33
2. Syarat – Syarat Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan syarat-syarat formil dan materiil yang harus dipenuhi di dalam melaksanakan
perkawinan. Syarat-syarat materiil yaitu syarat mengenai orang yang hendak kawin dan
izin-izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal – hal yang ditetukan oleh Undang-Undang.
58
Syarat - syarat materiil terbagi atas 2 yaitu: a. Syarat materiil mutlak.
b. Syarat materiil relatif. Syarat materiil mutlak terdiri atas :
1 Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua calon mempelai Pasal 6
ayat 1 UU No 1 Tahun 1974; 2
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun harus mendapat izin kedua orang tua Pasal 6
ayat 2 UU No 1 Tahun 1974; 3
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 enam
belas tahun Pasal 7 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974; 4
Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu Pasal 11 UU No 1 Tahun 1974 jo PP No 9 Tahun 1975;
58
Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2008, hal.12.
Universitas Sumatera Utara
34
Syarat materiil relatif adalah syarat-syarat bagi pihak yang hendak melakukan perkawinan yang telah memenuhi syarat-syarat materiil mutlak untuk diperbolehkan
kawin, tetapi ia tidak boleh kawin dengan setiap orang. Dengan siapa pihak tersebut hendak kawin, harus memenuhi syarat-syarat materiil relatif.
59
Syarat-syarat materiil relatif terdiri atas : 1
Perkawinan dilarang antara dua orang yang : a
Berhubungan darah dalam garis keturunan kebawah dan keatas; b
Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan
saudara neneknya; c
Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu – bapak tiri;
d Berhubungan, yaitu orang tua susuan, anak susuan dan bibi susuan;
e Berhubungan
saudara dengan
isteri, atau
sebagai bibi
atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang; f
Yang mempunyai hubungan oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku sekarang pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974.
2 Seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain, kecuali
dalam hal tersebut dalam Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 Undang – undang ini Pasal 9 UU No. 1 tahun 1974;
59
Mulyadi, Ibid., hal.19.
Universitas Sumatera Utara
35
3 Apabila suami dan isteri yang telah kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang bahwa masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain Pasal 10 UU No. 1 Tahun 1974;
Syarat-syarat formil yang harus dipenuhi dalam melaksanakan perkawinan diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu :
a. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai
pencatat perkawinan. b.
Penelitian yang dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan yang meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan tidak terdapat halingan
perkawinan menurut Undang-Undang. c.
Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.
d. Pelaksanaan perkawinan menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
e. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
f. Penerbitan Akta Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur mengenai syarat-syarat sahnya suatu perkawinan. Adapun syarat-syarat yang
harus dipenuhi yaitu :
Universitas Sumatera Utara
36
a. Pasal 2 ayat 1 : Perkawinan baru merupakan perkawinan yang sah apabila
dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya. b.
Pasal 2 ayat 2 : setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku.
M. Yahya Harahap menarik kesimpulan dari bunyi pasal 2 ayat 1 bahwa yang dimaksud dengan hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya yaitu
sah atau tidaknya suatu perkawinan semata – mata ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang hendak melaksanakan perkawinan sepanjang tidak
bertentangan dengan
Undang-Undang. “Setiap
perkawinan yang
dilakukan bertentangan dengan ketentuan agama dengan sendirinya menurut hukum perkawinan
belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan”.
60
Selanjutnya menurut M.Yahya Harahap, pencatatan perkawinan hanyalah
tindakan administratif, sama halnya dengan pencatatan perisitiwa penting dalam kehidupan seseorang yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi
yang dimuat dalam daftar pencatatan.
61
Mengenai pencatatan perkawinan diatur dalam Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang memberi penjelasan tentang pencatatan perkawinan yang
dimaksud dalam pasal 2 ayat 2 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974, antara lain: a. Bagi mereka yang beragama Islam dan yang melangsungkan perkawinannya
menurut agama Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana
60
M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Zahir Trading, Medan, 1975, hal.13.
61
Ibid., hal.15.
Universitas Sumatera Utara
37
yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk.
b. Bagi mereka yang bukan beragama Islam dan yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan mereka, pencatatan dilakukan oleh pencatat
perkawinan pada kantor catatan sipil. Syarat – syarat pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat Tionghoa tidak
diatur secara tertulis, melainkan dilakukan secara adat istiadat yang diwariskan dari generasi yang satu kepada generasi berikutnya secara terus menerus. Jadi tidak ada
syarat pasti mengenai prosedur pelaksanaan perkawinan menurut adat Tionghoa. Di Indonesia terdapat bermacam-macam suku bangsa dan adat-istiadat,
demikian pula orang-orang Tionghoa yang bermigrasi dari Republik Rakyat Cina ke Indonesia. Orang-orang Tionghoa yang datang ke Indonesia tidak hanya berasal dari
satu daerah saja, melainkan dari beberapa daerah dimana adat-isitiadat di setiap daerah adalah berbeda-beda. Sehingga adat-istiadat yang dianut oleh masyarakat
Tionghoa di Indonesia adalah beragam, namun terdapat perbedaan yang tidak signifikan antara masyarakat Tionghoa di Indonesia yang satu dengan yang lainnya.
Orang tua berperan sangat penting di dalam pelestarian pelaksanaan perkawinan secara adat Tionghoa dengan cara memberitahukan kepada anak dan
keturunannya serta menerapkannya dalam pelaksanaan perkawinan anak-anaknya. Di dalam masyarakat adat Tionghoa terdapat pantangan dimana calon
mempelai yang bermarga sama dilarang menikah sekalipun antara kedua keluarga calon mempelai tidak saling kenal. Hal ini disebabkan anggapan bahwa individu yang
Universitas Sumatera Utara
38
bermarga sama berasal dari nenek moyang yang sama, sehingga masih mempunyai ikatan darah dan merupakan satu keluarga sehingga hal ini dianggap tabu dan
memungkinkan melahirkan keturunan yang kurang baik atau sempurna. Adat pernikahan sangat dipengaruhi oleh adat lain, adat setempat, agama,
pengetahuan, dan pengalaman masing-masing.
62
Pada dasarnya syarat-syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa sangat dipengaruhi oleh pandangan
masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri, terutama pandangan dari keluarga dan kedua calon mempelai. Syarat-syarat perkawinan adat Tionghoa harus sesuai dengan tujuan
dari suatu perkawinan menurut hukum adat Tionghoa, yang mana syarat-syarat tersebut lebih memberatkan calon mempelai pria daripada calon mempelai wanita.
Secara umum syarat-syarat perkawinan secara adat Tionghoa adalah sebagai berikut :
1. Adanya kesepakatan antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita
untuk mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan. Hal ini merupakan syarat yang mutlak, karena antara kedua calon mempelai pria
dan calon mempelai wanita harus mempunyai komitmen yang teguh untuk mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan dan membentuk suatu keluarga yang
kekal dan bahagia, dimana seorang isteri harus mengikuti dan mendukung suaminya dalam keadaan yang susah maupun senang. Serta suami sebagai kepala
keluarga harus bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan hidup anak dan isterinya.
62
K.Ginarti B, Op.Cit., hal.12.
Universitas Sumatera Utara
39
2. Adanya persetujuan dari orangtua kedua calon mempelai.
Persetujuan dari
orangtua kedua
orangtua calon
mempelai dapat
mengenyampingkan kesepakatan antara kedua calon mempelai. Seorang anak harus menuruti kata-kata orang tuanya, walaupun kadang permintaan dari
orangtua bukanlah merupakan kemauan dari anak. Dalam hal salah satu orangtua dari calon mempelai telah meninggal dunia , maka ijin diberikan oleh orang tua
calon mempelai yang masih hidup. Sedangkan dalam hal kedua orang tua dari calon mempelai telah meninggal dunia, maka ijin diberikan oleh anak laki-laki
tertua yang telah menikah. Dalam hal anak laki – laki tertua tidak ada , maka yang memberikan ijin adalah saudara laki-laki tertua kandung dari ayah calon
mempelai. Kalau tidak ada, maka ijin diberikan oleh saudara laki-laki kandung yang lebih muda dari ayah calon mempelai, kalau tidak ada juga , maka ijin
diberikan oleh saudara laki-laki kandung dari ibu. 3.
Calon mempelai pria harus telah mapan secara lahir dan batin. Calon mempelai pria harus telah mapan secara finansial, dan mental. Karena ia
akan menjadi suami bagi isterinya dan ayah bagi anak – anaknya. Jadi di dalam menghidupi keluarga, seorang pria harus mempunyai rasa tanggung jawab yang
besar terhadap keluarganya. Tiada suatu batasan had umur yang sesuai untuk seorang itu untuk kawin.
semuanya bergantung kepada kesediaan dan kesanggupan individu untuk hidup berkeluarga. Keseluruhannya, orang-orang Tionghoa kawin pada umur yang
agak lewat karena terpaksa mengumpulkan sejumlah uang yang banyak untuk
Universitas Sumatera Utara
40
mengadakan kenduri kawin. perkawinan orang Tionghoa dikatakan adalah yang termahal untuk menunjukkan status dan kedudukan yang tinggi. Di samping itu
upacara perkawinan dibuat secara besar-besaran untuk memberi muka kepada ibu bapak kedua belah pihak. Orang Tionghoa mempunyai suatu kebiasaan untuk
bersaing menunjukkan ego masing-masing melalui pemaparan kemewahan dan kekayaan. Mengikut adat orang Tionghoa, perkawinan anak lelaki sulung perlu
dibuat dengan sebaik mungkin. Jika tidak, ini akan memalukan dan merendahkan keluarga serta mendatangkan umpat keji kata – kata hinaan daripada saudara-
mara.
63
4. Calon mempelai wanita sehat jasmani dan rohani.
Selain sehat secara rohani, calon mempelai wanita harus sehat secara jasmani sehingga dapat memberikan keturunan bagi keluarga, terutama anak laki-laki
sebagai penerus marga atau nama keluarga. Ketidakmampuan isteri untuk memberikan keturunan dapat menjadi alasan bagi suami untuk menceraikan
isterinya atau menikahi wanita lain sebagai isteri kedua untuk memberikan keturunan sebagai penerus marga.
5. Berpendirian dan bertingkah laku santun.
Sikap dan perilaku kedua calon mempelai terhadap orang tua dan keluarga sangat berperan
penting di
dalam mendapatkan
restu dari
orang tua
untuk melangsungkan perkawinan.
63
Aan Wan Seng, Op.Cit., hal.31.
Universitas Sumatera Utara
41
Secara garis besar, syarat – syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa sangat sederhana dan hanya terfokus kepada cara pandang dan kebiasaan – kebiasaan
serta adat- istiadat dari suku danatau keluarga. Tidak terdapat sanksi apabila syarat- syarat perkawinan tidak dipenuhi atau dilaksanakan oleh para pihak yang
melangsungkan perkawinan. Sanksi lebih kepada sanksi sosial seperti berupa cemoohan dari pihak keluarga, kerabat dekat, maupun masyarakat.
3. Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan