KOMNAS PEREMPUAN AN AN AN KOMNAS PEREMPU KOMNAS PEREMPU KOMNAS PEREMPU Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 10

20 KOMNAS PEREMPUAN 20 20 20 AN AN AN KOMNAS PEREMPU KOMNAS PEREMPU KOMNAS PEREMPU Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2010

Komnas Perempuan mencatat bahwa perempuan rentan mengalami ancaman perkosaan, pelecehan seksual, dan intimidasi bernuansa seksual lainnya pada saat serangan terjadi. Stigmatisasi pada komunitas Ahmadiyah di Cikeusik menyebabkan kerentanan ini juga dialami perempuan Ahmadiyah di berbagai wilayah pada masa sebelum dan sesudah serangan itu. Trauma akibat serangan dapat menyebabkan perempuan mengalami depresi berkepanjangan dan gangguan kesehatan

reproduksi hingga keguguran. Perempuan juga menanggung beban psikologis karena menyaksikan

anak-anak mereka mengalami diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari baik di sekolah maupun di tengah masyarakat. Sejumlah anak perempuan kemudian dihadapkan pada ketiadaan pilihan kecuali putus sekolah dan menikah pada usia dini sebagai cara untuk melanjutkan kehidupannya di tengah intimidasi dan keterbatasan di tempat pengungsian. Dalam kasus Cikeusik, isteri korban meninggal harus menjadi orang tua tunggal yang menanggung sendiri beban hidup anak-anak mereka.

Kriminalisasi Akibat Penerapan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Selama kurun 2010, Komnas Perempuan mencatat setidaknya terdapat empat kasus dengan penerapan UU pornografi yang semakin menunjukkan persoalan intrinsik dari UU No. 44 tahun 2008, yaitu definisi pornografi dan pengaturan yang multitafsir menyebabkan kriminalisasi terhadap warga negara, khususnya perempuan. Dalam keempat kasus itu, perempuan sebagai korban kekerasan pun tidak terlepas dari kriminalisasi akibat penafsiran hukum yang bias gender dalam kerangka moralitas.

Kasus pertama adalah penghukuman empat penari yang ditangkap Polsek Taman Sari Jakarta Barat. Mereka dikenakan Pasal 82 UU Pornografi dengan ancaman hukuman pidana paling singkat 18 bulan

dan paling lama tujuh tahun dan denda paling sedikit Rp. 150 juta dan paling banyak Rp. 750 juta. 5 Kasus kedua adalah enam penari Bel Air Cafe and Music Lounge yang divonis dua bulan 15 hari dan denda Rp. 1 juta atau diganti kurungan dua bulan oleh Pengadilan Negeri Bandung dengan

menggunakan Pasal 34 dan 36 UU Pornografi. 6

Kasus ketiga adalah vonis kepada DW selama tujuh bulan penjara berdasarkan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Karang Anyar Nomor 172/Pid.B/2009/PN.Kray. Hakim menilai DW dengan sengaja menjadikan dirinya objek pornografi. DW dianggap bersalah karena bersedia merekam hubungan seksual dengan pacarnya, meski karena untuk kenang-kenangan pribadi serta dicetak untuk diserahkan pada orang tua DW agar ia dan pacarnya segera dinikahi. Namun oleh pacar DW rekaman tersebut justru pada akhirnya ditonton beramai-ramai dengan para pemuda kampung. Tentu DW sangat depresi. DW tidak dapat membuktikan dirinya tidak bersalah, seorang korban eksploitasi seksual, karena aturan di dalam UU Pornografi sistem hukum telah memposisikannya sebagai pelaku pornografi.

Sama halnya dengan kasus DW, para penari di Bandung yang divonis bersalah juga sebetulnya berada dalam posisi sebagai korban kekerasan. Jika ditelusuri dengan baik, maka indikasi terjadinya trafiking nyata ada. Para penari pada awalnya dipindahkan dari desa asalnya di daerah Cianjur dan sekitar menuju Bandung (unsur pemindahan proses). Mereka dijanjikan bekerja di sebuah cafe sebagai pelayan makanan dan minuman layaknya sebuah restaurant, tetapi ternyata dijadikan penari erotis

5. “10 Penari Terjerat UU Pornografi”, Seputar Indonesia, 3 November 2010 6 Enam Tersangka Tarian Erotis Divonis Penjara 75 Hari”, Tempo Interaktif, Kamis 11 Maret 2010

Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2010

KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN

(unsur pemalsuan atau penipuan pada cara). Mereka lalu dipaksa bekerja sebagai penari erotis (unsur pelacuran atau eksploitasi pada tujuan). Seharusnya apabila salah satu unsur dari proses, salah satu unsur dari cara, dan salah satu unsur dari tujuan telah terpenuhi maka sudah bisa dikelompokkan sebagai perdagangan orang sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Jika aparat teliti dalam menelaah kasus ini, seharusnya para para penari diposisikan sebagai korban trafiking bukan pelaku pornografi.

Penggunaan KUHAP sebagai hukum acara telah menghalangi para penari dan DW mendapatkan haknya atas perlakuan khusus dan keadilan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena diposisikan sebagai pelaku kejahatan, baik DW maupun para penari tidak memperoleh perlakuan khusus meskipun sejatinya mereka adalah korban kekerasan terhadap perempuan. Padahal, Pasal 8 UU Pornografi dalam penjelasan menegaskan model/objek pornografi yang mengalami pemaksaan, ancaman kekerasan, tipu muslihat tidak dipidana. Dalam kasus para penari, prasangka yang lahir dari jenis pekerjaan mereka menghalangi aparat untuk meneliti lebih dalam posisi tersangka. Ini menegaskan bagaimana kerangka moralitas dapat menghalangi perempuan untuk dapat menikmati hak konstitusional untuk tidak mendapatkan diskriminasi. Selain itu, tiga kasus di atas utamanya bagi korban tidak mendapatkan pendampingan dan bantuan hukum selama proses peradilan. Hal ini sangat mempengaruhi korban dalam memberikan keterangan baik sebagai saksi maupun korban dan menghalangi hak korban untuk mendapat keadilan.

Kasus keempat adalah dugaan pelanggaran UU Pornografi oleh dua artis perempuan terkait kasus video bermuatan tindak hubungan seksual yang disangkakan dilakukan oleh seorang artis laki-laki. Kasus ini mendapatkan peliputan media yang luas sampai-sampai pihak Komisi Penyiaran Indonesia perlu menegur stasiun televisi untuk tidak menyiarkan rekaman tersebut sebagai bentuk perlindungan masyarakat atas siaran yang melanggar kode etik. Kecaman pada para tersangka sebagai manusia tidak bermoral berujung pada penghakiman publik kepada seluruh tersangka. Seorang kepala daerah bahkan mengeluarkan larangan bagi para artis tersebut untuk berada di wilayahnya sebagai cara penyikapan atas kasus itu; larangan ini jelas mencerabut hak warga negara untuk bergerak bebas (mobilitas). Sampai saat ini proses persidangan kasus video masih berlanjut. Berdasarkan pengamatan terhadap persidangan kasus-kasus sejenis, Komnas Perempuan kuatir bahwa hak warga negara atas pengadilan yang adil tidak dapat dipenuhi akibat berbagai tekanan kelompok masyarakat atas nama agama dan moralitas.

Serangan Berbasis Orientasi Seksual dan Identitas Gender

Masih terkait dengan persoalan diskriminasi dan kekerasan atas nama agama dan minoritas adalah serangan yang ditujukan kepada kelompok yang memperjuangkan toleransi pada hak atas orientasi seksual dan identitas gender sesuai dengan hati nurani. Ada tiga kasus besar yang dicatat oleh Komnas Perempuan, yaitu serangan kepada penyelenggara konferensi regional International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender dan Inter-sex Association (ILGA) di Surabaya pada 26-28 Maret 2010, penyelenggara pelatihan Hak Asasi Manusia untuk waria di Depok pada 30 April 2010, dan penyelenggara Q-Film Festival di Jakarta dan beberapa kota lainnya di Indonesia pada September 2010.

Sekelompok masyarakat atas nama Forum Umat Islam Jawa Timur gabungan dari Hizbut Tahrir Indonesia, FPI Jatim dan Formabes (Forum Madura Bersatu) mendesak pembubaran konferensi ILGA.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

EFEKTIFITAS BERBAGAI KONSENTRASI DEKOK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici SECARA IN-VITRO

4 157 1

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH DIMENSI KUALITAS LAYANAN TERHADAP KEPUASAN PELANGGAN DI CAFE MADAM WANG SECRET GARDEN MALANG

18 115 26