ulayat menunjukkan adanya hubungan hukum

antara masyarakat hukum sebagai subjek hak dan tanah/wilayahnya sebagai objek hak tersebut. Selain itu, hak ulayat berisi wewenang yang dapat digunakan oleh

subjek hak untuk hal-hal berikut: 56

a. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah, persediaan dan pemeliharaan tanah;

b. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan hak tertentu pada subyek tertentu); dan

c. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah.

Hak Ulayat merupakan terjemahan dari beschikkingrecht. Van Vollenhoven mengartikan beschikkingrecht sebagai sebuah hak yang dimiliki oleh suatu suku ( stam) , gabungan desa ( doperbond) atau hanya satu desa, yang memiliki sifat-sifat

diantaranya adalah: 57

a. Hanya masyarakat hukum dan anggotanya yang berhak dengan bebas menggunakan tanah yang berada dalam wilayah kekuasaannya

55 Teori Bola menyatakan bahwa “Semakin kuat Hak Individual atas sebidang tanah, maka semakin lemah Hak Persekutuan atas tanah sebidang itu, begitu juga seba

liknya” - Ter Haar, op.cit, hlm. 53 Maria SW Sumardjono, 2007, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Kompas Gramedia, Jakarta, hlm. 56-58

57 Van Vollenhoven, 2013, Orang Indonesia dan Tanahnya , STPN Press, Yogyakarta, hlm. 8-10

(beschikkingskring) , dalam hal ini contoh konkretnya adalah membuka lahan;

b. Orang-orang yang bukan anggota masyarakat hukum itu (orang yang berasal dari desa lain), hanya diperbolehkan menggunakan tanah sepanjang sudah memperoleh izin dari masyarakat hukum yang memiliki

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Hubungan Antara Kepercayaan Diri DenganMotivasi Berprestasi Remaja Panti Asuhan

17 116 2

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22