Konfigurasi Politik Sistem Palementer (1945-1957)

Konfigurasi Politik Sistem Palementer (1945-1957)

Seiring dengan konfigurasi politik sistem po- litik demokrasi parlementer, munculnya par- tisipasi politik rakyat terkait erat dengan proses dan pembuatan kebijakan negara. Da- lam hal ini kebangkitan partai-partai politik bagi bangsa Indonesia, ternyata bahwa dalam kehidupan kepartaiannya, baru dapat dilacak kembali, secara samar-samar sampai pada ta- hun 1908-an. Dikatakan demikian karena or- ganisasi-organisasi yang memberi kesan ada- lah partai politik, dalam kenyataannya bu- kanlah partai politik dalam pengertian mo- dern sebagai organisasi yang tujuannya me- rebut kedudukan dalam negara di dalam per- saingan melalui pemilihan umum 2

2 Daniel Dhakidae, “Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia”, dalam Analisis Kekuatan Politik di

Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 190-191.

partai po- litik adalah secara formal dapat dilihat pada saat sistem kepartaian didasarkan pada Mak- lumat Pemerintah 3 Nopember 1945. Maklu- mat Pemerintah 3 Nopember 1945 itu, me- nyebutkan bahwa atas dasar usul Badan Pekerja (BP) Komite Nasional Indonesia Pu- sat (KNIP) kepada Pemerintah, agar membe- rikan kesempatan seluas-luasnya kepada rak- yat untuk mendirikan partai-partai politik. Dalam Diktum Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945 itu yang ditandatangani oleh wakil Presiden Moh. Hatta berbunyi sebagai berikut: (a).Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai politik itulah dapat dipimpin ke jalan yang benar segala aliran/paham yang ada dalam masyarakat; (b).Pemerintah berha-

P. Anthonius Sitepu Transformasi Kekuatan Politik dalam Sistem Politik Indonesia

rap supaya partai-partai politik itu telah ter- susun sebelumnya diselenggarakan pemilihan umum bagi anggota Badan Perwakilan Rakyat pada Januari 1946.

Lebih lanjut menyusul Maklumat Pemerintah

3 Nopember 1945 tersebut, bertumbuh dan bertambah setiap kelompok mendirikan par- tai politik sampai Januari 1946 berjumlah 10 partai politik, diantaranya terdapat Majelis Suryo Muslimin Indonesia (Masyumi), didiri- kan 7 Nopember 1945, Partai Buruh Indonesia (PBI) 7 Nopemberi 1945, Partai Rakyat Djalata (PRD) 8 Nopember 1945, Partai Sosialis Indo- nesia (PSI) 11 Nopember 1945, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 10 Nopember 1945, Partai Katholik Republik Indonesia (PKRI) 8 Nopember 1945, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 17 Desember 1945, Partai Nasional Indonesia (PNI) 1 Desember 1945. Meskipun demikian, jumlah partai-partai poli- tik tidaklah sebanyak yang disebutkan di atas, akan tetapi sebagaimana yang dikemukakan oleh Mc.T. Kahin 3

lebih dari itu. Hal ini dikare- nakan karena munculnya partai-partai politik kecil yang pada masa pemerintah militer Je- pang dilumpuhkan. Selanjutnya, diikutsertakan dalam bagian pertumbuhan partai-partai politik, seiring dengan dikeluarkannya Maklumat Pe- merintah 3 Nopember 1945.

Pengalaman dan format sistem kepartaian ba- nyak (multi party system) dan dengan sistem pemerintah parlementer, dapat berarti diberi- kannya kesempatan yang luas kepada partai politik dan kekuatan-kekuatan politik lainnya untuk berkiprah di lembaga politik seperti, legislatif ataupun di pemerintahan (kabinet). Seperti halnya dari hasil pemilihan umum 1955 ternyata telah memperjelas polarisasi an- tara partai-partai politik Islam dan partai po- litik non-Islam. Kondisi seperti ini, menurut pandangan Adnan Buyung Nasution 4

3 Mc. T. Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, (Solo: Sebelas Maret University Press,

1995), hal. 156-157.

mem- berikan pengaruh terhadap perimbangan ke- kuatan di Dewan Konstituante. Partai-partai politik terpecah ke dalam berbagai fraksi ter- bagi atas tiga kelompok yang masing-masing

4 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerinta- han Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-le-

gal atas Konstituante 1956, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hal. 32-34.

mendukung ideologi tertentu pula. Di sana terdapat blok Pancasila, blok Islam, dan blok Sosialisme Ekonomi.

Pemilihan umum dan pembentukan Dewan Konstituante merupakan dua hal yang cukup penting dalam kaitannya dengan peranan par- tai-partai politik dalam konfigurasi politik sistem politik (Parlementer). Pemilihan u- mum I 1955 dan untuk Dewan Konstituante (15 Desember 1955) di bawah kabinet Bur- hanuddin Harahap. Dari jumlah penduduk yang terdaftar sebanyak 87.65%. Partai poli- tik sejumlah 34 partai politik yang mengam- bil bagian dalam pemilu 1955, menghasilkan “4 besar partai politik” yakni, Partai Nasional Indonesia (PNI) 22.3% suara, Masyumi 20.9%, NU 18.4% dan Partai Komunis Indonesia (PKI) 16.4%.

Tingkat partisipasi partai politik dalam for- mat lain yakni di dalam kabinet terlihat da- lam konstruksi sistem politik demokrasi par- lementer (1945-1955). Melihat perkemba- ngan pemerintah/kabinet dalam sistem politik parlementer ini, jelas mempertunjukkan bah- wa sistem ini benar-benar sebagai kabinet parlementer dengan dominasi partai-partai politik. Seperti misalnya dalam Kabinet Sjahrir I banyak diisi oleh anggota-anggota partai yang didominasi oleh partai atau ke- lompok sosialis seperti ditunjukkan dalam tabel berikut.

Tabel 1 Komposisi Partai dalam Kabinet Sjahrir (1945-1946)

No.

Nama Partai

Jumlah Kabinet

4 Non Partai

7 Sumber: Adaptasi dari Deliar Noor, (2000).

Peranan partai-partai politik di dalam kabinet/- pemerintah parlementer sebagaimana yang ditunjukkan dalam Kabinet Sjahrir (I) tadi, menjelaskan kepada kita, bahwa partai poli- tik, dapat dipandang sebagai faktor (variabel) yang dapat memberikan pengaruh pola besar perubahan-perubahan politik. Artinya, bahwa peranan kunci demokrasi konstitusional/par- lementer terletak dalam parlemen dan dalam kabinet ini. Dengan pergantian kabinet sete- lah kabinet Sjahrir ini, kita dapat memahami bagaimana gambaran betapa peranan partai politik itu sangat menonjol.

P. Anthonius Sitepu Transformasi Kekuatan Politik dalam Sistem Politik Indonesia

Kemenonjolan intensitas mereka dalam men- jalankan fungsinya terkadang tidak urung memunculkan konflik-konflik internal partai politik dalam konstelasi sekalipun perebutan kekuasaan dalam kabinet atau pemerintahan adalah suatu kenyataan politik yang mengga- risbawahi pasang-surutnya kabinet, menandai percaturan politik Indonesia saat itu. Pergan- tian dari Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II, dijadikan indikasi ke arah itu. Yakni dengan digantinya Kabinet Sjahrir II ke Kabinet Sjahrir III (1966-1967) yang disusun dengan jumlah anggota sebanyak 30 orang dan ber- sifat nasional.

Dalam kabinet Amir Syarfuddin (3 Juli-11 November 1947 dan 11 November-29 Januari 1947) ini, yang menjadi persoalan adalah pa-

da perjanjian Renville yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan Belanda. Tam- paknya, kebijakan dalam konteks itu yang di- ambil oleh Pemerintah Indonesia tersebut di- lihat oleh beberapa partai politik tidak meng- untungkan bagi pihak Indonesia. Kabinet Su- kiman (1951-1952) tidak dapat bertahan la- ma, karena ia kehilangan dukungan dalam parlemen pada saat mengambil tindakan ter- hadap PNI dan pelaksanaan politik luar nege- rinya yang cenderung berpihak ke Barat (AS). Kabinet Wilopo (1952-1953) yang ter- diri dari PNI, Masyumi, PSI, dan partai-par- tai kecil lainnya lemah dari komposisi kabi- net, disebabkan karena munculnya kelom- pok-kelompok oposisi seperti PIR, dan fraksi demokratik. Kemudian pada saat Kabinet Wilopo pada suasana hubungan sipil militer yakni dengan meletusnya “Peristiwa 17 Ok- tober 1952” yang telah mengakibatkan terja- dinya perubahan penting dalam konstelasi kekuatan politik di antara partai-partai politik utama, Presiden Soekarno dan tentara. Peng- gantinya, Kabinet Ali Sastroamidjodjo I (1953-1953) jatuh karena masalah persatuan politik Indonesia yang sedang rentan pada waktu itu. Sementara Kabinet Burhanudin Harahap (1955-1956), meski berhasil melak- sanakan Pemilihan Umum pertama tahun 1955 tidak bertahan lama setelah sekian lama dibayangi dengan persoalan polarisasi partai politik, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang buruk dan sikap militer yang kurang suka dengan ambisi Presiden Soekarno. Terakhir, Kabinet Alisastroamidjodjo

II (1956-1957) yang dibayang-bayangi masa- lah yang kurang lebih sama dengan kabinet

sebelumnya berakhir setelah Kabinet Ali II menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno (14 Maret 1957) terutama karena Soekarno telah memiliki konsep Kabinet Go- tong Royong dan Dewan Nasional.

Konfigurasi politik sistem Demokrasi Parle- menter, dalam mana lahirnya militer sebagai kekuatan politik sesungguhnya berasal dari kaburnya penempatan makna tentang persep- si militer pada “fungsi politik” dan “fungsi bersenjata” dalam memperjuangkan kemer- dekaan melawan pemerintahan Kolonial Be- landa, karena perjuangan untuk merebut ke- merdekaan itu sendiri, bersifat politik sekali- gus juga bernuansa militer. 5

Proses terbentuknya militer di Indonesia pa-

da awalnya dibidani oleh partai-partai politik dengan menciptakan laskar-laskar perjuangan bersenjata yang mengabdi kepada kepentingan dan ideologi partai seperti misalnya Laskar Napindo (PNI), Laskar Hizbullah (Golongan Islam), Barisan Pemuda Kristen (Divisi Panah) dari Parkindo dan Barisan Pemuda Sosialis Indonesia (PSI), selanjutnya laskar-laskar per- juangan ini menjadi bagian dari Badan Keama- nan Rakyat (BKR), Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Angkatan Perang Indonesia (APRI) yang kemudian menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan kembali lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). 6

Militer kecewa terhadap partai-partai politik. Sebab pada awalnya sistem politik Indonesia (parlementer), partai-partai distriklah yang mendominasi dan mengontrol kehidupan mi- liter secara subjektif, tercermin dalam berba- gai pengertian kabinet-kabinet (1950-1952) yang berbasis pada hubungan sipil militer. Kondisi semacam ini berpengaruh pula bagi hubungan kelompok militer dengan pemerin- tah (sipil) yang notabene didominasi oleh partai-partai politik. Dominasi partai-partai politik dalam kabinet (pemerintahan) yang kemudian disusul oleh munculnya kebijakan pemerintah yang berkehendak menempatkan militer hanya sebagai alat (instrumen) kekua- saan atau bahkan sebagai alat politik. Dan ada arah/sikap skeptis dalam melihat kecen-

5 Syahdatul Kahfie, “Peran Politik Indonesia, Tuntutan atau Kepentingan”, Jurnal Porgresif 1,

(Oktober, 2002), hal. 34-40

6 Ibid., hal. 40.

P. Anthonius Sitepu Transformasi Kekuatan Politik dalam Sistem Politik Indonesia

derungan untuk mempolitisir militer. Hal ini jelas terjadi pada saat Indonesia menganut/ mengambil/memasukkan sistem Parlementer Barat, dimulai dengan masuknya Sjahrir, A- mir Syarifudin, sebagai perdana menteri, mi- liter diletakkan secara penuh di bawah ken- dali kabinet/Menhankam yang selalu dipe- gang oleh partai politik 7

ataupun dengan pe-

ngertian lain, bahwa kontrol subjektif sipil terhadap militer telah mencampuri urusan in- ternal militer tidak suka (khususnya AD) ter- hadap partai politik. Ketidaksukaan tersebut diwujudkan ke dalam bentuk perlawanan ke- lompok militer terhadap pemerintahan sipil sebagaimana tercermin dalam sistem politik parlementer yakni pada saat meletusnya pe- ristiwa “17 Oktober 1952” itu.

Peristiwa 17 Oktober 1952, menurut penda- pat A.H. Nasution, bahwa aksi tersebut di- maksudkan sebagai suatu aksi agar Presiden Soekarno segera mengambil peran politik penting bersama militer untuk mengatasi ke- adaan. Aksi itu ditujukan kepada parlemen yang anggota-anggotanya tidak dipilih dan 2/3 lebih mementingkan sifat kolaborator atas fungsi mereka yang sibuk dengan pere- butan kekuasaan demi menjatuhkan kabinet yang ada. Nasution bilang, bahwa aksi 17 Oktober 1952 sebagai aksi “setengah kude- ta”. Kendatipun demikian, bahwa peristiwa itu adalah merupakan suatu manuver politik dan itu juga sebagai perjuangan dari kelom- pok militer yang merupakan serangkaian pro- ses lama militer melakukan upaya mencari posisinya yang paling tepat dalam tatanan kehidupan politik dan kenegaraan. Dan itu juga yang menjadikannya sebagai sebuah cerminan fenomena politik yang nyata bahwa militer sangat concern terhadap masalah- masalah politik-negara. Dari titik ini tampak bahwa kelompok militer berpotensi dan ber- pretensi untuk mengambil suatu peranan po- litik tertentu dalam pengelolaan negara dan menghendaki kedudukan politik yang kuat dan diakui keberadaannya. Mungkin dalam penjelasan lain, bagi penafsiran “peristiwa 17 Oktober 1952” tersebut bagi pandangan Ulf

7 Hendri Supriyatmono, Dwifungsi ABRI dan Kontribusi ke Arah Reformasi Politik: Tinjauan

Kebijaksanaan Politik Jenderal Nasution 1955- 1959, (Solo: Sebelas Maret University Press, 1994), hal. 28-29.

Shudhaussen 8 dilihatnya dari berbagai segi yakni dari sisi politik, dapat memperoleh keuntungan-keuntungan yang paling besar dari upaya mendiskreditkan Kabinet Wilopo yang didominasi oleh partai PSI dan tidak disukai itu, serta pimpinan militer yang diil- hami “perusahaan”, dengan senang hati me- mutarbalikkan fakta-faktanya untuk kepen- tingan mereka sendiri. Hal ini terkait dengan soal parlemen yang tidak dipilih dan fungsi- fungsi mereka cenderung untuk menjatuhkan kabinet-kabinet (Kabinet Wilopo) dan situasi itu seakan-akan menggambarkan sekelumit suasana konflik antara kaum politisi (sipil) dengan kelompok militer yang bergolak dengan meletusnya “Peristiwa 17 Oktober 1952” dan kejadian itu dapat disebut sebagai “politico military symptom”. 9

Terlepas dari seberapa besaran pretensi poli- tik di dalam kalangan militer namun begitu, dilihat dari perkembangannya pasca peristi- wa 17 Oktober itu bahwa manuver politik memang pada akhirnya mengalami kegaga- lan juga. Jika hal ini dilihat dalam perspektif yang lebih jauh, bahwa peranan politik mili- ter ternyata berkaitan erat dengan perubahan konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949 dan Undang-Undang Dasar Se- mentara 1950 yang dilandasi oleh semangat dan jiwa demokrasi liberal/parlementer. Per- olehan itu kelihatannya berpengaruh terhadap menurunnya peranan politik militer dan bahkan ada kecenderungan menghendaki mengelimi- nir, mereduksi campur tangan militer dalam bidang politik. Akan tetapi berangkat dari “Peristiwa 17 Oktober 1952” itu (kegagalan politik militer) disadari sebab militer pada saat itu belum memiliki konsep politik yang mendasar dan matang. Maka dengan demiki- an, kegagalan perjuangan politik militer itu pada akhirnya mendorong ke arah satu konsep atau pemikiran mengenai perlunya sebuah konsep dasar politik militer yang nyata dan jelas. Konsep dasar politik militer yang dimaksud adalah sebuah pemikiran yang kuat yang meletakkan landasan legitimasi bagi partisipasi politik militer dalam kehidupan politik (pengelolaan negara). Dalam konteks ini sistem politik Demokrat Parlementer,

8 Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwifungsi ABRI, (Jakarta:

LP3ES, 1986), hal. 125-127.

9 Yahya A. Muhaimin, op.cit., hal. 16.

P. Anthonius Sitepu Transformasi Kekuatan Politik dalam Sistem Politik Indonesia

nyata-nyatanya telah mereduksi peran politik militer. dan tanpa memberikan peluang yang cukup kondusif kepada mereka untuk sampai kepada batas-batas tertentu dalam kerangka partisipasi politik tadi. Memang secara kon- stitusional, menunjukkan bahwa kekuasaan politik ataupun proses politik berpusat pada parlemen dan kabinet-kabinet yang di dalam prakteknya dimonopoli oleh partai-partai po- litik pemerintahan misalnya sekedar contoh di dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I dan II 1957.

Kendatipun demikian, fenomena partisipasi politik militer dalam sistem politik/pemerin- tahan tatkala Maret 1957, dipermaklumkan berlakunya “keadaan darurat bahaya perang”, dalam istilah lain disebut “Staat van Oorlog en van Belleg” (SOB) untuk seluruh wilayah Indonesia oleh Presiden Soekarno setelah mendapat tekanan-tekanan dari kelompok militer. Dengan mengusulkan agar memper- lakukannya negara dalam keadaan darurat perang atau SOB yang belakangan diketahui berasal dari gagasan A.H. Nasution (Militer AD). Dari satu sisi telah memberikan bangu- nan dan landasan kuat bagi militer untuk ma- suk ke dalam kawasan politik (kedudukan politik), meski diakui SOB dapat dijadikan sebagai sumber legitimasi atau dasar hukum militer dalam politik tidak permanen bagi mi- liter untuk melakukan peranan nonmiliter. Upaya ini hanya sebagai pembuka jalan baru saja. 10

Dengan adanya SOB, itu artinya mem- bentuk apa yang disebut dengan the army political choice, adalah alasan pada akhirnya dijadikan sebagai landasan/fondasi politik bagi partisipasi politik militer secara penuh dalam kehidupan politik.

Perkembangan suasana politik yang diseli- muti oleh ketidakstabilan politik, dilihat se- bagai akibat dari semakin kerasnya pertenta- ngan antar partai-partai politik dalam parle- men disertai dengan terjadinya pergolakan- pergolakan politik dan keamanan di daerah- daerah. Dengan kondisi seperti itu seolah- olah Presiden Soekarno mengambil alih ke- kuasaan. Indikasi ke arah itu tercermin dalam pernyataan tanggal 21 Februari 1957, di ha- dapan para pimpinan partai politik, tokoh-

10 Daniel S. Lev, Transition to Guide Democracy Indonesian Politics 1957-1959, (Itacha: Cornell

University Press, 1966), hal. 15-16.

tokoh masyarakat di Jakarta, mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan sebutan Konsepsi Presiden. Pada prinsipnya gagasan tersebut berisi tentang pembentukan Kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional. Bahwa katanya, sistem politik demokrasi Barat (de- mokrasi parlementer) itu tidak lagi sesuai dengan kepribadian kita bangsa Indonesia makanya harus segera diganti dengan sistem politik Demokrasi Terpimpin. Dan untuk melaksanakan (mengimplementasikan) sistem politik yang dimaksud itu diperlukan infra- strukturnya yakni berupa Kabinet Gotong Royong yang anggota-anggoatanya terdiri dari semua partai-partai politik dan organisa- si-organisasi berdasarkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat serta dibentuk- nya Dewan Nasional yang anggota-anggota- nya juga terdiri dari partai-partai politik dan golongan fungsional.

Meskipun belum jelas betul makna/arti dari konsepsi golongan-golongan fungsional itu, namun sebenarnya hal itu merupakan antite- sis terhadap wakil-wakil partai-partai politik yakni, dengan masuknya kelompok militer dalam sistem politik sebagaimana dirumuskan dalam Dewan Nasional 26 Januari 1958 dan ar- ti pentingnya Dewan Nasional adalah juga teru- tama bagi kelompok militer untuk memperkuat posisi atau pengakuan sebagai kekuatan politik secara legal dan kesempatan yang cukup besar untuk lebih dalam lagi memasuki arena politik.