Konfigurasi Politik Sistem Terpimpin (1958-1966)

Konfigurasi Politik Sistem Terpimpin (1958-1966)

Gagasan sistem politik demokrasi terpimpin dan implementasinya dapat dipandang seba- gai kelanjutan dari konfigurasi politik dalam sistem politik demokrasi parlementer/ liberal. Fokus perhatian dalam bagian ini ditujukan kepada perkembangan dan peranan partai- partai politik serta militer di dalam kehidu- pan politik (sistem politik). Demokrasi ter- pimpin, sebagai suatu konsep/pemikiran poli- tik yang dikemukakan oleh Soekarno pada dasarnya merupakan suatu ide tentang kesa- tuan rakyat Indonesia, yang lepas dari ideolo- gi, aliran-aliran politik yang diilhami dan di- pengaruhi oleh pengalaman awal Soekarno dalam politik pra-perang kemerdekaan yang saat itu kemudian dikenal sebagai demokrasi terpimpin pada dasarnya terbagi atas dua ba-

P. Anthonius Sitepu Transformasi Kekuatan Politik dalam Sistem Politik Indonesia

gian yaitu, pembentukan sistem pemerintahan baru dalam Kabinet Gotong Royong yang akan memasukkan semua partai-partai politik yang diwakili di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kedua, pembentukan Dewan Nasional dari wakil-wakil golongan fungsional yang di-

pimpin oleh Soekarno sendiri. 11 Namun da-

lam pandangan Ahmad Syafii Ma’arif, 12

de-

mokrasi terpimpin pada prakteknya adalah sistem politik yang berbaju demokrasi tapi minus demokrasi. Mengapa semuanya terja- di? Salah satu penjelasan dapat ditelusuri da- lam praktek politik pada masa demokrasi li- beral pada saat partai-partai politik begitu berkuasa, sehingga kepentingan negara seca- ra keseluruhan sering terlantar. Secara resmi periode demokrasi terpimpin dimulai, dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menyatakan ber- lakunya kembali UUD 1945 sebagai peng- ganti UUDS 1950 dan Dewan Konstituante (1956) dibubarkan karena dinilai tidak mam- pu merampungkan tugasnya terutama dalam menetapkan dasar negara apakah pancasila

ataukah Islam. 13 Sehubungan dengan itu me- nurut pandangan Daliar Noer 14

11 Daniel S. Lev, op.cit., hal. 17.

bahwa dari

rentangan waktu antara tahun 1957-1965, merupakan masa pada saat peranan demokrasi baru saja menurun tetapi hampir saja berganti menjadi diktator. Sekurang-kurangnya, teru- tama dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 pada tahun 1959 pada masa itu tercatat bangkit dan berkembangnya suatu pemerinta- han otokratis yang menumpas tanpa segan- segan sikap oposisi atau, pandangan yang ti- dak menyetujuinya. Maka dalam konteks pe- ran dan kedudukan partai-partai politik Soe- karno mengecam keputusan pemerintah 3 Nopember 1945 yang membuka jalan bagi pembentukan partai-partai politik dikuburkan saja (bubar). Di dalam sistem politik seperti itu, tidak lagi berlangsung proses politik lem- baga ini semakin merosot kalau bukan saja

12 Ahmad Syafii Ma’arif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-

1965, (Jakarta: Guna Insani Press, 1996), hal. 47-

13 Ibid., hal. 3.

14 Deliar Noor, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik

Indonesia 1945-1965, (Bandung: Mizan, 2000), hal. 373-375.

dapat dikatakan lumpuh sama sekali. Proses politik bertumpu pada tiga kekuatan yakni: antara Soekarno (presiden), militer (AD) dan partai politik (PKI).

Meskipun demikian, sejak tahun 1957 secara lambat laun, tapi pasti peranan partai-partai politik sedemikian minimal terutama dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh dan arah kebijakan politik yang diambil pada umum- nya oleh Soekarno dan pimpinan Angkatan Darat (AD). Dan tidak kalah penting dalam hubungan ini adalah pola pikir (politik) anta- ra Soekarno dan Moh. Hatta. Soekarno didu- kung oleh kalangan Nasionalis (Murba) dan Islam tradisionalis (NU). Sedangkan Mo- hammad Hatta memperoleh dukungan dari Islam Modernis (Masyumi) partai Sosialis Demokrat (PSI), Kristen Protestan (Parkin- do), Partai Katolik. Dan di satu sisi melihat partai-partai politik dalam sistem politik partai dan pemerintahan parlementer dalam prakteknya dipandang perlu. Akan tetapi dari sisi lain, memandang bahwa sistem politik parlementer harus ditinggalkan, sebab hal ini dianggap sebagai suatu kecenderungan yang mengarah kepada ideologi Barat dan tidak se- suai dengan semangat, jiwa dan kepribadian rakyat Indonesia yang berdasarkan musyawa- rah dan mufakat”. Hal ini dibuktikan dengan tindakan awal pelaksanaan sistem politik demokrasi terpimpin (Soekarno dan pimpi- nan AD) mencoba menciptakan lembaga- lembaga politik sebagai wadah partisipasi politik yang baru sebagai pengganti partai- partai politik. Pembatasan terhadap perkem- bangan partai-partai politik disebabkan kare- na adanya pergeseran orientasi politik dan pemerintahan parlementer ke demokrasi ter- pimpin. Dalam hal ini tindakan Presiden Soe- karno yang menyalahgunakan partai-partai politik sehubungan dengan semakin melemah- nya lembaga-lembaga pemerintah pusat dan daerah semakin meninggalkan ketidakpatuhan pada pusat.

Dalam pelaksanaan demokrasi terpimpin de- ngan jalan kembali ke UUD 1945 sebagaima- na yang telah disinggung di muka, Soekarno sebagai presiden, mengeluarkan berbagai ke- bijakan politik dan berbagai keputusan yang berkaitan dengan masalah-masalah partai- partai politik. Misalnya terdapat di sana Pe- netapan Presiden (Penpres) tentang syarat-

P. Anthonius Sitepu Transformasi Kekuatan Politik dalam Sistem Politik Indonesia

syarat dan penyederhanaan kepartaian yakni Penpres No.7/1959.

Hal ini dapat dipahami sebagai konsekuensi inefektifitasnya sistem multipartai, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Nadhatul U- lama (NU), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Katolik, Partai Indonesia (Partindo), Partai Murba, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indo- nesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkin- do), dan Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Tetapi dalam kenyataannya, yakni pada saat dikeluarkannya Penetapan Presiden (Pen- pres) itu ada 14 buah partai politik. Tetapi yang masuk ke dalam Penpres tersebut adalah Partai Sarekat Islam Indonesia (Abikusno), Partai Rakyat Indonesia (PRI), Partai Rakyat Nasio- nal (PRN-Djody). 15

Sebagaimana telah disinggung di muka, bah- wa Dekrit 5 Juli 1959 merupakan tonggak a- wal bagi implementasi Konsepsi Presiden (Demokrasi Terpimpin dan Dewan Nasional) yang memuat tiga diktum pokok yakni: per-

tama pembubaran Dewan Konstituante; ke-

dua, penetapan berlakunya kembali ke UUD 1945; ketiga, pembentukan Majelis Permu- syawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan juga Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Di sisi lain bahwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu juga sekaligus untuk mengakhiri kehidupan politik (sistem politik) demokrasi liberal yang selanjutnya sistem politik demo- krasi parlementer.

Masa ini peran partai-partai politik sudah mulai berkurang (lemah) disebabkan peme- rintahan menganut sistem pemerintahan pre- sidensial di mana presiden tidak saja meru- pakan kepala negara, akan tetapi juga ia ber- peran sebagai kepala pemerintahan (ekseku- tif). Ini berarti bahwa semua kebijakan peme- rintahan dikendalikan oleh presiden. Ekseku- tif tidak bertanggungjawab kepada parlemen.

Memang sudah sejak lama, Presiden Soekarno tidak menyukai sistem banyak partai seperti yang telah dilaksanakan pada masa sistem pemerintahan parlementer (demokrasi liberal). Ketidaksenangannya tersebut terungkap da-

15 Rusadi Kantraprawira, Sistem Politik Indone- sia: Suatu Model Pengantar, (Bandung: Sinar

Baru, 1988), hal. 94-95.

lam pidatonya tanggal 26 dan 28 Oktober 1956. Beliau mengutuk keras terhadap sistem banyak partai dan mengajak bangsa Indone- sia menguburkan partai-partai politik itu. A- kan tetapi, pandangan atas hal ini, Presiden Soekarno kemudian tampaknya sedikit mem- buka celah demi memperlancar konsepsinya itu dengan membentuk kabinet yang ia sebut sebagai Kabinet Gotong Royong. Di dalam- nya terhimpun partai-partai politik baik yang besar maupun yang kecil diberi jatah kursi. Faktor lain yang ikut memperkecil pengaruh partai-partai politik dalam politik adalah dengan diberlakukannya peraturan terhadap penyederhanaan partai-partai politik sebagai- mana telah disinggung di atas yakni dalam penpres No.7 Tahun 1959 dan membubarkan partai Masyumi dan juga Partai Sarekat Islam (PSII). Lembaga Perwakilan Rakyat (DPR) juga melemah.

Ketidakberdayaan DPR itu, disebabkan oleh lembaga-lembaga perwakilan yang terlanjur menjadi terminal penting bagi partai-partai politik untuk mengartikulasikan kepentingan politiknya dalam proses perumusan keputus- an politik. Kendatipun demikian, secara me- ningkat deras Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama-sama dengan dua kekuatan politik lainnya, Presiden Soekarno dan Militer (AD) adalah merupakan tiga pilar kekuatan ekstra- parlementer yang penting sehingga dalam konfigurasi politik sedemikian, terjadi tarik menarik kepentingan antara Presiden Soekar- no-militer (AD) dan Partai Komunis Indone- sia (PKI). Kendati Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil bentukan pemilihan umum 1955 telah dibubarkan diganti dengan Dewan Per- wakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) berdasarkan Penpres No.4 Tahun 1969, yang anggotanya berjumlah 280 orang terdiri dari wakil-wakil golongan politik dan golongan fungsional.

Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) sebagai lembaga perwakilan poli- tik pada dasarnya, telah menjadikan sebagai lembaga yang memberikan pengaruh kepada partai politik yakni terbentuknya penciutan perang partai politik. Itu sebabnya komposisi di lembaga tersebut yang sebanyak 263, se- banyak 132 wakil-wakil golongan fungsional yakni, 15 dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara masing-masing men-

P. Anthonius Sitepu Transformasi Kekuatan Politik dalam Sistem Politik Indonesia

dapat 7 orang wakilnya dan Kepolisian 5 kursi dan PRI sebanyak 30 kursi.

Kemudian di tempat lain yakni dalam Kabi- net Djuanda, yang selama ini dinilai sebagai tempat berkiprahnya partai-partai politik yai- tu dalam kabinet-kabinet bagi keberlangsu- ngan hidup (eksistensi) partai politik itu sendiri tampaknya semakin berkurang. Hal ini disebabkan juga karena wakil-wakil partai politik yang ada di kabinet pun, tidak berda- sarkan pada hasil pemilihan umum melain- kan dipilih secara individual. Meskipun di dalamnya terdapat wakil partai politik seperti partai Nasional Indonesia (PNI), NU, Partai Kristen, Parkindo dan PSII, serta simpatisan Partai Murba 2 orang dan PKI sebanyak 2 orang.

Di bawah sistem politik demokrasi ter- pimpin, sistem kepartaian mengalami perge- seran dan perubahan secara drastis dengan jumlah partai politik sebanyak 10 partai yak- ni PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partindo, Partai Murba, PSII, IPKI, Parkondo, dan Perti. Ini merupakan salah satu aspek peruba- han sosial yang sangat besar dalam bidang politik. Peranan Presiden Soekarno dalam konteks ini (dalam rangka reintegrasi sosial) menjadi pusat aktivitas pembangunan bang- sa. Pada sektor politik banyak partai politik yang kehilangan hak hidup dalam menentu- kan tujuan politiknya dan dasar ideologinya yang dulu mengilhami kegiatan politiknya. Eksistensi partai politik tidak lagi mencer- minkan kemandirian dan pengaruhnya bah- kan terhadap keberlangsungan hidup suatu kabinet sekalipun. Kekuatan mereka telah tergeser ke tangan Presiden Soekarno di ting- kat nasional.

Pergantian dari sistem politik demokrasi par- lementer ke sistem politik demokrasi terpim- pin dikategorikan sebagai sebuah proses per- alihan (transisi). Dalam posisi sistem politik seperti itu, demokrasi terpimpin, yang men- jadi salah satu cirinya dan kondisi yang di- alaminya berupa yang sangat menonjol ada- lah situasi munculnya konflik antara daerah dan pusat serta telah menjadi pola hubungan- hubungan kekuasaan (power relativeship) ke dalam tiga kaki piramida yakni antara Presi- den Soekarno–Militer (AD) dan partai politik PKI.

Pola hubungan kekuasaan (tiga kekuatan) da- lam bentuk piramida tadi, dengan seakan-a- kan telah menyeret secara tidak langsung mi- liter ke arena politik. Hingga pada akhirnya kemudian memang, militer muncul sebagai kekuatan baru dalam konstelasi politik nasio- nal terutama dalam bidang pemerintahan di daerah dan pusat. Dengan demikian dianggap sebagai alasan terhadap pencarian legitimasi yang normal dalam hukum dan politik guna menuju keikutsertaan (partisipasi aktif) militer dalam sistem politik (pemerintahan). Gamba- ran seperti itu telah menampakkan sosoknya pada saat terjadinya krisis kabinet 1957-an di mana suasana politik seperti itu lebih dikarena- kan masuknya militer (perwira-perwira) di daerah-daerah guna menentang kebijakan Soe- karno (pemerintahan pusat).

Kekuasaan militer tampaknya semakin meluas saja manakala muncul tiga kekuatan militer di Pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur). Munculnya A.H. Nasution dan teman-temannya dengan bersandarkan kepa-

da dwi fungsi ABRI dijadikan pula sebagai sarana untuk lebih bisa masuk ke dalam kancah perpolitikan dan pemerintahan secara mendalam lagi. Pada bagian ini dibahas me- ngenai konfigurasi politik demokrasi terpim- pin mengenai posisi atau kedudukan kelom- pok militer yang dikategorikan sebagai keku- atan politik yang masuk ke dalam arena poli- tik Indonesia yakni dalam sistem politik atau sebagaimana dalam konstelasi politik atau konfigurasi politik parlementer yang lalu bahwa peran politik militer merupakan ke- lanjutan dalam sistem politik demokrasi Soe- karno (demokrasi terpimpin). Dalam konteks ini peranan politik lainnya (militer) memberi- kan dukungannya. Dengan pola seperti itu, kiranya semakin memperlemah sistem demo- krasi konstitusional yakni dominasi partai- partai politik Presiden Soekarno, mengecam partai-partai politik dan memang sejak semu- la, berniat untuk menguburkannya. Meskipun demikian, karena perlawanan terus berlanjut, yang datang dari partai-partai politik, akhir- nya presiden Soekarno hanya mampu me- ngurangi jumlah partai politik itu hingga menjadi 10 partai (PNI, NU, Partai Katolik Parkindo, Murba, PSII, IPKI, PKII, Partindo dan Pertindo) setelah melarang Masyumi dan PSI. Seiring dengan itulah dalam pola atau sistem ini peranan parlemen mulai tampak

P. Anthonius Sitepu Transformasi Kekuatan Politik dalam Sistem Politik Indonesia

merosot tajam. Namun demikian, peranan partai politik PKI tampak semakin mustahak di luar parlemen sehingga dalam proses poli- tik, terjadi polarisasi kekuatan ke dalam for- masi seperti dalam pola kaki tiga yakni anta- ra Presiden Soekarno-Militer (AD) dan PKI.

Peranan militer dalam persatuan politik na- sional atau dalam sistem politik, dapat dika- takan bermula dari saat Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional pada tanggal 6 Mei 1957 pasca peran partai-partai politik (minus PKI) dilumpuhkan, Undang-Undang Darurat diberlakukan. Tujuan utama dari Dewan Nasional menurut Soekarno adalah untuk membantu kabinet dalam menjalankan program-programnya. Akan tetapi, dalam ke- nyataannya dimaksudkan adalah untuk me- ngambil alih kekuasaan partai-partai politik. Keanggotaan Dewan Nasional disebut “golo- ngan-golongan fungsional” dalam masyarakat merupakan pejabat-pejabat militer yang “di- pandang perlu”. Rumusan tentang golongan- golongan fungsional bagi pandangan Presiden Soekarno (9 Juli 1957) merupakan “cakupan terhadap person-person golongan berikut, bu- ruh, petani, intelegensi, seniman, kaum wani- ta dan orang-orang Kristen, Muslim, para peng- usaha nasional, personal Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

Kendatipun demikian, peranan militer politik dalam Dewan Nasional tidaklah dikatakan menonjol, sebab Soekarno dan anggota-ang- gota sipil lainnya ternyata dirasakan masih kuat. Sementara itu, disisi lain, lagi hangat- hangatnya kampanye mengenai pembebasan Irian Barat. Momen ini dimanfaatkan oleh Militer (Mayor Jenderal A.H. Nasution) di- angkat sebagai Kastaf AD membentuk Front Nasional (FN) Pembebasan Irian Barat (FN- PIB) itu didominasi oleh kelompok militer yang berbeda dengan Dewan Nasional (DN) itu. Tetapi secara tidak langsung dikatakan bahwa dengan kehadiran badan-badan atau lembaga-lembaga kerjasama sipil-militer mi- salnya Badan Kerjasama (BKS) Pemuda Militer, BKS Ulama–Militer dianggap pen- dukung utama dari Front Nasionalnya Nasu- tion, Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB). Tetapi di pandangan Soekarno, perkembangan ini dilihat sebagai sebuah tan- tangan yang sangat penting terutama bagi ke- pentingan politiknya.

Pada akhirnya dapat dipahami kemudian Soekarno menunjukkan sikapnya yang nyata sebagai jawaban atas pengaruh dalam pem- bentukan Front Nasional Pembebasan Irian barat (FNPIB) yang notabene dikuasai oleh kelompok militer itu (disponsori oleh TNI- AD) Presiden Soekarno tampaknya merasa disingkirkan oleh A.H. Nasution dalam rang- ka merintis gagasan dibentuknya Front Na- sional. Hal ini bagi pandangannya, tidak mungkin harus terjadi (tidak menyukainya) sehingga berusaha sekuat tenaga untuk mele- mahkan peran Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) agar dengan demikian ti- dak berhasil dijadikan sebagai alat politik TNI-AD atau alat A.H. Nasution yang berha- dapan dengan dia. Upaya Presiden Soekarno ini tampak semakin intens dilakukannya se- jak medio 1958 ketika Presiden Soekarno bertindak sebagai ketuanya di FN-PIB dan lama kelamaan, berubah menjadi arena perta- rungan politik (kepentingan politik) antara TNI-AD dan PKI. Dalam hal ini ternyata Soekarno tidak mau terjebak atau terseret dalam konstruksi politik di dalam formasi aliansi seperti itu, maka untuk itu presiden Soekarno membentuk Front Nasional tanggal

20 Januari 1961. Di balik pembentukan atau latar belakang pembentukan FN ini belakangan diketahui bahwa FN ini tidak semata-mata dibuat untuk menggeser kekuatan dari FNPIB, akan tetapi lebih pada pengertian akan ter- bukanya akses yang lebih besar kepada massa. Konsepsi dan gagasan Presiden Soekarno da- lam kerangka bangunan Front Nasional, adalah untuk membangun kembali partai tunggal ne- gara dengan menggunakan basis massa peng- geraknya, didirikannyalah Partai Nasional In- donesia sebagai partai negara.

Tidak seperti terdapat dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) mencakup beberapa badan kerjasama (BKS) antara sipil militer, maka front nasional (FN) versi Presi- den Soekarno, terdiri dari partai-partai poli- tik, golongan-golongan (militer dan lain-lain) menjadi komponen FN ini. Sejak tanggal 23 Maret 1961 dibentuklah cabang-cabang FN di daerah-daerah adalah sebagai arena pere- butan kekuasaan serta menjadi pertarungan politik dari masing-masing daerah. Demiki- anlah menjadi jelas peta seberapa jauh peran militer dalam politik (kehidupan politik) atau

P. Anthonius Sitepu Transformasi Kekuatan Politik dalam Sistem Politik Indonesia

dalam konfigurasi politik demokrasi terpimpin tik dan intensitas peranannya di lembaga- yang menunjukkan pengaruh militer yang kuat.

lembaga kekuasaan yang ada.

Penutup

Daftar Pustaka

Keberadaan kekuatan-kekuatan politik (par- Muhaimin, Yahya A.. 1982. Perkembangan Militer tai politik dan militer) sebagai variabel dalam

dalam Politik di Indonesia 1945-1966. konstalasi politik nasional (dalam hal ini de-

Yogyakarta: Gajah Mada University Press. mokrasi parlementer dan terpimpin) meng- Dhakidae, Daniel. 1985. Analisis Kekuatan Politik di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

alami pergeseran seiring dengan perubahan- Kahfie, Syahdatul. 2002. Peran Politik Indonesia, perubahan sistem politik yang terjadi. Per-

Tuntutan atau Kepentingan. Jurnal Porgresif 1 gantian kabinet yang intens dan peralihan da-

(Oktober).

ri sistem politik parlementer ke sistem demo- Kahin, Mc. T.. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di krasi terpimpin adalah bentuk nyata dari ada-

Indonesia. Solo: Sebelas Maret University nya polarisasi partai-partai politik yang dida-

Press.

sari pola hubungan ideologi yang antagonis. Kantraprawira, Rusadi. 1988. Sistem Politik Indone- Demokrasi terpimpin bahkan mengaktualisa-

sia: Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar sikan proses politik yang bertumpu pada Pre-

Baru.

siden Soekarno dan Militer (AD) serta Partai Lev, Daniel S.. 1966. Transition to Guide Democra- cy Indonesian Politics 1957-1959. Itacha:

Komunis Indonesia (PKI) sebagai bentuk ke- Cornell University Press.

rangka politik yang khas pada masa itu. Kon- Ma’arif, Ahmad Syafii. 1996. Islam dan Politik: figurasi politik parlementer dan demokrasi

Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpim- terpimpin telah menunjukkan adanya peruba-

pin 1959-1965. Jakarta: Guna Insani Press. han atau transformasi politik sesuai dengan

Nasution, Adnan Buyung. 1995. Aspirasi Pemerin- perubahan dan perkembangan sistem politik.

tahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio- Melalui transformasi seperti itu, terlihat

legal atas Konstituante 1956. Jakarta: Pustaka bagaimana kekuatan-kekuatan politik yang

Utama Grafiti.

ada itu berproses dan berkembang. Dengan Noor, Deliar. 2000. Partai Islam di Pentas Nasio- demikian ada korelasi positif antara variabel nal: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965. Bandung: Mizan.

sistem politik dengan variabel kekuatan- Supriyatmono, Hendri. 1994. Dwifungsi ABRI dan kekuatan politik (partai politik dan militer)

Kontribusi ke Arah Reformasi Politik: Tinjauan sebagai implikasi dari kebijakan-kebijakan

Kebijaksanaan Politik Jenderal Nasution 1955- pemerintah (sistem politik) yang memberikan

1959. Solo: Sebelas Maret University Press. pengaruh atas bentuk variabel kekuatan poli-

Sundhaussen, Ulf. 1986. Politik Militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwifungsi ABRI. Jakarta: LP3ES.

Husnul Isa Harahap Partisipasi Pemilih di Kota Binjai pada Pilpres Tahap I Tahun 2004