Prinsip Itikad Baik (Good Faith Principle)

4.2 Prinsip Itikad Baik (Good Faith Principle)

  a. Menurut KUHPdt

  Pasal 1338 ayat (3) menentukan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Selebihnya formulasi tentang perwujudan suatu tindakan yang beritikad baik lebih banyak disandingkan dengan larangan-larangan yang ditentukan dalam:

  a. Pasal 1322 KUHPdt, tentang perbuatan kekhilafan

  (dwaling);

  b. Pasal 1323 KUHPdt, tentang unsur paksaan (dwang);

  c. Pasal 1328 KUHPdt, tentang perbuatan penipuan

  (bedrog);

  d. Pasal 1355 KUHPdt, tentang larangan membuat kontrak

  tanpa causa, atau dibuatnya kontrak berdasarkan causa yang palsu atau dilarang;

  e. Pasal 1337 KUHPdt, tentang sebab adalah terlarang

  apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

  Dalam perkembangannya, prinsip itikad baik tidak dapat dilepaskan dari kepantasan dan kepatutan (redelijkheid dan billijkheid). Selain itu, pelaksaan kontrak dengan itikad baik juga diselaraskan dengan penafsiran kontrak menurut

  (ukuran) keadilankepatutan dan kepantasan 52 . Terdapat

  pula norma tidak tertulis, seperti norma tata-krama (goede zeden) yang wajib diturut oleh siapa saja, yang turut serta dalam pergaulan hidup masyarakat. Jadi J. Satrio menegaskan bahwa orang dalam menyelenggarakan kepentinganya wajib memperhatikan kepentingan diri dan

  harta benda milik orang lain (maatschappelike betamelijkheid). 53

  Lebih lanjut ia menarik kesimpulan bahwa KUHPdt menuntut keseimbangan prestasi dan kontra prestasi untuk sahnya suatu perjanjian, sehingga itikad baik dalam pelaksanaan suatu perjanjian menjaga agar perjanjian sedapat mungkin memberikan akibat hukum yang patut, dan ia melakukan

  Penggunaan kata itikad baik sering ditemukan diberbagai macam konteks yang biasanya disertai dengan pengertiannya yang berbeda-beda di setiap konteks tersebut. Itikad baik dalam kontrak pada umumnya lebih mengedepankan nilai kesetiaan kepada janji yang telah disetujuinya itu, serta menekankan kepada tujuan bersama dengan memperhatikan pengharapan pihak satunya terhadap apa yang telah dijanjikannya itu. Penilaian terhadap pelanggaran itikad baik tidak bisa disama ratakan, karena sangat bergantung pada nilai-nilai fairness dan reasonableness

  52 Malahan H.R., Artist de Laboureur, 9 Februari 1923, N.J., 1923:676, dikutip dari J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari

  Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 177.

  53 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 179-180.

  54 Ibid., hlm. 181.

  yang terkandung di dalam setiap jenis kontrak, misalnya

  kontrak asuransi, tenaga kerja, jual-beli, dan lain-lain 55 .

  b. Menurut Hukum Kontrak Singapura

  Ketentuan hukum tentang prinsip itikad baik dapat dilihat dari pasal-pasal di bawah ini:

  8.2.3 Apakah pernyataan tertentu dianggap sebagai penawaran tergantung pada maksud dilakukannya penawaran tersebut. Suatu penawaran harus dilakukan dengan niatmaksud untuk terikat. Di lain pihak, apabila seseorang sekedar memberikan penawaran atau menanyakan informasi, tanpa maksud untuk terikat, paling jauh ia hanya bermaksud mengundang untuk menjamu pihak lainnya. Berdasarkan pengujian obyektivitas, seseorang dapat dikatakan telah membuat penawaran apabila pernyataan (atau tindakan)nya membuat orang biasa yakin bahwa orang yang sedang membuat penawaran tersebut bermaksud untuk terikat dengan penerimaan atas dugaan penawaran tersebut, meskipun orang tersebut sebenarnya tidak mempunyai maksud demikian. Pasal 8.2.7 tentang kepastian menentukan bahwa sebelum kesepakatan dapat diberlakukan sebagai perjanjian, ketentuan-ketentuannya harus cukup pasti. Setidaknya, ketentuan-ketentuan utama dari kesepakatan harus dijabarkan. Di luar ini, pengadilan dapat memutuskan permasalahan ketidakjelasan atau ketidakpastian dengan mengacu pada tindakan-tindakan para pihak, pola transaksi sebelumnya antara para pihak, praktek perdagangan atau standar kewajaran. Kadangkala, ketentuan undang-undang

  55 Bryan A Garner, Op.Cit., h. 713. Mengutip Roger Brownsword et al, Good Faith in Contract; In Good faith in Contract; Concept and Context

  1,3 (Roger Brownsword ed., 1999).

  mengenai hal-hal terperinci dari perjanjian dapat mengisi

  kesenjangan ini 56 . Prinsip Timbal Balik 8.3.2 Ide timbal balik yang mendasari ketentuan imbalan memiliki arti bahwa harus ada suatu hubungan kausa antara imbalan dan janji itu sendiri. Dengan demikian, imbalan tidak dapat berupa sesuatu yang telah dilakukan sebelum janji dibuat. Akan tetapi, pengadilan tidak selalu menggunakan pendekatan kronologis secara ketat dalam menganalisa perkaranya.

  Kecukupan 8.3.3 57 Apakah imbalan yang diberikan

  mencukupi adalah suatu permasalahan hukum, dan pada

  56 http:www.singaporelaw.sg, Op. Cit.

  8.2.3 Whether any particular statement amounts to an offer depends on the intention with which it is made. An offer must be made with the intention to be bound. On the other hand, if a person is merely soliciting offers or requesting for information, without any intention to be bound, at best, he or she would be making an invitation to treat. Under the objective test, a person may be said to have made an offer if his or her statement (or conduct) induces a reasonable person to believe that the person making the offer intends to be bound by the acceptance of the alleged offer, even if that person in fact had no such intention.

  8.2.7 Before the agreement may be enforced as a contract, its terms must be sufficiently certain. At the least, the essential terms of the agreement should be specified. Beyond this, the courts may resolve apparent vagueness or uncertainty by reference to the acts of the parties, a previous course of dealing between the parties, trade practice or to a standard of reasona- bleness. On occasion, statutory provision of contractual details may fill the gaps.

  57 Ibid.

  8.3.2 The idea of reciprocity that underlies the requirement for conside- ration means that there has to be some causal relation between the consideration and the promise itself. Thus, consideration cannot consist of something that was already done before the promise was made. However, the courts do not always adopt a strict chronological approach to the analysis.

  8.3.3 Whether the consideration provided is sufficient is a question of law, and the court is not, as a general rule, concerned with whether the value of the consideration is commensurate with the value of the promise. The performance of, or the promise to perform, an existing public duty imposed 8.3.3 Whether the consideration provided is sufficient is a question of law, and the court is not, as a general rule, concerned with whether the value of the consideration is commensurate with the value of the promise. The performance of, or the promise to perform, an existing public duty imposed

  Larangan Menyangkal 8.3.4 Apabila doktrin larangan menyangkal janji promissory estoppel berlaku, maka suatu janji menjadi mengikat terlepas apakah janji tersebut disertai dengan imbalan. Doktrin ini berlaku apabila suatu pihak dari perjanjian membuat janji yang tegas, baik melalui kata-kata atau tindakan, bahwa ia tidak akan menggunakan hak berdasarkan hukumnya di dalam perjanjian, dan pihak lainnya bertindak, dan selanjutnya mengubah posisinya, dengan mengandalkan janji tersebut. Pihak yang membuat janji tidak dapat berupaya memberlakukan hak berdasarkan

  on the promisee does not, without more, constitute sufficient consideration in law to support the promisor’s promise. The performance of an existing obligation that is owed contractually to the promisor is capable of being sufficient consideration, if such performance confers a real and practical benefit on the promisor. If the promisee performs or promises to perform an existing contractual obligation that is owed to a third party, the promisee will have furnished sufficient consideration at law to support a promise given in exchange.

  hukumnya tersebut jika tindakan tersebut dianggap tidak adil, meskipun hak hukum tersebut dapat dipulihkan kembali setelah pihak pembuat janji memberikan pemberitahuan

  sewajarnya. Doktrin ini

  mencegah

  pemberlakuan hak yang ada, tetapi tidak menimbulkan dasar

  gugatan baru 58 .

  8.11.3 Batas antara tekanan yang melawan hukum dan tekanan yang sekedar bersifat komersial (dan sah) benar- benar tipis, dan apakah suatu tekanan termasuk dalam salah satu klasifikasi tersebut tergantung pada fakta-fakta tertentu dari kasus yang bersangkutan. Secara umum, kewajaran tindakan dari masing-masing pihak tampaknya menjadi bahan pertimbangan yang penting. Misalnya, suatu pihak yang mengancam akan melakukan cidera janji terhadap pihak lainnya apabila pihak lainnya tidak menyetujui permintaannya untuk menaikkan jumlah pembayaran bukan merupakan tekanan yang melawan hukum jika, karena kondisi keuangan yang tidak baik, hal ini merupakan satu- satunya jalan keluar yang tersedia baginya. Akan tetapi, apabila pihak dominan melakukan permintaan yang sama tanpa alasan selain dari keinginan oportunis untuk mengeksploitasi

  kelemahan pihak

  lawannya

  guna

  58 Ibid. Promissory Estoppel 8.3.4 Where the doctrine of promissory estoppel

  applies, a promise may be binding notwithstanding that it is not supported by consideration. This doctrine applies where a party to a contract makes an unequivocal promise, whether by words or conduct, that he or she will not insist on his or her strict legal rights under the contract, and the other party acts, and thereby alters his or her position, in reliance on the promise. The party making the promise cannot seek to enforce those rights if it would be inequitable to do so, although such rights may be reasserted upon the promisor giving reasonable notice. The doctrine prevents the enforcement of existing rights, but does not create new causes of action.

  memperoleh keuntungan, maka akan kecil kemungkinan

  bahwa tindakan tersebut dapat diterima 59 .

  Perjanjian Pembatasan Perdagangan 8.12.8 Suatu perjanjian yang sepenuhnya membatasi perdagangan adalah bertentangan dengan kebijakan publik dan tidak sah menurut common law. Perjanjian tersebut adalah batal. Akan tetapi, pengecualian diberikan sehubungan dengan fakta bahwa, dalam konteks tertentu, beberapa pembatasan perdagangan sifatnya adalah untuk melindungi kepentingan yang sah.

  8.12.9 Misalnya, ketentuan pembatasan perdagangan yang ‘wajar’ yang berupaya melindungi: (a) kepentingan para pihak yang bersangkutan; (b) dan kepentingan publik, tidak akan batal. Kedua aspek kewajaran ini harus dibuktikan.

  8.12.10 Penentuan ini akan berbeda berdasarkan kasus per kasus, namun faktor utamanya meliputi lingkup geografis dan juga lamanya waktu pemberlakuan pembatasan perdagangan tersebut. Semakin luas dan semakin lama pembatasannya, maka semakin sulit untuk membuktikan

  bahwa pembatasan tersebut adalah wajar. 60

  59 Ibid.

  8.11.3 That said, the line between illegitimate pressure and mere commercial (and legitimate) pressure is extremely fine, and where it falls is often dependent on the particular facts of the case. In general, the reasonableness of the parties’ respective conduct appears to be an important consideration. For instance, a party who threatens to breach a contract with another if the latter does not agree to its request for increased payments is not exerting illegitimate pressure if, owing to acute financial conditions, that is the only course available to him. However, where the dominant party makes the same demand for no reason other than an opportunistic desire to exploit the counter party’s vulnerability for financial gain, such conduct is less likely to be viewed favourably.

  60 Ibid.

  8.12.8 A contract which is wholly in restraint of trade is contrary to public policy and is illegal at common law. Such a contract is void. Leeway, however, is given in light of the fact that, in some contexts, some restraint of trade may well protect legitimate interests.

  Suatu itikad baik menurut hukum kontrak Singapura harus merepresentasikan transaksi yang berimbang, artinya transaksi pertukaran para pihak harus reasonable yang berarti rasional, logika, wajar, dapat ditolerir, sensibilitas, rasa adil. Prinsip itikad baik juga disebut bonafide berasal dari bahasa Latin dengan makna “in good faith”, namun di dalam penggunaan didefinisikan “made in good faith; wihout fraud or

  deceit, sincere; genuine 61 . Pengertian yang serupa dan lebih

  detil pada definisi good faith, yaitu: “a state of mind consisting in in (1) honesty in belief or purpose, (2) faithfulness to one’s duty or obligation, (3) observance of reasonable commercial standards of fair dealing in a given trade or business, or (4) absensence of intent to defraud or to seek unconscionable

  advantage” 62 . Bryan A. Garner berpendapat bahwa di dalam kontrak yang beritikad baik harus juga mempertimbangkan nilai equity untuk mengkoreksi ketidak-seimbangan dan untuk menyesuaikan hal-hal yang sesuai dengan tujuan

  pihak kontraktan 63 . Tentunya makna equity dalam perspektif

  hukum berbeda dengan pengertiannya dalam perspektif ekonomi keuangan. Equity menurut common law system merupakan dasar faham keadilan dengan memberlakukan kelayakan dan keadilan, umumnya dipakai untuk menyelesaikan sengketa dan tuntutan-tuntutan dari pihak-

  8.12.9 For example, a ‘reasonable’ restraint of trade clause which seeks to protect: (a) the interests of the parties concerned; (b) and the interests of the public will not be void. Both these aspects of reasonableness must be established.

  8.12.10 This determination will vary from case to case, but significant factors will include the geographic scope as well as the length of time for which the restraint of trade is to apply. The wider and longer the restraint, the more difficult it will be to prove that the restraint is reasonable.

  61 Bryan A. Garner, Op. Cit., hlm. 186. 62 Ibid, hlm. 713. 63 Ibid, hlm. 342.

  pihak yang berkepentingan. Penerapan equity ditentukan secara tegas, meskipun yang dimaksud berlainan dengan ketentuan hukum pada umumnya atau Undang-Undang. Selain itu, fungsi equity merupakan perlengkapan alat untuk mencapai akibat yang dapat dibenarkan hukum bila prosedur

  hukum tidak memenuhinya 64 .

  Berdasarkan perbandingan tersebut diketahui karakteristik penting di dalam prinsip itikad baik, khususnya dalam kontrak bisnis, disandingkan dengan prinsip fair

  dealing, yang berarti transparansi pelaksanaan perdagangan 65 .

  Berangkat dari itikad baik dan transaksi berimbang, para pihak wajib saling mengisi dalam merancang dan membuat kontrak apa adanya yang penegakan isi kontrak disetujui bersama. Sangat perlu menitik beratkan kepada dua elemen, yaitu “secara jujur” dan “dengan jujur” terhadap hubungan para pihak, baik pada waktu pra-kontrak, pembuatan kontrak, penanda-tanganan, dan pelaksanaan kontrak. Itikad yang baik ini dapat direleksikan pada kejujuran berprilaku dengan

  keseimbangan yang proporsional, kebersamaan, dan kepatutan.