Hukum Tanah Adat dan Hukum Perkawinan Adat
2. Hukum Perkawinan Adat
Hukum perkawinan adat di Indonesia tidak lepas dari fakta yang menyatakan bahwa keberadaannya pada masing-masing daerah memiliki norma,
63 Bushar Muhammad, op.cit, hlm. 117-120 63 Bushar Muhammad, op.cit, hlm. 117-120
setempat. 64 Menurut Iman Sudiyat, ruang lingkup hukum perkawinan adat meliputi langkah perintis perkawinan, pertunangan, proses perkawinan,
pemutusan perkawinan dan hukum harta perkawinan. 65
Langkah perintis perkawinan dimulai oleh pihak orangtua ataupun kerabat yang berasal dari calon suami/isteri yang akan melakukan ikatan perkawinan. Di kalangan masyarakat, langkah perintis perkawinan disebut dengan istilah “pelamaran”. Bila pihak laki-laki dan perempuan bersepakat untuk melakukan
perkawinan, maka laki-laki wajib memberikan tanda pengikat atau tanda mau pada saat pelamaran. 66 Tanda pengikat atau tanda mau sudah diterima oleh pihak
perempuan, maka pelamaran berlanjut kepada perundingan dan perencanaan pelaksanaan hari perkawinan yang dilakukan oleh orangtua kedua belah pihak. 67
Jenjang pertunangan merupakan janji diantara calon suami-isteri untuk melangsungkan perkawinan. Pertunangan juga menentukan hari berlangsungnya perkawinan, besaran biaya untuk pelaksanaan perkawinan dan penentuan biaya
denda apabila terputusnya pertunangan. 68 Di beberapa daerah di Indonesia, proses
64 Hilman Hadikusuma,1990, Hukum Perkawinan Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 17 65 Iman Sudiyat, 1981, op.cit, hlm. 107
66 Tanda Pengikat atau Tanda Ma u disini berbeda dengan “jujur”, tanda pengikat atau tanda mau merupakan syarat awal sebelum berangkat ke jenjang selanjutnya yaitu jenjang pertunangan.
67 Hilman Hadikusuma, 1990, op.cit, hlm. 19
68 Besaran denda hanya berlaku apabila perkawinan dibatalkan oleh salah satu pihak dan pihak tersebut yang diwajibkan untuk membayar denda - Lihat Iman Sudiyat, 1981, loc.cit 68 Besaran denda hanya berlaku apabila perkawinan dibatalkan oleh salah satu pihak dan pihak tersebut yang diwajibkan untuk membayar denda - Lihat Iman Sudiyat, 1981, loc.cit
Tahapan berikutnya adalah putusnya perkawinan yang lebih sering dikenal dengan perceraian. Perceraian menandakan terputusnya hubungan antara laki-laki
dan perempuan yang sebelumnya telah melangsungkan perkawinan. 70 Pelaksanaan pemutusan perkawinan umumnya mengikuti sistem kekerabatan
yang dianut oleh masyarakat setempat. 71
Hukum harta perkawinan merupakan bagian terakhir yang terdapat dalam pembahasan tentang hukum perkawinan adat. Harta perkawinan dibagi atas 4
(empat) jenis, yaitu: 72
a. Harta Warisan, merupakan harta yang dibagikan pada saat hidup atau saat pewaris telah meninggal dunia yang diberikan kepada suami atau istri dan juga kepada ahli warisnya;
b. Harta yang diperoleh selama atau sebelum melangsungkan perkawinan (Harta Pribadi), merupakan harta yang diperoleh oleh suami atau istri pada masa sebelum perkawinan ataupun sesudah masa perkawinan yang merupakan hak dari masing-masing dan tidak dapat dilakukan tuntutan terhadap harta tersebut apabila perceraian terjadi;
c. Harta yang diperoleh selama perkawinan atas usaha bersama yang dilakukan (Harta Bersama), merupakan harta yang diperoleh suami dan istri selama berlangsungnya perkawinan sehingga dalam hal terjadi
69 Hilman Hadikusuma, 2003, op.cit, hlm. 194 70 Iman Sudiyat, 1981, op.cit, hlm. 133
71 Masing-masing dari sistem kekerabatan memiliki cara masing-masing dalam melakukan pemutusan perkawinan baik Patrilineal, Matrilineal dan Parental – Lihat lebih lengkap pada
Hilman Hadikusuma, 1990, op.cit, hlm. 36 dan Ibid, hlm. 133 72 Ibid, hlm. 144 Hilman Hadikusuma, 1990, op.cit, hlm. 36 dan Ibid, hlm. 133 72 Ibid, hlm. 144
d. Harta Hadiah Perkawinan, merupakan harta yang berdasarkan kebiasaan yang ada, diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai sesuatu hadiah.
Hilman Hadikusuma menyebut bahwa kedudukan harta perkawinan di tiap daerah berbeda-beda, karena kedudukan harta perkawinan disebabkan oleh pengaruh dari
susunan masyarakat hukum adatnya, bentuk perkawinan dan jenis hartanya. 73