Perluasan dan Akurasi Makna

A. Perluasan dan Akurasi Makna

Dalam menyusun karyanya, Mahjiddin menggunakan terjemahan tafsiriyyah atau maknawiyah, 1 yang menjelaskan makna dengan bahasa lain tanpa

terikat tertib kata-kata bahasa asal atau susunan kalimatnya. Terjemahan seperti ini mengutamakan ketepatan makna dan maksud secara sempurna dengan

konsekuensi terjadi perubahan urutan-urutan kata atau susunan kalimat. Jenis ini disebut juga terjemahan maknawiyyah karena mengutamakan kejelasan makna.

Teknik terjemahan tafsiriyah yang dilakukan Mahjiddin dengan cara memahami maksud teks bahasa Arab terlebih dahulu. Setelah benar-benar dipahami, maksud tersebut disusun dalam kalimat bahasa penerima tanpa terikat dengan urutan-urutan kata atau kalimat bahasa sumber, dan tetap menggunakan pilihan kata atau kalimat bernuansa seni.

Mengenai perluasan atau tambahan makna (tafsir) yang diberikan penerjemah dapat langsung dilihat sejak surah al-Fatihah sampai akhir surah al-

1 al-Zarqâni dan Manna’ al-Qattân sama-sama menamakan terjemahan tafsiriyyah dengan maknawiyyah. Perbedaan pendapat mereka hanya terletak dalam hal keterangan. al-Zarqâni

menamakan terjemahan tafsiriah dengan nama maknawiah disertai keterangan, yakni terjemahan tersebut mengutamakan kejelasan makna. Sedangkan Mannâ’ al-Qaththan tanpa alasan dan keterangan yang jelas. Pemberian nama terjemahan tafsiriah oleh al-Zarqâni bukan tanpa alasan dan keterangan yang logis. Pakar ilmu al-Qur’an ini member nama terjemahan ini dengan tafsiriah karena tehnik yang digunakan oleh penerjemah dalam memperoleh makna dan maksud yang tepat mirip dengan teknik penafsiran, padahal bukan semata-mata tafsir. Lihat, Muhammad ‘Abd al- ‘Azim al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996 M), hal. 113.

Nâs. Mengenai perluasan atau tambahan makna atau tafsir yang diberikan Mahjiddin dapat dilihat contohnya dalam surat Ali Imran ayat 106-108: 2

106. Bak uroe dudo nyang puteh muka Ngon itam muka dua kaphilah

Nyang itam muka teuma geutanyong ‘Oh lheueh meuiman kakaphe di kah Jinoe karasa adeueb bukon le Sabab kakaphe raya that salah

107. Nyang puteh muka teuma that seunang Bandum ureueng nyan lam rahmat Allah Keukai di sinan sipanyang masa Nyankeuh chedara dum ayat Allah

108. Kamoe beuet ayat bandum keu gata Deungen sibeuna hana nyang salah Tan hajat Tuhan Neumeung elanya

Meu sidroe hana hukom meuilah

Berbagai pesan yang terdapat dalam teks asli berupa gambaran keadaan manusia di hari kiamat dapat tertampung dalam terjemahan ini. Bandingkan dengan terjemahan ayat-ayat yang sama dalam al-Qur’an dan Terjemahannya

susunan Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an (Departemen Agama) 3 yang kemudian disunting dan diterbitkan oleh Mujamma’ Khadim al-Haramain al-

Syarifain al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf al-Syarif Madinah Munawwarah. Bandingkan dengan terjemahan ayat-ayat yang sama dalam al-Qur’an dan

Terjemahannya. Secara prosais, terjemahan surat Ali Imran ayat 106 – 108, 4 106. Pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula

muka yang hitam muram. Dan adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): “ Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu”

107. Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga) mereka kekal di dalamnya.

2 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, (Banda Aceh: Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI), 2007), hal. 89

3 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Penerbit Yayasan Penyelenggara/ Penerjemah/ Pentafsir al-Qur’an Departemen Agama RI, 1970)

4 Departemen Agama Republik Indonesia. al-Quran dan Terjemahnya. (Surabaya: Mekar Surabaya, 2004), hal. 70

108. Itulah ayat-ayat Allah, Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan benar; dan tiadalah Allah yang berkehendak untuk menganiaya hamba hambanya.

Bandingkan juga dengan gaya puitis HB. Jassin dalam menerjemahkan ayat tersebut di atas: 5

106. Pada hari wajah-wajah menjadi putih (berseri) Dan wajah-wajah menjadi hitam. (muram) Adapun orang yang wajahnya Menjadi hitam, (Kepadanya dikatakan): Apakah kamu menjadi kafir sesudah beriman? Maka rasakanlah olehmu Siksaan karena kekafiranmu.?

107. Adapun orang yang wajahnya Menjadi putih,

Mereka itu dalam rahmat Allah, Mereka tinggal di dalamnya

Selama-lamanya. 108. Itulah ayat-ayat Allah Yang kami bacakan kepadamu Dengan benar. Dan tiadalah Allah hendak Menganiaya makhluk-makhluNya.

Mahjiddin tidak menerjemahkan kalimat sesuai urutan bahasa Arab, ia mencoba untuk mencari padanan kata singkat dan mampu mewakili kepadatan terjemahan secara prosa. Ia beranggapan bahwa terjemahan prosa terlalu panjang dan tidak langsung memberi pesan yang ingin disampaikan ayat. Jassin juga berusaha memberikan makna terjemahan berwajah puisi, namun penulis merasa bahasa yang digunakan Jassin masih panjang laiknya penerjemahan prosa. Kelebihannya terletak pada susunan terjemahan yang diatur sesuai dengan aturan puisi, yang memudahkan pembaca dalam menalar makna yang ingin disampaikan.

Ada juga tambahan atau tafsir yang ia berikan untuk penyesuaian sajak serta bunyi. Contoh yang disebutkan adalah ayat 95 surat Ali Imran berikut: 6

5 HB. Jassin, al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Djambatan, 1991), hal. 84

95. Takheun that beuna cit sidroe Allah Teuma taikot Nabi Ibrahim Agama gopnyan nyang gleh that leupah

Ibrahim nyan kon ureueng nyang muchrek Bah that jibalek le kaphe jadah

Terjemahan ayat ini menurut al-Qur’an dan terjemahannya: 7

95. Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah ia termasuk orang-orang yang musyrik.

Jadi, baris terakhir Bah that jibalek le kaphe jadah adalah tambahan atau tafsir dari penerjemah. Sebagai penekanan bahwa “keimanan Ibrahim tidak akan berubah walaupun diperdaya oleh kaum musyrik.” Di samping memberikan penekanan makna, tambahan baris terakhir ini juga berfungsi untuk memenuhi susunan puitis empat-empat baris dalam terjemahan. Bedakan dengan model

terjemahan puitis Jassin: 8

95. Katakanlah: ‘ Allah berkata benar.’ Maka ikutilah agama Ibrahim Yang berpegang pada agama

yang benar Dan tiada termasuk golongan yang

mempersekutukan Tuhan.

Contoh lainnya terjemahan surah al-Mukmin ayat 36: 9

36. Peura’un jikheun teuma hai Haman Kapeugot sinan geudong nyang meugah

Kumeung ek keudeh kapeugot rinyeun Beu manyang rinyeun kapeugot bagah

Kata sharhun berarti rumah, menara yang tinggi. Dalam teks di atas, kata sharhun diterjemahkan dengan gedung yang megah mempunyai tangga, sehingga

6 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, hal. 87

7 Departemen Agama Republik Indonesia. al-Quran dan Terjemahnya. hal. 52 8 HB. Jassin, al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, hal. 82 9 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh,

hal. 728 hal. 728

36. Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu”

Jassin menerjemahkan ayat 36 surah Ghafir ini, 10

36. Dan berkata Firaun: ‘Hai Haman! Bangunlah bagiku istana yang tinggi, Supaya aku sampai ke pintu-pintu,

Namun terkadang Mahjiddin terlalu mengikuti konstruksi kalimat dalam bahasa Arab. Hal ini bisa menimbulkan terjemahan yang kaku. Ia berpendapat bahwa bahasa terjemahan harus diupayakan tunduk pada gaya bahasa Aceh. Hal ini juga senada dengan pendapat Jassin yang juga berusaha menerjemahkan al-

Qur’an dengan makna seharfiah mungkin, walaupun tidak mutlak. 11 Dari contoh terjemahan Jassin di atas, terjemahannya dilakukan seharfiah mungkin, karena kata yang tidak dapat diketahui maksud dan penggunaannya

sebagai akibat logis dari penerjemahan tersebut. Hal ini terjadi karena tidak selamanya bahasa penerima mampu membunyikan bahasa sumber seperti yang dimaksudkan oleh bahasa sumber itu sendiri. Tim penerjemah al-Qur’an Departemen Agama dalam mengatasi kalimat terjemahan yang asing dengan

memberikan tambahan kata-kata dalam kurung atau catatan kaki. 12 Catatan kaki yang diletakkan di bagian bawah halaman 13 digunakan

sebagai penjelasan makna-makna yang samar dan tidak mungkin terwakili dalam bahasa terjemahan. Hal ini hanya dilakukan pada terjemahan secara prosa. Mahjiddin dan juga Jassin tidak mungkin melakukan hal seperti ini karena terjemahannya berbentuk puisi bukan prosa. Jassin dalam sebagian terjemahannya memberikan penjelasan tambahan kalimat yang dianggap samar dalam tanda dua

10 HB. Jassin, al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, hal. 658 11 HB. Jassin, al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, hal. xxv. Lihat juga, HB. Jassin, al-

Qur’an al-Karim Bacaan Mulia: Beberapa Catatan HB. Jassin dalam Oemar Bakry (ed.), Polemik H. Oemar Bakry dengan HB. Jassin tentang al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Mutiara, 1979), hal. 25 12 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Madinah al-

Munawwarah: Mujamma’ Khadim al-Haramain al-Syarifain li Tiba’at al-Mushaf al-Syarîf, 1990), hal. 13 13

Newmark, Textbook of Translation (Oxford: Pergamon Press, 1988), hal. 91-92 Newmark, Textbook of Translation (Oxford: Pergamon Press, 1988), hal. 91-92

penjelasan terjemahan yang asing, terkadang hal ini menyulitkan pembaca memahami terjemahannya. Strategi ini dimaksudkan untuk memperjelas makna kata-kata yang dianggap belum dipahami oleh pembaca.

Dalam terjemahan Mahjiddin, terdapat kata-kata yang tidak dapat diketahui maksud dan penggunannya dalam terjemahan. Di antaranya kalimat ‘an al-Naba’ al-Azhîm dalam ayat 2 surah al-Naba’ yang diterjemahkan dengan Haba meukeunong hebat that leupah. Dalam terjemahan Bahasa Indonesia berarti “berita yang besar”, tidak jelas apa yang dimaksud dengan berita besar itu. Terjemahan al-Qur’an Departemen Agama, melalui catatan kaki mengatakan

bahwa berita yang besar itu adalah berita tentang hari berbangkit. 15 Penerjemahan al-Qur’an hendaknya tidak dilakukan secara harfiyah,

melainkan berlandaskan kepada tafsir. Dalam terjemahan harfiyah, maksud kalimat terjemah yang dihasilkan menjadi tidak jelas. Sebenarnya, terjemahan harfiyah dalam pengertian urut-urutan kata dan cakupan makna persis sama

dengan bahasa sumber tidak mungkin dilakukan, 16 karena masing-masing bahasa selain mempunyai ciri khas sendiri dalam urut-urutan kata, adakalanya masing-

masing ungkapan mempunyai makna yang mengandung nuansa tersendiri. 17

14 Diakui bahwa terjemahan satu kalimat, tidaklah sepenuhnya sama dengan bahasa sasaran yang dimaksud, karena adanya beberapa perbedaan antara kedua bahasa. Lebih-lebih

bahasa Arab mempunyai kosa kata yang sangat kaya. Di sisi lain diakui pula, bahwa menerjemahkan al-Qur’an tidak akan pernah berhasil, karena itu banyak ulama yang enggan menggunakan istilah terjemahan al-Qur’an, tetapi “terjemahan makna-makna al-Qur’an”. Namun demikian, istilah terjemahan al-Qur’an di Indonesia lebih banyak digunakan dalam pengertian “terjemahan makna-makna al-Qur’an”. Dan inilah yang membedakan terjemahan kitab suci al- Qur’an dengan kitab Injil. Lihat Sambutan Menteri Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, hal. iii. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hal. 323.

15 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, hal. 1014 16 Ibrahim Zaki al-Khursyid, al-Tarjamah wa Musykilatuha, (Mesir: Dâr al Kutûb, 1985),

hal. 56 17 al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’an, hal. 111. Lihat juga, Manna’ al-

Qathtan, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2007), hal. 307

Akurasi Makna Terjemahan

Beberapa contoh berikut ini adalah analisa atas terjemahan Al-Qur’an Bersajak Bahasa Aceh. Disini akan dipaparkan ketepatan dalam memilih dan menentukan makna dalam menerjemahkan yang akan berimplikasi pada keakuratan makna.

Tuhan atau Pemelihara

Penerjemahan ini dapat dilihat dalam surah al-Baqarah ayat 21: 18

21. Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang- orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa

21 Hai manusia pubuet ibadat Seumah Hadharat bek sagai malah

Tuhan nyang peujeuet gata dum meuhat 19

Perhatikan kata Rabb dalam teks asli maupun dalam teks terjemahan, kemudian bandingkan naskah terjemahan bahasa Inggris. ﻢﻜﺑر diterjemahkan

dengan kata Tuhan, dalam kosa kata Arab بر berarti pemilik atau pemelihara. Makna yang ditangkap Ibn Katsir dari ayat tadi adalah; penjelasan keesaan Allah dalam status-Nya sebagai yang disembah manusia; pemberi nikmat penciptaan dan; penganugerahan nikmat lahir dan batin bagi hambanya. Keterangan Ibn Katsir tidak memuat analisa linguistik, hingga tidak bisa dianalisis kemungkinan makna yang terkandung di dalam ayat tersebut secara lebih jauh.

Dari penjelasan di atas secara semantis bisa dilihat ada makna berikut: بر yang berarti Tuhan dalam peran-Nya sebagai pemelihara; kata Tuhan dalam kamus bahasa Indonesia berarti: Allah, Tuhan Allah; Tuhan Esa; Allah yang

hanya satu. 20 Dari sini nampaklah bahwa terjemahan tersebut dari segi makna dinilai sudah akurat, karena makna mewakili makna yang diinginkan teks. Dan

mungkin akan lebih tepat jika diungkapkan seperti di bawah ini: Hai manusia, sembahlah Tuhan Pemeliharamu, yang telah menciptakan kamu, serta orang-

18 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, hal. 11 19 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh,

hal. 4 20 Poerwadarminta W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, PN. Balai Pustaka.

1984), hal. 1094 1984), hal. 1094

Makna yang dikandung adalah penegasan ketauhidan, bahwa Allah-lah yang berhak disembah, dengan demikian terjemahan yang ada bagi ayat ini sudah dapat dikatakan tepat dari segi makna, dan penggunaan kata Tuhan sebagai terjemahan dari ﻪﻟإ dinilai tepat makna, karena pengertiannnya merujuk pada peran Allah SWT sebagai yang berhak disembah, dalam terjemahan bahasa Inggris kata tersebut diterjemahkan.

Aniaya atau Syirik?

Contoh berikutnya perhatikan terjemah kata ،ﻢﻠﻈﻳ،ﻢﻟﺎﻈﻟا،ﻢﻠﻈﻟا yang seringkali tidak diterjemahkan, melainkan menggunakan istilah zalim dalam pengungkapan

bahasa Indonesia, apakah makna kata tersebut telah terwakili dalam ungkapan kata zalim atau tidak? Dalam bahasa Indonesia zalim diartikan lalim. 22 Kata lalim

diartikan; menindas, sewenang-wenang, dan tidak adil, 23 Kemudian dalam bahasa Arab makna zalim secara etimologi berarti; meletakkan sesuatu bukan pada

tempatnya. mengurangi hak. Permasalahannnya apakah makna kamus sebagaimana yang tertera yang dimaksud oleh suatu ungkapan atau makna lain yang sesuai dengan konteks pengungkapan. Jika makna konteks yang dikehendaki, maka penelusuran makna kata tersebut harus dilakukan, namun jika makna kamus yang dikehendaki, menjadi tidak ada masalah. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa aktivitas terjemahan adalah menangkap makna yang dikehendaki teks asli, maka makna kontekslah yang harus dikejar, bukan makna kata per kata. Surat ayat Teks ayat Tarjamah Makna al-Kahfi: 87

21 Dalam terjemahan Inggrisnya, Yusuf Ali menerjemahkan Rabb dengan Allah. Namun dalam catatan tambahan dalam foot note, ia menjelaskan bahwa Rabb diartikan dengan Lord.

Abdullah Yûsuf Alî, The Holy Qur’ân: text, Translation and Commentary, (Maryland: Amana Corporation, 1989), hal. 14

23 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hal. 15 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hal. 15 dan hal. 555

Berkata Dzulqarnain: "Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengazabnya, kemudian dia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya.

Mahjiddin menerjemahkannya dengan: 24

87. Geujaweueb teuma laju ban teupat Ureung nyang sisat dilon lonbalah

Ureung elanya lonseksa leugat

Dalam surah al-Zukhruf ayat 65: Maka berselisihlah golongan-golongan (yang terdapat) di antara mereka;

lalu kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang zalim yakni siksaan hari yang pedih (kiamat)..

Terjemahan Mahjiddin: 25

65. Han jitem pakat teuma jibantah

Jipeudong dawa sabe keudroejih Ceulaka teruk jih nyang lalem leupah

Keu jih nyan adeueb uroe kiamat Uroe peudeh that hana ban peugah

Demikian juga dalam surah al-Qalam ayat 29 sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim, Mahjiddin terjemahkan dengan Tanyoe lalem that hana

ban peugah. 26 Surah Nuh ayat 28 dalam terjemahan Indonesia berbunyi Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan.

Terjemahan Mahjiddin teuma si lalem meutamah rugoe. 27 Pada ayat 87 dari surat al-Kahfi kata zalim diterjemahkan dengan sesat.

Atau dalam terjemahan Mahmud Junus aniaya itu maksudnya kafir 28 . Secara tidak langsung, pemahaman yang diberikan Mahjiddin sudah mencakup pengertian

kafir, ditunjukkan pada kata sisat, dalam pengertian Aceh dimaksud kafir. Lain halnya dengan ayat 29 surat al-Qalam, surah Nuh ayat 28, al-Zukhruf ayat 65 zalim tetap diartikan lalem. Dari contoh terjemahan kata zalim yang disebutkan di

24 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, Hal. 460 25 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, Hal. 763 26 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, Hal. 890

28 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, Hal. 901 Mahmud Junus, Tafsir al-Qur’an Karim, hal. 251 28 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, Hal. 901 Mahmud Junus, Tafsir al-Qur’an Karim, hal. 251

Kata al-fasad atau ifsâd kebanyakan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kerusakan. Mahjiddin menerjemahkan makna kalimat al-fasad terkadang dengan kalimat itu sendiri, yang dalam bahasa Aceh ditulis phased, dalam ayat yang lain diterjemahkan dengan jipuebuet jeuheut. makna lain yang dimaksud lafazh tersebut sesuai dengan konteks ujaran. Di bawah ini akan diperlihatkan kata ifsâd dan terjemahannya serta kemungkinan makna yang dikandungnya:

Dalam surah al-Baqarah ayat 11, janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi… Mahjiddin menerjemahkannya dengan bek pubuet jeuheut. 29 Dalam

surah Al-a’raf: 56, Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, Mahjiddin menerjemahkan dengan Bek pubuet phased di dalam bumoe. 30 Juga

terjemahan ayat 40 surah Yunus: Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang- orang yang berbuat kerusakan. Mahjiddin menerjemahkan dengan Nyang pubuet

phased awaknyan teuma. 31

Makna ifsâd bervariasi antara kufur, maksiat, menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, mengacaukan atau mengadu domba. Sedangkan kata tersebut pada surat Yunus ayat 40 berarti kufur serta dipilih oleh Ibn Katsir sebagai berikut: Kata kerusakan dalam bahasa Indonesia berarti: sudah tidak utuh atau

tidak baik lagi (sperti bejat, tidak teatur lagi). Kiasan bisa berarti buruk, busuk. 32 Adalah kekeliruan jika makna sebagaimana dipahami oleh berbagai kalangan

penafsir al-Qur’an diabaikan sementara penerjemahan dilakukan secara leterlek. Dengan apik Pickthall menerjemahkan kata mushlihûn dalam surat al-Baqarah dengan peacemakers kedalam bahasa Inggris dan kata ifsâd diterjemahkan dengan

ungkapan: make notmischief. 33 Agak baik ketimbang terjemahan Indonesia.

Makna yang dikandung dalam kata ishlah adalah kedamaian, sebagimana oleh

29 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, Hal. 3 30 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, Hal. 233 31 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, Hal. 138

33 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hal, 841 Mohammed Maramaduke Pickthall, Holy Quran, (Karachi: Iqbal Book), hal, 2

Pickthall dijelaskan, dan karenannya kata “ifs ād” harus tidak diartikan kerusakan, melainkan keonaran karena menggambarkan disharmoni, atau tidak damai. Jadi kata mushlih dalam ayat surat al-Baqarah ayat 11 tersebut sudah dapat membantu memilih terjemahan yang pas untuk kata ifsâd. Walaupun Pichthall sendiri masih terpaku ketika menerjemahkan kata “ifsâd”, namun sukses dalam memilih kata peacemakers untuk arti muslih. Karena maknanya lebih mewakili “kedamaian” sebuah kondisi saat ayat tersebut diturunkan serta permasalahan sosial yang dihadapi saat itu; tindakan ahlul kitab (yahudi madinah) terhadap orang mu’min yang selalu membuat onar dan mengadu domba antara mu’min dan kafir.

Dalam bahasa Aceh, pubuet jeuheut maknanya berbuat kerusakan, kejahatan atau keonaran. Jadi, makna yang dimaksud Mahjiddin dirasa sesuai dengan maksud kalimat fasad di atas, untuk tetap menjaga makna dan aturan puitis, beberapa kalimat fasad tidak diterjemahkan akan tetapi tetap diartikan

fasad. Kata al-fitnah ( ﺔﻨﺘﻔﻟا ) dalam bentuk maşdar terdapat 11 kali dalam Al- Qur’an yaitu pada surat al-Baqarah, Ali ‘Imrân, Al -Nisa, Al-Taubah dan al- Ahzab. Sedangkan kata fitnah dalam berbagai variasi bentuk kata terdapat 58 kali dalam 33 surat. Namun di sini akan di bahas dalam bentuk masdar (kata dasar) saja sebagai contoh. Mahjiddin pada surat al-Baqarah ayat 191 dan 217, ali ‘Imrân ayat 7, dan al-Taubah ayat 49, kata fitnah dalam bahasa Aceh pheteunah tidak diterjemahkan.

Tidak diterjemahkannya kata fitnah ini dapat menimbulkan salah paham dikalangan pembaca, karena dalam kosa kata bahasa Indonesia, kata fitnah berarti: perkataan yang bermaksud menjelakkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang dan sebagainya). Memfitnah berarti: menjelekkan

nama orang (menodai nama baik). 34 Makna dari kata fitnah dalam bahasa Indonesia dan Arab berbeda, dalam

bahasa Arab berarti, membuat kekacauan, keonaran, atau demontrasi yang mengakibatkan huru hara. Melihat keterangan di atas, jelaslah bahwa di

34 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hal. 282 34 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hal. 282

Selanjutnya kata fitnah dalam surat Ali Imran ayat 7 juga dibiarkan terlepas tanpa terjemahan: …untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal dalam bahasa Arab maksud fitnah di sini menimbulkan keraguan dan kekacauan di kalangan mukmin. Berdasarkan arti kata fitnah dalam kosa kata Indonesia membiarkan kata fitnah tanpa terjemahan dapat menyesatkan pemahaman, karenanya terjemahan akan lebih tepat jika berbunyi: untuk menimbulkan kekacauan dan keraguan serta untuk mencari-cari ta'wilnya.

Terjemah surat Al-Nisa’ ayat 91 dapat dikatakan sepadan dan tidak ditemukan masalah karena dalam terjemah tersebut diberi kata penjelas dalam kurung: Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), merekapun terjun ke dalamnya. Terjemahan kata fitnah pada surat Al-Taubah ayat 47 dan 48 sudah dapat dikatakan tepat dari segi makna, di situ fitnah diartikan kekacauan (bisa juga ditambah dengan permusuhan).

Sedangkan ayat 49 kata fitnah tidak diterjemahkan, menurut riwayat yang diceritakan al-Qurtubi di bawah ini kata fitnah di situ bisa diartikan menggoda dan yang kedua berarti maksiat. Dalam al-Munjid disebutkan bahwa fitnah yang

berhubungan dengan perempuan berarti tergiur dan terbuai. 36 Maka kata ﻲﻨﺘﻔﺗ ﻼﻓ bisa diartikan jangan menggodaku atau membuaiku, dan kata fitnah berikutnya

berarti maksiat dan kekufuran. Dalam ilmu Balaghah dikenal dengan istilah سﺎﻨﺠﻟا menggunakan dua kata yang sama dengan arti yang berbeda dalam satu

ungkapan. 37

35 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, hal. 42 36 al-Munjid fî al-Lughah wa al-A‘lâm, Cet. 21, (Beirut: Dâr Al- Masyrik, 1996), hal. 568 37 ’Ali al-Jârim,Mu şţafa Amîn, al-Balâghah al-Wâdihah, cet. 13, (Cairo: Dâr al-Ma‘ârif),

hal. 265

Karenanya jika tidak ingin ada makna yang hilang maka penerjemahnnya harus berbunyi: Di antara mereka ada orang yang berkata: "Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam godaan (rayuan) perempuan. Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam kesesatan dan kekufuran (karena menolak ajakan dan membohongi Rasul SAW). Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir. Terjemahan kata fitnah pada ayat 14 dari surat al-Ahzab dinilai tepat, kata fitnah di sini diartikan murtad, berarti sudah disesuaikan dengan makna yang dimaksud ayat tersebut.

Demikianlah beberapa kekurangan dalam penerjemahan al-Qur’an dari sudut pemaknaan kata fitnah, dan mungkin masih bisa ditemukan variasi makna lain dari 58 penggunaan kata tersebut; dalam al-munjid disebutkan sedikitnya ada empat makna dari kata fitnah; ketika dihubungkan dengan perempuan berarti

keinginan untuk serong, berarti kagum dan terbuai, berhubungan dengan agama, berarti sesat atau kufur atau menyimpang, dan ketika berhubungan dengan pendapat orang (berkenaan dengan kondisi sosial) berarti pertikaian karena beda paham. Dan ketika berhubungan dengan kondisi psikologis berarti ujian atau

cobaan. 38

B. 39 Terjemahan Sosio-linguistik Betapa eratnya bahasa dan pikiran dalam penafsiran. Berpikir tidak

mungkin dipisahkan dari penafsiran, adanya perbedaan bahasa akan melahirkan perbedaan produk. Sekedar contoh, karakter pemikiran bahasa Aceh yang

38 Al-Munjid fî al-Lughah wa al-A‘lâm, hal. 568 39 Sosiolinguistik adalah kajian interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya

terhadap cara suatu bahasa digunakan. Dalam hal ini bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain. Ilmu sosiolinguistik yang bersifat terapan ini memberikan pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan bahasa dalam aspek atau segi sosial tertentu. Fishman, seorang pakar sosiolinguistik yang andilnya sangat besar dalam kajian sosiolinguistik, mengatakan bahwa yang dipersoalkan dalam sosiolinguistik adalah “who speak, what language, to whom, when, and to what end.” Ragam-ragam bahasa yang ada dalam masyarakat tercipta karena adanya perbedaan sosial dalam masyarakat. Bahasa dalam ilmu sosiolinguistik tidak didekati sebatas bahasa sebagaimana dalam ilmu linguistik umum, melainkan didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi dalam masyarakat manusia. Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal. (Jakarta: Rineka Cipta, 2004) terhadap cara suatu bahasa digunakan. Dalam hal ini bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain. Ilmu sosiolinguistik yang bersifat terapan ini memberikan pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan bahasa dalam aspek atau segi sosial tertentu. Fishman, seorang pakar sosiolinguistik yang andilnya sangat besar dalam kajian sosiolinguistik, mengatakan bahwa yang dipersoalkan dalam sosiolinguistik adalah “who speak, what language, to whom, when, and to what end.” Ragam-ragam bahasa yang ada dalam masyarakat tercipta karena adanya perbedaan sosial dalam masyarakat. Bahasa dalam ilmu sosiolinguistik tidak didekati sebatas bahasa sebagaimana dalam ilmu linguistik umum, melainkan didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi dalam masyarakat manusia. Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal. (Jakarta: Rineka Cipta, 2004)

Dalam al-Qur’an terdapat kata-kata atau situasi khusus yang hanya terdapat di jazirah Arab seperti unta, kurma dan orang haus di padang pasir. Hal ini dapat digolongkan dalam sosio-linguistik, yang mempelajari pengaruh budaya terhadap cara suatu bahasa digunakan. Bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain.

Penerjemah berusaha untuk menyesuaikan terjemahannya dengan alam Aceh. Misalnya, ketika beliau menerjemahkan surah al-Tin ayat 1 40 Demi boh ara

dengan boh zaiton. Buah tin tidak sama dengan buah ara. Ketika hal ini tim penyunting tanyakan kepada Mahjiddin, ia memberikan alasan bahwa buah zaitun telah dikenal luas oleh masyarakat Aceh, sekurang-kurangnya sebagian orang

mengenal dari minyaknya. Sedang tin hampir tidak dikenal, karena itu ditukar dengan nama ara. Ara diartikan secara harfiah berupa buah atau pohon. Di samping itu diperlukan kata yang bersuku dua untuk mencukupkan sepuluh suku

setiap baris. Jassin dalam terjemahannya juga mengartikan kata tin dengan ara. 41

‘Abdullah Yûsuf ‘Alî menerjemahkan surah al-Tin ayat 1 dengan: By the Fig And the Olive. Fig berarti Tin dan olive berarti Zaitun. Untuk kejelasan makna kedua kata tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam catatan kaki. Dalam bahasa

Indonesia, Fig diartikan dengan Ara. 42

Penyebutan gelar sebagai tambahan acuan terjemahan yang disesuaikan dengan gelar yang ada di daerah setempat, dalam hal ini dicontohkan penggunaan kata teungku dalam ayat 102 surah ash-Shaffat: 43

102. ‘Oh ban rayekjih jak sajan Kamoe Geukheun teruk yoh nyan aneuk meutuah Lonlumpoe gata Neuyue koh takue Pakri aneuk droe pike tapeugah Seuot treuk aneuk hai ayah Teungku Neupubuet laju peue nyang peurinta

40 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 956 41 HB. Jassin, al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, hal. 869

43 Abdullah Yûsuf Alî, The Holy Qur’ân: text, Translation and Commentary, hal. 1669 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 693

Insya Allah lon akan lonsaba Neukalon nyata teuma hai ayah

Mahjiddin menambahkan gelar teungku setelah menerjemahkan ya abati. Dalam terjemahan bahasa Indonesia diterjemahkan dengan hai Bapakku! kata Teungku tidak terdapat pada ayat di atas. lihat dalam terjemahan al-Qur’an al- Karim Bacaan Mulia, 44 102. Maka tatkala (puteranya) mencapai

Umur dapat bekerja bersama (Ibrahim), (Ibrahim) berkata: “Hai anakku, kulihat Dalam mimpiku Bahwa aku menyembelihmu sebagai korban. Sekarang katakanlah bagaimana pendapatmu!” Menjawab anaknya: Wahai ayahku!

Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.

Insya Allah kau akan mendapati Aku tergolong orang yang sabar!’

Dalam terjemahan Jassin, ia menerjemahkan ‘ Wahai ayahku!’ Mahjiddin memaknainya dengan ‘Hai ayah Teungku.’ Kata ini berfungsi sebagai penghormatan. Dalam bahasa Aceh Teungku merupakan gelar penghormatan kepada ulama. Dalam halnya dengan ayat di atas penggelaran ini menunjukkan gambaran begitu hormatnya Ismail kepada ayahnya Ibrahim.

Mengenai ungkapan-ungkapan seperti hidup dan mati, siang dan malam yang dalam bahasa Arab terbalik menjadi mati hidup, malam siang. Sebenarnya ungkapan semacam ini pada prinsipnya dapat saja dipertahankan gambaran aslinya, tapi demi pertimbangan nilai estetis, tidak ada keberatan untuk menggunakan ungkapan bahasa Aceh. Namun keindahan al-Qur’an tidak hanya terletak pada keindahan bahasa, terutama dalam buah pikiran yang terkandung di dalamnya, keduanya dipadukan dalam keutuhan yang estetis dan intelektual serta memberikan kenikmatan yang tinggi. Lukisan peristiwa alam amat indahnya

44 HB. Jassin, al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, hal. 658 44 HB. Jassin, al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, hal. 658

Selain itu Jassin menerjemahkan ungkapan-ungkapan menurut jalan bahasa Arab ke dalam ungkapan Indonesia. Misalnya: bainanâ wa bainakum (secara harfiah berarti: antara kami dan antara kamu) diganti dengan: "antara kami dan kamu" atau "antara kita".

Ungkapan ini dalam terjemahan Mahjiddin mengikuti ungkapan Arab, lihat terjemahan surah Yaasin ayat 37-38: 45

37. Teuma saboh treuk tanda raya that Kuasa meuhat sidroe Potallah Malam ngon uroe gantoe siat-at ‘Oh lheueh trang that-that seupot sileupah

Walaupun dalam bahasa Indonesia ungkapan ini berbunyi siang malam, namun, demi nilai estetik tetap mengikuti ungkapan Arab. Sebagaimana

terjemahan yang digunakan HB. Jassin,

37. Suatu tanda bagi mereka Ialah malam: Kami tinggalkan siang daripadanya, Maka mereka pun tenggelam dalam kegelapan.

Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama (tafsir) berlaku sepanjang zaman dan tempat, mengingat antara lain gagasan universal Islam tidak semuanya tertampung dalam bahasa Arab yang bersifat lokal-kultural, serta terungkap dalam tradisi kenabian. Itulah sebabnya setiap zaman muncul berbagai ulama yang menafsirkan ajaran agama dari al-Qur’an yang tidak ada batas akhir. Jika logika ini diteruskan maka akan timbul pertanyaan yang menggelisahkan, bisakah manusia memahami dan menggali gagasan-gagasan Tuhan yang universal namun terwadahi dalam bahasa lokal (bahasa Aceh). Hanya saja, dalam psikologi linguistik dikatakan, sebuah ungkapan dalam bentuk lisan atau tulisan kadang kala kebenarannya serta maksudnya berada jauh ke depan,

45 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 681-682 45 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 681-682

Selain nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an harus menerobos batas-batas geografis dan demografis dengan segala implikasinya, juga harus menembus lapisan-lapisan kultural dan sosial dengan segala keragaman dan keunikan. Pada saat yang sama, nilai-nilai al-Qur’an di hadapkan pada: 1). Keharusan mewujudkan tuntunannya melalui penafsiran yang bersandarkan pada realita budaya lokal dan 2). Keharusan mempertahankan kontinuitas dan

keotentikannya sepanjang zaman. 47

Sebagaimana ide yang disampaikan oleh Abû Zaid, penafsiran atau penerjemahan al-Qur’an dalam konteks bahasa, sepenuhnya tidak bisa lepas dari wilayah budaya dan sejarah. Di samping bahasa itu sendiri memang sebagai bagian dari budaya manusia. Dalam hal ini, penafsir berusaha menjelaskan

pengertian dan maksud suatu ayat berdasarkan hasil dari proses intelektualisasi dengan langkah epistimologi yang mempunyai dasar pijak pada teks dengan

konteks-konteksnya. 48

Hubungan antara bahasa dan budaya sangatlah erat, di mana bahasa tersebut menjadi cermin budaya suatu bangsa. Bahasa bukanlah salah satu permasalahan yang dibuat oleh seseorang atau individu tertentu, melainkan diciptakan oleh sebuah masyarakat dan muncul dari kehidupan berkelompok dan merupakan ungkapan perasaan dan pikiran tentang kehidupan. Setiap individu yang tumbuh akan menemukan suatu sistem kebahasaan di hadapannya yang berlaku di dalam masyarakat dan kemudian ia menerima sistem itu melalui belajar dan meniru, seperti halnya ia menerima sistem–sistem sosial lainnya, sehingga ia mengucapkan bahasa tersebut dengan tepat dan menerimanya dengan pemahaman

dan ungkapan. 49

46 Anonim, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, (Yogyakarta: LidS. 1996), hal. 2 47 Peter Newmark, Approaches to Translation, (Oxford: Pergamon Press, 1981), hal. 186 48 Nasr Hamid Abû Zaid, Mafhûm al-Nash: Dirâsat fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: al-Hai’ah

al-Misriyyah al-Ummah li al-Kuttâb, 1993), hal.112 49 Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, al-Lughah wal mujtama’, (Kairo: Dâr ihya al-Kutub al

Arabiyyah Isa babi al Halabi wa syirkahu, 1951), hal. 4

Bahasa mengandung implikasi yang hebat untuk pewarisan kebudayaan. Tanpa bahasa, kita tidak dapat meneruskan atau menerima keterangan secara simbolis. Dengan demikian, tidak dapat menjadi pewaris dari suatu kebudayaan

yang demikian kaya dan demikian aneka ragamnya. 50 J dubs dan Daniel D

Whitney menegaskan hubungan yang erat antara bahasa dan kebudayaan. 51 Di antara aspek budaya yang harus diperhatikan saat hendak menerjemahkan al-Qur’an yaitu aspek ekologi. Hal ini terkait dengan flora, fauna, angin, daratan dan bukit. Kata-kata bahirah, saibah, wasilah dan ham dalam surah al-Maidah ayat 103 diterjemahkan Mahjiddin dalam bahasa aslinya. 103. Hana neupeujeuet hukom le Tuhan

Unta gata nyan takheun bahirah Saibah hana wasilah hana

Got 52 ham pih hana Neuyue le Allah Kata-kata tersebut tidak mendapatkan padanannya dalam bahasa Aceh.

Keempat kata tersebut adalah jenis unta betina. Mahjiddin tetap memberikan terjemahan dalam bahasa aslinya, karena jenis unta di atas tidak dikenal dalam budaya orang Aceh. Namun kekurangannya, ia tidak memberikan penjelasan baik berupa footnote maupun keterangan singkat mengenai maksud dari tiap-tiap jenis unta tersebut.

Berbeda dengan Jassin yang mempuitisasikan terjemahan ayat di atas

dengan memberikan keterangan: 53

103. Bukanlah Allah Yang mengadakan (Binatang-binatang dengan sebutan) Bahirah (unta betina belah

telinga),

Sa’ibah (unta betina bebas merumput) Washilah (domba tujuh kali beranak), Ataupun ham (onta jantan

50 TO. Ihromi (ed), pokok-pokok antropologi Budaya, Cet. 7, (Jakarta: PT Gramedia 1994), hal. 20

51 Patrick J. Dubbs dan Daniel D Whitney, Cultural Context, Making anthropology Personal, (London: Allyn & Bacon Inc, 1938), hal. 49

53 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 178 HB. Jassin, al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, hal. 185

Bebas bekerja), Tapi orang kafir membuat rekaan dusta terhadap Allah. Dan kebanyakan mereka Tiada menggunakan pikiran Dalam terjemahan Surah Maryam ayat 25 terdapat kata kurma, dalam terjemahan prosa sebagai berikut: 54

25. “Goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan mengugurkan buah kurma yang masak kepadamu”.

Dalam terjemahan Mahjiddin:

25. Cuba tagrak-grak cabeung keuruma Rhet boh keuruma nyang mantong basah Dalam terjemahan bahasa Indonesia, pohon kurma sebagai padanan kata

ﺔﻠﺨﻨﻟا dan buah kurma sebagai padanan kata ﺐﻃر. Pemadanan kata terakhir dengan buah kurma sebetulnya kurang tepat karena kata kurma merupakan kata generik yang dalam bahasa Arab disebut ﺮﻤﺗ. Bila buah tersebut basah disebut

ﺐﻃر dan bila kering disebut ﺐﺴﻗ. Dalam terjemahan Mahjiddin, selain menggunakan padanan kata buah kurma, namun juga memberikan keterangan maksud dari kata ratb tersebut di akhir kalimat.

Tidak ada penjelasan dan keterangan yang mengatakan maksud Mahjiddin tidak menerjemahkan atau memberi keterangan kata tersebut tidak diberikan maknanya. Hal ini dirasa dapat memalingkan tujuan awal dari terjemahan, agar dapat mudah dipahami masyarakat Aceh dengan gaya bahasanya sendiri. Namun kenyataannya, terdapat beberapa kalimat bahasa Arab yang tidak diberikan

makna. Mengikut beberapa pendapat penerjemah lainnya, seperti Ibn Katsir 56 dan Ahmad Hassan 57 yang memberikan keterangan dalam foot note mengenai maksud

suatu kalimat yang terasa asing.

54 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, hal. 1014 55 Ibnu Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (t.tp.: Dâr al-Ma’ârif, t.th), hal. 65 56 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2000), hal. 123 57 Ahmad Hassan, al-Furqan: Tafsir al-Qur’an, (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyyah

Indonesia, 1956), hal. v

Dari segi lain, sekiranya tejemahan Mahjiddin ini dibaca oleh orang yang memahami makna al-Qur’an, akan merasakan kebebasan penerjemah dalam menuang pesan yang terdapat dalam bahasa asli ke dalam bahasa sasaran. Sebagaimana akan ada kesan penulis relatif berupaya juga melakukan terjemahan yang bukan sekedar memberikan informasi, tetapi terjemahan yang dapat mempengaruhi emosi pembaca. Seperti berusaha mendekatkan makna terjemahan

dengan latar budaya dan lingkungan pembacanya. 58

Sosiolinguistik merupakan cabang dari ilmu linguistik yang bersifat antardisiplin yakni gabungan antara sosiologi dan linguistik. Seperti kita ketahui bersama, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa. Secara sederhana, sosiolinguistik dapat diartikan sebagai bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan

penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat. Ragam-ragam bahasa yang ada dalam masyarakat tercipta karena adanya perbedaan sosial dalam masyarakat. Bahasa dalam ilmu sosiolinguistik tidak didekati sebatas bahasa sebagaimana dalam ilmu linguistik umum, melainkan didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi dalam masyarakat manusia.

Bahasa, sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang dimiliki manusia, dapat dikaji secara internal maupun eksternal. Dalam studi linguistik umum (general linguistik) kajian secara internal disebut sebagai kajian bidang mikrolinguistik dan kajian secara eksternal disebut sebagai kajian bidang makrolinguistik. Kajian secara internal dilakukan dengan menggunakan teori- teori dan prosedur-prosedur yang ada dalam disiplin linguistik saja, seperti struktur fonologisnya, struktur morfologisnya, atau struktur sintaksisnya. Sedangkan kajian bahasa secara eksternal melibatkan dua disiplin ilmu atau lebih sehingga wujudnya berupa ilmu antar disiplin. Selain sosiolinguistik, ada pula disiplin ilmu psikolinguistik, antropolinguistik, dan neurolinguistik.

58 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. xi