HERI KUSMANTO 2 , RUSTAM EFFENDI , LISTIANI

1 2 HERI KUSMANTO 2 , RUSTAM EFFENDI , LISTIANI

1 Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8211965, Email:

heri.kusmanto@gmail.com

2 BITRA Indonesia, Jl. Bahagia By Pass 11/35 Medan, 20216, Telepon: 061-787408, Fax: 061- 7876428, Email: bitra@indosat.net.id, Website: http://www.bitra.or.id

Diterima tanggal 31 April 2005/Disetujui tanggal 3 Mei 2005

Issued UU Number 22 Tahun 1999 about relation central government and local government in political analysis have producing of powers varieties. Ideally UU Number 22 Tahun 1999 accommodating local governments to manage area. The problem is UU Number 22 Tahun 1999 has bore new elites without controlling by central government. This article has explained how local elites have come to so dominant. Using political approach of local politics this study describe local democracy (village democracy) already immediately become dream because Institution of Village Delegation (Badan Perwakilan Desa/BPD) not full intertwined with village capacities like human resource, economic resources, and political culture. In other word BPD has malfunction. This condition indisposed while civil society movement not develop at village. Even its (social organizations) attendance exactly becomes resistor of village democracy when violence issue and activity illegal is often related to organization like this.

Keywords: Local government, Regional autonomy, Local elites.

Pendahuluan

menerima kewenangan itu, karena pemerin- tahan kabupaten/kota belum memiliki kesia-

Perubahan pola hubungan pemerintahan pu- pan untuk mengelola otonomi daerah, khu- sat dan daerah yang tertuang dalam UU No.

susnya menyangkut ketidaksiapan SDM 22/1999 banyak dimaknai secara berbeda-

(Sumber Daya Manusia). beda oleh berbagai kalangan. Para pengamat, praktisi, ilmuwan mungkin menyadari betapa

Sejalan dengan pemikiran bahwa otonomi dirinya tiba-tiba berada dalam hutan per-

daerah mesti diletakkan dalam pemerintahan soalan yang tiada solusi dengan adanya peru-

propinsi, ada yang menginginkan perubahan bahan ini. Masing-masing berbeda pendapat

bentuk negara dari negara kesatuan menjadi karena sudut pandang dan bahkan “keya-

federalisme yang tentunya meletakkan ke- kinan pengetahuan ataupun ideologinya”.

kuasaan pada pemerintahan propinsi tetapi bukan karena alasan SDM, melainkan karena

Persoalannnya bahwa perubahan pola hu- sebelum ke-Indonesia-an terwujud sebenar- bungan tersebut tidak pernah diletakkan pada

nya telah tumbuh kekuasaan-kekuasaan lo- akar persoalan yang sebenarnya, bahkan ba-

kal. Pemikiran seperti ini bersumber pada nyak kalangan kemudian berbeda pandangan

filosofi kekuasaan yang bersumber pada tentang akar problematik itu sendiri. Bebe-

daerah, bukan pada pemerintahan pusat, se- rapa kalangan menganggap otonomi daerah

hingga pengambilalihan kekuasaan oleh pu- telah salah diletakkan pada daerah kabupa-

sat dalam sistem sentralistik selama ini telah ten/kota dan menginginkan pemerintahan

menimbulkan banyak ketegangan dan kon- propinsilah yang seharusnya lebih dahulu

flik.

Heri Kusmanto et al

Tradisi Kekuasaan dan Otonomi Desa

Bagi pihak yang menerima otonomi daerah diletakkan pada pemerintahan kabupaten /kota, menyatakan bahwa bila titik berat oto- nomi daerah pada pemerintahan propinsi maka kekhawatiran terjadinya hubungan eks- ploitasi oleh pemerintahan propinsi terhadap pemerintahan kabupaten/kota akan terulang lagi seperti masa Orde Baru. Selain itu ada- nya pemerintahan propinsi yang identik de- ngan kelompok etnik tertentu yang menjadi kelompok mayoritas di propinsi tersebut di- khawatirkan memicu separatisme dan mem- buka peluang penindasan terhadap kelompok minoritas.

Beberapa arus utama pemikiran yang saling bertentangan sangat jelas mendasarkan pemi- kiran otonomi daerah atau desentralisasi pada persoalan kekuasaan dan birokrasi pemerin- tahan suatu pendekatan yang berpusat pada negara dengan menekankan pada “Bureau- cratic Power Oriented” (orientasi pada ke- kuasaan birokrasi) atau “Autonomy Within Power” (otonomi itu tentunya kekuasaan). Pengedepanan pendekatan ini menimbulkan akibat pada formalisasi politik daerah dalam bentuk pembuatan dan penegakan regulasi daerah. Orientasi pada regulasi membuat oto- nomi daerah bias elite, apalagi otonomi daerah telah terperangkap dalam format demokrasi liberatif-delegatif (suatu demo- krasi liberal yang dijalankan dengan sistem perwakilan) yang berpilarkan pada partai politik, sehingga kepentingan lokalitas atau- pun rakyat tidak terjamin dalam domain poli- tik yang lebih luas.

Ketidakterjaminnya kepentingan rakyat men- jadi fenomena umum yang menyakitkan, rak- yat menjadi korban dari lahirnya regulasi- regulasi baru yang diciptakan oleh elite dae- rah yang cenderung “high cost economy” (perda-perda yang dilahirkan terutama me- ngenai pajak daerah dan retribusi yang baru sehingga kegiatan ekonomi makin dibebani biaya tersebut), kebijakan-kebijakan yang ti- dak “pro rakyat” lolos begitu saja dari kala- ngan legislatif. Pilar demokrasi pada partai politik yang masih menganut sistem sentra- listik menjadi dasar munculnya demokrasi perwakilan yang tidak mengabdi kepada ke- pentingan rakyat daerah.

Agenda kepentingan rakyat daerah menjadi tidak menarik bagi kalangan politisi partai politik, karena arena pergulatan politik se- sungguhnya berada di pusat bukan di daerah. Selain itu, sudah menjadi sesuatu yang fe- nomenal bila pemilu dijalankan dengan sis- tem proporsional (dengan berbagai variannya sekalipun) lebih memperkuat kekuasaan elite partai dibandingkan konstituennya, atau lebih mengutamakan keterwakilan aliran ideologis dibandingkan keterwakilan publik daerah.

Keterbatasan demokrasi-delegatif ketika ter- jadi “legislative heavy” (kekuasaan lebih be- sar di pihak legislatif) seringkali menimbul- kan politik transaksional (politik tawar mena- war) yang melibatkan antara pihak legislatif dengan pihak eksekutif dan kalangan birok- rasi. Sudah bisa ditebak bahwa politik tran- saksional akan mengalahkan kepentingan konstituen, karena yang dimenangkan adalah kepentingan “rent seeking” (memburu rente) dari kalangan elite-elite daerah guna mem- perkaya diri sendiri dan dijadikan modalnya untuk menapaki karir politik menuju jenjang yang lebih tinggi.

Adanya politik transaksional yang bermuara pada “money politics” menghasilkan “raja-ra- ja kecil”, oligarkhi semu antara legislatif de- ngan eksekutif (apabila tawar menawar me- menuhi kesesuaian kedua belah pihak, maka otomatis terjadi persekongkolan) membuat posisi Bupati dan Walikota menjadi “kuat” sesuai dengan kemampuan dalam membiayai transaksi politiknya. Fenomena yang demi- kian melahirkan istilah baru bagi desentrali- sasi yaitu desentralisasi korupsi dan otonomi daerah menjadi terperangkap ke dalam arena “bad governance” (tata pemerintahan yang buruk). Korupsi meruap dalam banyak sektor dalam kapasitas yang tidak pernah kita ba- yangkan semula. Berbagai media telah meng- ungkap banyak kebobrokan yang berakhir di tingkat pengadilan maupun yang tidak.

Selain itu, orientasi pada kekuasaan sangat erat kaitannya dengan masalah pembagian keuangan. Banyak kalangan akademisi mau- pun praktisi yang menggunakan logika serta indikator ekonomi dalam merumuskan kon- sep otonomi daerah, sehingga banyak pemba- hasan sangat bias ekonomi. Paradigma yang berpikir otonomi sebagai “automoney” (oto-

Heri Kusmanto et al Tradisi Kekuasaan dan Otonomi Desa

nomi diartikan sebagai kebebasan mengelola keuangan) mendorong pemerintahan daerah lebih sibuk menggali sumber-sumber penda- patan dengan cara mengeksploitasi retribusi atau pungutan lainnya dengan dalih otonomi daerah, sehingga pada akhirnya semakin memberi beban kepada masyarakat.

Tradisi kekuasaan dan birokrasi tidak hanya hidup di kalangan pemerintahan, namun me- luas dan menjebak berbagai kalangan aka- demisi dalam mendebatkan problematika o- tonomi daerah. Akibatnya para pengamat, praktisi maupun akademisi dalam memaknai otonomi daerah telah terperangkap dalam rimba persoalan. Sudut pandang mereka yang menempatkan akar persoalan pada kekuasaan dan uang yang menyebabkan ruwetnya per- soalan otonomi daerah. Selayaknya otonomi daerah dipandang sebagai upaya demokrati- sasi, bukan sekedar merombak pola hubung- an pemerintahan, tetapi menyangkut pola hu- bungan masyarakat dengan pemerintahan. Suatu demokrasi yang berbasiskan kepada kedaulatan rakyat, bukan kebebasan kewe- nangan birokrasi daerah atau sistem pemerin- tahan daerah, sehingga ditempatkan pada level pemerintahan manapun otonomi itu a- kan bermanfaat bagi rakyat daerah.

Otonomi daerah seharusnya dimaknai se- bagai otonomi bagi seluruh “stake holder” sistem kebangsaan (seluruh elemen bangsa), baik pemerintahan, pasar maupun civil society (masyarakat/rakyat). Oleh karena itu implementasi otonomi daerah selayaknya di- barengi dengan sistem pemilihan langsung terhadap wakil-wakil rakyat yang akan duduk di eksekutif maupun legislatif (konse- kuensinya berarti sistem distrik), dengan demikian hak rakyat akan lebih dapat terma- nifestasi untuk ikut mengambil bagian dalam pemerintahan dan mengontrolnya secara terus menerus. Namun pada kenyataannya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 itu sendiri berparadigma kekuasaan dan keuang- an pemerintahan semata, tidak menyangkut secara menyeluruh tentang otonomi rakyat sebagai basis demokrasi, bahkan UU No. 32/2004 dan UU No. 33/ 2004 yang meng- atur lebih rinci persoalan pemerintahan dae- rah masih belum banyak beranjak dari para- digma itu.

Pada situasi umum sistem perundang-un- dangan dan kenyataan seperti itulah otonomi desa dilaksanakan, sehingga dapat diduga bahwa otonomi desa akan mesti menanggung tradisi kekuasaan dan birokrasi yang tidak ada habisnya. Para pejabat kabupaten sering- kali memaknai otonomi desa dengan pan- dangan yang sangat sederhana dengan me- ngatakan demokrasi sudah berlangsung de- ngan baik dengan berjalannya pemilihan Ke- pala Desa secara langsung dalam situasi yang relatif tertib dan aman. Hal ini mencermin- kan pemahaman yang dangkal tentang otono- mi dan demokrasi.

Mengenai kewenangan Kepala Desa dan hak desa untuk memperoleh pendapatan sesuai Undang-Undang masih belum dapat diwu- judkan, bahkan kecenderungan lama masih tatap berlangsung yaitu menempatkan desa sebagai obyek pembangunan, sehingga tugas Kepala Desa masih tetap untuk melayani kepentingan dan kekuasaan pihak kabupaten.

Pendekatan dan Metode

Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan sistem politik dan budaya politik. Fokusnya adalah pada sistem politik dan budaya politik yang ada di desa dan sampai tingkat kecamatan. Metode pencarian data yang digunakan adalah studi pustaka serta studi dokumen-dokumen. dengan cara analisis evaluatif serta analisis struktural dan analisis kultural.

Kekuasaan Kecamatan

Ketika otonomi daerah dilaksanakan dan memberi otonomi pada desa dengan format demokrasi delegatif yang diwujudkan dalam pembentukan BPD (Badan Perwakilan De- sa), maka peranan Camat menjadi dimarjinal- kan. Apalagi UU No. 22/1999 telah mengha- puskan Camat sebagai penguasa tunggal di wilayahnya. Kecamatan tidak lagi berperan sebagai perangkat pemerintah nasional di wi- layah Kecamatan, melainkan sebagai staf Bupati dalam Yurisdiksinya. Oleh karena itu ketentuan ini telah membuat mengambang pemerintahan Kecamatan. Pemerintah Desa dapat secara langsung berhubungan dengan Pemerintahan Kabupaten dan kecenderungan seperti itu telah muncul di berbagai propinsi,

Heri Kusmanto et al

Tradisi Kekuasaan dan Otonomi Desa

tentunya hal ini akan menguras energi desa bila banyak persoalan mesti diselesaikan di Kabupaten, padahal persoalan tersebut dapat diselesaikan di tingkat Kecamatan.

Para Camat pada umumnya berusaha mela- kukan sesuatu guna “memulihkan” peranan- nya seperti semula, walaupun sebenarnya mereka bingung untuk melakukan sesuatu, karena landasan tindakan mereka tidak lagi ditopang oleh hukum positif. Namun pada beberapa Kecamatan proses pemerintahan pada umumnya masih berjalan seperti biasa dan bahkan para Camat berupaya menunjuk- kan sikap bahwa mereka masih “menguasai” Pemerintahan Desa.

Berlangsungnya sikap seperti itu menim- bulkan keluhan pada Camat bahwa adanya BPD dapat mengganggu jalannya pemerin- tahan. Adanya BPD yang agresif mendorong Kepala Desanya agar tidak tunduk pada Ca- mat menjadi persoalan tersendiri bagi Camat. Oleh karena itu Camat berupaya juga mela- kukan proses pendekatan dua arah yaitu men- dekati Kepala Desa guna melakukan konsoli- dasi pemerintahan dan pembangunan, serta masih mengakui bahkan memperkuat LKMD (yang sengaja tidak dihapuskan, kasus di beberapa kabupaten khususnya di kabupaten Deli Serdang) guna menjaga status quo. Pada sisi lain Camat secara informal melakukan pendekatan pada BPD agar tidak bersikap ag- resif melakukan “campur tangan” dalam Pe- merintahan Desa atau hubungannya dengan pihak Kecamatan, sehingga pendekatan Ca- mat di desa-desa kadang dipandang “meng- anakemaskan” BPD.

Namun “kehilangan kekuasaan” bagi Camat juga dapat menempatkan desa dalam posisi yang tidak simetris dengan arah dan gerak pembangunan yang diinginkan oleh pemerin- tahan Kabupaten, sehingga memberikan peluang ketidaksinergian pembangunan. Adanya tradisi kekuasaan dan birokrasi yang kuat alasan kesinergian dijadikan pijakan untuk memper- kuat posisi Camat. Pada umumnya Camat merasa bahwa Kepala Desa seharusnya men- jadi bawahan Camat, karena apabila tidak, garis komando Camat akan terputus dan Ca- mat tidak dapat lagi mengatur Kepala Desa. Sikap dan pikiran para Camat seperti ini jelas menunjukkan bahwa Camat masih hidup da-

lam tradisi kekuasaan dan birokrasi yang feo- dalistik.

Posisi Camat menurut UU No. 22/1999 ter- gantung kepada “seni memimpin” demikian pernah diungkapkan oleh salah satu Camat, artinya upaya menegakkan wibawa (kekuasa- an) Camat sangat tergantung pada kemam- puan pendekatan Camat secara informal un- tuk menghadirkan eksistensinya dengan me- manfaatkan kekurangpengetahuan aparat desa dan masyarakatnya tentang otonomi desa.

Namun keadaan ini tentunya akan bersifat temporer dan keberhasilannya sangat ter- gantung pada kemampuan individual Camat. Oleh karena itu nasib Camat sangat tergan- tung kepada Bupatinya, dalam hal ini banyak bupati di Propinsi Sumatera Utara yang memiliki pemikiran untuk menguatkan posisi para Camatnya dengan alasan bahwa ke- mampuan Pemerintahan Desa masih perlu di- bina, sehingga Bupati memposisikan Camat sebagai Pembina Pemerintahan Desa.

Selain itu, dapat ditelusuri bahwa alasan lain penguatan posisi Camat sehubungan dengan upaya pemungutan pajak dan retribusi, serta sumber-sumber pendapatan lain yang akan berjalan tidak efektif apabila Camat tidak dalam posisi yang kuat seperti semula. Oleh karena itu penempatan Camat sebagai Pem- bina sebenarnya lebih banyak dimaknai bah- wa Camat merupakan kepanjangan tangan dari Bupati, bahkan pada praktek masa lalu Camat juga menjadi kepentingan berbagai kekuatan sosial-politik maupun sosial-ekono- mi. UU No. 32/2004 agaknya sangat tanggap terhadap posisi Camat yang serba mengam- bang itu, sehingga pada pasal 126 ditegaskan kewenangan Camat selain sebagai koordina- tor pemerintahan juga merupakan Pembina Desa.

Sebenarnya peran Camat sebagai mediator antara “pihak luar” dengan desa tidak bersifat buruk, namun seringkali peran tersebut men- jadi buruk ketika Camat lebih mengedepan- kan kepentingan para penguasa daripada ma- syarakat desa, atau bahkan karena terlalu ber- pihak maka Camat berfungsi “meredam” ke- pentingan rakyat desa. Padahal Camat seba- gai mediator atau intermediary institutions (lembaga yang berperan sebagai jembatan

Heri Kusmanto et al

Tradisi Kekuasaan dan Otonomi Desa

kepentingan Pemerintahan Desa dengan Pe- merintahan Kabupaten) dapat berperan lebih positif dengan mengembangkan sinergi Pe- merintahan Desa dengan Pemerintahan Ka- bupaten, tentunya bila ada pendelegasian ke- wenangan Bupati kepada Pemerintah Keca- matan. Untuk itu Bupati perlu memposisikan peran Camat antara lain, pertama, Camat ti- dak hanya menghubungkan kepentingan Bu- pati kepada Pemerintahan Desa, namun seca- ra seimbang juga menghubungkan kepenting- an Pemerintahan Desa kepada Bupati. Legiti- masi peran Kecamatan akan bisa ditegaskan manakala Camat berhasil membuat kedua kepentingan tersebut saling dapat dimenang- kan. Suatu peran yang sangat sulit dikerjakan bila visi Bupatinya otoritarian dan feodal.

Kedua, peran Pemerintah Kecamatan harus dikembangkan sebagai wahana koordinasi sektoral dan spasial (pembangunan dijalan- kan pada bidang-bidang dan wilayah ter- tentu), artinya pelaksanaan pembangunan se- harusnya bersifat terpadu, untuk memadu- kannya maka Camat yang mesti berperan. Seringkali implementasi kebijakan Pemerin- tahan Kabupaten bersifat sektoral dan dilak- sanakan pada desa yang cenderung terseg- mentasi secara spasial (pembangunan dija- lankan pada desa-desa tertentu dengan prog- ram terbatas).

Ketiga, peran pemerintahan yang cenderung administratif selayaknya digeser menjadi pe- ran pelayanan publik yang bersifat nyata. Se- perti peran Camat dalam pengembangan eko- nomi, pendidikan, demokrasi, kesejahteraan sosial dan sebagainya, sehingga sosok Keca- matan bukanlah sosok birokrasi yang merak- sasa. Oleh karena itu “seni memimpin” (da- lam arti manajemen pembangunan yang ter- padu) tetap dibutuhkan terutama dalam menggalang kekuatan “luar” agar dapat men- jadi energi positif guna mengembangkan ke- hidupan di desa-desa.

Kinerja Pemerintahan Desa

Pemerintahan Desa seharusnya menjadi ke- kuatan yang signifikan dalam pengelolaan masyarakat secara mandiri sesuai dengan keinginan masyarakat, namun pada kenyata- annya banyak desa melangsungkan kehidup- annya dengan arah yang telah ditentukan,

bahkan pemerintahannya cenderung hanya menjalankan saja kepentingan-kepentingan dari lembaga Supra Desa, yang juga tidak jarang diboncengi oleh kepentingan dari kekuatan-kekuatan sosial politik dan ekonomi.

Pada umumnya kegiatan Pemerintah Desa hanya terbatas pada fungsi pelayanan admi- nistratif semata, seperti pelayanan KTP, surat keterangan pindah/masuk, surat kelahiran/ kematian dan sebagainya, sehingga dalam benak mereka tertanam pemikiran bahwa su- rat menyurat tersebut dianggap sebagai fung- si utama pemerintahan desa yang harus dipe- nuhi oleh Kepala Desa.

Berbagai jenis desa, seperti desa pertanian, perkebunan, nelayan maupun terutama indus- tri urusan birokrasi surat menyurat menjadi acuan penting dalam memandang kinerja Pe- merintahan Desa. Biasanya mereka memu- ngut biaya untuk mengurus surat menyurat ini. Biaya pengurusan surat menyurat me- mang telah ditetapkan, misalnya ditetapkan biaya Rp 5.000,- untuk pembuatan KTP teta- pi penetapan sepihak seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan biaya pengurusan di ting- kat desa, sehingga mendorong naiknya biaya pembuatan yang disesuaikan dengan keada- an. Masyarakat akan memandang buruk jika pengurusannya lama dan mahal, sebaliknya akan memuji jika berlangsung cepat dan mu- rah. Begitulah cara pandang masyarakat da- lam menilai kinerja Pemerintahan Desa.

Pada umumnya masyarakat desa khususnya di Propinsi Sumatera Utara baik di desa-desa pertanian, industri, perkebunan maupun pan- tai mengatakan bahwa proses pelayanan ad- ministratif merupakan tolak ukur utama kinerja pemerintahan desa, selain pembangu- nan fisik yang menjadi tolak ukur keberha- silan Pemerintahan seperti sarana pengairan, pengerasan jalan, pengaspalan jalan, pemb- uatan jembatan dan sebagainya. Bagi peme- rintahan desa atau pemerintahan manapun di Indonesia, keberhasilan pembangunan sering diidentikan dengan pembangunan fisik. Ma- syarakatpun terbawa-bawa dalam penilaian seperti ini, sehingga dalam banyak musyawa- rah di LKMD seringkali alokasi dana Bang- des digunakan untuk pembangunan fisik.

Heri Kusmanto et al

Tradisi Kekuasaan dan Otonomi Desa

Ironisnya, seringkali pembangunan yang di- jalankan di desa tidak sesuai dengan hasil musbangdes dan yang lebih parah lagi dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan penga- wasan kurang melibatkan pihak desa, prog- ram-program pembangunan berjalan begitu saja dari lembaga-lembaga supra desa. Pada umumnya pemerintahan desa tidak memiliki visi, misi dan rencana strategis yang mema- dai untuk menjalankan pemerintahannya, se- hingga dapat membangun masyarakat desa dari berbagai sisi. Sebaliknya elemen-elemen masyarakat desa tidak terlalu peduli dengan kinerja Kepala Desa, sepanjang Kepala Desa tidak mengganggu urusan perut dan keama- nan warganya. Ketiadaan visi, misi dan ren- cana strategis pembangunan menyebabkan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa kehilangan orientasi, sehingga persoalan kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan berbagai masalah sosial lain tidak dapat dia- tasi oleh masyarakat desa. Keadaan ini teru- tama erat berkaitan dengan kualitas SDM aparat pemerintah desa, lemahnya peran lembaga-lembaga Desa baik Kepala Desa, BPD (Badan Perwakilan Desa) dan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), bahkan lembaga-lembaga ini nyaris tidak berfungsi dengan benar.

Ketidakmampuan SDM dan fungsi kelemba- gaan desa dalam membangun dan member- dayakan desa, diperparah dengan dukungan dana operasional dan pembangunan yang ke- cil dan tidak jelas, bahkan masyarakat meng- anggap bahwa pemerintahan Orde Baru ma- sih lebih baik dalam mengelola desa, karena ada kelancaran dana Bantuan Desa, Bantuan Presiden, dan berbagai macam program pem- bangunan dan bantuan turun ke desa.

Selain itu ketidakmampuan SDM juga ber- kaitan dengan minimnya tingkat pendapatan aparat desa. Kecilnya penghasilan formal mendorong mereka bersama-sama pihak Ke- camatan bahu membahu membela kepenting- an dari “luar” untuk memperoleh tambahan penghasilan, khususnya bersimbiosis dengan kalangan pengusaha. Selain itu, upaya-upaya pemungutan pajak dan retribusi seperti PBB yang diemban oleh aparat desa, tidak signifi- kan dapat meningkatkan penghasilan mereka. Namun bagi desa yang daerahnya banyak ke- giatan usaha dan industri, kelihatan aparat

desanya dapat hidup layak, bukan dari berba- gai pungutan resmi, namun dari “seni me- mimpin”, seni itu berarti mengupayakan ber- bagai pendekatan informal untuk memper- oleh dana, bahkan dengan menjual jasa pela- yanan tertentu yang dapat diupayakan oleh seorang Kepala Desa, hal ini merupakan sua- tu kreatifitas dan bahkan keberanian aparat untuk keluar dari jalur hukum dalam meng- gali potensi ekonomi.

Seni memimpin itu menghasilkan dana ope- rasional desa yaitu berupa: iuran pengusaha, iuran tahunan masyarakat, dermawan, alokasi dana desa dari Kabupaten dan jasa aktifitas sosial-ekonomi. Seni itu juga merupakan ke- giatan memberikan jasa aktivitas sosial-eko- nomi ke berbagai pihak, sehingga mereka memperoleh penghasilan untuk dapat menik- mati hidup secara layak yang bukan secara professional dijamin oleh hukum positif dan pemerintahan.

Seharusnya Pemerintah Kabupaten mengalo- kasikan penerimaan pajak dan retribusi dae- rah paling sedikit 10% bagi desa sesuai de- ngan ketentuan UU No. 34/2000, tetapi alo- kasi dana tersebut banyak yang tidak jelas dan dana Bandes pun mengalami penyusutan penerimaan dari sekitar Rp 10 juta pada masa Habibie menjadi sekitar Rp 5 juta per tahun pada masa kini, dana sebesar itu pun dibawa dari Kabupaten menuju Desa “seperti mem- bawa es”, dana tersebut menyusut sesampai- nya di desa. Kemiskinan, kelangkaan dana desa dan kualitas SDM menjadi kendala uta- ma pemberdayaan masyarakat desa, sehingga jangankan isu penyelenggaraan “good gover- nance” (tata pemerintahan yang baik), perso- alan peningkatan kinerja pemerintahan pun sulit kita harapkan, masyarakat desa betul- betul diposisikan sangat tergantung kepada pihak luar.

Mimpi Demokrasi Desa

Masyarakat politik desa merupakan masya- rakat sipil, partai politik dan lembaga-lemba-

ga formal desa. Pada alam demokrasi kon- temporer yang selalu merujuk pada demo- krasi partisipatif (Progressive Democracy), masyarakat sipil atau Civil Society menjadi indikator utama untuk menentukan derajat demokrasi dapat berlangsung pada suatu ma-

Heri Kusmanto et al

Tradisi Kekuasaan dan Otonomi Desa

syarakat. Eksistensi masyarakat sipil diang- gap demokratis apabila memiliki kemampuan untuk menentukan nasib dan masa depannya sendiri. Hal ini berarti bahwa akses, suara dan kontrol sosial menjadi penting untuk me- wujudkan kemandirian masyarakat dalam mengambil keputusan (public policy).

Gambaran masyarakat sipil di desa tidak da- pat dilepaskan dari konteks politik yang me- lingkupinya. Konteks politik tersebut meru- pakan struktur politik nasional dan struktur politik otentik lokal. Konteks pertama meru- pakan desain politik nasional yang memiliki implikasi terhadap masyarakat sipil hingga sekarang. Bingkai politik Orde Baru yang membuat partisipasi menjadi mati dan format politik hanya berupa mobilisasi tercermin da- lam minimnya akses masyarakat untuk me- ngeluarkan suara kepentingannya, sehingga suara rakyat tidak didengar dan hilanglah kontrol sosial. Selain itu konteks politik otentik lokal yang berkembang dalam para- digma demokrasi delegatif (demokrasi per- wakilan) melahirkan politik transaksional yang dipenuhi oleh “money politics”, sehing-

ga mengabaikan suara kepentingan konsti- tuennya.

Secara umum ditemukan partisipasi politik masyarakat desa yang lemah, baik dalam proses pembuatan kebijakan lokal desa mau- pun untuk mengatur aktivitasnya sendiri. Par- tisipasi lebih banyak dimaknai sebagai se- buah proses mobilisasi masyarakat untuk suatu kepentingan pembangunan dengan mengatas- namakan “nusa dan bangsa”. Lemahnya par- tisipasi masyarakat juga disebabkan tingkat pengetahuan yang mereka miliki tentang oto- nomi daerah sangat rendah. Biasanya hal ini dikaitkan dengan rendahnya tingkat pendidi- kan, namun paling banyak ditemukan jawab- an dari masyarakat bahwa pemerintah tidak melakukan sosialisasi otonomi daerah atau- pun otonomi desa, bahkan banyak ditemukan Kepala Desa sendiri kurang mengetahui di- mensi peraturan tentang itu, sekalipun di desa yang mengalami industrialisasi. Masya- rakat desa hanya peduli bahwa sekarang kon- disinya lebih buruk karena harga barang, ter- utama kebutuhan pokok terus naik, kerusu- han terjadi dan diberitakan di televisi, mi- nyak tanah dan solar sulit didapat, listrik na- ik, sulit mencari pekerjaan dan berbagai ke-

luhan yang bermuara pada kesimpulan bah- wa dulu hidup lebih enak, masyarakat “telah dibiasakan” oleh orde baru untuk berpikir secara pragmatis.

Sebenarnya dengan adanya UU No. 22/1999 media partisipasi masyarakat telah dibuka melalui kehadiran partai politik. Akan tetapi tidak tumbuhnya partai-partai politik sebagai partai kader, dan banyaknya partai baru yang tidak memiliki kesiapan untuk menjalankan fungsinya dengan baik, serta sistem kepar- taian yang sentralistis menyebabkan kehadir- an partai politik di desa sebatas struktur organisasi yang hidup menjelang pemilu karena harus kampanye.

Selama ini oleh Orde Baru, fungsi partai politik dipereteli hingga partai hanya menjadi agen untuk memobilisasi massa. Akibatnya partai sebagai inti dari infrastruktur politik secara ideal yang seharusnya menjadi media hubungan kekuasaan antara rakyat dengan suprastruktur politik menjadi tidak berfungsi. Ranting-ranting partai politik memang ada di beberapa desa (tidak semua partai politik dan desa), tetapi dalam kegiatan politik sehari- hari (everyday life politics), khususnya dalam musyawarah desa atau diskursus desa partai politik seperti tenggelam dan tidak mengam- bil peranan.

Kegiatan partai politik menjadi semarak kare- na kegiatan kampanye dengan memasang span- duk, pamplet, stiker, membagi kaos, memba- ngun posko atau menggelar atribut partai lain- nya. Kegiatan perbincangan menjadi lebih terbuka dengan topik kampanye yang baru mereka ketahui dan mereka interpretasikan dalam sudut pandang berbeda-beda. Temuan kemenangan Golkar di beberapa desa men- unjukkan bahwa memilih Golkar adalah ke- biasaan ritual lima tahunan sekali seperti yang biasa mereka lakukan pada masa orde baru. Ada kesukarelaan yang aneh, semacam ketidakpedulian terhadap “track record” Gol- kar pada masa lalu, semacam tercipta hege- monic compliance (hegemoni kerelaan atau kerelaan yang muncul karena kekuasaan) pa-

da masyarakat desa karena sudah selama ini masyarakat selalu digiring untuk tetap dan selalu memilih Golkar.

Heri Kusmanto et al

Tradisi Kekuasaan dan Otonomi Desa

Ada desa-desa yang para tokohnya atau Ke- pala Desa mengidentifikasi diri sebagai “wong cilik” menolak memilih Golkar dan berupaya membela Pemerintahan Megawati, bahkan kemerosotan suara PDIP pada Pemilu Legislatif 1999 dikatakan akibat pemerintah- an yang ditopang kabinet Pelanginya Mega- wati tidak sepenuhnya mengabdi. Bahkan fenomena desentralisasi korupsi dianggap se- bagai konspirasi menjelek-jelekkan pemerin- tahan Megawati.

Sebenarnya kedua fenomena tersebut di atas menunjukkan perilaku politik masyarakat ki- ta kurang idelogis dan cenderung pragmatis, pragmatisme perilaku politik ini cenderung berkembang luas sebagai respon atas feno- mena politik transaksional. Bahkan pragma- tisme politik ini melanda BPD sebagai alter- natif lain akses politik masyarakat desa, su- atu lembaga formal desa yang berfungsi se- bagai badan legislatif desa. UU No. 22/1999 lahir dalam suasana liberalisasi politik yang cukup kental. Salah satu gagasan yang coba dimunculkan adalah membangun tata peme- rintahan desa yang lebih demokratis. Salah satu dari gagasan tersebut diwujudkan dalam pasal tentang Badan Perwakilan Desa. Rasio- nalisasi atas eksistensinya banyak didasarkan pada faktor historis atas dominasi pemerin- tahan desa, dan pemerintah supra desa, dalam mengintervensi dinamika sosial politik yang berkembang di desa. Tuntutan untuk memba- ngun mekanisme checks and balances (saling kontrol dan berkeseimbangan) serta partisi- pasi masyarakat yang lebih luas dalam kebi- jakan tentang desa disalurkan lewat BPD. Kehadiran BPD sebagai tuntutan regulatif untuk menjadi aktor baru di desa sebagai ke- kuatan pengimbang aktor pemerintah desa, menjadikan BPD berpeluang secara luas d- alam proses politik desa. Di sinilah urgensi melihat BPD sebagai entitas masyarakat po- litik di level desa. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa BPD dirancang untuk terlibat pada keseharian politik desa.

Secara normatif BPD dikonsepkan sebagai lembaga perwakilan masyarakat desa yang memiliki fungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta mela- kukan pengawasan terhadap penyelengga- raan pemerintahan desa. Idealnya kehadiran

BPD akan membawa perubahan dalam dina- mika sosial dan politik desa yang selama ini bergerak secara sentralistis tanpa ada meka- nisme checks and balances serta adanya pe- mandulan partisipasi masyarakat.

Sebagai elemen penting yang dianggap bisa menjadi motor penggerak demokratisasi de- sa, kehadiran dan kinerja BPD ternyata ma- sih dilingkupi sejumlah problem kontradiktif yang berpotensi menjadi bumerang bagi pro- ses demokratisasi. Dalam perjalannya yang masih muda, harapan agar BPD mampu lang- sung berperan secara maksimal, secara u- mum belum dapat dipenuhi. Sejumlah prob- lematika justru terlihat jelas. Dalam beberapa hal kehadiran BPD justru menimbulkan keru- wetan-keruwetan pada kehidupan sosial dan politik desa.

Problematika yang pertama adalah kapasitas SDM dari anggota BPD untuk menggerakkan BPD pada fungsinya masih belum berjalan, persoalannya tidak selalu bermuara pada tingkat pendidikan, ada juga persoalan ke- miskinan sehingga jangankan menggerakkan BPD, Pemerintah Desa pun tidak berfungsi maksimal, tidak punya kantor tetap kecuali di rumah Kepala Desa yang sangat sederhana, bahkan seringkali pemerintahan dijalankan pada malam hari, sekedar pelayanan surat menyurat, karena pada pagi harinya semua orang bekerja mencari nafkah, termasuk Ke- pala Desanya. Sekalipun ada prosentase yang agak besar warga yang memiliki pendidikan tingkat menengah atas ataupun sarjana, BPD pun dibentuk sekedar ada karena tidak ada komitmen yang kuat untuk memfungsikan BPD, bahkan banyak pihak khususnya dari Supra Desa sebenarnya menginginkan BPD dihapus.

Selain itu, menyangkut kepasitas SDM BPD kurang memiliki pengetahuan legal formal maupun pengetahuan praktis tentang upaya memfungsikan BPD, bahkan mereka men- duga-duga BPD tidak lain identik dengan lembaga legislatif lain.

Kedua, sumber dana operasional BPD tidak jelas bahkan secara legal formal tidak dirinci BPD mesti memperoleh alokasi dana sebera- pa besar. Para Kepala Desa dan anggota BPD sendiri mengeluhkan ketiadaan dana operasi-

Heri Kusmanto et al Tradisi Kekuasaan dan Otonomi Desa

onal BPD, sehingga menghalangi mereka mungkin diharapkan untuk menguatkan ma- bekerja. Para Kepala Desa pada umumnya

syarakat sipil adalah organisasi sosial. Na- berkeberatan bila harus mendanai BPD. Me-

mun implikasi dari “kanalisasi politik” orde nurut mereka sumber pendapatan Desa dari

baru menyebabkan organisasi sosial yang ada tahun ke tahun tidak berubah bahkan cende-

tidak tumbuh secara “bottom up”. Berbagai rung turun, sedang lembaga formalnya ber-

organisasi sosial seperti organisasi massa tambah dan mesti didanai.

atau kepemudaan, atau bahkan koperasi di- rancang untuk menjadi kantong-kantong po-

Ketiga, persoalan agresifitas BPD, pada be- litik (political enclaves) pendukung Orde Ba- berapa BPD yang aktif dan memiliki kesada-

ru.

ran tentang fungsi kontrolnya terhadap peme- rintahan desa, terkesan bersikap provokatif

Fenomena lemahnya organisasi sosial guna dan melakukan kontrol tanpa mekanisme a-

membangun dan mengembangkan civil so- tau kemampuan tehnik untuk mengukur seca-

ciety belum dirasakan manfaatnya, karena or- ra obyektif kinerja pemerintahan desa, bah-

ganisasi yang ada selama ini seringkali men- kan ada dikeluhkan sikap provokatif tersebut

jadi beban daripada tali penolong kehidupan merupakan politik transaksional untuk men-

masyarakat desa, bahkan isu-isu premanisme cari keuntungan pribadi.

dan kegiatan illegal seringkali dikaitkan de- ngan kehadiran organisasi sosial atau kepe-

Keempat, formalisme yang melanda BPD cen- mudaan. Organisasi seperti ini semakin ba- derung menambah daftar panjang bias elite

nyak ditemukan di desa-desa yang semakin desa dalam demokrasi delegatif (demokrasi

terindustrialisasi dan kehadirannya justru men- perwakilan). Persoalannya adalah terletak pada

jadi penghambat gerakan membangun demo- kemampuan BPD dalam menggalang perbin-

krasi. Oleh karena itu harapan otonomi desa cangan dengan masyarakat desa, sehingga aspi-

dapat menjadi variabel perubahan sosial mes- rasi BPD belum tentu menjadi suatu mayoritas

ti melalui jalan panjang. keinginan rakyat dapat dibicarakan lebih dahulu dalam masyarakat desa. Dan, kelima, a-

Membangun Kemandirian Ekonomi

sosiasi BPD yang dibangun belum memiliki ja- ringan yang kuat, kode etik dan sarana berko-

Persoalan yang menyangkut struktur ekono- munikasi yang sangat penting guna mengem-

mi desa adalah melepaskan diri dari keter- bangkan wancana-wacana demokrasi, serta

gantungan terutama sebagai akibat eksploita- penggalangan kerjasama.

si yang dilakukan oleh pemilik kapital dan golongan pemerintah. Kekuatan ekonomi de-

Selain BPD ada media lama yang masih di- sa masih di bawah tekanan krisis yang berat pertahankan di beberapa kabupaten di Pro-

dan secara struktural upaya memfasilitasi pa- pinsi Sumatera Utara, yaitu LKMD. Pada da-

ra pelaku ekonomi desa sangat terbatas dila- erah lain LKMD dihapuskan karena LKMD

kukan oleh aparat desa, bahkan kehidupan berkembang lebih sebagai pemberi legitimasi

ekonomi desa kurang mendapat respon dari Kepala Desa dalam menjalankan roda peme-

Pemerintah Desa sebagai pemilik otoritas rintahannya. LKMD dianggap masih penting

dan akses ekonomi. Hal ini dapat dimengerti sebagai wadah aspirasi desa, LKMD diang-

karena kapasitas aparat desa sangat terbatas, gap fungsionil dalam membentuk atau menen-

tetapi perhatian dari pemerintah supra desa tukan kebijakan-kebijakan desa, walaupun

yang memiliki kapasitas untuk membangun terbukti bias elite desa.

dan membuat jaringan usaha masyarakat de- sa tidak dilakukan, bahkan sebaliknya peme-

Dalam banyak hal keputusan untuk memper- rintahan supra desa seperti pemerintahan ka- tahankan LKMD bisa dipahami karena le-

bupaten dalam rangka memperbesar PAD- mahnya partisipasi masyarakat dan masyara-

nya membuat regulasi-regulasi baru baik da- kat cenderung tidak peduli dengan jalannya

lam sektor perijinan usaha maupun retribusi pemerintahan desa. Selain itu ada dugaan

dan pajak daerah malahan menyulitkan per- bahwa dengan mempertahankan LKMD da-

kembangan usaha dan menghambat tumbuh- pat menjadi sumber kekuasaan Kepala Desa

nya iklim usaha khususnya bagi usaha kecil untuk mengimbangi BPD. Media lain yang

yang biasa berbasiskan di desa-desa.

Heri Kusmanto et al Tradisi Kekuasaan dan Otonomi Desa

Selain itu akses para pelaku ekonomi desa KUT yang dialokasikan setiap tahun dengan yang terbatas pada sektor finansial cenderung

cara implementasi program yang mengorga- tidak mampu mengembangkan usahanya ka-

nisir massa petani ke dalam kelompok-ke- rena mereka tidak dapat secara legal melaku-

lompok tani tetap tidak berhasil karena seca- kan peminjaman modal ke pihak Perbankan.

ra struktural pematokan harga dasar gabah Fakta ini dimanfaatkan oleh para pengijon,

yang tidak mengikuti fluktuasi pasar beraki- pedagang, rentenir ataupun usaha-usaha yang

bat sangat fatal terhadap tingkat pendapatan berkedok simpan pinjam ataupun perkreditan

para petani. Selain itu efektivitas KUD ba- rakyat yang menjerat masyarakat desa de-

nyak diragukan dan dalam prakteknya justru ngan rente yang tinggi.

KUD (Koperasi Unit Desa) tidak menolong para petani. Demikian juga dengan KUT

Selama ini pengembangan kegiatan ekonomi (Kredit Usaha Tani) selain terjadi penyele- desa tidak pernah lepas dari campur tangan

wengan pemberian KUT tidak pada yang Pemerintah bahkan beroperasinya sektor fi-

berhak menerimanya, KUT juga tidak mam- nansial perbankan di desa-desa selalu melalui

pu dikembalikan oleh para petani karena para kegiatan Pemerintahan Supra Desa yang

petani gagal memperoleh keuntungan. pada akhirnya menjadi faktor penjerat ma- syarakat desa. Bagi kalangan populis keja-

Beberapa catatan yang ditemukan di bebera- dian ini direkam pada upaya “revolusi hijau”

pa desa menunjukkan cengkeraman rantai yang digerakkan secara nasional oleh Peme-

kaum kapitalis merasuki desa-desa melalui rintah Pusat.

kegiatan penjualan bibit varietas unggul, pu- puk dan obat-obatan modern, sehingga rakyat

Revolusi hijau yang merupakan intervensi desa tidak semakin mandiri malahan semakin negara di sektor pertanian desa dikenal de-

tergantung. Oleh karena itu membangun sis- ngan program Panca Usaha Tani yang diim-

tem pertanian organis merupakan solusi yang plementasikan melalui program BIMAS,

tepat guna memanfaatkan potensi-potensi or- INMAS, INSUS dan SUPRA INSUS dengan

ganik yang ada di pedesaan sehingga para tujuan meningkatkan produksi padi, perluas-

petani di pedesaan dapat mengembangkan an kesempatan kerja dan pendapatan petani.

kemandiriannya.

Program yang bersifat massal ini pada kali terutama telah meningkatkan produksi padi

Beberapa bentuk usaha yang bersifat infor- secara berlipat, namun keberhasilannya dalam

mal (kebanyakan usaha di desa berkembang memperluas kesempatan kerja justru diragu-

secara informal) khususnya yang berkem- kan, karena sistem pertanian kemudian diin-

bang di desa yang padat industri, pada u- troduksi untuk menggunakan alat-alat ataupun

mumnya tidak memperoleh perhatian dari a- mekanisasi pertanian. Selain itu pendapatan pe-

parat desa dan bahkan mereka tidak memper- tani miskin yang kelihatan memang terangkat

oleh perlindungan hukum karena bentuk usa- sebenarnya untuk waktu yang sementara dapat

ha mereka bersifat informal, sehingga usaha- dinikmati, karena pergerakan kenaikan harga-

usaha informal yang berkembang seperti wa- harga bibit varietas unggul, pupuk dan obat-

rung-warung nasi, toko-toko kebutuhan hi- obatan modern tidak diimbangi dengan kenaik-

dup sehari-hari (kedai sampah), barang klon- an harga gabah yang cenderung tetap malahan

tong, tukang pangkas, tukang becak dan usa- pada saat panen-panen raya harga-harga pro-

ha-usaha informal lainnya seringkali diha- duk pertanian menjadi turun. Selain itu kebijak-

dapkan pada kesulitan mengembangkan usa- an yang tidak terkontrol dalam kegiatan impor

ha.

beras menyebabkan harga gabah di tingkat pe- tani menjadi anjlok.

Selain itu, ketika mereka dengan terpaksa ingin melegalkan usahanya, maka upaya me-

Dampak nyata revolusi hijau memperlihatkan nuju formalitas usaha tersebut terbentur ke- bahwa petani kecil semakin tergantung kepa-

pada biaya birokrasi yang tidak sedikit. Pada-

da pihak pasar dan dalam posisi lemah meng- hal formalitas usaha mereka dibutuhkan se- hadapi pasar, bahkan intervensi yang dilaku-

bagai syarat mutlak untuk mengakses pada kan pemerintah untuk menghadapi pasar me-

sektor finansial perbankan yang memiliki fa- lalui pembentukan KUD dan penyediaan

silitas kredit usaha kecil dan menengah yang

Heri Kusmanto et al

Tradisi Kekuasaan dan Otonomi Desa

disediakan oleh Pemerintah dengan bunga yang rendah. Fenomena ini menunjukkan bahwa tidak selalu intervensi pemerintahan terhadap pelaku ekonomi desa berhasil dan memberikan sumbangan positif dalam me- mandirikan ekonomi desa.

Upaya memandirikan dan membangun eko- nomi desa yang kuat juga terbentur pada ke- terbatasan kapasitas pengetahuan teknis para pelaku ekonomi desa, sehingga sektor permo- dalan bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi. Persoalan manajemen usaha, keua- ngan, pemasaran dan pengetahuan jenis u- saha perlu dikembangkan melalui upaya-upa- ya pendampingan, namun perhatian untuk itu menjadi langka karena aparat desa tidak me- miliki visi, misi dan rencana strategis untuk mengembangkan masyarakatnya, mereka ter- biasa hanya menjalankan program-program yang dibebankan kepada mereka oleh lemba- ga-lembaga supra desa sehingga upaya-upaya memandirikan dan membangun ekonomi de- sa seperti mimpi yang sulit diraih.

Pada beberapa daerah telah tumbuh upaya mandiri dalam menggerakkan ekonomi desa melalui Credit Union (CU). Berbagai penga- matan tentang keberhasilan CU terutama CU tumbuh karena kebutuhan dan keinginan ma- syarakat itu sendiri, berbeda dengan KUD yang ditumbuhkan oleh pemerintah. Ciri ter- sebut membuat anggota CU memiliki komit- men yang kuat terhadap CU, sehingga men- jadi energi yang besar agar mereka berhasil dalam usaha dan berhati-hati, serta bersung- guh-sungguh dalam memanfaatkan dana dari CU.

Keberadaan CU memang diketahui oleh apa- rat desa, namun upaya bantuan dan pengem- bangan tidak dilakukan oleh pemerintahan desa ataupun lembaga-lembaga supra desa. Selain itu, keterkaitan restu para pemuka agama terhadap CU merupakan faktor pen- dukung yang memberi wibawa tersendiri ba- gi CU, sehingga kepatuhan dan disiplin para anggota CU dapat dikembangkan dengan baik. Modalitas sosial yang mendukung ke- mandirian tersebut merupakan faktor penting dan sangat menentukan para pelaku ekonomi desa untuk bisa berkembang. Modalitas se- perti itu kadang tidak tumbuh karena selama ini telah diciptakan tingkat ketergantungan

yang tinggi terhadap pihak luar mendorong munculnya mentalitas menunggu, mencari bantuan luar dan ketidak-reatifan masyarakat desa.

Kemiskinan yang absolut juga mendorong mereka menerima apa saja keadaan tanpa melakukan usaha yang sungguh-sungguh un- tuk keluar dari struktur ekonomi yang meng- hambatnya. Sebagian kemudian pergi ke kota menjadi kaum urban yang mengisi pekerjaan di sektor industri dan sektor informal perko- taan, ada juga yang menjadi TKI ke luar ne- geri dan ada yang masih tinggal di desa de- ngan pekerjaan seadanya. Bagi desa nelayan yang jauh dari kota kabupaten dan propinsi, serta sarana jalan yang buruk, mobilitas ma- syarakat desa kurang cepat dapat dilakukan. Andalan usaha dari penangkapan ikan de- ngan modal dan teknologi terbatas hanya cu- kup untuk makan sehari-hari. Selebihnya me- reka yang bekerja pada para pemilik kapal yang berukuran agak besar dengan kapasitas awak kapal lebih dari 10 orang, memperoleh penghasilan dengan cara upahan, yang lebih banyak menguntungkan para pemilik modal. Selain itu yang memiliki keberanian untuk menjalankan kapal dan peralatan milik pe- modal harus menghadapi resiko kerugian yang cukup besar dan keuntungan yang kecil karena menyewa kapal dan peralatan itu sa- ngat mahal. Hal itupun terjadi atas dasar hu- bungan kepercayaan yang kuat, karena resiko menyewakan kapal pada orang lain sangat besar, sehingga bentuk usaha seperti ini se- dikit ditemui.

Organisasi seperti Himpunan Kerukunan Ta- ni Indonesia dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia tidak banyak berperan terhadap kehidupan para nelayan bahkan dengan regu- lasi baru tentang BBM telah menyebabkan harga solar sebagai bahan bakar kapal motor sering mengalami fluktuasi yang tinggi dan tidak dapat diduga, selain bermasalah pada jumlah pasokannya. Organisasi seperti itu se- ring lebih berguna menjadi kendaraan politik bagi para pengelolanya daripada menjadi ke- panjangan tangan nelayan untuk memperju- angkan nasib dan masadepan mereka, bahkan ironisnya mereka tidak mengenal keberadaan organisasi seperti itu. Upaya menggantung- kan mimpi kemandirian dan kemakmuran menjadi sulit diharapkan pada pihak luar, se-

Heri Kusmanto et al Tradisi Kekuasaan dan Otonomi Desa

dangkan secara internal hambatan struktural menyangkut budaya politik di pedesaaan demikian besar menghambat mereka. Meka-

yang masih pasif; ketiga, kapasitas SDM ter- nisme demokrasi dan struktur ekonomi bu-

utama dalam hal kualifikasi pendidikan ma- kan gantungan harapan yang bisa diandalkan

sih rendah, dan; keempat, menyangkut ku- dalam waktu dekat.

rangnya infrastruktur dan sumber daya eko- nomi desa. Perencanaan program-program

Penutup

dan regulasi politik yang lebih menyentuh a- kar persoalan di desa-desa baik secara politik

Lahirnya UU No 22/1999 yang menyangkut dan ekonomi telah menjadi kebutuhan yang pola hubungan Pemerintah Pusat dan Peme-

mendesak.

rintah Daerah ditinjau dari sudut politik me- lahirkan bentuk pembagian kekuasaan. Na-

Daftar Pustaka

mun Pembagian kekuasaan itu belum ber- kontribusi pada perkembangan demokrasi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 lokal. Pemerintah daerah juga belum maksi-

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. mal membangun wilayahnya dengan potensi

UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan yang tersedia. Studi ini menemukan bahwa

Daerah.

permasalahan yang muncul ditingkat lokal Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan

cukup kompleks terdiri dari; pertama, me- Pengangkatan, Dan Pemberhentian Kepala nyangkut pola hubungan para aktor politik

Daerah Dan Wakil Kepala Daerah. desa dan supra desa yang asimetris; kedua,

Petunjuk Penulisan Volume 1