PEREMPUAN PAPUA: BERJUANG DALAM SITUASI KONFLIK DAN LOKASI PENGUNGSIAN
PEREMPUAN PAPUA: BERJUANG DALAM SITUASI KONFLIK DAN LOKASI PENGUNGSIAN
Realita kekerasan dan diskriminasi berlapis terhadap perempuan Papua terkait erat dengan sejarah panjang kebijakan sosial, ekonomi, politik dan keamanan pemerintah yang belum sepenuhnya berpihak pada hak-hak konstitusional orang asli Papua. Berbagai kebijakan ekonomi, sosial budaya, politik dan keamanan pemerintah di Papua sejak awal tahun 1960 hingga saat ini mengakibatan terjadinya berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan berlapis terhadap perempuan Papua. Berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi dilakukan berulang oleh negara, oleh jaring industri bisnis tambang dan hutan milik pelaku bisnis menengah nasional hingga korporasi multinasional yang menguasai
sumber daya alam Papua, maupun oleh masyarakat dan anggota keluarga korban sendiri. 32 Secara khusus, lewat pemantauan langsung Komnas Perempuan dan mitra-mitranya di Papua selama
tahun 2010, Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan baik yang dilakukan oleh komunitas maupun oleh negara masih saja berlanjut sebagaimana digambarkan berikut ini.
Kekerasan dan Eksploitasi Seksual sebagai Pola Kekerasan yang Berulang di Wilayah Basis Penempatan Aparat Keamanan di Perbatasan RI-Papua Nugini
Terdapat sejumlah pos aparat untuk pengamanan perbatasan RI-Papua Nugini di wilayah Kabupaten Merauke. Di sepanjang jalan dari Kota Merauke sampai ke Distrik Elikobel yang berjarak kurang dari 300 kilometer terdapat 12 pos aparat keamanan/TNI-AD. Di beberapa kampung, pos keamanan ditempatkan di tengah/di lingkungan pemukiman masyarakat.
Kehadiran aparat keamanan yang makin banyak jumlahnya dan sikap mereka yang dinilai sewenang-wenang dan arogan, telah memunculkan perasaan takut dan tidak aman di kalangan penduduk kampung. Selain itu, tindak kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap perempuan muda masih saja terjadi berulang. Modus yang umum terjadi adalah, awalnya ’dipacari’ oleh anggota aparat keamanan, diberi janji akan dinikahi, namun akhirnya para perempuan muda dan anak hasil relasi mereka ditinggalkan begitu saja tanpa ada pertanggungjawaban setelah masa tugas aparat yang bersangkutan berakhir. Eksploitasi seksual dalam modus relasi personal membuat pimpinan institusi militer terkait cenderung melihat masalah ini sebagai ekses semata. Tindakan anggotanya dilihat sebagai masalah privat dan tanggung jawab personal. Tidak sedikit kasus diselesaikan melalui mekanisme adat/kekeluargaan dan tidak memenuhi rasa adil bagi perempuan korban dan anaknya.
Penanganan dan Inisiatif Lokal Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPPA) Kabupaten Merauke dan
sejumlah aktivis pendamping korban di Merauke mengungkapkan beberapa langkah penanganan
32. Selengkapnya lihat STOP Sudah!: Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM 1963 – 2009, Komnas Perempuan, Pokja Majelis Rakyat Papua dan International Center for Transtitional Justice, 2010
42 KOMNAS PEREMPUAN 42 42 42 AN AN AN KOMNAS PEREMPU KOMNAS PEREMPU KOMNAS PEREMPU Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2010 42 KOMNAS PEREMPUAN 42 42 42 AN AN AN KOMNAS PEREMPU KOMNAS PEREMPU KOMNAS PEREMPU Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2010
Kekerasan Seksual dan Pengungsian Berlanjut di Wilayah Konflik Bersenjata, Kabupaten Puncak Jaya
Penyerangan oleh aparat TNI ke distrik Tingginambut Pada bulan Oktober 2004, satu kelompok OPM membunuh lima orang Kopassus yang sedang berjalan dari
Wamena menuju Kota Mulia. Kendaraan Kopassus dibakar dan senjata dirampas. Dalam rangka mencari kelompok OPM yang bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut, suatu operasi militer menyasar masyarakat di beberapa wilayah di Kabupaten Puncak Jaya karena dianggap termasuk wilayah OPM. Rumah-rumah dibakar, ternak ditembak dan dirampas, dan kebun dirusak sehingga ratusan masyarakat mengungsi ke hutan. Tim Dokumentasi mendapatkan kesaksian beberapa perempuan yang menjadi korban pemerkosaan pada saat operasi militer di Puncak Jaya. Mereka dijadikan obyek sasaran sebab diduga mereka mempunyai hubungan dengan anggota TPM/ OPM atau mempunyai informasi mengenai mereka. Para lelaki umumnya sudah lari ke hutan (karena menjadi sasaran utama pengejaran) sedangkan sebagian perempuan dan anak-anak serta lansia mengungsi ke Mulia (Ibu Kota Kabupaten Puncak Jaya) dan sebagian lagi bertahan tinggal di hutan sekitar Distrik Tingginambut.
Penyerangan oleh aparat TNI-AD ke Distrik Yambi Pada tanggal 20 Maret 2010, seorang laki-laki dari salah satu kampung Distrik Yambi ditemukan
meninggal dunia di hutan ketika mencari kayu, dia ditembak oleh orang yang tidak dikenal hingga meninggal dunia. Masyarakat tidak terima dengan penembakan tersebut dan pergi ke pos tentara dekat kampung untuk meminta penjelasan. Respon pihak tentara dengan melepaskan tembakan sehingga masyarakat lari pulang ke kampung, tentara terus mengejar sampai di kampung dan mengeluarkan tembakan. Pada 21 maret 2010, sekitar jam 05.00 waktu Indonesia timur pagi, aparat tentara kembali menyerang kampung. Mereka membakar honai, babi peliharaan dan tanaman milik masyarakat. Selanjutnya selama satu minggu aparat melakukan penyisiran di seluruh Distrik Yambi. Karena
gereja dan pastori yang biasa dijadikan tempat masyarakat mengungsi ikut terbakar dalam peristiwa tersebut, maka masyarakat kemudian mengungsi ke hutan dan Kota Mulia.
Kondisi Umum Pengungsi
Kondisi Pengungsi dari Distrik Tingginambut
Hingga Pebruari 2011, jumlah pengungsi di dua titik di distrik Kota lama sebanyak 70 kepala keluarga berasal dari Tingginambut. Para pengungsi tinggal di 20 honai sementara. Dalam wawancara,
Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2010
KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN
Pengungsi dari Distrik Yambi
Setelah penyerangan terjadi, masyarakat Distrik Yambi mengungsi keluar dari distrik dan tinggal di daerah Kulurik di pinggiran hutan dekat Kota Mulia. Hingga sekarang para pengungsi mendiami
7 titik lokasi dan tinggal di honai-honai yang terbuat dari papan dan beratapkan terpal. Di setiap honai dihuni 3-8 kepala keluarga. Para pengungsi menyampaikan, kondisi hidup mereka tidak aman karena masih ada kontrol yang dilakukan aparat TNI terhadap mereka. Disamping itu, sampai saat ini masyarakat pengungsi belum mendapat bantuan apapun dari pemerintah maupun lembaga lainnya. Jumlah keseluruhan pengungsi sebanyak 100 orang. Anak umur perempuan dan laki-laki usia belasan tahun dikirim ke Distrik Ilu atau ke Wamena untuk dapat pendidikan. Anak-anak usia SD tidak bersekolah kalau kuat jalan sekolah ke Kota Mulia, kalau tidak kuat jalan mereka tinggal di rumah saja.
Kelaparan di Lokasi Pengungsian dan Mengalami Kekerasan Seksual di Kebun
Menurut pengungsi dari Distrik Yambi, mereka memilih tinggal di Kulurik, karena pertama, mereka takut kalau masuk ke kota mereka akan melewati banyak pos sehingga kuatir dengan keselamatan mereka dan kedua, mereka tidak tahu akan tinggal di mana dan makan apa di kota sehingga memilih tinggal di pinggir hutan karena ada lahan yang mereka bisa tanami. Masyarakat pengungsi juga menyampaikan bahwa mereka merasa tidak aman karena tanah yang ditempati bukan milik mereka dan berharap bisa kembali ke Yambi. Akibat kelaparan dan penyakit, sejak tahun 2010 terdapat 20 orang yang meninggal dunia, diantaranya: 7 perempuan, 6 laki laki yang sudah tua dan 7 anak-anak.
Jika pergi ke kebun, mama-mama harus melewati pos aparat keamanan. Aparat keamanan secara kelompok (3-5 orang) mengikuti mama-mama ke kebun dan melakukan tindak kekerasan seksual di kebun. Dua orang mama menyampaikan pengalamannya dan menginformasikan pengalaman perempuan-perempuan lain yang mereka ketahui mengalami hal yang sama dengan mereka.