Paradigma Baru Terjemahan Bahasa Aceh Bersajak

A. Paradigma Baru Terjemahan Bahasa Aceh Bersajak

Pada dasarnya, setiap terjemahan al-Qur’an 2 dalam bahasa apapun, mempunyai ciri-ciri sendiri, masing-masing penerjemah ingin meninjaunya sesuai dengan wawasan dan bidangnya, sehingga setiap tafsir akan memberi manfaat tersendiri pula kepada pembacanya. Terjemahan Al-Qur’an al-Karim Tarjamah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh karya Mahjiddin Jusuf memperkenalkan

1 Farid Essack adalah salah satu contoh yang baik dalam pendekatan ini. Essack menempatkan al-Qur’an dalam ruang sosial di mana ia berada, sehingga sifatnya bukan lagi

kearaban yang umum. Tak ada tafsir atau ta’wil yang bebas nilai. Penafsiran al-Qur’an bagaianapun adalah exegesis yang memasukkan wacana asing ke dalam al-Qur’an (Reading into) sebelum exegesis mengeluarkan wacana dari al-Qur’an (reading out). Lihat, Farid Esack, “Contemporary Religious Thought in South Africa and The Emergence of Qur’anic Hereneutical Nations”, dalam ICMR, Vol. 2, No. 2, Deseber 1991. Secara teoritik dan praktek lihat bukunya Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspektif of Interreligious Solidarity Againts Opression, (Oxford: Oneworld, 1997), hal. 49, 77. Perlu adanya usaha pengembangan kajian al-Qur’an termasuk di Indonesia. Kajian al-Qur’an yang bertitik tolak tak hanya pada problem sosial kemasyarakatan yang membangun teks al-Qur’an, tetapi juga problem sosial kemasyarakatan, di mana penulis tafsir berada bersama audiensnya. Ishlah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; Dari Hermeneutika hingga Idiologi, (Jakarta: Teraju, 2003), hal. 255. Lihat juga, J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Qur’an in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1974).

2 Terjemah al-Qur’an seperti yang diungkap al-Sâbuniy; mengalihkan al-Qur’an kepada bahasa asing selain bahasa Arab, dan terjemahan tersebut dicetak dengan tujuan agar dapat dikaji

oleh mereka yang tidak menguasai bahasa Arab sehingga dapat mengerti maksud dari firman Allah tersebut dengan bantuan terjemahan tadi. Khalid ‘Abd al-Rahman al-‘Akk menyebutkan bahwa terjemah al-Qur’an adalah mengalihkan makna atau sebagian makna al-Qur’an. Sebatas kemampuan dan kebolehan yang diberikan ilmu tafsir dan takwil, dan bukan berarti menyalin al- Qur’an asli. Muhammad `Ali al-Shâbûnî, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Âlam al-Kutub, t.th.), hal. 210-214. Khalid ‘Abd al-Rahman al-Akk, Usûl al-Tafsîr wa Qawa’iduhu, (Beirut: Dâr al-Nafa’is, 1986), hal, 461-483 oleh mereka yang tidak menguasai bahasa Arab sehingga dapat mengerti maksud dari firman Allah tersebut dengan bantuan terjemahan tadi. Khalid ‘Abd al-Rahman al-‘Akk menyebutkan bahwa terjemah al-Qur’an adalah mengalihkan makna atau sebagian makna al-Qur’an. Sebatas kemampuan dan kebolehan yang diberikan ilmu tafsir dan takwil, dan bukan berarti menyalin al- Qur’an asli. Muhammad `Ali al-Shâbûnî, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Âlam al-Kutub, t.th.), hal. 210-214. Khalid ‘Abd al-Rahman al-Akk, Usûl al-Tafsîr wa Qawa’iduhu, (Beirut: Dâr al-Nafa’is, 1986), hal, 461-483

Mahjiddin mulai mengerjakan terjemahannya pada tanggal 25 November 1955 ketika berada dalam tahanan, 3 karena peristiwa Aceh seperti yang telah

disebutkan di bagian yang lalu. Selama dalam tahanan, Mahjiddin menerjemahkan tiga buah surat yaitu: Yassin, al-Kahfi dan al-Insyirah. Terjemahan ini pernah dipublikasikan secara bersambung dalam harian Duta Panjtatjita Banda Aceh bulan Januari dan Pebruari 1965. Setelah berhenti lebih kurang 20 tahun, kegiatan penerjemahan ia lanjutkan kembali pada tahun 1977. Penerjemahan seluruh al-

Qur’an diselesaikan pada tahun 1988. 4

Mahjiddin tidak mencurahkan waktu sepenuhnya untuk menerjemahkan al-Qur’an. Kehidupannya diisi dengan beragam aktivitas pergerakan maupun intelektual. Ia tetap menunaikan kewajiban-kewajiban yang cukup banyak dengan

aktivitas pemerintahan, sebagai Kepala Bagian Pendidikan Agama, ditambah lagi menjalin hubungan dengan banyak kalangan, di antaranya dengan tokoh kemerdekaan dan para cendikiawan muslim pada masanya.

Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) pada tahun 1995, telah mengambil inisiatif untuk menyunting dan menerbitkan naskah al- Qur’an al-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh ini dalam huruf Latin sehingga dapat dipahami oleh masyarakat Aceh secara luas dan merata. Edisi pertama sangatlah terbatas, sementara animo masyarakat untuk memilikinya cukup tinggi sehingga dalam kurun waktu yang singkat telah habis beredar. Untuk memenuhi keinginan tersebut, pemerintah melalui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias menyambut dengan antusias dan membiayai

cetak ulang karya terjemahan tersebut pada tahun 1997. 5 Penyuntingan dan penerbitan terjemahan ini langsung ditangani oleh P3KI. 6

3 Mahjiddin Jusuf, Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’ân al-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, (Banda Aceh: Pusat penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) Aceh,

2007), hal. xx 4 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. xx

5 Penerbitan Terjemahan al-Qur’an ini merupakan puncak dari sumbangan spiritual dan budaya dari masyarakat Aceh dalam memperingati setengah abad Indonesia merdeka. Lihat kata

Tim Penyunting edisi kedua ini diketuai oleh Dr. H. Abdul Gani Asyik, MA., ketua pengarah Prof. Dr. H. Ahmad Daudy, MA., sekretaris oleh Dr. Abdul Rani Usman, M.Si., anggota-anggota Dr. Zulkarnaini Abdullah, MA, Dra. Hamdiah A. Latief, MA., Drs. Ramly M. Yusuf, MA.

Dalam edisi kedua ini dilakukan beberapa penyempurnaan, terutama dalam hal standarisasi penulisan ejaan bahasa Aceh yang mengacu pada karya Abdul Gani Asyik, seorang linguisi (ahli bahasa) yang telah banyak meneliti dan menulis tentang Bahasa Aceh, termasuk versi ejaan bahasa Aceh yang digunakan dalam penulisan terjemahan al-Qur’an ini. Selain itu penataan juga dilakukan pada beberapa elemen kata maupun kalimat yang keliru.

Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang mencetak ulang al-Qur’an terjemahan bahasa Aceh dikirim ke sejumlah negara. Sekretaris tim penyunting A.Rani

Usman mengatakan sejumlah negara yang dikirim al-Qur’an terjemahan bahasa Aceh itu antara lain Mesir, Malaysia, Belanda, Kanada, Taiwan dan beberapa negara lainnya. Pengiriman hasil karya ulama Aceh itu dimaksudkan untuk memperkenalkan budaya masyarakat Serambi Makkah kepada dunia

internasional. 7 Selain dikirim ke sejumlah negara di Timur Tengah, al-Qur’an terjemahan

bahasa Aceh itu juga diberikan secara gratis kepada seluruh Kabupaten dan Kota, Kecamatan, desa dan pesantren (dayah) yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kami juga mengirimkan karya ulama Aceh ini kepada sejumlah Perguruan Tinggi Negeri dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di seluruh Indonesia, di samping perpustakaan dalam dan luar negeri. al-Qur’an terjemahan yang dicetak PT Intermasa Jakarta itu diterbitkan P3KI IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh. Edisi kedua dicetak sebanyak 12.000 buah dan dibagikan kepada lembaga di Aceh, dinas, lembaga serta instansi dengan harapan

sambutan Syamsuddin Mahmud, Gubernur Kepala Daerah Aceh dalam Mahjiddin Jusuf, al- Qur’an al-Karim, hal. vii

6 Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI), P3KI Luncurkan Terjemah al- Qur’an Bahasa Aceh , lihat http://al-quran-batak.blogspot.com, diakses 2 September 2009.

7 P3KI , al-Qur’an Terjemah Bahasa Aceh di ekspor, http://www.kapanlagi.com, diakses 24 September 2008.

hasil karya putra kelahiran Peusangan Bireuen itu dapat menambah dan membuka wawasan masyarakat. 8

Tim ini mulai bekerja pada bulan Ramadhan tahun 1413 (April 1993) untuk mentranskripsikan naskah ke dalam huruf Latin kemudian dilanjutkan dengan penyuntingan terjemahan. Kegiatan ini selesai pada Ramadhan 1414 (Maret 1994), dan selama itu telah dilakukan tiga kali konsultasi atau diskusi dengan pengarangnya. Diskusi terakhir berlangsung hanya beberapa hari sebelum Mahjiddin meninggal dunia. Setelah itu kegiatan dilanjutkan dengan pemeriksaan

ejaan yang berakhir dalam bulan Juli 1994. 9 Untuk ketelitian, hasil pekerjaan ini dikoreksi kembali dan mencapai

bentuk finalnya pada bulan September tahun 1994. Sesuai dengan kemampuan dana, maka penerbitan ini pada mulanya direncanakan hanya berisi terjemahannya saja tanpa disertai dengan teks asli al-Qur’an. Namun ketika naskah tersebut

ditujukan kepada beberapa pihak untuk memperoleh kritik dan sumbang saran demi kesempurnaan, maka disarankan untuk mencantumkan nash al-Qur’an. Karena hal tersebut, P3KI meminta Team menjajagi kemungkinan penulisan nash al-Qur’an tersebut. Upaya ini berjalan lancar setelah Lajnah Pentashih al-Qur’an Departemen Agama memberikan bantuan serta memeriksa dan akhirnya memberikan izin penerbitan. Nash al-Qur’an yang digunakan adalah nash standar Indonesia, seperti yang tertulis dalam al-Qur’an dan Terjemahannya terbitan

Departemen Agama. 10 Dewan pentashih Terjemahan al-Qur’an Bahasa Aceh ini diketuai oleh Abd Hafidz Dasuki dan empat belas anggota lainnya.

Adapun hal penting yang melatarbelakangi terjemahan ini dilakukan, yaitu, kehadiran terjemahan lengkap kitab suci al-Qur’an dalam bahasa Aceh merupakan sumbangan yang patut membanggakan hati rakyat Indonesia pada umumnya dan rakyat Aceh pada khususnya. Menurut GBHN, Bahasa Daerah adalah bagian dari khazanah budaya Indonesia. Menghadirkan terjemahan al-

8 Mahjiddin, al-Qur’an al-Karim, hal. vi. Lihat http:// www.kapanlagi.com, diakses 24 September 2008.

9 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. xv. 10 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. xvi.

Qur’an agar dipahami kandungannya bagi masyarakat muslim yang belum mengetahui bahasa Arab, dan melalui terjemahan tersebut bisa memberikan kemudahan bagi masyarakat yang sudah memahami bahasa Arab namun lemah dalam menerjemahkan ke dalam bahasa Aceh dengan susunan bahasa Aceh yang baik dan benar. Karenanya harus dipelihara dan dilestarikan. Lahirnya terjemahan ini telah menambah intelektualisme dan khazanah budaya muslim Indonesia, lebih-lebih karena etika dan estetika Bahasa Aceh dipadukan dengan berbagai

konteks yang terkandung dalam penafsiran al-Qur’an. 11

Daftar surah yang disusun mengikuti urutan susunan surah dalam mushaf usmani. Kitab Mahjiddin memiliki 976 halaman ditambah 38 halaman berisi halaman judul, tanda tashih, kata pengantar dan kata-kata sambutan (Mentri Agama RI, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh, sambutan Kepala BRR NAD-NIAS, kata pengantar tokoh akademisi Aceh, kata sambutan Direktur P3KI,

12 kata pengantar Tim editor edisi kedua, dan kata pengantar Tim Penyunting).

Sistematika penyajian ayat dan terjemahan mengikuti terjemahan Departemen Agama, yaitu teks ayat berada di sebelah kanan, sedangkan terjemahan berada di samping kiri. Pengaturan teks ayat al-Qur’an disejajarkan dengan penomoran terjemahan ayat mengikuti prosedur terjemahan puitis yang ditawarkan Mahjiddin.

Hal ini dimaksudkan demi kemudahan bagi para pembaca jika ingin membandingkan makna terjemahan dengan teks aslinya. Pemisahan juz ditandai dengan terjemahan yang dicetak miring dan menggunakan huruf kapital dan ditulis cetak miring. Bila letaknya tepat pada awal ayat, penulisan dengan huruf besar dan cetak miring. Namun bila baris merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya, maka penulisan hanya di cetak miring. Tafsir ini menggunakan metode tahlili atau penafsiran ayat per ayat sesuai dengan urutan mushaf usmani mulai surah al-Fatihah sampai surah al-Nâs. Setiap ayat ditulis terpisah dari ayat lain. Pemisah antar ayat tersebut adalah nomor ayat yang ditulis dalam kurung.

11 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. xv 12 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. xvi

Penerjemah dan Tim Penyunting sepakat memberi judul kitab terjemahan ini dengan al-Qur’an al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh . Beberapa usul lain seperti Terjemahan al-Qur’an Berwajah Hikayat atau Terjemahan al-Qur’an Lam Bahasa Aceh dikesampingkan karena dirasa kurang

cocok. 13 Sekiranya terjemahan ini dibaca oleh orang yang memahami makna al- Qur’an, akan merasakan kebebasan penerjemah dalam menuang pesan yang

terdapat dalam bahasa asli ke dalam bahasa sasaran. Sebagaimana akan ada kesan, penulis relatif berupaya melakukan terjemahan yang bukan sekedar memberikan informasi, tetapi terjemahan yang dapat mempengaruhi emosi pembaca, seperti berusaha mendekatkan makna terjemahan dengan latar budaya dan lingkungan pembacanya.

Dalam pertemuan dan diskusi antara Mahjiddin Jusuf dengan Tim Penyunting, terasa kesungguhan dan penguasaan penerjemah terhadap hasil

14 pekerjaannya. Terkesan sekali bahwa ia sangat menguasai bahasa Arab dan

bahasa Aceh secara berimbang. Syarat utama dan pertama yang harus dipenuhi oleh seorang penerjemah adalah menguasai bahasa Sumber (Source Language) dan bahasa Sasaran (Target Language). 15 Penguasaan bahasa termasuk salah satu

instrumen dalam penerjemahan. Di antara instrumen lainnya adalah penguasaan ayat-ayat dan hadis yang relevan. 16 Al-Jahiz juga mengatakan, penerjemah

hendaklah orang yang menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran dengan tingkat penguasaan yang sama. Juga harus mengetahui karakteristik, watak dan

13 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. xi 14 Untuk dapat memahami teks al-Qur’an, setiap mufasir atau penerjemah dituntut supaya

membekali dirinya dengan sejumlah cabang ilmu pengetahuan. Para ulama mengemukakan bahwa ilmu yang harus dimiliki mufassir yaitu: Bahasa Arab dan Nahwu, Sharf , ilmu-ilmu balaghah, ilmu Ushul al-Fiqh, ilmu Tauhid, ilmu asbab al-Nuzul, ilmu al-Qashahs, ilmu al-Nasikh wa al- Mansukh, hadist-hadist yang menjelaskan tentang ayat-ayat yang mujmal dan yang mubham. Lihat Muhammad ‘Abd ‘Azim al-Zarqânî, Manâhil al-Irfan fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 2, (Beirut: Isa Babi al-Halabi, t.t.), hal. 51. Lihat juga Jalâl al-Din al-Suyûtî, al-Itqân fi Ulûm al-Qur’an, juz 2, (Mesir: Matba’ah al-Azhar, 1318 H), hal. 180-182

15 J.C. Corford, Nazâriyyah Lughawiyyah li al-Tarjamat, Terj. ‘Abd al-Bâqi, (Basrah: Dâr al-Kutub, 1964), hal. 43. Lihat, al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân, hal. 113. Lihat juga Ibrahim Zaki al-

Khursyid, al-Tarjamat wa Musykilâtuha, (Mesir: Dâr al- Kutub, 1985), hal. 59. Viggo Hjornager Pedersen, Essays on Translation, (Kobenhaven: Nyt Nordisk Forlog Arnol Busck, 1998), hal. 16- 17

16 al-Sâbunî, Mukhtashar Ibn Katsir, (Beirut: Dâr al-Qur’an al-Karim, 1981), dan Jalal al- Din al-Sayûtî, Dâr al-Mansur, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983) 16 al-Sâbunî, Mukhtashar Ibn Katsir, (Beirut: Dâr al-Qur’an al-Karim, 1981), dan Jalal al- Din al-Sayûtî, Dâr al-Mansur, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983)

samping penguasaan topik akademik yang menuntut spesialisasi ilmu. 17 Menurut Mary Snell Homby, persyaratan mengenai wawasan kebudayaan harus disadari

dan dimiliki penerjemah. 18

Nida (1975) dan Savory (1969) menyatakan bahwa penerjemah sastra perlu memiliki syarat-syarat sebagai berikut: 1). Memahami dan menguasai bahasa sumber. 2). Menguasai dan mampu memakai Bsa dengan baik, benar dan efektif. 3). Mengetahui dan memahami sastra, apresiasi sastra, serta teori terjemahan. 4). Mempunyai kepekaan terhadap karya sastra yang tinggi. 5). Memiliki keluwesan kognitif, dan keluwesan sosiokultural. 6). Memiliki keuletan dan motivasi yang kuat.

Karya sastra lebih mengandung unsur ekspresi penerjemah dan kesan khusus yang ingin ditimbulkan tehadap para pembaca. Karya sastra juga mengandung unsur-unsur emosional, efek keindahan kata dan ungkapan, efek keindahan bunyi, dengan segala nuansa yang mengiringinya yang disebut fungsi estetik. Savory menyebutkan tingkat pemahaman ini sebagai pemahaman yang kritis, artinya penerjemah sedapat mungkin memahami teks dalam bahasa sumber dari segala segi dan aspeknya. Singkatnya, seorang penerjemah sastra bukan saja memerlukan kemampuan kreatif mengolah bahasa itu agar padanan yang didapatkan benar-benar sesuai, melainkan juga harus memiliki kemampuan untuk memahami dan mengapresiasi suatu karya sastra karena menerjemahkan karya sastra merupakan usaha untuk menjembatani dua kultur yang berbeda, dengan dua bahasa yang berbeda pula. Kenyataan ini pada akhirnya menunjukkan bahwa penerjemahan karya sastra yang ‘sempurna’ mungkin hanya dapat dilakukan oleh penerjemah yang sekaligus juga sastrawan kreatif.

17 Zaki Khursyid, al-Tarjamat wa Musykilatuha, hal. 65 18 Mary Snell Hornby, Translation Studies: An Integrated Approach, (Amsterdam: John

Benjamin Publishing Company, 1998), hal. 42

Kitab rujukan yang digunakan Mahjiddin yang utama ialah kitab tafsir Ibn Katsîr (w. 774 H). 19 Dalam beberapa hal, berhubung belum tuntas atau tidak

memuaskan dalam tafsir ini, ia menyebutkan dua tafsir lainnya yaitu al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari (w.538 H) 20 dan Tafsîr Jami’ al-Bayan fî Tafsîr al-Qur’an

karya al-Thabarî (w.310 H) 21 . Di samping kitab rujukan, Mahjiddin juga menggunakan berbagai terjemahan sebagai bahan pembanding berfungsi sebagai

kamus dan kitab tafsir. Ia menggunakan kitab pembanding secara kritis bukan sekedar menyadur. Bahan pembanding yang digunakan Mahjiddin dalam menerjemahkan al-Qur’an secara puitis antara lain Terjemahan al-Qur’an dalam Bahasa Indonesia karya Ahmad Hasan, Mahmud Yunus dan HB. Jassin serta Yayasan Penyelenggara Penerjemahan al-Qur’an Departemen Agama.

Bentuk baru edisi yang sudah disunting telah mengalami perubahan yang cukup mencolok dalam pola, dan secara luas diadakan perbaikan supaya lebih

enak dibaca dan mudah dipelajari. Pada naskah awal, terjemahan bentuk puisi ini ditulis dengan menggunakan huruf Arab Melayu (Jawi). 23 Kemudian

tulisannya dialih aksarakan menjadi huruf latin. Pada naskah awal, penulisan huruf Arab ini tidak dilakukan penerjemah secara taat asas, karena kata yang sama terkadang ditulis dengan huruf yang berbeda. Sedangkan kata-kata yang berasal dari bahasa Arab walaupun sudah diserap ke dalam bahasa Aceh yang sudah mengalami perubahan bunyi tetap dituliskan dalam bentuk aslinya.

Dalam perkembangannya, kitab terjemahan bahasa Aceh ini menjadi rujukan dan sumber acuan nazham Aceh bagi para pemerhati al-Qur’an berikutnya. Tafsir Pase, salah satu karya terkemuka dari ulama yang tergabung

19 Abû Fida’ Ismail Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhim, cet. 1, (Kairo: Isa Babi al- Halabi).

20 Zamakhsyari, Tafsîr al-Kasyâf, (Beirut: Dar Kitab al-Ilmiah: 1995) 21 Abû Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Tabarî, Tafsîr Jami’ al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, cet.

2, (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi: 1954) 22 Naskah awal tersimpan di Pustaka Ali Hasyimi dalam catalog Naskah Tua, No.

08/NKT/YPAH/92. 23 Berdasarkan lacakan Anthony H. Johns, pada akhir abad ke-16 M, telah terjadi

pembahasalokalan Islam di berbagai wilayah Nusantara. Seperti tampak pada penggunaan aksara (script) Arab yang kemudian disebut aksara jawi atau pegon. Banyak karya sastra serupa yang berasal dari bahasa Arab dan karya-karya sastra yang terinspirasi oleh model dan corak Arab Persia. Lihat, Anthony Johns, ” The Qur’ân in the Malay World: Reflection on ‘Abd al-Rauf al- Singkili (1615-1693)”, Journal of Islamic Studies, Volume 9, Nomor 2, 1998, hal. 121 pembahasalokalan Islam di berbagai wilayah Nusantara. Seperti tampak pada penggunaan aksara (script) Arab yang kemudian disebut aksara jawi atau pegon. Banyak karya sastra serupa yang berasal dari bahasa Arab dan karya-karya sastra yang terinspirasi oleh model dan corak Arab Persia. Lihat, Anthony Johns, ” The Qur’ân in the Malay World: Reflection on ‘Abd al-Rauf al- Singkili (1615-1693)”, Journal of Islamic Studies, Volume 9, Nomor 2, 1998, hal. 121

dan sastra yang belum pernah ada dalam penafsiran. Dalam studi ilmu tafsir ada tiga ciri pokok yang perlu dilihat dalam membahas metode suatu karya tafsir atau terjemahan. Ciri pertama adalah tehnik penafsiran, yaitu bagaimana pembahasan suatu penafsiran, apakah ia menggunakan tehnik analisis (tahlliî), global (Ijmâli), perbandingan (Muqâran), atau tematik (al-Maudhû’i). Laiknya para mufasir, secara umum Mahjiddin menggunakan cara yang sama dalam menerjemahkan al-Qur’an. Ia memulai tafsirnya dari surah al-Fatihah sampai ujung surah al-Nâs. Dalam menafsirkan surat-surat al-Qur’an mengikuti ayat-ayatnya. Ia menafsirkan ayat per ayat sesuai dengan susunan di dalam surat sebagaimana yang tersusun dalam mushaf

usmani. 25 Gamal al-Banna mengungkapkan bahwa, susunan demikian, bisa jadi

bukan cara terbaik dalam memahami al-Qur’an. Untuk memudahkan terjemahan, Mahjiddin membuat satu pola acuan penafsiran dengan sisitematika: penyajian teks ayat setiap surat secara utuh; terjemah dalam bahasa Aceh dalam bentuk sajak. Penafsiran ayat per ayat tak ubahnya merupakan proses pembedahan atas tubuh-tubuh yang sudah mati. Cara seperti itu hanya akan melenyapkan vitalitas dan efektivitas ayat, khususnya ketika melakukan pembacaan atas surat secara utuh atau beberapa ayat tanpa pemisahan. Walaupun cara ini tidak bisa dihindarkan selagi yang diinginkan adalah penafsiran al-Qur’an ayat per ayat.

24 Bale kajian tafsir al-Qur’an Pase ini didirikan pada tanggal 21 Mei 1998. Tafsir ini adalah hasil pengolahan dan penyempurnaan dari makalah-makalah yang disampaikan dalam pertemuan-

pertemuan Bale masyarakat Pase Kompleks Bappenas dan Perumahan Pondok Indah Jakarta. Penyajian tafsir tersebut diprakarsai oleh T.H. Thalhas dan kawan-kawan yaitu Hasan Basri dan Mufakkir Yusuf. Lihat T.H. Thalhas (et al), Tafsir Pase: Kajian Surah al-Fatihah dan Surah- surah dalam Juz ‘Amma, Paradigma Baru, (Jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Qur’an Pase, 2001), hal. 3

25 ‘Abd al-Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhu’i, (Dirasah Manhajiyyah Maudhuiyyah, t.t.p,), hal. 7. ‘Alî Iyazî, al-Mufassirûn; Hayâtuhu wa Manhajuhum, (Teheran:

Muassasah al-Tibâ’at wa al-Nasyr al-Saqafâh al-Irsyâd al-Islâmi, 1414 H), hal. 32. Lihat pula Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 83. Said Agil Husein al- Munawwar, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 66

26 Gamal al-Banna, Tafsir al-Qur’an al-Karim Baina al-Qudâmâ’ wa al-Muhadditsîn, Terj. Novriantoni, (Qisti Press, 2004), hal. 23

Seorang mufassir harus menguasai beberapa perangkat keilmuan terkait sehingga ia bisa melakukan tugas penafsiran dengan baik. Sebagaimana yang ditegaskan oleh pakar tafsir seperti al-Suyûtî dalam kitabnya al-Itqân fî ‘Ulûm al-

Qur’an . 27 Perangkat ilmu utama dalam penafsiran adalah ilmu bahasa, sebab al- Qur’an terdiri dari ungkapan-ungkapan atau bahasa. Maka untuk menafsirkannya

diperlukan penguasaan bahasa yang mumpuni. Dalam penerjemahan al-Qur’an ada dua sisi yang bisa dilihat; sisi penerjemah dan sisi aktivitas penerjemahan. Sisi penerjemah berkenaan dengan siapa yang berhak menerjemahkan al-

Qur’an, 28 dan sisi aktivitas penerjemahan berkenaan dengan bagaimana cara

menerjemahkannya. 29

Terjemahan Mahjiddin memiliki beberapa keunikan, di samping bahasa terjemahan menggunakan bahasa Aceh, terjemahan ini juga mencoba untuk memadukan unsur-unsur Qur’ani dengan nuansa kultural. Hal ini dapat dilihat

pada sistematika dan penerjemahan ayat-ayat yang memadukan bahasa aslinya dengan bahasa daerah. Bahasa daerah yang ditampilkan juga sangat unik, yaitu bahasa yang bersajak dalam bahasa Aceh atau disebut juga dengan nazham atau hikayat . Unsur kedaerahan ini sengaja ditampilkan untuk memperkaya khazanah

27 Jalâl al-Din al-Suyûti, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, ‘Abd al-Rahman al-Akk, Usûl al- Tafsîr wa Qawa’iduhu, (Beirut: Dar al-Nafâis, 1986), hal. 474-477

28 Syarat Penerjemah: (a) Penterjemah haruslah seorang muslim, hingga tanggungjawab keislamannnya dapat dipercaya. (b) Penterjemah haruslah seorang yang âdil dan tsiqah, maka

seorang fasik tidak diperkenankan menerjemahkan al-Qur’an. (c) Menguasai bahasa sasaran dengan teknik penyususunan katanya; mampu menulis dalam bahasa sasaran dengan baik. (d) Berpegang teguh pada prinsip-prinsip penafsiran al-Qur’an dan memenuhi kriteria sebagai mufasir, karena penerjemah pada hakekatnya seorang mufasir.

29 Syarat aktivitas penerjemahan: (a) Seorang penerjemah harus berpedoman pada syarat- syarat penafsiran rasional (b) Penerjemah harus memperhatikan ketepatan terjemah dengan

melihat tingkatan penerjemahan sebagai berikut: (1) Terjemah kata-perkata dengan melihat padanannya. (2) Terjemah makna dan penjelasannya dengan menggambarkan makna tersebut berusaha memahamkannya; berupa penjelasan tambahan atas makna kata. (3) Menjelaskan kebenaran pemilihan makna terjemahan dan berusaha menjelaskannya dengan dalil. (c) Dalam menterjemahkan haruslah terkonsentrasi pada kata-kata dan m‘ana al-Qur’an bukan pada bentuk susunan al-Qur’an karena sistem susunan tersebut merupakan mu’jizat. (d) Hendaknya menerjemahkan makna al-Qur’an dengan metode terjemah yang benar dengan kriteria: (1) Gaya penerjemahan dengan bahasa yang mudah dicerna, dan sesuai dengan kemampuan umum pembaca.(2) Hati-hati dalam mencarikan padanan yang tepat dari kalimat-kalimat yang ada dalam al-Qur’an. (3) Menuliskan makna ayat dengan sempurna. (4) Memohon bantuan pada ahli bahasa bahasa terjemahan; dikoreksikan pada ahli bahasa target. (e) Menjadikan tafsir sebagai rujukan dalam penerjemahan. (f) Harus memberikan keterangan pendahuluan yang menyatakan bahwa terjemah al-Qur’an tersebut bukanlah al-Qur’an, melainkan tafsir al-Qur’an. ‘Abd al-Rahman al- Akk, Usûl al-Tafsîr wa Qawa’iduhu, hal. 43 melihat tingkatan penerjemahan sebagai berikut: (1) Terjemah kata-perkata dengan melihat padanannya. (2) Terjemah makna dan penjelasannya dengan menggambarkan makna tersebut berusaha memahamkannya; berupa penjelasan tambahan atas makna kata. (3) Menjelaskan kebenaran pemilihan makna terjemahan dan berusaha menjelaskannya dengan dalil. (c) Dalam menterjemahkan haruslah terkonsentrasi pada kata-kata dan m‘ana al-Qur’an bukan pada bentuk susunan al-Qur’an karena sistem susunan tersebut merupakan mu’jizat. (d) Hendaknya menerjemahkan makna al-Qur’an dengan metode terjemah yang benar dengan kriteria: (1) Gaya penerjemahan dengan bahasa yang mudah dicerna, dan sesuai dengan kemampuan umum pembaca.(2) Hati-hati dalam mencarikan padanan yang tepat dari kalimat-kalimat yang ada dalam al-Qur’an. (3) Menuliskan makna ayat dengan sempurna. (4) Memohon bantuan pada ahli bahasa bahasa terjemahan; dikoreksikan pada ahli bahasa target. (e) Menjadikan tafsir sebagai rujukan dalam penerjemahan. (f) Harus memberikan keterangan pendahuluan yang menyatakan bahwa terjemah al-Qur’an tersebut bukanlah al-Qur’an, melainkan tafsir al-Qur’an. ‘Abd al-Rahman al- Akk, Usûl al-Tafsîr wa Qawa’iduhu, hal. 43

menyentuh perasaan begitu membaca, memahami dan menghayatinya. 30 Bentuk hikayat dalam bahasa Aceh merupakan karangan puisi yang setiap

baris terdiri dari sepuluh suku kata dan pada akhir baris terdapat persamaan bunyi. Dalam masyarakat Aceh, akan dijumpai sejumlah karya sastra dari zaman lampau. Di antara karya sastra itu ialah hikayat. Hikayat ditulis hampir seluruhnya berbentuk puisi dengan menggunakan huruf Arab-Melayu tetapi tetap dalam teks berbahasa Aceh. Ditinjau dari segi masyarakat Aceh, hikayat tidaklah dipandang sebagai karya fiksi yang utuh. Hikayat dan cerita rakyat lebih berat dipandang sebagai suatu peristiwa kehidupan yang benar-benar ada daripada

sebagai buah pikiran pengarangnya. Isi kandungan hikayat dianggap mewakili sekelumit peristiwa kehidupan sosial Aceh sehingga amat mempengaruhi tingkah laku, norma atau nilai-nilai sosial, kehidupan bermasyarakat dan berbudaya pada

umumnya. 31 Di antara Kelebihan terjemahan Mahjiddin ialah, pertama, sangat

memperhatikan apa-apa yang ingin disampaikan oleh naskah bahasa sumber, oleh karena itu terjemahan bebas akan berupaya untuk menyampaikan pesan dan amanat yang tertuang di dalam bahasa sumber tadi. Kedua, Karena penerjemah berusaha menyampaikan pesan bahasa sumber dengan sekuat tenaga, maka kemampuan dan kreativitas penerjemah diuji di sini, dan akibatnya terjemahan dapat merupakan gagasan dan pengalaman penulis bahasa aslinya ditambah gagasan dan pengalaman penerjemah. Ketiga, Hasil terjemahan menjadi bacaan yang bernilai estetis, karena penerjemah amat memperhatikan kaidah bahasa sasaran, disamping mengutamakan pesan bahasa aslinya.

30 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. xi 31 Muhammad Yunus Melalatoa, Memahami Aceh sebagai sebuah Perspektif Budaya, dalam

Aceh Kembali ke Masa Depan , Sardono W. Kusumo, (Jakarta: IKJ Press bekerja sama dengan keluarga Almarhum dr. Sjarif Thayeb dan keluarga Dr. Anwar Nasution, 2006), cet.II, hal. 7

Adapun kelemahan terjemah Mahjiddin di antaranya: terkadang pembaca tidak menikmati gaya penulisan bahasa aslinya, karena gaya penerjemahan menjadi gaya dalam penulisan bahasa sasaran. Para pembaca tidak lagi bisa membedakan mana gagasan penerjemah dan mana gagasan penulis aslinya, dan

kegiatan penerjemahan ini sulit dilakukan oleh penerjemah pemula. 32

Bahasa Aceh sebagai bahasa terjemahan karya ini menjadikannya terbatas dikonsumsi oleh masyarakat lokal saja. Akan lebih menarik jika karya ini juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, agar karya monumental ini dapat dirasakan manfaatnya dalam skala nasional, juga akan memperkenalkan para sarjana lokal dalam kancah perkembangan keilmuan nusantara.

Dari kajian terhadap sebuah kitab tafsir, akan dapat diselami nuansa dan spirit umum seorang mufassir. 33 Mahjiddin, seorang pemerhati dan pelaku sastra cendrung menggunakan spirit sastra dalam terjemahan. Pendekatan puitis yang

digunakan merujuk pada cara penulisan pilihan kata serta keindahan dan keteraturan dalam susunan, irama, bunyi, kiasan warna dan suasana. Tujuannya adalah untuk menimbulkan penghayatan estetis secara audio visual. Itu menunjukkan bahwa Mahjiddin tidak hendak memperlakukan al-Qur’an sebagai

sya’ir, sesuatu yang al-Qur’an sendiri menentangnya. 34 Dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya, Mahjiddin menggunakan

gaya seni sebagai sarana penyampaian maksud. 35 Gaya bahasa adalah

32 Suhendra Yusuf, Teori Terjemah, (Bandung, Mandar Maju, 1994), hal. 28-29. Lihat juga M. Tata Taufiq, Terjemah Dari Teori ke Praktek, (Bogor: Pustaka al-Ikhlas, 2001), hal. 3

33 Yang dimaksud dengan nuansa tafsir ialah ruang dominan sebagai sudut pandang dari suatu karya tafsir. Misalnya nuansa kebahasaan, teologi, sastra, sosial kemasyarakatan, psikologi

dan lainnya. Guna memperlihatkan kecendrungan umum yang dipilih penulis tafsir. Ishlah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, hal. 231

34 Sebagaimana ungkapan Jassin bahwa “menerjemahkan al-Qur’an secara puitis”, bukanlah mempuisikan al-Qur’an dan bukan pula mempuisikan terjemahan al-Qur’an. Lihat HB. Jassin, “al-

Qur’an al-Karim Bacaan Mulia: Beberapa catatan HB. Jassin” dalam Oemar Bakri (ed.), Polemik Oemar Bakri dan HB. Jassin tentang al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Mutiara, 1979), hal. 19

35 Ahmad Gufran Zainal ‘Âlim, Al-Balâghah fî ‘Ilmi Al-Bayân, (Gontor: Maktabah Dârussalâm), hal. 5. Untuk ini penulis membuat sebuah artikel; Evolusi Kebudayaan Manusia

sebuah rentangan dari budaya baca hingga proyek. Al-Ikhlash News, Vol 3. 20 Mei 2001, hal.4-8 sebuah rentangan dari budaya baca hingga proyek. Al-Ikhlash News, Vol 3. 20 Mei 2001, hal.4-8

pengertian bahwa gaya bahasa adalah bentuk bahasa yang dihasilkan seorang penutur ataupun penulis sebagai akibat dari cara penggunaan sumber-sumber

bahasanya, kosa kata yang dipilih serta penyusunan kata yang digunakan. 37 Pengertian gaya tadi mengisyaratkan adanya keterikatan antara suatu gaya yang

dipakai dengan pemakainya, artinya karakteristik suatu gaya yang dipilih sangat bersifat pribadi dan berdasarkan pada kepiawaian masing-masing individu.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa bahasa memiliki dua bentuk yaitu lisan dan tulis, dalam prakteknya bahasa tulis dilihat dari cara penyampaiannya secara sederhana dibedakan pada dua macam gaya; gaya biasa sebagaimana dipakai dalam penulisan ilmu pengetahuan dan gaya sastra. Yang secara lebih deskriptif dibagi oleh Mario Pei kepada lima kelas sebagaimana dikutip Suhendra

di antaranya gaya bahasa kesusastraan yakni gaya bahasa yang puitis dan terpelajar. 38

Sedangkan gaya khusus sastra biasanya lebih spesifik dan menggunakan istilah tertentu yang tidak dikenal dikalangan umum, baik cara penulisan maupun penuturannya. Bahasa ini dipakai untuk melukiskan perasaan (emosi) dan pikiran, fantasi serta angan-angan, penghayatan lahir dan batin, serta khayalan maupun peristiwa nyata yang keistimewaannya terletak pada efek dari bahasa tersebut bagi pendengar atau pembacanya. Dalam hal ini bahasa sebagai media seni disamping media komunikasi.

Dalam proses transliterasi, 39 tim penyunting menggunakan sistem ejaan pertama penulisan bahasa Aceh dengan tulisan Latin dibuat oleh Snouck Hugronje

36 Poerwadarminta W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka: 1984), hal. Demikian Poerwadarminta menulis dalam Kamus Bahasa Indonesia. 302. Sejalan dengan

pengertian gaya di atas. Lihat juga Suhendra Yusuf, Teori Terjemah, hal. 98 37 Suhendra Yusuf, Teori Terjemah, hal, 101

38 Suhendra Yusuf, Teori Terjemah, hal, 101 39 Transliterasi adalah strategi terjemahan yang mempertahankan kata-kata BSu tersebut

secara utuh, baik bunyi maupun tulisan. Dalam karya tulis maupun karya terjemahan dalam bidang keagamaan, transliterasi atau alih aksara merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Tujuannya untuk menjaga konsistensi Bsu baik lafal maupun makna. Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara (transliterasi), antara lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementerian Agama dan Diknas RI serta versi Paramadina. Umumnya pedoman secara utuh, baik bunyi maupun tulisan. Dalam karya tulis maupun karya terjemahan dalam bidang keagamaan, transliterasi atau alih aksara merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Tujuannya untuk menjaga konsistensi Bsu baik lafal maupun makna. Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara (transliterasi), antara lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementerian Agama dan Diknas RI serta versi Paramadina. Umumnya pedoman

Perubahan melalui seminar dilakukan pada tahun 1980, yang diadakan oleh Universitas Syiah Kuala. Tetapi hasil seminar ini dianggap terlalu rumit dan cenderung tidak praktis, karena di samping meletakkan banyak tanda baca di atas vokal, juga karena melakukan pemisahan suku kata sekiranya dua vokal dari dua suku kata ini terletak bersisian. Karenanya P3KI memprakarsai sebuah pertemuan ilmiah untuk membicarakan kembali masalah ejaan bahasa Aceh. Pertemuan dengan bentuk lokakarya yang melibatkan para ahli, peminat dan pemerhati bahasa Aceh ini, diselenggarakan tanggal 4 November 1992 di Darussalam Banda Aceh dan berhasil merumuskan penyederhanaan dari sistem ejaan yang telah ada,

yang diidentifikasi dengan ejaan P3KI 1992. Untuk lebih jelas, beberapa bagian dari kesimpulan lokakarya tersebut dikutipkan. 40

Pertama, Lokakarya berkesimpulan bahwa transkripsi bahasa Aceh ke huruf latin bersumber dari sistem yang digunakan oleh Snouck Hugronje (1893). Pada masa sesudahnya telah terjadi beberapa revisi. Kedua, lokakarya menyimpulkan agar dalam penulisan ilmiah dan pengajaran bahasa, digunakan ejaan Snouck Hugronje yang telah direvisi oleh Aboe Bakar dan de Vries seraya menyesuaikannya dengan perubahan ejaan bahasa Indonesia, dalam hal ini ejaan yang disempurnakan, untuk huruf-huruf: ch menjadi kh; dj menjadi j; j menjadi y; nj menjadi ny; oe menjadi u; sj menjadi sy dan tj menjadi c. Ketiga, untuk tulisan yang bukan ilmiah dan bukan pengajaran bahasa, lokakarya menganjurkan agar tetap menggunakan ejaan Snouck tetapi tanpa tanda baca di atas vocal. Ejaan ini diidentifikasi dengan nama ejaan P3KI 1992, yang berasal dari makalah Abdul Gani Asyik, “Ejaan Bahasa Aceh” yang disampaikan dalam seminar yang

alih aksara tesebut meniscayakan digunakannya jenis huruf ( font) tertentu. Lihat, Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Jakarta: CeQDA, 2007), hal. 46.

40 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. xxix 40 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. xxix

Tampaknya yang dimaksud dengan penulisan ilmiah dalam keputusan di atas adalah seperti penulisan buku kamus, nama atau istilah-istilah khusus dalam tulisan atau karangan yang lain. Jadi bukan penulisan buku biasa yang berbahasa Aceh. Seperti telah disinggung di atas ciri paling menonjol dari sistem terakhir di atas adalah penyederhanaan. Karena itu tanda baca di atas atau di bawah huruf ditiadakan.

Akibat dari kecendrungan di atas, maka ada kesulitan yang muncul, dua kata yang berbeda akan mempunyai tulisan yang sama. Jadi sekurang-kurangnya pada tahap awal akan ada orang yang membaca teks secara tidak tepat. Diharapkan hal ini akan teratasi melalui penyesuaian kata dengan konteks dan karena pengetahuan atau kemampuan si pembaca sendiri. Bagaimanapun juga

tulisan yang menggunakan bahasa Aceh tentu dibuat untuk orang yang sudah menguasai bahasa Aceh, bukan untuk orang asing yang baru belajar bahasa Aceh.

Sebelum menuliskan ejaan yang digunakan, ingin diberikan dua catatan lagi. Pertama, penulisan tanda baca, huruf besar dan pemilahan kata mengikuti Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Kedua, sekiranya ada perbedaan dialek, maka tim penyunting cenderung memilih dialek Aceh Utara. Hal ini dilakukan karena

kecendrungan pengarangnya, yang kebetulan berasal dari daerah tersebut. 42

Abjad atau huruf yang dirasa memerlukan penjelasan dalam tulisan ini beserta contoh kata-katanya adalah sebagai berikut. Huruf kha’ ( خ) ditulis dengan kh. 43 Contohnya dalam terjemahan surat Yunus ayat 49,

Meunapheu’at pih han ek keudroe lonba Meulengkan meu ka kheundak bak Allah Keu bandum umat cit kana ajai Han jeuet peuawai akhe pih salah

41 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. xxix 42 Dialek Aceh Utara bukanlah dialek Kabupaten Aceh Utara, melainkan dialek bahasa

Aceh yang dipakai mulai dari wilayah Ulee Glee sampai ke batas Tamiang. Batasan ini diberikan dalam tesis Abdul Gani Asyik, Atjehnese Morphology, 1972.

43 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 320

Huruf syin ( ش) ditulis dengan ch. Misalnya dalam terjemahan surat Ali ‘Imran ayat 25: 44

Pakri teuma jih ‘oh meupeusapat Uroe kiamat nyang hebat leupah

Hana peue tachok uroe kiamat Tuhan peusapat rakyat barollah

Dalam terjemahan surat al-Maidah ayat 91, kata syaithan dituliskan: 45 Meukeusud chetan jimeung peupake

Peusaket ate gata nak salah Meu tajep arak ngon tameujadi Ate lam deungki tamita ilah

Demikian juga kata syarikat yang ditulis dengan charikat. Dan syurga yang ditulis dengan churuga.

Huruf fa’ ( ف) ditulis dengan ph.

46 Terjemahan surat al-Maidah ayat 73:

Sinankeuh tempat ureueng yang lalem Soe nyang kheun Allah Tuhan nyang keu lhee

Kaphe ka teuntee ureueng nyan sudah Kata Arab yang berakhiran ba’ ( ب) ditulis dengan huruf b. Sedangkan kata-kata yang berasal dari bahasa Aceh dituliskan dengan huruf p. Contoh dapat dilihat pada terjemahan surat ali Imran ayat 27:

Gata nyang peulop malam lam uroe Tapeulop uroe lam seupot leupah

Lam atra mate teubiet nyang udep Selanjutnya ada beberapa kata yang ditulis sama tanpa dibubuhi tanda pada huruf-huruf vokal, tetapi akan dibaca berbeda tergantung konteks kalimat. Misalnya kata le yang berakna oleh dengan kata le yang bermakna banyak. Dalam

terjemahan surat al-An’am ayat 133 sekaligus terdapat kedua kata tersebut, 47 Hantom na laloe Tuhan Po Gata

Peue nyang keurija meunan Neubalah 133. Tuhan Po gata bit-bit kaya that

Padum le rahmat Neubrie le Allah

44 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 72 45 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 175 46 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 171 47 Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. 212

Contoh lain adalah kata gadoh yang diartikan hilang dengan kata gadoh yang berarti sibuk. Dalam terjemahan surat Hud ayat 74: 48

Tuhan nyang patot teurimong pujoe Meugah hana soe Maha Pemurah

74. Gadoh teunakot nibak Ibrahim Haba nyang yakin seunang sileupah

Dalam terjemahan surat Yassin ayat 6: 49 Yah-yahjih dilee ka geupeuingat

Lale dum sisat gadoh si leupah

7. Ka kada keubit nibak Hadharat Awaknyan le that iman ka salah

Demikian juga penulisan kata teuboh yang berarti tebus dan teuboh yang berarti terbuang (sia-sia) padahal dengan cara baca yang berbeda. Kedua kata ini terdapat di dalam terjemahan surat Ali Imran ayat 91 dan surat Yunus ayat 101,

91. Ureung nyang kaphe mate lam kaphe Nyan ka han ek le sagai tapeugah

Boh tamita meuh beu penoh bumoe Tateuboh jinoe buet nyang ka salah

101. Takheun ci kalon peuneujeuet Allah

Peue nyang di langet ngon nyang di bumoe Teuma atra nyoe hana phaedah Nyang han meuian bah tapeuingat Tapeugah ayat teuboh ie babah

Menyikapi keadaan ini, Tim Penyunting tidak dapat sekedar mentransliterasikannya secara taat asas. Berhubung tidak semua bunyi dalam Bahasa Aceh diwakili oleh huruf dalam tulisan latin, maka terpaksa diadakan penyesuaian atau pengaturan huruf dan tanda-tanda. Dari beberapa contoh di atas, diharapkan tidak timbul kesukaran untuk membaca dan memahami makna kata- kata yang ditulis sama tanpa dibubuhi tanda apapun pada huruf-huruf vokal. 50