Bilmauidhah Puitisasi Terjemahan Al Qur'an.bak
TESIS
PUITISASI TERJEMAHAN AL-QUR’AN Studi Analisis Terjemah Al-Qur’an Bersajak Bahasa Aceh
Oleh: Bilmauidhah NIM: 06.2.00.1.05.01.0009
Pembimbing: Dr. Yusuf Rahman, MA
PROGRAM STUDI PENGKAJIAN ISLAM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Yang bertanda tangan di bawah ini Nama : Bilmauidhah
NIM : 06.2.00.1.05.01.0009 Tempat & Tanggal Lahir
: Lhokseumawe, 04 Oktober 1982
Alamat
: Jl. Ilie Lr. Lampoh Paleung II No: 03
Desa Ilie Ulee Kareng Banda Aceh Nanggroe Aceh Darussalam
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul "Puitisasi Terjemahan Al-Qur’an: Studi Analisis Terjemah al-Qur’an Bersajak Bahasa Aceh" adalah benar-benar karya asli saya, kecuali kutipan-kutipan yang tersebut sumbernya. Apabila didalamnya terdapat kesalahan dan kekeliruan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya. Selain itu jika di dalamnya terdapat plagiasi yang dapat berakibat gelar kesarjanaan saya dibatalkan, maka saya siap menanggung resikonya. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab.
Jakarta, 31 Maret 2010 Yang Membuat Pernyataan,
Bilmauidhah
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis dengan judul "PUITISASI TERJEMAHAN AL-QUR’AN: STUDI ANALISIS TERJEMAH AL-QURAN BERSAJAK BAHASA ACEH" yang ditulis oleh Bilmauidhah, NIM: 06.2.00.1.05.01.0009, telah diperbaiki sesuai dengan saran-saran pembimbing dan disetujui untuk dimajukan dalam Sidang Ujian Tesis pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 31 Maret 2010 Dosen Pembimbing,
Dr. Yusuf Rahman, MA
Tesis yang berjudul "PUITISASI TERJEMAHAN AL-QUR’AN: STUDI ANALISIS TERJEMAH AL-QURAN BERSAJAK BAHASA ACEH", yang ditulis oleh Bilmauidhah, NIM: 06.2.00.1.05.01.0009, Program studi Pengkajian Islam telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Kamis, tanggal 22 April 2010. Tesis ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dan diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Agama (MA) Bidang Pengkajian Islam.
Jakarta, 26 April 2010
TIM PENGUJI
1. Dr. Udjang Tholib, M.A. 1 ............................. Ketua Sidang/Penguji
2. Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA 2 ............................. Penguji
3. Prof. Dr. Ahmad Dardiri, M.A 3 ............................. Pembimbing / Penguji
4. Dr. Yusuf Rahman, M.A. 4 ............................. Pembimbing/Penguji
Studi Analisis Terjemahan al-Qur’an Bersajak Bahasa Aceh ABSTRAK
Tesis ini menyatakan bahwa penerjemahan al-Qur’an secara puitis menjadi instrument dalam mengungkap keindahan teks al-Qur’an. Puisi merupakan salah satu bagian dari aspek kajian sastra, yang memiliki nilai estetik tinggi. Temuan ini didasari oleh sejumlah fakta bahwa: pertama, terjemah Mahjiddin sangat memperhatikan cara penulisan, pilihan kata, keteraturan susunan, irama serta bunyi sesuai dengan aturan-aturan puisi. Kedua, terjemahan dalam bentuk atau gaya puisi tidak akan merubah akurasi makna dan pemahaman teks al-Qur’an.
Temuan ini memperkuat pernyataan HB. Jassin dalam karyanya al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia (1970) bahwa terjemahan puitisasi al-Qur’an akan dapat membumikan keindahan dan kedalaman pemahaman teks. Di samping itu, tesis ini juga memperkuat pendapat para sarjana seperti Amîn al-Khûlî dalam Manâhij al-Tajdid fî al-Nahw al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adab (1930). Nasr Hamid Abû Zaid, dalam karyanya Mafhûm al-Nass: Dirâsat fî Ulûm al- Qur’ân, menggunakan pendekatan susastra al-Qur’an. Al-Qur’an memiliki pesan etik, moral, spiritual dan juristik. Penggunaan metode ini diharapkan mampu meminimalisir subyektifitas dan tarikan-tarikan kepentingan individu maupun ideologi. Di sisi lain, tesis ini berbeda dengan pernyataan Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar, yang menyatakan bahwa interpretasi al- Qur’an bukanlah tempat di mana para ahli bahasa maupun sastrawan mempertontonkan keahlian dan kepintarannya, karena al-Qur’an adalah sebuah kitab bimbingan religius dan spiritual (hidayah). Demikian juga Muhammad Syahrûr dalam Nahw Ushul al-Jadîdah, menilai bahwa mengkaji teks al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan sastra sama saja dengan menyetarakan teks al-Qur’an dan teks sastra biasa, sehingga nilai sakralitas teks menjadi hilang.
Temuan tesis ini didasarkan pada sumber primer yang digunakan pada penelitian ini, yaitu: al-Qur’an al-Karim Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh karya Mahjiddin Jusuf. Sumber- sumber pendukung lainnya dari karya para sarjana yang berkaitan dengan kesusastraan maupun puitisasi al-Qur’an.
Sumber tersebut dibaca dengan menggunakan pendekatan historis kritis. Sedangkan pendekatan sosio-kultural digunakan untuk melihat segi-segi sosial keagamaan masalah yang dikaji dan mengukur sejauh mana dimensi sosial budaya turut mempengaruhi perkembangan pemikiran tokoh.
THE POETIZATION OF THE QUR’AN An Analysis of al-Qur’an Translation with Acehnese poem ABSTRACT
This thesis explains that the poetic style of the Qur’anic translation has become an instrument in revealing the beauty of the Qur’an. Poem or poetry is one aspect of literature which posses a lofty esthetical value. This finding is based on the fact that: first, Mahjiddin’s technique of translation truly concern on writing style, lexical choice, structure, tone and voice as found in poem or poetry. Second, the poetic style or form of translation will not change the accuration of meaning and comprehension of texts in the Qur’an
This finding strengthens HB. Jassin’s statement in his work al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia (1970) that the poetization of the Qur’an will make the exquisiteness and insightful meaning of the texts more down to earth. In addition to this, this thesis has also strengthened scholars’s opinions such as Amîn al-Khûlî in Manâhij al-Tajdîd fî al-Nahw wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adab (1930). Nasr Hamid Abû Zeid, in his work Mafhûm al-Nass: Dirâsat fî Ulûm al-Qur’an, both use literature approach to the Qur’an. Qur’an has ethical,moral, spiritual and juristical messages. The use of this method is expected to reduce the sense of subjectivity and either individual or ideological conflict of interests. However, this thesis is different from Muhammad Abduh’s statement in Tafsir al-Manar, where he claim that the interpretation the Qur’an is not a place for literature experts and linguists to perform their adeptness and intellectuality, since Qur’an is a religious and spiritual guidance. In line with Abduh, Muhammad Syahrûr in Nahw ‘Usul al-Jadîdah, also argue that the Qur’anic interpretation by using the Qur’anic literary approach is similar to place the Qur’an in the same level as ordinary texts, so that the sacred value of the text might be lost.
The primary source of this thesis is : al-Qur’an al-Karim Bersajak dalam Bahasa Aceh from Mahjiddin Jusuf as well as other supporting references from relevant by using historical criticism approach. While socio-cultural context is utilized to observe the socio-religious aspects of the object and to measure how far the socio-cultural aspects might have influenced the writer’s way of thinking.
عﺎﺠﺳا ﻞﻜﺸﺑ ﺔﻤﺟﺮﺘﻟا نأ ﺔﻔﻳﺮﺸﻟا ةأﺮﻘﻟا ﻢﻳﺮﻜﻟا نﺁﺮﻘﻟا ﻪﺑﺎﺘآ ﻰﻓ HB. Jassin ﻩرﺮﻗﺎﻣ ﺪآﺆﻳ فﺎﺸﺘآﻷا اﺬه ﻰﻓ ﻰﻟﻮﺨﻟا ﻦﻴﻣأ ﻞﺜﻤآ نﺁﺮﻘﻟا ءﺄﻤﻠﻋ ﻪﻟﺎﻗﺎﻣ ﺪآﺆﻳ ﺚﺤﺒﻟا اﺬه ﻚﻟاذ ﻰﻠﻋ ةدﺎﻳز صﻮﺼﻨﻟا ﻢﻬﻓ ﺔﻘﻤﻋ ﻰﻠﻋ ﺪﻋﺎﺴﺗ ﻪﻟ نﺁﺮﻘﻟا ﺔﻏﻼﺒﺑ ﻖﻠﻌﺘﻟا ﻪﺑﺎﺘآ ﻰﻓ ﺪﻳز ﻮﺑأ ﺪﻣﺎﺣ ﺮﺼﻧو بدﻷا و ﺮﻴﺴﻔﺘﻟاو ﺔﻏﻼﺒﻟا ىﻮﺤﻧ ﻰﻓ ﺪﻳﺪﺠﺘﻟا ﺞهﺎﻨﻣ . ﺔﻌﻳﺮﺸﻟا و حوﺮﻟاو قﻼﺧﻷا ﻞﻴﻟد
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah , berkat rahmat dan hidayah Allah SWT penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul PUITISASI TERJEMAHAN AL-QURAN: Analisis Terjemah al-Qur’am Bersajak Bahasa Aceh . Karya ilmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister pada Konsentrasi Tafsir Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Karena itu, dengan penuh ketulusan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak baik personal maupun institusi. Atas bantuan tersebut, penulis
haturkan terima kasih kepada Prof. Dr. Komarudin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., selaku Direktur SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepala beserta staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Pascasarjana UIN, Perpustakaan Iman Jama', atas layanan yang diberikan kepada penulis.
Kepada Dr. Yusuf Rahman, MA. Dosen sekaligus pembimbing, terima kasih telah memberikan arahan dan bimbingan yang bermanfaat guna menyelesaikan tesis ini. Prof. Dr. Suwito, MA., dan Dr. Fuad Jabali, MA., yang telah memberi tanggapan dan masukan selama ujian proposal dan work in proggress demi perbaikan tesis. Dr. Ujang Tholib, MA., selaku Deputi Direktur Bidang Administrasi dan Kemahasiswaan atas kritik saran dalam penyempurnaan tesis ini. Segenap dosen dan seluruh jajaran staff Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah.
Kedua orang tua penulis, Ayah Drs. H. Abd. Gani Isa, SH, M.Ag dan Ummi, Hasninur, S.Pd., atas pengorbanan materi dan ketulusan doa yang tak pernah putus demi kesuksesan penulis. Dan tak terlupakan kakak dan adik-adik penulis Akmil Muna, ST., Chairal Amali, S.Si., Darul Munira, AMd., Elvia
Rahmah dan Fadhilul Umami, yang selalu mendukung dan memotivasi penulis dalam masa penyelesaian studi. Juga tak terlupakan segenap keluarga di rumah.
Rekan-rekan konsentrasi Tafsir Hadis angkatan 2006/2007 sps UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam bentuk apapun yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam ungkapan singkat ini.
Penulis menyadari, dengan keterbatasan ilmu dan pengalaman, tesis ini jauh dari kesempurnaan. Karena itu, kritik dan saran dari pihak manapun sangat diharapkan. Semoga karya ini mempunyai nilai manfaat. Amin.
Ciputat, 31 Maret 2010
Penulis,
Bilmauidhah
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN syarif Hidayatullah Jakarta yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Konsonan
Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
a Tidak dilambangkan ب
b be ت
t te ث
ts te dan es ج
j je ح
h h dengan garis bawah
kh
ka dan ha
d de ذ
dz
de dan zet
ر r er ز
z zet س
s es ش
sy
es dan ye
es dengan garis di bawah
d de dengan garis di bawah
te dengan garis di bawah
zet dengan garis di bawah
Koma terbalik di atas hadap kanan غ
gh ge dan ha
f ef ق
q ki ك
k ka
م m em ن
n en و
w we ﻩ
h ha ﻻ
la el dan a ء
’ Apostrop ي
y ye
2. Vocal
a. Vokal Tunggal
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
a fathah ِ
kasrah ’
dammah
b. Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ai
a dan i
و ... ‘ au
a dan u
c. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab
Keterangan ﺎﺋ
Tanda Vokal Latin
a dengan topi di atas
i dengan topi di atas
u dengan topi di atas
3. Ta Marbûtah
Jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. Hal yang sama juga berlaku jikat a marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na´t). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi /t/. Contoh:
No
Kata Arab
Alih Aksara
1 ﺔﻘﻳﺮﻃ
tarîqah
2 ﺔﻴﻣﻼﺳﻻاا ﺔﻌﻣﺎﺠﻟا al-jâmi’ah al-islâmiyyah
3 دﻮﺟﻮﻟا ةﺪﺣو
Wahdat al-wujud
4. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah dalam alihaksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf
yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah. Contoh:
ﺎﻨّﺑر
: rabbanâ
لّﺰﻧ
: nazzala
ةروﺮﻀﻟا : al-darûrah
5. Kata Sandang
Kata sandang “ Ư ǚ ” dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti dengan huruf syamsiyyah maupun diikuti dengan huruf qamariyyah. Contoh:
ﺲﻤﺸﻟا
: al-syams
ﻢﻠﻘﻟا : al-qalam
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wahyu Tuhan dipahami secara sangat variatif selaras dengan kebutuhan umat. Pemahaman yang varian ini pada gilirannya menempatkan exegesis sebagai disiplin keilmuan yang terus berkembang. Para peneliti tafsir telah banyak menunjukkan pelbagai model interpretasi semenjak awal kemunculan disiplin tersebut sampai ke era kontemporer. 1 Salah satu model interpretasi adalah
interpretasi susastra 2 yang muncul pada awalnya untuk menunjukkan superioritas susastra al-Qur’an di bandingkan dengan karya-karya susastra non wahyu. Pendekatan sastra atas teks al-Qur’an sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru. Dalam bentuknya yang sederhana, pendekatan ini telah dipergunakan
sejak abad-abad pertama Islam, ketika ‘Abdullah Ibn Abbâs (w.68H/687M) menggunakan puisi pra-Islam untuk menginterpretasikan beberapa teks al-Qur’an. Ibn Abbas berkata: “ Apabila anda bertanya kepadaku tentang kata-kata al-Qur’an yang asing, carilah ia dalam puisi pra Islam karena puisi adalah diwannya orang
Arab. 3 Upaya ini diikuti oleh beberapa ulama lain, terutama Abû ‘Ubaidah (w.
1 Muhammad Husein al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz I, (T.tp.: Mus’ab bin ‘Umair: 2004). Al-Iyazî, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manâjuhum, Lihat juga Amîn Al-Khûlî,
Manâhij al Tajdîd fî al Nahw wa al Balâghah wa al Tafsîr wa al- Adâb, ( Kairo: Dâr al Ma’rifah, 1976), hal. 2
2 Interpretasi susastra al-Qur’an di era kontemporer, mendapatkan perhatian yang lebih istimewa. Terlihat dari banyaknya karya kesarjanaan yang dihasilkan pada kurun waktu tersebut
dengan menggunakan pendekatan sastra. Kajian-kajian tersebut dapat dirunut dari pemikiran al- Khûlî, Manâhij al-Tajdîd fi al-Nahw wa-al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adab. Diikuti muridnya Muhammad Ahmad Khalafullah dalam karyanya al-Fann al-Qasâsî fî al-Qur’ân al-Karîm, kemudian ide Amîn dikembangkan oleh istrinya ‘Aisyah ‘Abdurrahman Bintu al-Syati’, dalam bukunya al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm. Sayyid Qutb, lihat bukunya, al-Tashwîr al- Fannî fi al-Qur’ân . Dan Nasr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nass: Dirâsat fî ‘Ulûm al-Qur’ân.
3 “Idzâ sa’altumûni ’an gharîb al-Qur’ân fa iltamisûhu fî al-Syi’ir, fainna al-syi’ir dîwân al-Arab” al-Baihaqi, Sunan al-Kubrâ, (Heiderabad: t.tp. 1344-1355), Vol. X, hal. 241.
Sebagaimana dikutip oleh J.J.G Jansen, The Interpretation of the Qur’an in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1974), hal. 59. John Wansbrough, Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, (Oxford: Oxford University Press, 1977), hal. 217. Memahami dan menilai teks sastra tidak hanya bergantung pada teori sastra saja, tetapi persoalan-persoalan yang terdapat di luar teks seperti politik, sosial dan sebagainya sering kali mewarnai dasar bangunan sastra yang diciptakan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa teks-teks sastra merupakan karya yang amat kompleks. Karena pada dasarnya karya sastra merupakan refleksi kehidupan manusia dengan berbagai macam dimensi yang ada. Atmazaki, Ilmu Sastra, Teori dan Terapan, (Padang:
210 H/ 825 M), Al-Jâhiz (w. 255 H/ 869 M), Qâdhî Abd Jabbâr (w. 415 H/ 1024 M), Abdul al- Qâhir al-Jurjânî (w. 474 H/ 1078 M), dan Zamakhsyarî (w. 538 H/ 14 M).
Namun dalam perjalanan sejarah, pendekatan sastra telah agak terpinggirkan, baik oleh para intelektual muslim reformis maupun konservatif. Muhammad ‘Abduh (w. 1905 H) misalnya, dianggap sebagai salah seorang yang sangat keras mengkritik pendekatan sastra. Interpretasi al-Qur’an, menurutnya bukanlah tempat di mana para ahli bahasa maupun sastrawan mempertontonkan keahlian dan kepintarannya, karena al-Qur’an adalah sebuah kitab bimbingan
religius dan spiritual (hidâyah) dan bukanlah sebuah buku sastra atau filsafat. 4 Tak pelak lagi, kritik ‘Abduh ini telah mempengaruhi banyak reformis lain di pelbagai belahan dunia Islam, termasuk Hassan Hanafi (l. 1935 H). 5 Di antara alasan keengganan menggunakan teori sastra terhadap al-Qur’an,
kerena teori sastra dianggap sebagai teori sekuler. Sebab itu tidak dapat diterapkan kepada teks yang suci seperti al-Qur’an. Mereka juga menyatakan bahwa al- Qur’an sebagai teks suci dan firman Allah, hanya dapat dikaji dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kesucian firman Allah, dan itu berarti dengan menggunakan metode yang suci pula (divine hermeneutics) atau metode
yang islami (manhâj al-Islamî). 6 Kritik ‘Abduh terhadap pendekatan linguistik dan sastra di-counter oleh
Amîn al-Khûlî (w. 1967 M) pada tahun 1930-an. al-Khûlî mengecam ‘Abduh karena tidak menyadari bahwa seseorang tidak akan bisa mendapatkan bimbingan
Angkasa Raya, 1990), cet. X, hal. 59. Atari Semi, Kritik sastra, (Bandung: Angkasa, 1989), hal. 59. Iswanto, Penelitian Sastra dalam perspektif Strukturalisme Genetik, dalam Metodologi Penelitian Sastra,
ed. Jabrohim, (Yogyakarta: PT. Hanindita, 2001), hal. 62. Lihat juga, Yudiono KS, Telaah Kritik Sastra Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1990), cet. X, hal. 30. Jalâl al-Din al- Suyûti, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Kitab al-Ilmiyyah, 2000), juz I, hal. 119-120
4 Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manar, Jilid I, (Kairo: Dâr al-Manar), hal. 17-25. Bandingkan dengan J.J.G Jansen, The Interpretation of the Qur’ân in Modern Egypt, hal. 24-25
5 Hasan Hanafi juga mengkritik pendekatan ini. Lihat Hasan Hanafî, Method of Thematic Interpretation of the Qur’an, dalam Stefan Wild (ed.), The Qur’an as Text, (Leiden ect.: Brill,
1994). 6 Yusuf Rahman, Kritik Sastra dan Kajian al-Qur’an, dalam Pengantar Kajian al-Qur’an,
Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian , (ed.) Kusmana dan Syamsuri, (Jakarta: PT. Pustaka al- Husna Baru, 2004), hal. 226. Lihat juga, Muhammad Aunul Abied Shah dalam artikel berjudul “Amîn al-Khûlî dan Kodifikasi Metode Tafsir” dalam buku Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hal. 140 Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian , (ed.) Kusmana dan Syamsuri, (Jakarta: PT. Pustaka al- Husna Baru, 2004), hal. 226. Lihat juga, Muhammad Aunul Abied Shah dalam artikel berjudul “Amîn al-Khûlî dan Kodifikasi Metode Tafsir” dalam buku Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hal. 140
al-Qur’an. 7 Amîn al-Khûlî, menurut J.M.S. Baljon adalah orang yang pertama menggunakan kritik historis dalam menginterpretasikan teks-teks al-Qur’an. 8
Namun, haruslah dicatat, bahwa penggunaan kritik historis al-Khûlî ini dikarenakan dia melihat bahwa pendekatan sastra mensyaratkan penafsir untuk mengenali konteks historis teks.
Studi tafsir al-Qur’an dengan pedekatan susastra, selanjutnya dikembangkan oleh murid-murid al-Khûlî, seperti Muhammad Ahmad Khalafullah, ‘Aisyah Abdurrahman Bint Syâthi (w. 1998), 9 M. Syukri Ayyad (w. 2001) dan Nasr Hamid Abû Zaid. Meskipun demikian mereka memiliki perspektif yang berbeda
dalam melakukan studi atas al-Qur’an. Muhammad Ahmad Khalafullah, misalnya, lebih mengedepankan aspek psikologis dari al-Qur’an, terutama pada sisi narasinya. Sekalipun tidak menyebutkan sumber dari mana ia mengambilnya, tetapi dari metode yang ia gunakan dalam melakukan tafsir atas kisah-kisah al- Qur’an jelas ia mengikuti metode Amîn al-Khûlî.
Abû Zaid kemudian mengembangkan teori mereka dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang dikembangkan dalam teori dan kritik sastra modern. 10 Ia yakin bahwa satu-satunya cara untuk memahami dan
menginterpretasikan al-Qur’an secara objektif adalah dengan menerapkan
7 Amîn al-Khûlî, Manâhij al-Tajdîd fî al-Nahw wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adab, hal. 308-317. Bandingkan dengan Jansen, The Interpretation of the Qur’ân in Modern Egypt, hal.
65 8 J.M.S. Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation, (Leiden: Brill, 1968), hal. 4
9 Andrew Rippin, Muslim, Their Religious Beliefs and Practices.: The Contemporary Period, Vol. 2, (London dan New York: Routledge, 1993), hal. 94
10 Penggunaan teori dan kritik sastra dalam kesarjanaan Arab-Islam sesungguhnya bukanlah merupakan hal baru. Teori sastra selalu dikaitkan dengan studi al-Qur’an, sebagaimana dalam
kasus metapora (majâz), sementara kritik sastra telah dipergunakan untuk mengapresiasi puisi. Namun penggunaan kritik sastra dalam membaca teks al-Qur’an adalah hal yang baru. Wen Chin Ouyang, Literary Criticism in Medieval Arabic Islamic Culture: The Making of a Tradition, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1997) kasus metapora (majâz), sementara kritik sastra telah dipergunakan untuk mengapresiasi puisi. Namun penggunaan kritik sastra dalam membaca teks al-Qur’an adalah hal yang baru. Wen Chin Ouyang, Literary Criticism in Medieval Arabic Islamic Culture: The Making of a Tradition, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1997)
penting, karena membimbing seseorang ke arah penggunaan kesadaran ilmiah (al- wa’y al-‘ilmi ) dan menghindari tendensi-tendensi ideologis (al-taujih al-
aidiyûlûjî 12 ). Untuk merealisasikan proyek sekularisasi teks divine, mereka menempuh
jalur pendekatan tafsir susastra, yang dalam pandangan Abû Zaid merupakan jalan satu-satunya untuk memahami semangat tekstualitas al-Qur’an. Dari pendekatan tafsir susastra inilah, maka pendekatan hermeneutika dan linguistik kontemporer digunakan sebagai piranti untuk mengarahkan al-Qur’an yang sudah selama berabad-abad dibungkus wacana kesakralan yang harus dinetralisir. 13 Dengan
mengatakan bahwa al-Qur’an adalah karya sastra, itu berarti al-Qur’an dapat saja dikaji dengan menggunakan segala macam pendekatan termasuk kritik sastra.
Walaupun akan dianggap menentang otoritas al-Qur’an. Para sarjana muslim kontemporer berusaha menarik teks ke horizon puisi. Mereka menempatkan semua fenomena wahyu ke dalam sistem kebudayaan yang sudah mapan dan dominan. Penafsiran atau penerjemahan al-Qur’an dalam konteks bahasa, sepenuhnya tidak bisa lepas dari wilayah kultural historis. Di
samping bahasa sebagai bagian dari budaya manusia. 14 Dalam hal ini, penafsir berusaha menjelaskan pengertian dan maksud suatu ayat berdasarkan hasil dari
proses intelektualisasi dengan langkah epistimologi yang mempunyai dasar pijak pada teks dengan konteksnya. 15
Studi interpretasi al-Qur’an kontemporer tidak saja terbatas pada bentuk interpretasi yang menekankan pada pencarian makna dari segi narasi belaka. 16
11 Nasr Hamid Abû Zaid, Mafhûm al-Nass: Dirâsât fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Markaz al- Tsaqâfah al-‘Arabî: 1998), hal. 21.
12 Abû Zaid, Mafhum al-Nashsh: Dirâsât fi Ulûm al-Qur’an, hal. 12-13 13 Muhammad Arkoun, al-Qur’ân min al-Tafsîr al-Mawruts ila Tahlil al-Khithab al-Dînî,
hal. 62 14 Muhammad Yunus Melalatoa, Memahami Aceh sebagai sebuah Perspektif Budaya, dalam
Aceh Kembali ke Masa Depan , Sardono W. Kusumo, (Jakarta: IKJ Press bekerja sama dengan keluarga Almarhum dr. Sjarif Thayeb dan keluarga Dr. Anwar Nasution, 2006), cet.II, hal. 7
15 Abû Zaid, Mafhum al-Nass: Dirasat fi Ulûm al-Qur’an, hal. 14 16 Studi interpretasi al-Qur’an yang dilakukan oleh para ulama dari kalangan Muslim sejak
dulu sampai kini dan akan datang akan selalu berada dalam satu bingkai teoretik yang sama yaitu
Akan tetapi, perspektifnya sudah berkembang pesat dengan menempatkan teks al- Qur’an sebagai teks yang bersifat historis yang lekat dengan bahasa dan budaya tertentu. Artinya, di samping berbicara tentang interpretasi teks, telaah ini sudah
masuk pada analisis “status ontologis teks” 17 dan relasi antar konteks melalui interpretasi kebudayaan dengan menggunakan pisau analisis linguistik dan
semiotik yang terbingkai dalam hermeneutika teks. Usaha menerjemahkan al-Qur’an secara puitis telah diprakarsai oleh beberapa sarjana muslim dalam berbagai bahasa. The Glorious Koran, karya
Muhammad Marmaduke William Pickthall (1875-1936), 18 seorang intelektual Muslim Barat yang telah menerjemahkan al-Qur’an secara puitis dalam bahasa
Inggris dengan judul The meaning of the Holy Qur'an. Karya ini merupakan terjemahan bahasa Inggris pertama yang dilakukan oleh seorang Muslim dan diakui oleh Universitas al-Azhar Mesir, Times Literary Supplement juga
menyatakan bahwa karya Pickthall ini sebagai sebuah pencapaian penulisan yang
to make the texts understandable and relevant. Lihat Andrew Rippin, Muslim Their Religious Beliefs and Practices , Vol. 2: The Contemporary Period (London: Routledge, 1995) hal. 85; bandingkan dengan J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, juga Helmut Gatje, The Qur’ân and it’s Exegesis: Selected Text with Classical and Modern Interpretation, terj: Alford T. Welch (California: California University Press, 1976) hal. 30.
17 Telaah terhadap status ontologis ini berfaedah untuk menjelaskan sifat-sifat historis dan nir-historis al-Qur’an, yaitu mengenai ketidakseimbangan ontologis dalam proses komunikasi
antara manusia yang natural dengan Tuhan yang supranatural. Pendekatan yang dilakukan untuk kajian ini, setidaknya pernah dilakukan oleh Izutsu dengan menggunakan analisis semantik. Namun ia masih terbatas pada pencarian makna asli dari suatu teks dan belum menyingkap problem jarak, tradisi dan kebudayaan, begitu pula dengan aspek-aspek simbolis lain yang dapat di telaah melalui semiotik. Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: a Semantical Analysis of the Koranic Weltanschaung (Tokyo: Keio University Press, 1964) hal. 155. Telaah terhadap status ontologis teks melalui hermeneutik tidak hanya terjadi di kalangan Muslim terhadap al-Qur’an, tetapi juga terhadap kitab “Perjanjian Baru” di antaranya dilakukan oleh Rudolf Bultmann melalui karyanya yang berjudul “Das Problem der Hermeneutik”. Lihat Routrand Wieland, “Wurzeln der Schwierigkeit innerislami schen Gerpracchs Uber Neue Hermeneutiche Zungange zum Korantext” , dalam Stefan Wild (ed.), The Qoran as Text (Leiden: E.J. Brill, 1996) hal. 270. Ulasan singkat tentang telaah terhadap konsep teks ini lihat juga Berichtvon Almut Wieland, Internationale Symposion “Der Koran als Text”, dalam: Juhrbuch fûr Religionwissenschaft und der Religionen (Bonn: Freinburg, 1994) hal. 148-158; juga Nasr Abû Zaid, Mafhûm al-Nass: Dirâsât fi Ulûm al-Qur’an, hal. 10
18 William Pickthall adalah pemeluk agama Kristen yang kemudian berpindah agama memeluk Islam. Seorang novelis, yang diakui oleh D.H Lawrence, H.G Wells dan E.M Forster,
jurnalis, kepala sekolah serta pemimpin politik dan agama. Dididik di Harrow, ia terlahir pada keluarga Inggris kelas menengah, yang akar keluarganya mencapai ksatria terkenal William sang penakluk. Pickthall berkelana ke banyak negara-negara Timur, mendapat reputasi sebagai ahli masalah Timur Tengah. Karya ini ditulis ketika menjadi pejabat di bawah pemerintahan Nizam dari Hyderabad. Mohammed Marmaduke Pickthall, The Meaning of the Glorious Koran. (Kuwait: Dar al-Islamiyya).
besar. Juga Abdullah Yusuf Alî (1872 M-1953 H), seorang cendekiawan muslim, menerjemahkan al-Qur’an dalam bahasa Inggris. Kedua karya di atas merupakan
terjemahan al-Qur’an bahasa Inggris yang paling luas digunakan saat ini. 19
20 Pada akhir tahun 1970, H.B. Jassin, 21 seorang kritikus sastra Indonesia menerbitkan sebuah terjemahan al-Qur’an dan menyusunnya atas dasar sastra
dalam proyeknya al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, dan al-Qur’an Berwajah Puisi. Terjemahan ini kemudian mendapatkan kecaman dan kritik serta tanggapan
dari berbagai komunitas masyarakat muslim Indonesia. 22 Sebenarnya dalam hal penerjemahan, betul salahnya terjemahan hanya bersangkutan dengan aspek kebahasaan murni. Dan faktor bahasa itulah yang selalu membayangi proses penerjemahan, karena antara Bahasa sumber dan Bahasa sasaran berbeda. Jadi,
19 Ali dilahirkan di Bombay 14 April 1872, India dari sebuah keluarga saudagar kaya. Pada masa kecilnya, ia menerima pendidikan agama dan akhirnya dapat menghafal al-Qur’an.
Menguasai bahasa Arab dan Inggris dengan sangat baik, mempelajari beberapa literatur bahasa Inggris dan mengunjungi beberapa negara Eropa sebagai seorang pelajar. Ia mengkhususkan usahanya untuk mempelajari al-Qur’an dan tafsir dimulai dengan tafsir-tafsir yang dibuat pada masa awal sejarah Islam. Usaha Ali yang terkenal adalah bukunya yang berjudul "Holy Qur’ân: Text, Translation and Commentary" yang dipublikasikan pada tahun 1934. Ali mendukung kontribusi India untuk negara-negara sekutu pada Perang Dunia I. Ia seorang intelektual yang sangat dihormati di India. Ia juga direkrut oleh Muhammad Iqbal sebagai kepala Islamia College di Lahore, Pakistan. Kemudian pindah ke Inggris hingga akhir hidupnya, ia wafat 10 Desember 1953 H dan dimakamkan di pekuburan muslim di Brookwood dekat dengan tempat pemakaman Pickthall. Abdullah Yusuf Alî, The Holy Qur-an : English translation of the meanings and Commentary . Revisi dan pengeditan oleh Kelompok Peneliti Islam, IFTA. Percetakan lengkap King Fahd Holy Qur’an. (Al Madina Saudi Arabia) 1410.
20 Hans Bague Jassin adalah seorang kritikus dan dokumentator sastra Indonesia. Jassin lahir di Gorontalo 31 Juli 1917 dan wafat di Jakarta 11 Maret 2000. Hans adalah pelafalan yang salah
dari kata Hamzah, Bague berasal dari nama ayahnya, Bague Mantu Jassin. Mengenai nama ini, Jassin enggan mengubahnya dengan ejaan baru. Lihat “Penghina Tuhan Menerjemahkan al-Qur’an “(Wawancara dengan Majalah Tempo, 29 Maret 1975), dalam HB. Jassin (ed.), Kontroversi al- Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, 2000), hal. 21
21 Yang terinspirasi dari Yûsuf Alî, seorang penerjemah al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris berasal dari India pada tahun 1930-an. Terjemahan H.B. jassin ini bergaya puitis dengan kalimat-
kalimat yang indah. Lihat, M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eISAQ Press: 2005), hal. 264
22 HB. Jassin, al-Qur’an al Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Djambatan, 1991) cet. 3. Banyak orang menganggap Jassin tidak punya kapabilitas intelektual yang memadai untuk menerjemahkan
al-Qur’an. Pada tingkat yang ekstrim, beberapa orang bahkan mengharamkan untuk membeli dan membaca karya tersebut. Konon, pada tahun 1978 ada yang membakar karya puitisasi tersebut. Kitab ini mendapat sambutan dan kritik dari berbagai pihak, selengkapnya lihat, Nazwar Syamsu, Koreksi Terjemah al-Qur’an Karim Bacaan Mulia HB. Jassin, (Padang Panjang: Pustaka Sa’adiyyah, 1978). Lihat, H. Oemar Bakry, Polemik H. Oemar Bakry dengan H.B. Jassin tentang al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Mutiara, 1979), Siradjuddin Abbas, Sorotan atas Terjemahan al-Qur’an HB. Jassin, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1979).
istilah kesalahan dalam terjemahan harus dibedakan antara betul salah (correctness) dengan baik buruk (good or bad translation). 23
Kata al-Qur’an berarti bacaan, bacaan yang indah. Untuk mendekati al- Qur’an yang indah disyaratkan dengan pendekatan yang mampu menguak tabir keindahannya. Dan ini sangat mungkin dilakukan dengan kajian sastra yang memang sangat apresiatif terhadap bahasa dan seni keindahan. Dengan kata lain, “mendekati” yang Maha Indah yang telah melahirkan firman yang sangat indah, sangat logis dengan pendekatan puisi. Manusia tak akan mampu “berjumpa” dengan yang Maha Indah dalam kondisi yang tidak indah atau kotor, karena itu untuk “menjumpai” Yang Maha Indah dibutuhkan seperangkat alat yang indah
atau minimal yang menghargai keindahan. 24 Pola-pola ritmik tuturan dalam bacaan al-Qur’an adalah di antara aspek
keindahan bahasa yang dikandungnya. Pola-pola ini merefleksikan penyusunan
kata-kata secara khusus, berikut pengaturan frasa-frasanya yang indah. Bagi sebagian kalangan, ayat-ayat al-Qur’an mengkombinasikan karakteristik prosa
dan puisi. 25 Berbeda dengan puisi, ayat-ayat al-Qur’an tidak memiliki rima tertentu yang tunggal, sehingga memberikan ruang yang lebih luas bagi
fleksibilitas dan kebebasan bertutur. Namun demikian, al-Qur’an juga memuat aspek-aspek tertentu sebuah puisi, khususnya dalam cara menggunakan kata-kata yang memiliki silabel yang sama. Musikalitas tuturan al-Qur’an demikian lebih kentara dan mudah dipahami pada ayat-ayat yang pendek ketimbang yang
panjang-panjang. 26 Selain Jassin, usaha mendekati al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan
sastra ini juga telah dilakukan oleh Mahjiddin Jusuf (1918-1994 H), 27 Mahjiddin
23 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, (Bandung: Pustaka Jaya, 2006, hal. 27
24 Moenawar Khalil, al-Qur’an Dari Masa ke Masa, (Semarang: Ramadhani, 1952), hal. 12 25 Sayyid Qutb, al-Tashwîr al-Fannî fi al-Qur’ân, cet. XVII, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2004),
hal. 87 26 Sayyid Quthb, al-Tashwîr al-Fannî al-Qur’ân, hal. 87.
27 Mahjiddin Jusuf, lahir di Peusangan Aceh Utara 16 September 1918. Sejak kecil telah menimba ilmu dari ayahnya Fakir Jusuf. Menimba ilmu dari Dayah (pondok pasantren) yang ada
di Aceh sampai ke Normal Islam di Padang selesai pada tahun 1941 H. semasa hidupya, Mahjiddin mendedikasikan ilmunya sebagai Pegawai Negeri, juga pernah menjadi anggota DPRD Provinsi Aceh dan Sumatra Utara mewakili Partai Politik Islam Mashumi, Imam Mesjid Raya Banda Aceh, di Aceh sampai ke Normal Islam di Padang selesai pada tahun 1941 H. semasa hidupya, Mahjiddin mendedikasikan ilmunya sebagai Pegawai Negeri, juga pernah menjadi anggota DPRD Provinsi Aceh dan Sumatra Utara mewakili Partai Politik Islam Mashumi, Imam Mesjid Raya Banda Aceh,
yang secara lengkap menerjemahkan seluruh isi al-Qur’an yang terdiri dari tiga puluh juz. Penerjemahan ini pada awalnya lebih ditujukan untuk mendekatkan al-
Qur’an dengan kondisi sosio-kultural masyarakat Aceh. 29 Konteks historis yang menjadi horizon kitab terjemahan telah menampilkan
sosok tafsir yang memiliki hermeneutika tersendiri yang menarik untuk dikaji. Dalam batas waktu tertentu terjemahan ini sangat diminati, terlihat dari besarnya animo masyarakat untuk memilikinya. Sehingga dalam kurun singkat telah
dilakukan dua kali cetak ulang. 30 Lagi pula keindahan bahasa al-Qur’an tentu akan lebih terasa jika disampaikan dalam bahasa yang indah pula. 31
Ibrahim Zaki Khursyid dalam kitab al-Tarjamat wa Musykilatuha, 32 menyatakan bahwa penerjemahan sastra berwajah puisi lebih sukar dikerjakan
dibandingkan dengan terjemahan prosa. Di antara penyebabnya adalah: pertama, adanya penekanan pada pemilihan kata yang mengandung nilai sastra. Kedua,
dosen Luar Biasa pada IAIN Jami’ah ar-Raniry Banda Aceh serta beberapa jabatan lain dalam lembaga sosial kemasyarakatan. Penerjemahan ini dilakukan pada tahun 1955 di dalam penjara. Peristiwa DI-TII Aceh yang berkobar pada tahun 1953 menyebabkan beliau dipenjara dan menghabiskan masa empat tahun di sana dengan menghasilkan sebuah karya besar. Lihat, Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’ân al-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, (Banda Aceh: Pusat penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) Aceh, 2007), hal. xvii
28 Pada awalnya, terjamah ini masih berupa naskah yang terdapat di perpustakaan Ali Hasjimy Banda Aceh dengan Nomor: 8/ NKT/ YPAH/ 1992. Yang kemudian di cetak oleh P3KI
Banda Aceh menjadi sebuah kitab yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Tafsir ini hadir pada masa modern kurun waktu kedua (1951-1980). Dalam kajiannya, Nasharuddin memetakan perkembangan tafsir al-Qur’an menjadi empat periode. Lihat Nasharuddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai, 2002), hal.
29 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003), hal. 248-249. Lihat juga, Thaha Husein, Fî al-Adâb al-Jahili, (Mesir: Dâr al-
Ma’arif), h. 89. Juga Mustafa Muslim, Mabahits fî ‘I’jâz al-Qur’an, (Jeddah: Dâr al-Manarah, 1988), hal. 72
30 Cetak ulang pertama dilakukan pada tahun 1992 dan penerbitan edisi kedua dilakukan pada tahun 1997. Kata Pengantar Tim Editor Edisi Kedua, dalam Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an al-
Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, h. xi 31 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an al-Karim, kata pengantar edisi kedua, hal. xvii. Lihat juga
tafsir HB. Jassin, al-Qur’an Bacaan Mulia. Di antara Vernakulisasi (pribumisasi) dalam tardis al- Qur’an yang dilakukan oleh ulama Nusantara paling tidak ada dua alasan, yaitu: pertama, sebagai bentuk sosialisasi dan pembumian kitab suci al-Qur’an kepada masyarakat muslim Indonesia yang tidak paham bahasa Arab sehingga al-Qur’an tetap menjadi kitab pegangan dan petunjuk. Kedua adalah sebagai upaya untuk melestarikan warisan budaya lokal, yaitu bahasa daerah itu sendiri.
32 Ibrahim Zaki Khursyid, al-Tarjamat wa Musykilatuha, (al-Hayy al Mashriyat al-‘Ammat li al-Kitab: Kairo, 1985), hal. 9 32 Ibrahim Zaki Khursyid, al-Tarjamat wa Musykilatuha, (al-Hayy al Mashriyat al-‘Ammat li al-Kitab: Kairo, 1985), hal. 9
Langkah yang ditempuh untuk menerjemahkan sebuah teks dalam bentuk puisi lebih panjang dari penerjemahan bebas atau biasa. 33 Pertama,
menerjemahkan bahasa asli ke dalam bahasa sasaran secara harfiah. Dalam upaya terjemahan ini, Mahjiddin berusaha menangkap isi teks terlebih dahulu baru kemudian memformulasikannya ke dalam bahasa Aceh yang bersajak (hikayat). Langkah kedua adalah memperhatikan perbedaan struktur bahasa asli dengan bahasa sasaran. Ketiga, membentuk kalimat yang puitis sesuai dengan pesan yang terdapat dalam bahasa asli. Langkah keempat adalah usaha mensejajarkan pengertian kalimat-kalimat dalam bahasa asli ke bahasa sasaran dengan memperhatikan beberapa hal seperti pengertian idiomatik (uslubiyyah), makna sekunder, metafora dan figurative beserta struktur lahir dan batin bahasa asli.
Dalam menerjemahkan, ia juga berusaha mengungkap isi teks lebih dahulu baru kemudian memformulasikannya ke dalam bahasa Aceh yang bersajak (hikayat). Barangkali tidak terlalu berlebihan sekiranya dikatakan bahwa ia
melakukan penerjemahan secara idiomatis. 34 Bentuk hikayat dalam bahasa Aceh adalah karangan puitis yang setiap baris terdiri dari sepuluh kata dan pada akhir
baris ada persamaan bunyi. Biasanya baris-baris tersebut ditulis bergandengan dan tidak dipisahkan kepada bait-bait. Oleh penyunting, baris ini ditulis tidak lagi bergandengan, tetapi dipisahkan ke dalam bait-bait yang terdiri dari empat-empat baris. Karena hal tersebut maka bait terakhir pada akhir surat kadang-kadang hanya terdiri dari dua baris. 35
33 Terdapat beberapa perbedaan antara naskah asli dengan kitab edisi cetakan. Di antarannya: perbedaan dalam bahasa tulisan. Dalam naskah asli, bahasa yang digunakan adalah
bahasa Arab jawi sedangkan edisi cetakan menggunakan huruf latin. Dari bentuk penafsiran, dalam naskah asli, terjemahan lebih panjang dan mengandung penafsiran yang luas, namun berbeda dengan edisi cetakan uraian lebih singkat dan padat.
34 Terjemahan jenis ini tidak jauh berbeda dengan terjemahan harfiah. Penerjemah sangat berperan dalam menentukan apakah terjemahan itu harfiah atau idiomatik. Jadi penerjemah
berusaha menciptakan kembali makna dalam bahasa sumber dalam kata atau kalimat yang luwes di dalam bahasa sasaran. Penerjemahan yang benar-benar idiomatis tidak akan terasa seperti terjemahan, tetapi seperti tulisan atau ungkapan asli. Tujuan akhir setiap terjemahan hendaknya terjemahan idiomatis. Mildred L. Larson, Meaning-based Translation: A Guide to Cross- Langguage Equivalence, (London: University Press of America, 1984), hal. 3
35 Mahjiddin, Al-Qur’an al-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, hal. xi
Dalam menerjemahkan al-Qur’an, nuansa puitis dapat langsung dinikmati pembaca secara visual, susunan kalimat, bentuk dan pilihan kata akan terasa jelas. Misalnya terjemahan ayat 108 surat ali ‘Imran: 108. Kamoe buet ayat bandumkeu gata
Deungon sibeuna hana nyang salah Tan hajat Tuhan Neumeung elanya Meu sidroe hana hukom meuilah
Bandingkan dengan gaya puitis HB. Jassin dalam al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, ia mempuitisasikan terjemahan ayat di atas dengan: 36 108. Itulah ayat-ayat Allah
Yang kami bacakan kepadamu Dengan benar. Dan tiadalah Allah hendak Menganiaya makhluk-makhlukNya.
Berbagai pesan yang terdapat dalam teks asli berupa gambaran keadaan
manusia di hari kiamat dapat tertampung dalam terjemahan ini. Bandingkan dengan terjemahan ayat-ayat yang sama dalam al-Qur’an terjemahan Departemen Agama yang kemudian disunting dan diterbitkan oleh Mujamma’ Khadim al- Haramain al-Syarifain Madinah.
Itulah ayat-ayat Allah, Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan benar: dan tiadalah Allah berkehendak untuk menganiaya hamba- hambaNya.
Hadirnya terjemahan ini sangat penting bagi masyarakat Aceh. Al-Qur’an yang dalam bahasa aslinya berbahasa Arab, tidak mudah dimengerti oleh semua umat Islam. Padahal di sisi lain, sebagai Kitab Suci, al-Qur’an harus dapat dimengerti maksud dan kandungan isinya agar dapat dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun tetap disadari bahwa tafsir al-Qur’an dalam bahasa selain Arab tidak akan dapat sepenuhnya menggambarkan maksud ayat- ayat al-Qur’an. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan penafsir selaku manusia untuk mengetahui secara persis makna teks al-Qur’an.
Mahjiddin telah membuka rahasia kemukjizatan al-Qur’an dengan kajian sastra lewat keindahan teks al-Qur’an yang mengandung nilai estetika. 37 Mengutip
36 HB. Jassin, al-Qur’an Bacaan Mulia, hal. 84 36 HB. Jassin, al-Qur’an Bacaan Mulia, hal. 84
menjamin anda untuk tak melakukan kesalahan di dalam membuat klaim, menjaga anda untuk tidak menjadi orang yang alim hanya secara taklid semata. Sesuai dengan pernyataan Abû Zaid, bahwa teori interpretasi tidak bisa dipisahkan dari teori teks. Penggunaan metode susastra dengan analisis linguistik diharapkan
mampu meminimalisir subyektifitas dan tarikan kepentingan. 39 Bukankah jalan menuju pengetahuan mukjizat al-Qur’an senantiasa
terpampang bagi siapa saja yang ingin mengetahui keindahannya. Pintu untuk bisa membuka rahasia i’jâz betapapun kecil yang bisa dilakukan oleh manusia sangat mungkin dengan kajian sastra dan puisi.
Disadari bahwa teks tidak terpisah dari realitas, dan karenanya mereka tidak segan-segan memahami teks menurut perpektif teks-teks lain, 40 khususnya puisi.
Prinsip dasar yang dipegang semenjak usaha-usaha awal penafsiran adalah “ apabila kamu mengalami kesulitan dengan al-Qur’ân maka kembalilah ke puisi sebab puisi merupakan ontologi Arab” sebuah prinsip yang dilontarkan oleh Ibnu
Abbâs. 41 Salah satu usaha nyata dari gagasan di atas adalah penerjemahan al- Qur’an dalam bahasa Aceh yang digagas oleh Mahjiddin Jusuf.
37 Zainuddin Fanani, Telaah Sastra, cet. II, (Surakarta: Muhamadiyyah University Press, 2001), hal. 3. Mursal Esten, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah, cet. V, (Bandung:
Angkasa, 1990), hal. 7. 38 Abd al-Qahir al-Jurjâni, Dalâil al-I’jâz fî ‘Ilmi al-Ma’ânî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
Misriyyah, T.th), hal. 56
39 Abû Zaid, Mafhûm al-Nass: Dirasat fi Ulûm al-Qur’an, hal. 12-13. 40 Memahami dan menilai teks sastra tidak hanya bergantung pada teori sastra saja, tetapi
persoalan-persoalan yang terdapat di luar teks seperti politik, sosial dan sebagainya sering kali mewarnai dasar bangunan sastra yang diciptakan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa teks- teks sastra merupakan karya yang amat kompleks. Karena pada dasarnya karya sastra merupakan refleksi kehidupan manusia dengan berbagai macam dimensi yang ada. Atmazaki, Ilmu Sastra, Teori dan Terapan, cet. X, (Padang: Angkasa Raya, 1990), hal. 59. Atari Semi, Kritik sastra, cet.
X, (Bandung: Angkasa, 1989), h. 59. Iswanto, Penelitian Sastra dalam perspektif Strukturalisme Genetik, dalam Metodologi Penelitian Sastra, ed. Jabrohim, (Yogyakarta: PT. Hanindita, 2001), hal. 62. Lihat juga, Yudiono KS, Telaah Kritik SastraIndonesia, cet. X, (Bandung: Angkasa, 1990), hal. 30.
41 Abû Bakar ibn al-Anbari mengatakan: Banyak riwayat dari para sahabat dan tabi’in yang mengatakan bahwa mereka mempergunakan puisi untuk menjelaskan kata yang asing dan sulit
dalam al-Qur’an. Sekelompok orang yang tak berilmu menolak sikap ulama nahwu yang melalukan semacam itu. mereka mengatakan: Apabila hal itu dilakukan berarti puisi dijadikan argumentasi bagi al-Quran, sementara puisi itu sendiri dicela dalam al-Quran dan hadits. Abu Bakar berkata: Masalahnya tidak seperti anggapan mereka bahwa puisi dijadikan sebagai sumber
Safir Iskandar Wijaya, 42 dalam kata pengantar terjemahan al-Qur’an bahasa Aceh, mengatakan bahwa al-Qur’an ini nantinya akan menjadi milik
seluruh masyarakat sebagai upaya transformasi nilai, sehingga terwujud kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam. Dia juga mengimbau kepada seluruh elemen masyarakat untuk menjaga dan menggunakan al-Qur`ân tersebut dengan baik, jangan hanya dijadikan pajangan, tapi harus diamalkan.
Kehadiran tafsir al-Qur’an sebagaimana terjemah Mahjiddin sangat penting bagi masyarakat Aceh, karena al-Qur’an yang dalam bahasa aslinya berbahasa Arab, tidak mudah dimengerti oleh semua umat Islam. Padahal di sisi lain, sebagai Kitab Suci al-Qur’an harus dapat dimengerti maksud dan kandungan isinya oleh umat Islam agar dapat dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kendati kehadiran tafsir ini sangat membantu masyarakat muslim untuk memahami pengertian dan makna ayat-ayat al-Qur’an, namun tetap disadari
bahwa tafsir al-Qur’an dalam bahasa Indonesia tidak akan dapat sepenuhnya menggambarkan maksud al-Qur’an sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Dan faktor yang paling utama adalah keterbatasan pengetahuan penafsir selaku manusia untuk mengetahui secara persis maksud al-Qur’an yang harus digali maknanya.
Yang pasti, usaha apapun dan oleh siapapun filosofi awalnya memang untuk membantu umat Islam di Indonesia untuk lebih mendekatkan diri pada kitab suci dan lebih menghayati untuk mengamalkan. Maka usaha itu sangat mulia dan patut diberi apresiasi tinggi terlepas dari kekurangan yang ada. Sebab, kekurangan
bagi al-Quran, tetapi maksudnya puisi dipergunakan untuk mencari kejelasan makna kata asing dalam al-Qur’an sebab Allah berfirman: sesungguhnya, Kami telah menjdikannya sebagai bacaan (Qur’ân) yang berbahasa Arab. Dalam ayat lain dikatakan: Dengan bahasa Arab yang jelas. Ibnu Abbâs mengatakan: Puisi merupakan ontologi Arab, apabila ada kata dalam al-Qur’an, yang ditirunkan Allah dengan bahasa Arab yang samar maknanya, maka kita menjadikan ontologi Arab itu sebagai rujukan, kami mencari tahu kata yang sulit itu dengan puisi. Kemudian Ia meriwayatkan melalui Ikrimah dari Ibnu Abbâs, ia mengatakan: Apabila kamu bertanya kepadaku tentang bahasa asing dalam al-Qur’an maka carilah dalam puisi sebab puisi adalah ontologi Arab. Abu ‘Ubaidah dalam kitab Fadhâ’il-nya mengatakan: … dari Ibnu Abbâs bahwa ia pernah ditanya tentang al-Qur’an, kemudian ia menembangkan puisi. Abu Ubaidah mengatakan: maksdunya, ia menjadikannya sebagai dalil dalam menafsirkan al-Qur’an. Al-Suyûtî, juz I, hal. 119-120
42 Safir Iskandar, Deputi Sosial, Budaya dan Agama BRR NAD. P3KI NAD Luncurkan Terjemahan al-Qur’an Berbahasa Aceh. Mahjiddin, Al-Qur’an al-Karim Terjemah Bebas Bersajak
dalam Bahasa Aceh, hal. xii dalam Bahasa Aceh, hal. xii
Mayoritas ulama menyatakan bahwa tanpa dipuitisasikan, sesungguhnya ayat-ayat al-Qur’an telah mengandung nilai puitis yang sangat agung, tapi ia sendiri bukanlah puisi. Sastrawan Mesir, Thâha Husein (1889–1973) 43 , menyatakan, “Dari bentuk eksternalnya, al-Qur’an bukanlah puisi dan bukan pula prosa. Ia bukan puisi karena ia tidak mengandung mantra dan rima puisi, dan ia bukan prosa karena ia digubah bukan dengan cara sebagaimana prosa umumnya
disusun”. 44 Mengungkap makna terhadap ayat-ayat al-Qur’an melalui pendekatan puisi, tidak berarti menempatkan al-Qur’an di bawah puisi. Justru dengan cara ini, keindahan al-Qur’an tidak semata-mata sebagai klaim sempit umat Islam, tapi
akan memiliki landasan argumentasi pengetahuan yang kuat. Bila kita percaya bahwa al-Qur’an itu indah dan penciptanya Maha Indah. 45
Karakteristik terjemahan Mahjiddin beserta metode yang digunakan dalam karyanya itu akan menjadi fokus utama tulisan ini. Prinsip yang dianut dalam penelitian ini adalah bahwa terjemahan al-Qur’an merupakan bagian dari tafsir
43 Salah seorang sastrawan tunanetra yang pernah menjabat sebagai menteri Pendidikan di Mesir (1950–1952). Thâha Husein lahir 14 November 1889 di sebuah kota kecil bernama
Maghargha dari keluarga petani pedesaan. Dari Muhammad Abduh (1849–1905) ia belajar tentang studi keagamaan dan dari al-Marshafy ia belajar sastra dan studi literatur bersama Zayyat dan Muhammad Hasan Zanati. Selain di al-Azhar yang tak tuntas, Husein muda belajar di Universitas Cairo, kemudian belajar Perancis. Doktoralnya diperoleh di Universitas Cairo. Di Universitas Sarbonne, Thâha Husein bertemu dengan sederet ilmuwan ternama, semisal, Profesor Emile Durkheim (1858–1917) dalam disiplin ilmu sosiologi, Profesor Gustaf Block dalam disiplin ilmu sejarah (ahli sejarah Romawi), Profesor Casanova dalam ilmu tafsir, dan Profesor Pierre Jenet dalam Ilmu Psikologi. Perkenalan itulah yang sangat mewarnai intelektualitas Thaha Husein hingga ia menghasilkan gagasan-gagasan yang sangat kontroversi pada zamannya. Puluhan buku berhasil ditulisnya, dan setiap buku mendapat perhatian yang serius di masyarakatnya. Di antara karyanya yang populer adalah Fî al-Syi‘ri al-Jahili, ditulis pada tahun 1926, saat ia dipercaya menjadi dosen sejarah sastra Arab pada Fakultas Sastra, al-Ayyam, dan Fî al-Adâb al-Jahilî (1927), Mustaqbal al-Saqâfah fî Misr, dan The Future of Culture in Egypt (1938). Lihat, http.//www.arabworldbooks.com.
44 Thahâ Husain, Mir’ât al-Islâm, hal. 130. Lihat pula A.F.L Beeston, T.M Johnstone, R.B Serjeant & G.R Smith (Eds.) Arabic Literature to the End o the Umayyad Perod (Cambridge:
Cambridge University Press, 1983), hal. 34 45 Moenawar Khalil, al-Qur’an Dari Masa ke Masa, hal. 15 Cambridge University Press, 1983), hal. 34 45 Moenawar Khalil, al-Qur’an Dari Masa ke Masa, hal. 15