Perlakuan Standar Kontrak Dalam Kegiatan Bisnis

3. Perlakuan Standar Kontrak Dalam Kegiatan Bisnis

  Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah.

  Kontrak baku menurut Munir Fuady adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali kontrak tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. 122

  122 Munir Fuady, Loc.Cit.,hlm. 17.

  Sedangkan menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadaan yang memperburuk.

  Menurut Treitel, freedom of contract digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum (general principle).

  Asas umum yang pertama mengemukakan bahwa: hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak, asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat.

  Asas umum yang kedua bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya.

  Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat

  Dalam melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua pembatasan.

  Pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya

  diberlakukannya exemption clauses (klausul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku.

  Kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum (public interest).

  Berdasarkan keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada kebebasan berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat.

  Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang- undangan (legislature) terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis.

  Di Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara yang merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang Di Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara yang merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang

  4. Hubungan Asas Kebebasan Berkontrak Dengan Standar

  Kontrak Yang Memuat Klasul Eksemsi

  Seiring berjalannya penggunaan dari asas kebebasan berkontrak, berlakunya asas ini tidaklah mutlak. KUH Perdata memberikan pembatasan berlakunya asas dilihat dalam ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa perjanjian tidak sah apabila dibuat tanpa adanya sepakat dari pihak yang membuatnya. Ketentuan ini memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh asas konsensualitas. Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh kata sepakat pihak lainnya atau dapat dikatakan bahwa asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh asas konsensualitas.

  Dari Pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat undang-undang. Dengan adanya kebebasan berkontrak melahirkan banyak jenis kontrak dalam masyarakat, salah satunya adalah standar kontrak. Standar kontrak ini sering sekali dijumpai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat berupa perjanjian yang sudah dibakukan dalam bentuk formulir. Pada umumnya semua standar kontrak yang sudah dibakukan ini memuat klausul eksemsi.

  Klausul eksemsi itu dapat muncul dalam berbagai bentuk. Klausul tersebut dapat berbentuk pembebasan sama sekali dari tanggung jawab yang harus dipikul oleh pihaknya apabila wanprestasi. Dapat pula berbentuk pembatasan waktu bagi orang yang dirugikan untuk dapat mengajukan gugatan atau ganti rugi. “Dalam hal ini batas waktu tersebut sering kali lebih pendek dari batas waktu yang ditentukanoleh undang-undang bagi seseorang untuk dapat mengajukan gugatanganti rugi”. 123

  Standar kontrak yang digunakan sekarang ini boleh lahir karena peran dari asas kebebasan berkontrak. Artinya setiap orang yang ingin membuat suatu kontrak bebas menentukan isi dan klausul-klausul dari suatu kontrak. Dengan kata lain peran asas kebebasan berkontrak hanya sampai pada saat penentuan isi dan klausul-klausul kontrak. Dalam standar kontrak hanya salah satu pihak saja yang membuat isi dari kontrak tersebut, di dalamnya dapat memuat

  pertanggungjawaban. Di sisi lain para pihak yang membutuhkan sesuatu dan berhubungan dengan standar kontrak seharusnya tidak mempermasalahkan isi dari standar kontrak tersebut yang memuat klausul-klausul yang memberatkan bagi dirinya, karena ia membutuhkan oleh sebab itu ia menerima isi dan klausul-klausul kontrak tersebut, jika ia merasa terbebani dengan klausul-klausul tersebut maka ia dapat menolak atau tidak menyetujui standar kontrak tersebut dari awal.

  Tidak semua syarat dari suatu kontrak dapat dibenarkan oleh hukum. Ada juga syarat kontrak yang dilarang oleh hukum. Akan tetapi, penentuan sebaliknya dalam suatu kontrak dapat dianggap sebagai suatu kontrak yang sah dan mengikat. Dalam hal ini yang dimaksudkan

  123 Muhammad Syaifuddin, Op. Cit., hlm. 228.

  adalah bahwa jika kontrak yang digantungkan pada syarat bahwa salah satu pihak tidak melakukan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan, atau tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan undang-undang, maka kontrak-kontrak tersebut adalah sah dan mengikat.

  Menurut Munir Fuady, dinayatakan bahwa: “Syarat yang tidak mungkin terlaksana, bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, syarat tersebut batal demi hukum, sedangkan kontraknya menjadi tidak berdaya (lihat Pasal 1254 KUH Perdata). Sedangkan kontrak dengan syarat bahwa pelaksanaannya semata-mata bergantung kepada kemauan orang yang terikat, kontrak tersebut menjadi batal demi hukum (lihat Pasal 1256)”. 124

  Perbedaan antara kontrak tidak berdaya sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 1254 KUH Perdata dengan kontrak batal dalam Pasal 1256 KUH Perdata. Meskipun secara teori dapat dibedakan, tetapi dalam praktek sama saja, karena kontrak yang tidak berdaya, tetap saja tidak dapat berlaku. Standar kontrak yang di dalamnya terdapat klausul yang memberatkan salah satu pihak tidak sejalan dengan tujuan dari asas kebebasan berkontrak, karena posisi tawar- menawar dalam isi kontrak menjadi tidak seimbang dan menjadi tidak adil. Seharusnya dalam membuat suatu kontrak, kedudukan dari para pihak yang terlibat di dalamnya haruslah sama sehingga para pihak dapat saling menegosiasikan isi dari kontrak sehingga menjadi adil dan sejalan dengan tujuan dari asas kebebasan berkontrak.