Kajian Susastra dan Interpretasi al-Qur’an

C. Kajian Susastra dan Interpretasi al-Qur’an

Trend pendekatan susastra dalam penafsiran merupakan kelanjutan atas studi al-Qur’an yang telah banyak dilakukan para mufasir masa klasik. Studi al- Qur’an dengan pendekatan susastra modern telah melahirkan kerangka dan

paradigma baru dalam metodologi tafsir, 50 sehingga lebih memberikan

49 HB. Jassin, dalam pengantar al-Quran Bacaan Mulia,hal. xv 50 Dalam konteks teori susastra modern dikenal teori fenomenologi, hermeneutika, teori resepsi, strukturalisme dan semiotik, postrukturalisme dan psikoanalisis. Teori sastra tersebut oleh beberapa sarjana muslim maupun orientalis digunakan untuk studi atas teks al-Qur’ân, seperti Nasr Hamid Abû Zaid, Muhammad Arkoun dan John Wansbrough. Untuk mengetahui lebih lanjut pembahasan teori sastra tersebut baca Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction, (Massachusetts: Blackwell Publishers, 1996).

tidak kehilangan fungsinya yang trans historis dan trans kultural. 51 Benih-benih penafsiran susastra al-Qur’an sebenarnya telah dimulai pada

masa Nabi Muhammad saw. Pemikiran ini berdasarkan atas beberapa data yang menunjukkan bahwa Nabi telah memberikan beberapa interpretasi yang erat kaitannya dengan terminologi disiplin sastra Arab yang berkembang belakangan, meski penafsiran Nabi tidak terlalu banyak dijadikan para pengamat tafsir sebagai tafsir periode awal dalam sejarah penafsiran al-Qur’an. 52 Namun demikian,

riwayat-riwayat dari Nabi menunjukkan bahwa dalam beberapa kesempatan telah memberikan interpretasi yang sejajar dengan pengertian istilah majâz: perluasan makna dalam terminologi sastra Arab.

Salah satu generasi penerus yang melakukan penafsiran seperti yang dilakukan oleh Nabi adalah Abdullah Ibn Abbâs (w. 68/687 M). 53 Para pengamat

tafsir menyebutnya sebagai ‘Bapak Tafsir’ karena otoritasnya dalam disiplin ini sudah dikenal terutama sesudah masa kenabian, untuk memberikan interpretasi

terhadap al-Qur’an. Demikian pula karya-karya tafsir yang bermunculan setelah itu, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh serta kreatifitas Ibn Abbâs.

Aktivitas para penggelut al-Qur’an pada masa-masa sejarah pengumpulan al-Qur’an, sulit dipisahkan dari perdebatan-perdebatan teologis. Pertautan tafsir dengan kepentingan teologis menuntut upaya memahami al-Qur’an melalui perspektif analisis bahasa. Termasuk dalam model pengkajian seperti ini adalah

Mujâhid Ibn Jabbâr (w. 104/722), 54 Para sarjana periode Mujahid dan setelahnya yang mengambil bagian dalam mengembangkan ‘stadium embrional’ tafsir

51 Waryono Abdul Ghafur, “Al-Qur’an dan Tafsirnya dalam Prespektif Arkoun” dalam buku Studi Al-Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 2002), hal. 167 52 Informasi lengkap tentang tafsir periode awal bisa dilihat dalam Ignaz Goldziher,

Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmi, terj. ‘Abd Halîm al-Najjâr, (Kairo: Maktabat al-Khanijî, 1955), hal. Muhammad Husein al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz I, (T.tp.: Mus’ab bin ‘Umair: 2004), hal. 45-47

53 Para pengamat tafsir menyebutnya sebagai ‘Bapak Tafsir’. Data tentang karya-karya Ibnu Abbâs dapat dilihat dalam Andrew Rippin, Ibn Abbâs al-Lughât fî al-Qur’ân, BSOAS, idem,

Ibn Abbâs Gharîb al-Qur’ân, dalam Rippin, the Qur’ân: Formative Interpretation. Nabia Abott, “ The Early development of Tafsir” dalam Studies in Arabic Literary Papyri II: Qur’anic Commentary and Tradition, (Chicago:University of Chicago Oriental Institute Publications, 1967), hal. 78

54 Mujahid, salah seorang murid Ibn Abbâs, banyak memberikan tafsir metaforis yang bisa dijadikan sebagai tahapan perkembangan selanjutnya dari tahapan susastra al-Qur’an.

Abi Rabâh (w. 114/732), Qatâdah (w. 128/745), al-Suddi al-Kabîr (w. 128/745). Sarjana yang turut pula mendukung serta mengembangkan benih-benih susastra adalah Ibn Juraij (w. 150/767). 56 Muqâtil ibn Sulaiman (w. 150/767), Sufyan al-

Tsauri (w. 161/777), Abû Ubaida al-Mutsanna (w. 210/825) dan Yahya ibn Ziyâd al-Farrâ’ (w. 207/822).

Nuansa Susastra dalam Interpretasi

Di era modern, paling tidak sampai paruh akhir abad ke-20, menurut penelitian al-Syarqawî, wacana tafsir diwarnai oleh tiga trend penafsiran, yaitu: (i) penafsiran bercorak sosial (al-Laun al-Ijtima’î): (ii) penafsiran bercorak sastra (al- Laun al-Adabî ): (iii) penafsiran saintifik (al-Laun al-‘ilmi). Trend pertama diwakili oleh proposal ‘Abduh yang kemudian terlahir dalam karya tafsir al- Manâr, sementara yang kedua terwakili oleh gagasan-gagasan Amîn al-Khûli, sedang yang ketiga, terepresentasi oleh sarjana semisal Tantâwî Jawharî, penulis al-Jawahîr fî Tafsîr al-Qur’an , sebuah karya tafsir yang sarat dengan pengadopsian penemuan-penemuan ilmiah. 57

Corak penafsiran merupakan kecendrungan seorang mufassir yang tergambar di dalam karya tafsirnya. Setiap orang mempunyai keahlian dan disiplin ilmu masing-masing, dan keahlian itu turut mewarnai tulisan mereka dalam menganalisa sesuatu atau mewarnai tulisan mereka di dalam berkarya.

Sebagian pakar memilih metode tafsir berdasarkan pendekatan yang ditekuni dan mazhab atau corak tafsir yang didukung. Mustafâ al-Shâwî al- Juwainî membedakan metode tafsir berdasarkan pendekatan yang ditekuni yaitu: kebahasaan yang direpresentasikan oleh karya Farra’ dan al-Zajjâj, pendekatan rasional, direpresentasikan oleh karya tokoh Mu’tazilah, al-Jâhiz (w. 255/869),

55 Karya tafsir al-Basri jika dianalisis menunjukkan prinsip interrelasi antar ayat di mana ayat dalam al-Qur’an bisa dipahami lebih baik dan proporsional melalui ayat yang lain.

56 Ibnu Juraij termasuk dalam sederet pengkaji al-Qur’ân klasik yang mengedepankan prinsip: bagian al-Qur’ân menjelaskan bagian yang lain. Informasi biografi dan karya

intelektualnya lihat, Ibnu Khalikan, Wafayat al-Ayan, jilid III, hal. 286. al-Dzahabî, Tazkirat al- Huffazh, jilid I, hal. 170

57 Al-Syarqawî, Ittijâhât al-Tafsîr fî Mishr fî ‘Asr al-Hadîts, (Kairo: Maktabaht al-Kailanî, 1963), hal. 88. Al-Dzahabî, Tafsîr wa al-Mufassirûn, hal. 210. Ali al-Iyazî, Mufassirûn

Hayâtuhum wa Manâjuhum, hal. 62

Mahmud Basuni Faudah, menilai metode tafsir dari sudut mazhab yang didukung,

yaitu metode ahli Sunnah, Syi’ah dan Sufi. 59

Analisis atas pelbagai kecendrungan studi al-Qur’an yang sangat popular di dunia akademis digagas secara sistematis oleh Ignaz Goldziher dalam Magnum Opusnya Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmi. 60 Dalam buku tersebut, Goldziher

mencatat adanya lima kecendrungan tafsir atau studi al-Qur’an mulai masa klasik hingga era modern, yakni studi al-Qur’an tradisional, studi al-Qur’an dogmatis, studi al-Qur’an mistik, studi al-Qur’an sektarian dan studi al-Qur’an modern. Tanpa bermaksud menafikan empat kecendrungan lainnya, kecendrungan studi al- Qur’an modern oleh Goldziher dikaitkan dengan gerakan pemikiran yang berkembang di India dan Mesir. Sementara gerakan Islam di India dengan figurnya Ahmad Khan bertolak pada pembaharuan kebudayaan, di Mesir bertolak pada pembaharuan pemikiran keislaman dengan figur utamanya Muhammad

‘Abduh. 61 Dari dua kecendrungan studi al-Qur’an modern ini, model ‘Abduh perlu

mendapat perhatian, sebab melalui pembaharu Islam dari Mesir ini, lahir pelbagai studi al-Qur’an modern. 62 Menurut ‘Abduh, al-Qur’an merupakan sumber asasi Islam sebagai agama universal, yang acapkali sesuai dengan kepentingan setiap masyarakat, zaman dan pelbagai peradaban, di mana pun dan kapan pun. 63

58 Pembahasan dari masing-masing pendekatan secara detail dapat dilihat dalam Mustafâ al-Shâwî al-Juwainî, Manâhîj fi al-Tafsîr, (Iskandariyyah: Mansya’at al-Ma’ârif, t.th.) hal. 45, 107

dan 301 59 Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’ân: Perkenalahn dengan Metodologi

Tafsir (al-Tafsîr wa Manâhijuh), terj. Mochtar Zoerni dan Abdul Qadir Hamid, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1987), hal. 93, 135 dan 244.

60 Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmi, hal. 6-11. Menurut Jansen, klasifikasi kecendrungan penafsiran yang dikemukakan oleh Goldziher, jika dicermati mengandung beberapa

kelemahan, misalnya mufassir sekaliber Zamakhsyarî, yang mempunyai peranan sangat penting karena karya filologisnya (Tafsir al-Kassyâf) tentang analisis sintaksis ayat-ayat al-Qur’an, diletakkan ke dalam katagori penafsiran dogmatis lantaran keterlibatannya dalam mendukung aliran Mu’tazilah. Sementara itu karya yang menfokuskan bahasannya pada kecendurungan penafsiran al-Qur’an hingga masa Muhammad ‘Abduh ini mengabaikan sejumlah karya tafsir yang dikaji secara luas di dunia Islam, seperti Ibnu Katsîr, al-Alûsî, al-Nasafî, Abu Su’ud atau Abû Hayyân. Demikian juga karya sepopuler al-Jalalain hanya disentuh secara singkat hanya dalam catatan kaki. Lihat, J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran, hal. 6

61 Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmi, hal. 392 62 Yang dimaksud dengan studi al-Qur’an modern adalah sebuah usaha

mengkontekstualisasikan al-Qur’an dengan tuntutan zaman dan itu dilakukan sejak masa Nabi Muhammad. Lihat Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation, hal. 1

63 Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmi, hal. 352 63 Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmi, hal. 352

realis (wâqi’i) berprinsip bahwa al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari, sehingga ia harus ditafsirkan dengan pendekatan tertentu yang membuatnya mampu menjawab

pelbagai tantangan yang dihadapi manusia. 65 Tafsir sastra (adabî) berprinsip bahwa al-Qur’an adalah kitab sastra

terbesar dan bacaan mulia yang mampu mempengaruhi jiwa terdalam manusia secara estetik. Berbeda dengan dua model lainnya, model tafsir sastra tidak berpretensi untuk menjawab pelbagai tantangan yang dihadapi umat manusia sebagaimana pendekatan lainnya, melainkan hendak mengembalikan al-Qur’an

kepada pesan awalnya yang ditujukan kepada jiwa pendengar awalnya. 66 Pendekatan susastra dalam al-Qur’an adalah pendekatan yang mengarah

untuk menggugah perasaan pembaca secara rohani sehingga menimbulkan kegembiraan di dalam jiwa lalu menerimannya, atau mendatangkan kepedihan atau menolaknya. Al-Qur’an memperhatikan pendekatan ini, karena ia tidak hanya didasarkan pada pemikiran untuk menerima, tetapi juga kepada perasaan untuk

bisa tertarik. 67 Dengan balaghah, al-Qur’an menyerang segenap kekuatan manusia, agar sampai kepada tujuan untuk menghaluskan jiwa, mencintai amal saleh dan beriman kepada Allah dan hari akhir. Memang, al-Qur’an ingin memberikan kepuasan kepada pikiran dan perasaan sekaligus. Rahasianya ialah Karena kekuatan pikiran dan perasaan dalam diri manusia tidak seimbang, dan kalaulah seimbang tidak dapat diarahkan bersama-sama dalam satu waktu.

64 Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmi, hal. 376. Lihat Jansen, Diskursus Tafsir al- Qur’an Modern, terj. Hairussalim, (Yogyakarta: Tiara Wacanam 1997), hal. 55. Amîn al-Khûlî,

Metode Tafsir Kesusastraan atas al-Qur’ân, Terj. Ruslani, (Yogyakarta: Bina Media, 2005 ), hal. 28

65 Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’ân Modern, hal. 125 66 Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’ân Modern, hal. 108 67 Ahmad Badawi, Min Balaghat al- Qur’ân , hal. 37

‘Arabiyyah Al-Akbar 68 ) dengan kandungan nilai sastra yang sangat tinggi. Gaya sastra al-Qur’an berbeda dengan umumnya gaya sastra Arab. Bahasa al-Qur’an

tidak dapat sepenuhnya disebut sebagai prosa (natsar), di samping juga tidak bisa sepenuhnya diklaim sebagai bentuk puisi (sya’ir). Lebih dari pada itu, gaya bahasa yang senantiasa berubah dan susunannya yang tidak sistematis, paling tidak, terlihat pada ritme dan bait ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, al-Qur’an sebagai kumpulan tanda-tanda linguistik yang harus dipecahkan, mendorong beberapa sarjana muslim kontemporer untuk menggunakan pendekatan susastra dalam studi al-Qur’an. Stefan Wild, ketika memberikan komentarnya dalam kata pengantar buku The Qur’ân as Text (Qur’ân sebagai Teks), menyebutkan sebuah trend baru dalam studi al-Qur’an di Barat, yakni trend pendekatan susastra.

Dalam pendekatan susastra, al-Qur’an diposisikan sebagai teks. Sebagai contoh, Toshihiko Izutsu, 69 dalam bukunya Ethico Religious Concept in the

Qur’an, menerapkan metode semantik dalam mengolah teks al-Qur’an. Metode ini dilakukan dengan cara studi analisis terhadap perspektif-perspektif yang

terkristalkan dalam kata-kata. Dengan demikian penafsiran al-Qur’an harus bertumpu pada kosa katanya, baik secara individual maupun secara rasional dalam jaring atau struktur tertentu. Analisis pengungkapan makna ini diorientasikan untuk memperoleh gambaran pandangan dunia (weltanschauung) al-Qur’an.

Nur Khalis menegaskan kepada kita bahwa al-Qur’an yang merupakan karya sastra terbesar sepanjang zaman bisa didekati dengan pendekatan susastra. Sebuah pendekatan yang sejatinya sudah dirintis sejak zaman Nabi dan berkembang pada era klasik Islam. Dengan menggunakan piranti keilmuan kontemporer penulis telah meyakinkan pambaca bahwa pendekatan susastra bukan saja sah, bahkan salah satu pendekatan paling penting ketika hendak memahami kitab suci al-Qur’an. 70

68 Terminologi kitab bahasa Arab yang teragung (Kitâb al-‘Arâbiyyah al-Akbâr) untuk menyebutkan al-Qur’an pertama kali digunakan oleh Amîn al-Khûlî. Menurutnya, secara

sosiologis al-Qur’an tidak dapat dilepaskan dari konteks diturunkannya dalam masyarakat Arab dengan segala aspek yang berhubungan dengan konteks tersebut. Lihat Amîn al-Khûlî, Manâhaj Tajdîd hal. 229-230

69 Lihat selengkapnya Toshihiko Izutsu, Ethico Religious Concept in the Qur’an (Montreal: Mc Gill University Press), 1966

70 Nur Khalis Setiawan, al-Qur’ân Kitab Sastra Terbesar, hal.3 70 Nur Khalis Setiawan, al-Qur’ân Kitab Sastra Terbesar, hal.3

Abu Bakar ibn al-Anbari mengatakan: Banyak riwayat dari para sahabat dan tabi’in yang mengatakan bahwa mereka mempergunakan puisi untuk menjelaskan kata yang asing dan sulit dalam al-Qur’an. Sekelompok orang yang tak berilmu menolak sikap ulama nahwu yang melakukan hal semacam itu. mereka mengatakan: Apabila hal itu dilakukan berarti puisi dijadikan argumentasi bagi al- Qur’an, sementara puisi itu sendiri dicela dalam al-Qur’an dan hadits. Abu Bakar berkata: Masalahnya tidak seperti anggapan mereka bahwa puisi dijadikan sebagai sumber bagi al-Qur’an, tetapi maksudnya puisi dipergunakan untuk mencari

kejelasan makna kata asing dalam al-Qur’an sebab Allah berfirman: sesungguhnya, Kami telah menjadikannya sebagai bacaan (Qur’an) yang

berbahasa Arab. Dalam ayat lain dikatakan: Dengan bahasa Arab yang jelas. Ibnu ‘Abbâs mengatakan: Puisi merupakan ontologi Arab, apabila ada kata dalam al-Qur’an, yang diturunkan Allah dengan bahasa Arab yang samar maknanya, maka kita menjadikan ontologi Arab itu sebagai rujukan, kami mencari tahu kata yang sulit itu dengan puisi. Kemudian Ia meriwayatkan melalui Ikrimah dari Ibn Abbas, ia mengatakan: Apabila kamu bertanya kepadaku tentang bahasa asing dalam al-Qur’an maka carilah dalam puisi sebab puisi adalah ontology Arab. Abu ‘Ubaidah dalam kitab Fadhâ’il-nya mengatakan: … dari Ibn ‘Abbâs bahwa ia pernah ditanya tentang al-Qur’an, kemudian ia menembangkan puisi. Abu Ubaidah mengatakan: maksudnya, ia menjadikannya sebagai dalil dalam menafsirkan al-Qur’an.

Motivasi untuk mendekati al-Qur’an dengan gaya sastra dikarenakan ketidapuasan mereka terhadap pendekatan-pendekatan yang ada selama ini ada dalam kajian al-Qur’an. Tafsir-tafsir yang ada, tidak dapat dilepas dari latar belakang, interes, ideologi, situasi sosial politik yang mempengaruhi penafsiran

71 Jalâl al-Din al-Suyûti, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz I, hal. 119

Kebanyakan dari mereka menggunakan pendekatan sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah, filsafat, dalam menafsirkan al-Qur’an, 72 dengan pola terjemahan atau penafsiran prosa yang dilakukan secara turun temurun. Data-data historis tersebut mengukuhkan pengaruh psikologis redaksi dan makna yang dikandung oleh al-Qur’an terhadap para pembaca dan pendengarnya. Dimensi sastrawi yang dikandung oleh al-Qur’an senantiasa menimbulkan efek psikologis yang sangat mendalam bagi para pembaca dan pendengarnya. Dan masyarakat Arab ketika itu benar-benar telah merasakan dan membuktikan kemukjizatannya. Aspek bahasa dan sastra ini menjadi unsur yang sangat dominan dalam mempengaruhi orang Arab ketika itu. Maka tak heran apabila seorang pakar al-Qur’an kenamaan Quraish Shihab menganggap bahwa kemukjizatan al-

Qur’an pertama-tama dan terutama terletak pada segi kebahasaannya. 73 Berangkat dari itu semua, kajian dan pendekatan sastrawi terhadap al-

Qur’an menjadi sangat urgen untuk mengungkap segi-segi estetis yang terkandung dalam redaksi lafal-lafal al-Qur’an. Dengan kajian itu, kita akan dapat merasakan

apa yang telah dirasakan oleh generasi-generasi awal umat Islam atas al-Qur’an, yaitu sebuah ketakjuban dan keterpesonaan yang timbul dari setiap rangkaian ayat-ayat al-Qur’an. Sebuah ketakjuban yang akhirnya menuntun untuk secara tulus memeluk Islam dan senantiasa setia dengan ajaran-ajaran yang dibawanya.

Secara garis besar, kontribusi para mufasir klasik bisa dipetakan dalam tiga model karya besar, yaitu (1) tentang mikro-struktur al-Qur’an, (2) tentang stilistika al-Qur’an, dan (3) semantik al-Qur’an. Mikro-struktur dalam hal ini adalah sebuah instrumen untuk melacak, bagaimana makna al-Qur’an melalui relasi-relasi struktural dalam kata maupun kalimat yang digunakannya, bisa dijelaskan berdasarkan hukum-hukum serta batas-batas kebahasaan. Sedangkan yang dimaksud dengan elemen stilistik adalah bagaimana keunikan gaya tutur yang dimiliki al-Qur’an bisa dipahami serta masuk dalam wilayah kebahasaan.

72 Safir Iskandar, “Penulisan Qur’ân dan Tarjamah Bahasa Daerah Kepedulian Pemahaman Kitab Suci” dalam Kata Sambutan al-Qur’ân al-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa

Aceh, (Banda Aceh: Pusat penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) Aceh, 2007) hal. xii

73 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur`ân Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib (Bandung: Mizan, cet. 4, 1998), hal. 21 73 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur`ân Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib (Bandung: Mizan, cet. 4, 1998), hal. 21

dicurahkan kepada aspek-aspek struktural, yakni perhatian karya kesarjanaan terhadap struktur kata dan kalimat yang dipakai oleh al-Qur’an semisal al-hadzf (eliptik), al-taqdim wa al-ta’khir (susun-balik), al-nafy (negasi), dan sebagainya. Misalnya penafsiran Mujahid terhadap Qur’ân surat al-Kahfi (18:34) mengenai kata tsamar, “wa kana lahu tsamar, fa qala lishahibihi wa huwa yuhawiruhu ana aktsar minka malan wa waladan.” Kata tsamar yang semula bermakna dasar “buah” oleh Mujâhid diartikan sebagai “emas dan perak.” Secara semantis antara “emas dan perak” di satu sisi, dengan “buah” di sisi lain tidak memiliki relasi medan semantik. Namun dalam konteks ayat ini Mujâhid melakukan peralihan makna dari makna dasar ke makna relasional berdasarkan konteks pembicaraan ayat secara keseluruhan.

Terkait dengan stilistika al-Qur’an, yang menjadi sorotan utama di sini adalah kenyataan sejarah yang menunjukkan para sarjana muslim klasik yang

telah berusaha keras untuk mengungkap keindahan bahasa al-Qur’an (fashahah al-Qur’ân) melalui cara pandang stilistik. Dalam kaitannya dengan al-Qur’an sebagai media komunikasi Tuhan dengan manusia, seorang sarjana Muslim terkenal, al-Jahizh berkeyakinan bahwa terdapat hubungan yang dinamis antara pembaca dengan al-Qur’an. Tergambar dari dalalah yang dikandung al-Qur’an, pilihan katanya, serta prinsip “ekonomi kata.” Arti penting pilihan kata yang dipakai al-Qur’an dalam mengomunikasikan makna nampak ketika dia membandingkannya dengan syair-syair Arab Jahiliyah maupun Islam.

Perbincangan mengenai semantik al-Qur’an, dalam bentuknya yang masih sederhana, telah disinggung jauh pada awal-awal Islam berkembang. Ini terkait dengan ucapan Alî ibn Abi Thalib mengenai al-Qur’an. Dia berkata, “Janganlah engkau berargumen menghadapi mereka dengan al-Qur’an, karena ia memiliki berbagai wajah, fa innahu hammalun dzi wujuh.” Menurut Muqatil Ibn Sulaiman,

74 Nur Kholis Setiawan, al-Qur’ân dalam Kesarjanaan Klasik dan Kontemporer: Keniscayaan Geisteswissenschaften, dalam Jurnal Studi al-Qur’an Vol. I, No. 1, Januari 2006, hal.

beberapa alternatif makna lainnya. Misalnya kata mawt yang memiliki makna dasar mati. Menurut Muqatil, dalam konteks pembicaraan suatu ayat, kata tersebut memiliki empat arti alternatif, yaitu (1) tetes yang belum dihidupkan, (2) manusia yang keimanannya salah, (3) tanah yang gersang dan tandus, dan (4) hilangnya ruh. Dalam konteks Q.S. al-Zumar (39:30) yang berbunyi, innaka mayyit wa innahum mayyitun, kata mati tersebut berarti mati yang tidak bisa dihidupkan kembali. 75

Di kalangan ulama kontemporer sendiri pembacaan atas al-Qur’an yang menggunakan perangkat-perangkat keilmuan bahasa dan sastra dianggap mutlak diperlukan. Muhammad ‘Abduh misalnya, dalam pengantar Tafsîr al-Manâr yang dikutip oleh muridnya, Rasyîd Ridha, mengatakan bahwa penggunaan perangkat bahasa dan sastra Arab (i’rab, ma’ani, badi’, bayan) sangat diperlukan untuk menangkap pesan-pesan dan petunjuk (al-hidayah) al-Qur’an secara utuh.

Amîn al-Khûlî bahkan memanfaatkan teori sastra kontemporer dalam mengkaji teks al-Qur’an dengan menggabungkan kritik intrinsik (al-naqd al-dakhili) dan

kritik ekstrinsik (al-naqd al-khariji). Baginya, dalam mengkaji al-Qur’an diperlukan dua perangkat analisis, yaitu kajian seputar al-Qur’an (dirasah ma hawla al-Qur’an) dan kajian atas teks al-Qur’an itu sendiri (dirasah ma fi al- Qur’an). Poin pertama meliputi studi atas setting sejarah, kultural, geografis, sosial, dan segala hal material dan spiritual yang melatarbelakangi bangsa Arab pada abad VII ketika al-Qur’an diturunkan. Selain itu, dalam mengkaji al-Qur’an, seorang mufasir juga dituntut untuk menguasai pembahasan-pembahasan yang

tercakup dalam ‘ulûm al-Qur’ân. 76

Sedangkan kajian atas Mâ fî al-Qur’ân menitikberatkan pada perhatian yang teliti terhadap struktur kata dan kalimat al-Qur’an, gaya bahasa, serta aspek- aspek lain yang menjadi bagian dari disiplin linguistik kebahasaan. Ini semua ditujukan untuk mengungkap aspek estetis yang terkandung dalam redaksi dan lafal ayat-ayat al-Qur’an. Maka diperlukan perangkat-perangkat bahasa dan sastra semisal gramatika dan retorika.

75 Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, hal. 12. 76 Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, hal. 19 75 Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, hal. 12. 76 Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, hal. 19

Kesimpulan dari penelitian sastra sedikitnya menunjuk tiga hal penting pendekatan susastra terhadap al-Qur’an bisa dilakukan dengan menggunakan teori-teori yang berkembang dalam pemahaman dan kritik sastra modern. Benih- benih pemikiran susastra sudah ada dalam karya-karya tafsir klasik. Ketiga, salah satu urgensi pemikiran susastra adalah bisa dipersepsinya al-Qur’an dengan baik oleh kalangan non muslim dalam keterlibatannya melakukan kajian terhadap aspek susastra al-Qur’an.

Studi interpretasi al-Qur’an kontemporer tidak saja terbatas pada bentuk interpretasi yang menekankan pada pencarian makna dari segi narasi belaka. 77

Akan tetapi, perspektifnya sudah berkembang pesat dengan menempatkan teks al- Qur’an sebagai teks yang bersifat historis yang lekat dengan bahasa dan budaya tertentu. Artinya, di samping berbicara tentang interpretasi teks, telaah ini sudah masuk pada analisis “status ontologis teks” 78 dan relasi antar konteks melalui

77 Studi interpretasi al-Qur’an yang dilakukan oleh para ulama dari kalangan Muslim sejak dulu sampai kini dan akan datang akan selalu berada dalam satu bingkai teoritik yang sama yaitu

to make the texts understandable and relevant . Lihat Andrew Rippin, Muslim Their Religious Beliefs and Practices , hal. 85; bandingkan dengan J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran, juga Helmut Gatje, The Qur’ân and it’s Exegesis: Selected Text with Classical and Modern Interpretation , terj: Alford T. Welch (California: California University Press, 1976), hal. 30.

78 Telaah terhadap status ontologis ini berguna untuk menjelaskan sifat-sifat historis dan nir- historis al-Qur’ân, yaitu mengenai ketidakseimbangan ontologis dalam proses komunikasi antara

manusia yang natural dengan Tuhan yang supranatural. Pendekatan yang dilakukan untuk kajian ini, setidaknya pernah dilakukan oleh Izutsu dengan menggunakan analisis semantik. Namun ia masih terbatas pada pencarian makna asli dari suatu teks dan belum menyingkap problem jarak, tradisi dan kebudayaan, begitu pula dengan aspek-aspek simbolis lain yang dapat di telaah melalui semiotik. Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, hal. 155; telaah terhadap status ontologis teks melalui hermeneutik tidak hanya terjadi di kalangan Muslim terhadap al-Qur’an, tetapi juga terhadap kitab “Perjanjian Baru” di antaranya dilakukan oleh Rudolf Bultmann melalui karyanya yang berjudul “Das Problem der Hermeneutik”. Lihat Routrand Wieland, “Wurzeln der Schwierigkeit innerislami schen Gerpracchs Uber Neue Hermeneutiche Zungange zum Koran text”, dalam Stefan Wild (ed.), The Qoran as Text, hal. 270; ulasan singkat tentang telaah terhadap konsep teks ini lihat juga Berichtvon Almut Wieland, Internationale Symposion “Der Koran als Text”, dalam: Juhrbuch fûr Religionwissenschaft und der Religionen (Bonn: Freinburg, 1994), hal. 148-158; juga Abû Zaid, Mafhûm an-Nass, hal. 10.

semiotik yang terbingkai dalam hermeneutika teks. Sehingga kajian aspek susastra dalam al-Qur’an dalam tingkatan seninya, yang dilakukan tanpa memandang perspektif yang lain, termasuk kepercayaan agama sekalipun, merupakan langkah awal yang harus dilakukan dalam menafsirkan al-Qur’an sebelum melangkah lebih jauh ke tujuan selanjutnya. Kalau tidak demikian, menurut al-Khûlî, siapa pun yang melakukannya tidak akan sampai kepada tujuan. 79 Sebagai kitab sastra, tentu saja al-Qur’an bisa didekati

dengan pendekatan susastra. Dalam mengkaji hubungan antara teks dengan realitas historis, ia membedakan antara kebenaran dan realitas. Kisah-kisah profetik dalam al-Qur’an bukanlah cuma kisah historis namun merupakan sebuah kisah kerigmatik. Kisah- kisah itu diulang untuk tujuan moral religius, dan diulang-ulang dengan cara dan bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan konteks dan situasinya.

Tradisi membaca (recital) al-Qur’an dalam Islam dinamakan tilawah. Bentuk resital yang paling populer di tanah air adalah pembacaan al-Qur’an secara

murattal atau ritmik, yang juga sering disebut tartilan. Tradisi ini di negeri kita biasanya dilombakan dalam festival Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ). Dalam MTQ, yang ditonjolkan adalah al-Qur’an sebagai keindahan aural (keindahan yang didengarkan), bukan yang dituliskan. Bacaan al-Qur’an yang aural dilantunkan begitu merdu, begitu indah, seperti puisi kanonis yang kaya akan semesta metafora. Dalam al-Qur’an memang terdapat banyak muatan puisi dan prosa. Kisah nabi Adam dan Hawa, kisah nabi Musa, Isa, Yusuf, Sulaiman, Daud, dan cerita kaum Ad dan Thamud, cerita Ashabul Kahfi, Ashabul Fil, Isra-Mikraj, merupakan kisah-kisah dalam bentuk prosa dan puisi. Hasil penelitian Shahnon Ahmad dari Malaysia menunjukkan ada sebanyak 227 surat al-Qur’an yang merujuk para penyair, terutama penyair jahiliyah. Dalam surat-surat Makiyah (surat yang turun di Mekah), terutama yang pendek-pendek, struktur stilistik (gaya) dan bahasa sangat bertumpu pada struktur puisi. Kata alif, lam, mim, ya, ain, shad , menunjukkan stilistik yang sama dengan puisi. Sudah banyak riwayat diceritakan bagaimana pesona keindahan bahasa dan stilistika al-Qur’an yang

79 al-Khûlî, Manâhij al-Tajdîd, hal. 231 79 al-Khûlî, Manâhij al-Tajdîd, hal. 231

Mayoritas ulama menyatakan bahwa tanpa dipuitisasikan, sesungguhnya ayat-ayat al-Qur’an telah mengandung nilai puitis yang sangat agung, tapi ia

sendiri bukanlah puisi. Sastrawan Mesir, Thâha Husein, menyatakan, “Dari bentuk eksternalnya, al-Qur’an bukanlah puisi dan bukan pula prosa. Ia bukan puisi karena ia tidak mengandung mantra dan rima puisi, dan ia bukan prosa karena ia digubah bukan dengan cara sebagaimana prosa umumnya disusun”. 80

al-Qur’an sendiri mengemukakan hakikat yang asasi, bahwa al-Qur’an itu benar-benar wahyu Allah swt yang diturunkan kepada Rasul yang mulia, dan bukan perkataan seorang penyair. 81 Bahkan al-Qur’an mengecam para penyair yang sesat dan suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya. 82 Namun demikian, banyak aspek dan nilai-nilai sastra terdapat di dalam al-Qur’an. Aspek-aspek sastra itu sangatlah luas dan tidak mungkin kita bahas secara menyeluruh dalam tulisan ini. Oleh karena itu penulis akan mengambil aspek puisi sebagai bagian dari aspek sastra secara umum.

Melalui lafal dan redaksi ayat-ayat al-Qur’an serta makna yang dikandungnya, banyak pihak yang terpesona dan kagum. Misalnya ‘Umar Ibn

80 Thâha Husain, Mir’ât al-Islâm, hal. 130. Lihat pula A.F.L Beeston, T.M Johnstone, R.B Serjeant & G.R Smith (Eds.) Arabic Literature to the End o the Umayyad Perod (Cambridge:

Cambridge University Press, 1983), hal. 34 81 Lihat QS. al-Haqqah ayat 40-41

82 Lihat QS. al-Syu’ara’ ayat 224-226 82 Lihat QS. al-Syu’ara’ ayat 224-226

Metode susastra terhadap al-Qur’an mampu mencapai sasarannya untuk mendapatkan pesan al-Qur’an secara menyeluruh dan terhindar dari tarikan- tarikan individual idiologis. Pemahaman al-Qur’an secara proporsional juga dapat ditempuh dengan menggunakan metode ini.