61
memilih keputusan bercerai. Hal ini sangat bertolak belakang dengan keadaan sekarang, dimana pasangan sangat mudah mengambil keputusan bercerai. Dahulu
pasangan yang bercerai dianggap hal yang sangat memalukan, namun sekarang telah terjadi pergeseran nilai dimana perceraian dianggap hal yang biasa saja.
2. Akibat Putusnya Hubungan Perkawinan
Keluarga yang terpisah ialah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah satu dari orang tua karena kematian, perceraian, hidup berpisah, untuk masa yang tak
terbatas ataupun suami meninggalkan keluarga tanpa memberitahukan kemana ia pergi. Hal ini menyebabkan :
80
a. Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing
sibuk mengurusi permasalahan mereka. b. Kebutuhan fisik maupun psikis anak remaja menjadi tidak terpenuhi,
keinginan harapan anak-anak tidak tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan kompensasinya.
Kartini Kartono mengatkan bahwa :
81
Sebagai akibat bentuk pengabaian tersebut, anak menjadi bingung, resah, risau, malu, sedih, sering diliputi perasaan dendam, benci, sehingga anak menjadi
kacau dan liar. Dikemudian hari mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin sendiri diluar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu geng kriminal;
lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan kriminal. Pelanggaran kesetiaan loyalitas terhadap patner hidup, pemutusan tali perkawinan, keberantakan kohesi
dalam keluarga. Semua ini juga memunculkan kecenderungan menjadi delinkuen pada anak-anak dan remaja. Setiap perubahan dalam relasi personal antara suami-istri
menjurus pada arah konflik dan perceraian. Maka perceraian merupakan faktor penentu bagi pemunculan kasus-kasus neurotik, tingkah laku a-susila, dan kebiasaan
delinkuen. Penolakan oleh orang tua atau ditinggalkan oleh salah seorang dari kedua orang tuanya, jelas menimbulkan emosi, dendam, rasa tidak percaya karena merasa
dikhianati, kemarahan dan kebencian, sentimen hebat itu menghambat perkembangan relasi manusiawi anak. Muncullah kemudian disharmonis social dan lenyapnya
80
Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005, hal. 57.
81
Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 17-18.
Universitas Sumatera Utara
62
kontrol diri, sehingga anak dengan mudah dapat dibawa ke arus yang buruk, lalu menjadi kriminal. Anak ini memang sadar, tetapi mengembangkan kesadaran yang
salah. Fakta menunjukkan bahwa tingkah laku yang jahat tidak terbatas pada strata sosial bawah, dan strata ekonomi rendah saja tetapi juga muncul pada semua kelas,
khususnya dikalangan keluarga yang berantakan. Memang perceraian suami-istri dan perpisahan tidak selalu mengakibatkan kasus delinkuen dan karakter pada diri anak.
3. Tata Cara Perceraian a.