Kualitas Terjemahan al-Qur’an

C. Kualitas Terjemahan al-Qur’an

Dalam terjemahan, penerjemah dituntut agar bertanggung jawab terhadap pesan yang terkandung dalam teks sumber, sehingga mampu dialihkan secara benar dan diterima bagi pembacanya. Tanggung jawab yang besar itu menyebabkan penerjemah harus memiliki kemampuan profesionalisme yang tinggi. Profesionalisme penerjemah, menurut Hoed dapat dilihat dari empat faktor

penting, yakni (1) pengetahuan umum, (2) keingintahuan dan berjiwa peneliti (curiosity and research), (3) intelejensia, dan (4) retorika (kemampuan mengolah

bahasa). 81 Demikian pula kualitas terjemahan al-Qur’an secara umum dilihat dari

penerjemahnya. Misalnya terjemahan al-Qur’an Indonesia kebanyakan dilakukan oleh kalangan intelektual muslim baik yang berasal dari pendidikan pesantern maupun akademis. Secara historis, setidaknya pada abad ke 20 para intelektual muslim Indonesia memperlihatkan geliat yang cukup menarik dalam tradisi tafsir. 82 Secara historis, sejak abad ke 17 M, di Indonesia telah muncul upaya

penerjemahan al-Qur’an yang pertama kali oleh ‘Abd Ra’uf al-Sinkili (1615-1693 M) dengan nama Tarjumun al-Mustafid 83 .

81 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Bandung: Pustaka Jaya, 2006), hal. 11

82 Howard M. Federspiel , Kajian al-Quran di Indonesia, terj. Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 37

83 ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkilî hidup dalam enam periode kesultanan Aceh, yaitu periode Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Sultan Iskandar Tsani (1636-1640), Sultanah Taj al-‘Alam

Safiyat al-Din Syah (1641-1675), Sri Sultan Nûr al-‘Alam Nakiyat al-Din Syah (1675-1678), Sultanah Inayat Syah Zakiyat al-Din Syah (1678-1688) dan Sultanah Kamalat Syah (1688-1699). Keempat penguasa yang terakhir ini adalah sultan perempuan yang di dalam kepemimpinan merekalah ‘Abd al-Ra’uf menjadi seorang mufti. Lihat, Ishlah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, hal. 40.

Jejak beliau diikuti dan dikembangkan oleh ulama Nusantara lainnya pada akhir tahun 1920-an, mulai muncul beberapa literatur bahasa Melayu yang mencoba memberikan kemudahan dalam berinteraksi dengan al-Qur’an. Di era ini, Mahmud Junus (1935 H) telah memulai menerjemahkan al-Qur’an yang

ditulis dalam tulisan jawi (bahasa Indonesia yang ditulis dengan tulisan Arab), 84 Terjamah al-Qur’an al-Karim. Ahmad Hassan, (1928) juga telah memulai

menerjemahkan al-Qur’an. Menjelang tahun 1940, ia telah menyelesaikan

terjemahannya hingga surah Maryam. 85

Pada masa orde lama, bermunculan beberapa terjemahan al-Quran yang disertai dengan penjelasan yang kemudian masuk pada kelompok literatur tafsir Indonesia. Misalnya tafsir al-Azhar karya Hamka atau Abdul Malik bin Abdul Karim Amirullah yang disusun sejak tahun 1962 dan diterbitkan pada tahun 1967, tafsir al-Nûr 86 dan kedua adalah Tafsir al-Bayân oleh Hasbi al-Shiddîqî.

Kemudian, muncul terjemahan al-Qur’an berikutnya pada masa orde baru, yakni terjemahan Depag RI. Terjemahan tersebut telah mengalami terbitan kali ketiga, yaitu edisi 1970, 1989 dan 2002. Penerjemahan dan penerbitan awal terjemahan al-Qur’an Depag RI ini langsung ditangani oleh pemerintah sekaligus

sebagai fasilitator melalui Depag RI. 87 Sebagaimana dikemukakan oleh Nur Ichwan, bahwa tafsir al-Qur’an di

Nusantara telah mengalami perkembangan dengan munculnya litratur tafsir dalam bahasa Melayu, Jawa, Batak, Sunda, Bugis dan Aceh. Banyak orang muslim

84 Pada tahun 1922, Junus telah menerbitkan tiga bab dari karyanya. Ketika itu pada umumnya sarjana muslim di Indonesia menyatakan bahwa menerjemahkan al-Quran adalah

haram. Beberapa tahun kemudian, ketika menjadi seorang mahasiswa di Universitas al-Azhar, Mesir, menurut salah seorang dosennya menyatakan bahwa menerjemahkan al-Quran hukumnya boleh, bahkan bisa fardlu kifayah. Atas dasar itu, Junus mendapat semangat baru untuk melanjutkan usahanya itu pada bulan Ramadan tahun 1354 H (1935 M) dan pada tahun 1938, tamatlah terjemahan al-Quran tiga puluh serta tafsirnya. Lihat, Mahmud Junus, Tafsir Quran Karim (Djakarta: Al-Hidajah, 1971), hal. iii.

85 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, hal. 49 86 Tafsir al-Bayân termasuk tafsir generasi ketiga yaitu mulai muncul pada tahun 1970-an,

dan merupakan penafsiran yang lengkap. Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur'an di Indonesia, hal. 137. Sedangkan menurut Ishlah, tafsir ini masuk kategori generasi kedua karena dicetak pada tahun 1966 oleh PT Al-Ma'arif Bandung. Tafsir ini merupakan wujud ketidak puasannya terhadap karya tafsir yang pertama. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, hal. 60

87 Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan al-Qur’an Departemen Agama Edisi 1990, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), hal. 135 87 Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan al-Qur’an Departemen Agama Edisi 1990, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), hal. 135

muslim nusantara, baik yang asli maupun keturunan. 88 Lebih dari itu, geliat perkembangan terjamah al-Qur’an juga merambah ke

berbagai bahasa daerah yang ada di Nusantara seperti al-Ibrîz li Ma’rifah al-Tafsîr al-Qur’an al-‘Azîz karya K.H. Bisri Mustafa (1960 H) dalam Bahasa Jawa, Tahrîf fi Qulûb al-Mu’minîn fi Tafsîr Kalimat Sûrat Yâsîn karya Ahmad Sanusi Ibn ‘Abd

Rahim, Tarjamanna Nenniya Tafeserena karya Anre Gurutta. 89 Daud Ismail, Tafsîr al-Qur’an al-Karim karya tim Majelis Ulama Indonesia Wilayah Sulawesi

Selatan. 90 Al-Qur’an al-Karim, Tarjamah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh karya Mahjiddin Yusuf (1994 H)

Kitab Mahjiddin termasuk karya terjemah yang ditulis lengkap pada awal

abad ke-20 ini. Pada awalnya lebih ditujukan untuk mendekatkan al-Qur’an dengan kondisi sosio-kultural masyarakat Aceh, juga agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat dengan cita rasa bahasanya sendiri. Lagi pula keindahan bahasa al-Qur’an tentu akan lebih terasa jika disampaikan dalam bahasa yang indah

pula. 91 Hal ini tidaklah mengherankan karena keindahan al-Qur’an itu sendiri

berasal dari yang Maha indah. Allah sendiri Maha indah dan mengagumi keindahan. Jika Allah Maha Indah maka sudah tentu firmannya juga indah. Kata al-Qur’an sendiri berarti bacaan, bacaan yang indah. Untuk mendekati al-Qur’an yang indah disyaratkan dengan pendekatan yang mampu menguak tabir keindahannya. Dan ini sangat mungkin dilakukan dengan kajian sastra yang memang sangat apresiatif terhadap bahasa dan seni keindahan. Dengan kata lain,

88 Nur Ichwan dalam Diskusi Panel tentang Wacana Tafsir Pribumi Makalah, diselenggarakan oleh BEM Jurusan Tafsir Hadits UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tanggal 22

Mei 2000, hal. 1 89 Anre Gurutta adalah sebuah istilah gelar bagi ulama Sulawesi Selatan, yang semakna

dengan gelar kiyai di Jawa, Buya di Minang, Tuan Guru di Banjarmasin dan Nusa Tenggara Barat. Namun gelar ini ada perbedaan bagi ulama tua dan muda.

90 Lihat Disertasi Mursalim tafsir bahasa Bugis: tafsir al-Quran al-karim karya MUI Sulawesi Selatan, Sekolah Pasca sarjana UIN Syraif Hidayatullah Jakarta, 2009

91 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. xvii. Lihat juga HB. Jassin, al-Qur’an al- Karim Bacaan Mulia, hal. xii

“mendekati” yang Maha indah yang telah melahirkan firman yang sangat indah (al-Qur’an), sangat logis dengan pendekatan puisi. Manusia tak akan mampu “berjumpa” dengan yang Maha indah dalam kondisi yang tidak indah atau kotor, karena itu untuk “menjumpai” yang Maha Indah dibutuhkan seperangkat alat yang indah atau minimal yang menghargai keindahan.

Sastra, di mana pun dan kapan pun tidak lahir dari kekosongan. Sebagai wujud dari penuturan erlibnis (pengalaman hidup yang dihayati) seperti dikatakan William Dilthey (1833-1911), karya sastra sebenarnya merupakan tanggapan atau penilaian pengarang atas kondisi kemanusiaan dan sosial budaya yang dihadapi masyarakat pada zamannya. Dalam membangun tanggapan itu, ia bertolak dari suatu pandangan dunia (Weltanschauung atau worldview) dan sistem nilai tertentu

yang tengah bangkit pada zamannya. 92 Weltanschauung penulis-penulis Melayu Aceh pada abad ke-16 dan 17 M, seperti dikatakan M. Naquib al-Attas (1972),

dibentuk oleh tafsir terhadap ajaran Islam yang dilakukan ahli-ahli tasawuf atau sufi berkaitan dengan metafisika, etika, dan estetika. Bukanlah suatu kebetulan apabila kita harus menghubungkan wawasan sastra atau estetika yang melapisi kesusastraan Melayu pada masa formatifnya di Aceh dengan estetika yang dikembangkan para sufi seperti Imam al-Ghazali, Ibn `Arabi, Fariduddin `Attar,

Jalaluddin Rumi, Abdul Rahman Jami, dan Hamzah Fansuri sendiri. 93

Namun berbeda dengan ide yang disampaikan oleh Abû Zaid, penafsiran atau penerjemahan al-Quran dalam konteks bahasa, sepenuhnya tidak bisa lepas dari wilayah budaya dan sejarah. Di samping bahasa itu sendiri memang sebagai bagian dari budaya manusia. Dalam hal ini, penafsir berusaha menjelaskan pengertian dan maksud suatu ayat berdasarkan hasil dari proses intelektualisasi dengan langkah epistimologi yang mempunyai dasar pijak pada teks dengan

konteks-konteksnya. 94

92 Wihem Diltey, Poetry and Experience, (Princeton University Press, 1985) 93 Muhammad Naquib al-Attas, The Oldest Known alay Manuscript: A 16 th Century Malay

Translation of the ‘Aqaid of al-Nasafi, 1988) 94 Nasr Hamid Abû Zaid, Mafhûm al-Nass: Dirâsat fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Markaz al-

Tsaqâfah al-‘Arabî: 1998), cet. IV, hal. 21

Dalam konteks terjadinya ambivalensi tersebut, tafsir yang secara metodologis selama ini hanya berada dalam lingkaran islamic studies yang kental dengan nalar teosentris (al-`aql al-lâhûtî), maka meniscayakan adanya kebutuhan terhadap ilmu-ilmu sosial. Maka, tafsir tidak lagi dikungkung dalam peradaban teks, tetapi mesti dirajut dengan peradaban ilmu (science) yang oleh Arkoun disebut sebagai al-`aql al-târihî wa `ilmiy. Sebab, memahami fenomena dan problem sosial yang dihadapi manusia kontemporer sangat terkait dengan ilmu budaya, yang mengungkap masalah yang terkait dengan ide dan nilai yang dianut di dalam kelompok masyarakat; dan ilmu sosial yang terkait dengan sistem dan interaksi kelompok di dalam masyarakat. Untuk mengetahui dan mengurai problem sosial kemanusiaan di tengah masyarakat, kita bukan menggunakan analisis kerohanian yang abstrak, seperti yang selama ini lebih sering terjadi, tetapi haruslah dengan menggunakan kacamata analisis sosial. Hal ini penting

untuk merumuskan pemahaman keagamaan mengenai problem kemanusiaan, merefleksikannya secara kritis, menteoritisasikan dalam bentuk perubahan, dan

aksi perubahan itu sendiri. 95 Proses tersebut menjadikan gerakan tafsir tidak lagi bersifat top-down, yang

berangkat dari refleksi (teks) ke praksis (konteks), tetapi sebaliknya bersifat bottom up , yaitu dari bawah ke atas: dari praksis (konteks) menuju refleksi (teks). Dengan pandangan yang demikian, pengertian “konteks” teks kitab suci tidak hanya dilihat dalam konteks struktur teks (siyâq al-kalâm), juga tidak hanya dalam pengertian konteks di mana teks tersebut diturunkan (siyâq al-tanzîl). Namun, pengertian konteks juga dipahami dalam ruang sosial budaya di mana penafsir hidup dengan pengalaman budaya, sejarah dan sosialnya sendiri. Sebab, pada saat itu, penafsir tidak hanya berhadapan dengan teks kitab suci, tetapi dia juga berhadapan dengan realitas sosial, sebagai teks sosial yang selalu hidup dan

berkembang. 96

95 Masdar F. Mas’udi, “Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris” Pengantar dalam Veri Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan, hal. xvii.

96 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, hal. 248-249

Studi interpretasi al-Qur’an kontemporer tidak saja terbatas pada bentuk interpretasi yang menekankan pada pencarian makna dari segi narasi belaka. 97

Akan tetapi, perspektifnya sudah berkembang pesat yaitu dengan menempatkan teks al-Qur’an sebagai teks yang bersifat historis yang lekat dengan bahasa dan budaya tertentu. Artinya, di samping berbicara tentang interpretasi teks, telaah ini

sudah masuk pada analisis “status ontologis teks” 98 dan relasi antar konteks melalui interpretasi kebudayaan dengan menggunakan pisau analisis linguistik dan semiotik yang terbingkai dalam hermeneutika teks.

Memang diakui bahwa penulisan literatur tafsir dalam bentuk bahasa lokal (daerah) mengalami pasang surut dan tidak mengalami perkembangan yang signifikan seperti halnya dengan karya tafsir yang berbahasa Indonesia. Akibatnya literatur tafsir lokal semakin tidak popular. Di samping itu pula, karya tafsir lokal pada tingkat cakupan keindonesiaan dianggap sebagai karya yang elitis. Sebab,

tidak semua Muslim Indonesia mengetahui bahasa-bahasa lokal daerah lainnya dan sekaan-akan karya ini hanya ditulis khusus untuk daerah pemakai bahasa tersebut.

97 Studi interpretasi al-Qur’an yang dilakukan oleh para ulama dari kalangan Muslim sejak dulu sampai kini dan akan datang akan selalu berada dalam satu bingkai teoretik yang sama yaitu

to make the texts understandable and relevant . Lihat Andrew Rippin, Muslim Their Religious Beliefs and Practices , Volume 2: The Contemporary Period (London: Routledge, 1995) hal. 85; bandingkan dengan J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt (Leiden: E.J. Brill, 1974); juga Helmut Gatje, The Qur’ân and it’s Exegesis: Selected Text with Classical and Modern Interpretation, terj: Alford T. Welch (California: California University Press, 1976), hal. 30.

98 Telaah terhadap status ontologis ini berfaedah untuk menjelaskan sifat-sifat historis dan nir-historis al-Qur’an, yaitu mengenai ketidakseimbangan ontologis dalam proses komunikasi

antara manusia yang natural dengan Tuhan yang supranatural. Pendekatan yang dilakukan untuk kajian ini, setidaknya pernah dilakukan oleh Izutsu dengan menggunakan analisis semantik. Namun ia masih terbatas pada pencarian makna asli dari suatu teks dan belum menyingkap problem jarak, tradisi dan kebudayaan, begitu pula dengan aspek-aspek simbolis lain yang dapat di telaah melalui semiotik. Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: a Semantical Analysis of the Koranic Weltanschauung , (Tokyo: Keio University Press, 1964) hal. 155; telaah terhadap status ontologis teks melalui hermeneutik tidak hanya terjadi di kalangan Muslim terhadap al-Qur’an, tetapi juga terhadap kitab “Perjanjian Baru” di antaranya dilakukan oleh Rudolf Bultmann melalui karyanya yang berjudul “Das Problem der Hermeneutik”. Lihat Routrand Wieland, “Wurzeln der Schwierigkeit innerislami schen Gerpracchs Uber Neue Hermeneutiche Zungange zum Korantext”, dalam Stefan Wild (ed.), The Qoran as Text, hal. 270; ulasan singkat tentang telaah terhadap konsep teks ini lihat juga Berichtvon Almut Wieland, Internationale Symposion “Der Koran als Text”, dalam: Juhrbuch fûr Religionwissenschaft und der Religionen (Bonn: Freinburg, 1994) hal. 148-158; juga Abû Zaid, Mafhûm an-Nash, hal. 10.

Vernakulisasi (pribumisasi) dalam tradisi al-Qur’an yang dilakukan oleh ulama Nusantara paling tidak ada dua alasan, yaitu: pertama, sebagai bentuk sosialisasi dan pembumian kitab suci al-Qur’an kepada masyarakat muslim Indonesia yang tidak paham bahasa Arab sehingga al-Qur’an tetap menjadi kitab pegangan dan petunjuk. Kedua, adalah sebagai upaya untuk melestarikan warisan budaya lokal, yaitu bahasa daerah itu sendiri.

Terjemah al-Qur’an khususnya bagi masyarakat muslim Indonesia merupakan wacana yang harus dibaca, dipahami dan diaplikasikan sebagaimana orang yang paham dengan bahasa al-Qur’an. Terjemahan al-Qur’an yang tidak tepat dan sepadan akan menimbulkan kontradiksi dan persepsi yang salah. Misalnya terjemahan al-Qur’an yang dihasilkan oleh H.B. Jassin, seorang kritikus

sastra pada akhir 1970-an 99 terjemahannya ini kemudian mendapatkan kecaman dan kritik serta tanggapan dari berbagai komuitas masyarakat muslim Indonesia,

termasuk dari Departemen Agama. Sebenarnya dalam hal penerjemahan, betul salahnya terjemahan hanya bersangkutan dengan aspek kebahasaan murni. Ini sifatnya mutlak. Dan faktor bahasa itulah yang selalu membayangi proses penerjemahan, karena antara Bahasa sumber dan bahasa sasaran berbeda. Jadi, istilah kesalahan dalam terjemahan harus dibedakan antara betul salah

(correctness) dengan baik buruk (good or bad translation) 101 Diakui bahwa terjemahan satu kalimat, tidaklah sepenuhnya sama dengan

bahasa sasaran yang dimaksud, karena adanya beberapa perbedaan antara kedua bahasa tersebut. Lebih-lebih bahasa Arab mempunyai kosa kata yang sangat kaya. Disisi lain, bahwa menerjemahkan al-Qur’an tidak akan pernah berhasil, 102 karena

itu, banyak ulama yang enggan menggunanakan istilah terjemah al-Qur’an, tetapi

99 Yang terinspirasi dari Yûsuf ‘Ali, seorang penerjemah al-Qur’an ke dalama bahasa Inggris berasal dari India pada tahun 1930-an. Terjemahan H.B. jassin ini bergaya puitis dengan

kalimat-kalimat yang indah. Lihat, Phil. M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta: eISAQ Press, 2005), hal. 264

100 Oemar Bakry, Polemik H. Oemar Bakry dengan H.B. Jassin tentang al-Qur’an al- Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Mutiara, 1979)

101 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, hal. 27 102 Sambutan Mentri Agama, al-Quran dan Terjemahannya Departemen Agama RI,

(Surabaya:Mekar Surabaya, 2004), hal. iii. Lihat juga M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hal. 323

“terjemahan makna-makna al-Quran” 103 namun demikian, istilah terjemahan al- Qur’an di Indonesia lebih banyak digunakan dalam pengertian terjemahan makna-

makna al-Quran, dan inilah yang membedakan terjemahan kitab suci al-Qur’an dengan kitab Injil.

Menurut Suryawinata, praktek terjemahan al-Qur’an agaknya menggunakan prinsip terjemahan semantis. 104 Oleh karena itu pada umumnya terjemahan semantik terasa lebih kaku dengan struktur yang lebih kompleks karena ia menggambarkan dan mempertahankan proses berfikir dan dialek penulis aslinya. Dalam banyak hal, penelitian dengan objek hasil terjemahan identik dengan kritik terjemahan. Menurut Newmark, 105 sebuah kritik terjemahan yang komprehensif harus mencakup lima hal yaitu: analisis singkat teks BSu, interpretasi penerjemah, perbandingan yang selektif bagian teks Bsu dan teks bsa, evaluasi terjemahan, peran karya tersebut dalam budaya atau disiplin ilmu di

dalam konteks bsa. Menilai kualitas terjemahan berarti menilai tingkat keterpahaman. Menurut Nida dan Taber, tingkat keterpahaman itu berkaitan dengan ada atau tidaknya dua hal, yaitu: a. ungkapan yang dapat menimbulkan salah paham, dan b. ungkapan yang membuat pembaca sangat sulit memahami amanat yang

dikandungnya karena faktor kosa kata dan gramatika. 106 Terjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu telah dilakukan oleh

ulama Aceh, namun tidak terdapat keterangan bahwa terjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Aceh sudah dilakukan pada abad ke- 17-19 M. 107 Salah satu

103 Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, hal. 323 104 Terjemahan semantik berusaha mepertahankan struktur semantik dan sintaktik serta

makna kontsektual dari teks bahasa sumber. Sehingga elemn budaya bahasa sumber harus tetap menjadi elemen budaya bahasa sumber meskipun ia hadir dalam teks terjemahan bahasa sasaran. Lihat, Zuchriddin Suryawinata dan Sugeng Hariyanto, Translation, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal. 50

105 Peter Newmark, Approaches to Translation, (Oxford: Pergamon Press, 1981, hal. 186 106 Nida, E.A. dan Taber C. The Theory and Practise of Translation, (Leiden: The United Bible Societies, 1982), hal. 2

107 Merujuk pada naskah-naskah yang ditulis uama Aceh, dapat dilihat pada abad ke 16 M telah muncul upaya penafsiran al-Qur’an. Naskah tafsir surat al-Kahfi yang tidak diketahui

penulisnya, diduga ditulis pada awal masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), di mana mufti kesultanannya adalah Syam al-Din al-Sumatrani. Satu abad kemudian muncul karya tafsir Turjumun al-Mustafid, ditulis oleh Abd al-Ra’uf al- Singkili (1615-1693) lengkap juz 30. Lihat Moch Nur Ichwan, “Literatur Tafsir al-Qur’an Melayu –Jawi Indonesia: Relasi Kuasa, penulisnya, diduga ditulis pada awal masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), di mana mufti kesultanannya adalah Syam al-Din al-Sumatrani. Satu abad kemudian muncul karya tafsir Turjumun al-Mustafid, ditulis oleh Abd al-Ra’uf al- Singkili (1615-1693) lengkap juz 30. Lihat Moch Nur Ichwan, “Literatur Tafsir al-Qur’an Melayu –Jawi Indonesia: Relasi Kuasa,

Pendayagunaan kata dalam bahasa terjemah pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu: (1) ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan, (2) kesesuaian dalam mempergunakan kata tadi. 108 Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang diamanatkan oleh al-Quran.

Setelah terjemah al-Qur’an diterbitkan dan diedarkan, ternyata

membuahkan kritik dan saran dari pembaca terutama yang berhubungan dengan bahasa terjemahannya. Sehubungan dengan hal itu, terjemahan al-Quran al-Karim Bacaan Mulia karya HB. Jassin, menuai krtik dari golongan ulama dan masyarakat. Dalam bidang terjemahan teks-teks keagamaan, termasuk teks al- Quran, terdapat kendala kualitas yang disebabkan oleh tidak adanya dukungan dari segi pembinaan dan dari segi standarisasi kualitas. Selain itu, kendala sosial juga menghambat kualitas terjemahan al-Quran dan kendala itu bisa terjadi karena profesi penerjemah memang belum disadari oleh masyarakat sebagai profesi yang strategis dan yang harus didukung oleh profesionalisme yang tinggi berbeda dengan profesi lainnya.

Kendala kualitas pada penerjemahan al-Qur’an memang berbeda dengan penerjemahan teks Arab atau teks asing lainnya, karena penerjemahan al-Qur’an tidak hanya berkisar pada tataran teks (the textual level), tetapi pada tataran

Pergeseran dan Kematia” dalam Visi Islam Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Volume 1, Nomor 1, Januari 2002, hal. 12. Lihat Ishlah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, hal. 43

108 Berkaitan dengan dua hal pokok di atas, maka ada beberapa syarat agar bisa mencapai ketepatan pilihnn kata, antara lain: (1) membedakan secara cermat kata-kata yang bermakna

denotasi dan konotasi, kata yang hampir bersinonim, kata yang mirip dalam ejaannya; (2) menghindari katakata ciptaan sendiri; (3) memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata- kata yang sudah dikenal dan sebagainya. Lihat Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 87 denotasi dan konotasi, kata yang hampir bersinonim, kata yang mirip dalam ejaannya; (2) menghindari katakata ciptaan sendiri; (3) memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata- kata yang sudah dikenal dan sebagainya. Lihat Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 87

Terjemahan al-Qur’an pada hakikatnya bukan menerjemahkan al-Qur’an itu sendiri, karena itu terjemahan al-Qur’an bukan duplikat al-Qur’an. Tetapi terjemahan al-Qur’an adalah menerjemahkan makna-maknanya, sehingga sebagian besar ulama lebih setuju menggunakan istilah terjemahan makna-makna al-Qur’an. 109 Kemudian, upaya peningkatan kualitas terjemah dikembalikan pada kualitas individual yang diserahi tugas untuk menerjemahkan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagaimana syarat-syarat mufassir, antara lain: harus memahami secara benar bahasa al-Qur’an dan bahasa terjemahan, memahami benar gaya dan karakteristik bahasa al-Qur’an, versi terjemahan harus otentik dan sedapat mungkin sesuai dengan bahasa aslinya, menyempurnakan terjemahan

dengan seluruh makna aslinya dan maksud-maksud yang terkandung di dalamnya. 110

Kehadiran terjemah al-Qur’an al-Karim, Tarjamah Bebas Bersajak dalam Bahaa Aceh karya Mahjiddin Yusuf (1994 H) sangat penting bagi masyarakat Aceh, karena al-Qur’an yang dalam bahasa aslinya berbahasa Arab, tidak mudah dimengerti oleh semua umat Islam. Padahal di sisi lain, sebagai Kitab Suci, al- Qur’an harus dapat dimengerti maksud dan kandungan isinya oleh umat Islam agar dapat dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kendati kehadiran tafsir ini sangat membantu masyarakat muslim untuk memahami pengertian dan makna ayat-ayat al-Qur’an, namun tetap disadari bahwa tafsir al- Qur’an dalam bahasa Indonesia tidak akan dapat sepenuhnya menggambarkan maksud ayat-ayat al-Qur’an sebenarnya.

Hal ini disebabkan beberapa faktor, faktor yang paling utama adalah keterbatasan pengetahuan penafsir selaku manusia untuk mengetahui secara persis maksud al-Qur’an, sebagai firman Allah. Yang pasti, usaha apapun dan oleh siapapun, filosofi awalnya memang untuk membantu umat Islam di Indonesia

109 M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi,(Jakarta: Lentera Hati, 2006), hal. 323. 110 al-Sâbûnî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qurân, hal. 207-208.

untuk kian mendekatkan diri pada Kitab Suci, lebih menghayati untuk mengamalkannya. Maka usaha itu sangat mulia dan patut diberi apresiasi tinggi, terlepas dari kekurangan yang ada. Sebab, kekurangan adalah bagian tak terpisahkan dari kemanusiaan pentafsir itu sendiri. Selain itu, usaha yang dirintis di tengah “ketidakpedulian” banyak pihak di negeri ini, juga menjadi point tersendiri yang tak boleh dilupakan.

Lewat karyanya, Mahjiddin telah mendobrak tradisi pemahaman teks al- Qur’an dalam bentuk terjemahan puitis yang sangat memperhatikan cara penulisan pilihan kata serta keindahan, keteraturan, susunan, irama serta bunyi sesuai dengan aturan-aturan puitisasi. Dan tidaklah berlebihan sekirannya dikatakan bahwa ia melakukan penerjemahan secara idiomatik, di mana ia berusaha menciptakan terjemahan dalam kata atau pemahaman yang mudah dimengerti oleh pembaca. Motivasi Mahjidin dalam menyusun kitab terjemah

bersajak bahasa Aceh adalah tujuan sastra dan seni, dan metode dalam melakukan studi ini adalah metode estetika, perasaan dan sastra.