Sumberdaya Pesisir dan Laut
4.6. Sumberdaya Pesisir dan Laut
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai sumber daya pesisir dan laut serta keanekaragaman hayati laut tropis yang terkaya di dunia. Akan tetapi pemanfaatan kekayaan sumber daya kelautan itu untuk pertumbuhan ekonomi tidak lestari, over eksploitasi dan mengalami tekanan yang semakin berat. Sehingga laju degradasi sumber daya kelautan telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan yang menimbulkan kerusakan mangrove dan terumbu karang, kekurangan stok ikan dan kepunahan berbagai keanekaragaman hayati laut.
Sumberdaya pesisir dan laut dewasa ini mengalami degradasi sebagai akibat dari perilaku pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan. Pemanfaatan cenderung bersifat destruktif dan merusak, serta tidak mempertimbangkan aspek konservasi dan keberlanjutan sumberdaya. Masyarakat memegang peranan penting, karena itu pengelolaan dengan berbasis pemberdayaan sumberdaya lokal. Tradisi dan hukum adat yang mempunyai kaitan dan bermanfaat terhadap upaya pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara.
Panjang pantai provinsi sumatera utara = 1300 km terdiri dari : Pantai timur = 545 km. Pantai barat = 375 km. Nias, nias selatan dan pulau-pulau batu = 380 km. Pulau-pulau kecil = 419 buah
Kabupaten Langkat memiliki garis pantai 110,393 km dengan Otonomi Wilayah Laut sejauh 4 mil ( 81.532 Ha) memiliki 5 pulau-pulau kecil terluar dengan 9 kecamatan pesisir dan 57 lurahan/desa memiliki sumberdaya alam yang cukup besar. Potensi SumberDaya Ikan Laut Selat Malaka : 303.500 Ton
Ikan Palagis Besar
: 34.000 Ton
Ikan Palagis Kecil
: 149.500 Ton
Ikan Demersal
: 103.000 Ton
Ikan Karang
Cumi – cumi, dll
2.400 Ton
Dengan potensi perikanan budidaya :
Tabel 13. Potensi perikanan budidaya Kab.Langkat NO URAIAN
POTENSI
% PEMAN FAATAN
1. Budidaya Tambak
10.000 Ha
19,2 %
2. Budidaya Laut
40.000 KJA/KJT
12,5 %
Gambar 23. Potensi budidaya ikan di Kab.Langkat
Gambar 24. Potensi budidaya udang Kab.Langkat
Selain itu juga terdapat bermacam vegatasi. Vegetasi yang mendominan adalah vegetasi mangrove. Hutan mangrove merupakan ekosistem penunjang yang sangat penting perannya di kawasan pesisir laut. Kabupaten Langkat memiliki sekitar 35.000 Ha luasan hutan mangrove, tetapi kurang lebih 25.300 Ha sudah rusak dan sebahagian telah beralih fungsi menjadi tambak dan perkebunan sawit. Sehingga luasan hutan mangrove yang masih baik tercatat hanya sekitar 10.000 Ha. Penanman mangrove/ rehabilitasi terus dilakukan oleh pemerintah setempat guna meningkatkan kualitas lingkukangan pesisir laut, terutama memulihkan kembali sumberdaya alam dan ikan yang ada di kawasan pesisir laut.
Gambar 25. Kawasan Mangrove daerah penangkapan ikan
Kawasan pantai timur Sumatera Utara merupakan wilayah pesisir yang mempunyai hamparan mangrove yang membujur dari daerah pantai utara Kabupaten Langkat ke daerah pantai selatan Kabupaten Labuhan Batu dengan ketebalan yang bervariasi antara 50 – 150 meter. Mangrove yang ada di kawasan ini selain jenis mangrove sejati, juga ditumbuhi oleh jenis dari kelompok mangrove semu.
Di Kabupaten Langkat hutan mangrove berperan sebagai : Pelindung kerusakan pantai yang panjangnya lebih 110 km; Pelindung dari intrusi air laut; Penahan angin serta; Mencegah abrasi pantai.
Kawasan hutan bakau yang terletak di sepanjang pantai Langkat dan di daerah aliran sungai (DAS) di daerah tersebut mencapai 35.000 hektar dan 25.300 hektar (72,29%) telah mengalami kerusakan. (PKSPL IPB, 2000).
Akibat kerusakan ini menyebabkan antara lain : Debit air tawar yang mencapai kawasan pesisir menurun drastis; Penurunan debit air yang mempengaruhi saluran irigasi pertanian, kebutuhan air minum, industri dan jasa serta kebutuhan sosial lainnya; Fluktuasi air di lahan mangrove menjadi ekstrim dimana pada musim kering terlalu kering, sedangkan pada musim hujan menimbulkan banjir; Punahnya vegetasi dan habitat laut sebagai sumber nafkah para nelayan serta terkikisnya pantai yang mengancam hidup dan kehidupan penduduk desa pantai.
Total kerusakan mangrove di Kabupaten Langkat pada 8 (delapan) kecamatan hampir merata dan mencapai kondisi yang membahayakan ekosistem. Tingkat kerusakan mangrove di Kabupaten Langkat disajikan pada tabel di bawah ini.
Gambar 26. Kerusakan Hutan Mangrove di Kab.Langkat Tabel 14. Lokasi dan Kondisi Hutan Mangrove di Kabupaten
Langkat
Luas yang Kerusakan No
rusak (Ha) per Kecamatan
2 Tanjung Pura
5 Sei Lepan
6 Brandan Barat
8 Pangkalan Susu
Sumber: PKSPL IPB (2000) Kerusakan mangrove seluas 25.300 ha di Kabupaten langkat terus
bertambah menjadi 28.300 hektar. Pertambahan kerusakan ini disebabkan oleh pembukaan lahan-lahan tambak yang dilakukan oleh pengusaha- pengusaha yang tidak berdomisili di daerah ini dan tidak memiliki surat izin usaha. Akibatnya kegiatan tersebut tidak memberikan kontribusi terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Langkat.
Gambar 27. Peta kawasan mangrove Kabupaten Langkat
Sawah
Luas sawah yang diidentifikasi di wilayah pesisir Kabupaten Langkat adalah 17.811,12 ha atau 14,17 % yang tersebar di wilayah pesisir kecuali Kabupaten Besitang.
Tambak
Selain itu, potensi pesisir dan laut Kab. Langkat yang lain adalah Potensi Perikanan Budidaya Laut dimana Potensi lahan ada 1.100 Ha dengan produksi 507,1 ton dan p jumlah pembudidaya ikan 1.215 orang ( 400 RTP). Tambak adalah penggunaan lahan di daerah pesisir pantai yang digenangi air dan dipengaruhi oleh pasang surut untuk tujuan budidaya seperti ikan dan udang. Penggunaan lahan untuk tambak tersebar di desa-desa pesisir dengan luas yang diidentifikasi adalah 7.239,21 ha (5,76%).
Peta kawasan tambak di pesisir Kab.Langkat Peta Kawasan Tambak
Di Pesisir Kab.Langkat
Potensi Perikanan Budidaya Air Payau (Tambak) 10.000 Ha dimana tambak yang operasional seluas 1.974,6 Ha, terdiri dari : – Tambak intensif seluas
: 394,9 Ha (20% dari tambak yang aktif) – Tambak semi intensif
: 592,4 Ha (30% dari tambak yang aktif) – Tambak tradisional
: 987,3 Ha (50% dari tambak yang aktif) Dengan produksi – Tambak intensif sebesar : 1.151,79 ton – Semi intensif
Jumlah pembudidaya udang 5.100 orang dan pembudidaya kepiting 90
Gambar 28. Peta kawasan tambak Kab.Langkat
Budidaya Laut
Sarana budidaya laut/KJA/KJT 1.260 unit dengan komoditas utama ikan kerapu, jenahar.
Gambar 29. Keramba Jaring Tancap di Kab.Langkat
Gambar 30. Ikan Kerapau sebagai komoditi budidaya di Kab.Langkat
Rawa
Rawa merupakan genangan air di darat yang cukup luas dengan vegetasi air di dalamnya. Rawa yang diidentifikasi dari hasil citra dan survey lapangan yang dilakukan oleh LSKG (2002) terdapat di Kecamatan Brandan Barat dengan luas 79,2 ha atau hanya 0,06 % dari luas wilayah pesisir Kabupaten Langkat.
Gambar 31. Peta Citra Landsat Kabupaten Langkat
Gambar 32. Peta Citra Landsat Morfologi Pesisir Kabupaten Langkat
Tabel 15. Klasifikasi Penggunaan Lahan Wilayah Pesisir
Kabupaten Langkat
Persentase No. Penggunaan Lahan
2. Hutan Bakau 21.269,12 16,94
3. Kebun 63.965,78 50,89
4. Kebun Campuran 13.026,09 10,36
5. Sawah 17.811,12 14,17
6 Tambak 7.239,21 5,76
7 Lahan Terbuka 879,51 0,70
Sumber: LSKG (2002)
Tipe dan Karakteristik Pantai
4.2.1. Tipe Pantai
Di Kabupaten Langkat terdapat tiga jenis bentuk pantai yaitu : bentuk pantai landai dengan ketinggian 0 – 50 m dpl dengan kemiringan
0 – 15 o tersebar di sepanjang pesisir pantai; bukit-bukit landai dan tonjolan-tonjolan batu gamping terumbu, goa-goa dengan ketinggian 0 –
200 m dpl terdapat pada Kecamatan Gebang, Brandan Barat dan sebagian kecil Pangkalan Susu; Perbukitan bergelombang dengan ketinggian 0 –
300 m dpl dan kemiringan lereng 15 – 40 o terdapat pada Kecamatan Pangkalan Susu, Besitang, Sei Lepan, Babalan, Brandan Barat dan
Gebang.
Gambar 33. Pantai di Kab.Langkat
4.2.2. Jenis Tanah/Batuan
Tanah lapisan atas (top soil) yang menyusun lahan wilayah pesisir Kabupaten Langkat umumnya terdiri dari alluvial, regosol, organosol, hidromorfik kelabu dan podsolik kuning. Jenis tanah alluvial, regosol dan organosol berada pada daerah dengan topografi datar yaitu Kecamatan Pangkalan Susu, Tanjung Pura dan Secanggang. Jenis tanah hidromorfik kelabu juga terdapat pada daerah dengan topografi datar yaitu Kecamatan Besitang, Brandan Barat, dan Gebang, sedangkan jenis tanah podsolik kuning dengan topografi bergelombang terdapat pada Kecamatan Besitang, Sei Lepan dan Babalan.
Litologi wilayah pesisir Kabupaten Langkat terdiri dari endapan aluvium, endapan sungai rawa dan pantai, bongkahan batu gamping, pasir, lumpur dan lempung yang terdapat di sepanjang Pantai Timur Laut Langkat. Sedangkan litologi batu gamping Gunung Sitoli (Qtg), batu gamping lanauan, batu pasir gampingan, kuarsa halus gampingan, batu pasir, napal dan lempung pasiran terdapat di Kecamatan Gebang, Brandan Barat dan sebagian kecil Pangkalan Susu.
Sumberdaya pesisir laut Kabupaten Langkat memiliki keanekaragaman sumberdaya alam hayati dan non hayati, serta jasa lingkungan yang berpotensi ekonomi, yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama pesisir. Wilayah Pesisir laut Kabupaten Langkat, sebagai daerah pertemuan antara pengaruh daratan dan lautan, merupakan ekosisitem yang sangat rentan terhadap berbagai perubahan dan gangguan, baik yang berasal dari kegiatan di daratan maupun di lautan. Ekosistem ini diketahui sangat produktif menghasilkan beranakaragam sumberdaya yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Wilayah pesisir seringkali termarginalkan dalam pembangunan bahkan tidak jarang pula menjadi korban dari pembangunan itu sendiri, terutama dengan hadirnya berbagai jenis bahan pencemar, sehingga seolah-olah daerah ini telah menjadi tempat pembuangan sampah. Oleh karena itu wilayah pesisir sudah saatnya untuk, ditata batas-batas pengelolaannya serta dipulihkan berbagai fungsi ekologisnya agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, terutama untuk memenuhi hajat hidup penduduknya.
Walaupun ekosistem pesisir tidak mengenal batas-batas administratif, namun penetapan batas-batas pengelolaannya berkaitan sangat erat dengan kebijakan dan rencana pemanfaatannya karena harus diintegrasikan dengan kebijakan kabupaten-kabupaten lain yang
berbatasan. Hal ini disebabkan karena permasalahan yang sekarang dihadapi pada dasarnya merupakan dampak negatif dari berbagai kegiatan yang berada di luar wilayah Kabupaten Langkat, terutama daerah-daerah di atasnya ( upland areas). Oleh karena itu rencana pengelolaannya harus diintegrasikan dengan rencana pengelolaan kawasan-kawasan di sekitarnya. Penetapan batas wilayah pengelolaan merupakan hasil konsensus antar sektor yang memuat komitmen bahwa setiap kegiatan pembangunan di dalam wilayah pengelolaan harus dikoordinasikan terlebih dahulu secara lintas sektor. Dengan demikian maka penetapan batas wilayah pengelolaan merupakan suatu batas kewenangan pengelola sebagai pemegang mandat atas nama Pemerintah Kabupaten Langkat untuk melakukan koordinasi kegiatan-kegiatan pembangunan. Pengkoordinasian kegiatan pembangunan dimaksudkan untuk memberikan jaminan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai pengelolaan wilayah pesisir dapat diterapkan sebagai acuan bersama. Dengan kata lain wewenang-wewenang sektoral tidak perlu dan tidak akan berkurang atau dikurangi melainkan diupayakan semaksimal mungkin untuk diintegrasikan dengan kegiatan sektor-sektor terkait lainnya.
Produksi laut yang berasal dari sumberdaya perairan laut sebagian besar masih berasal dari hasil pengambilan di alam. Keadaan ini dapat memperbesar tekanan terhadap sumberdaya perairan laut, dan dapat mempengaruhi kesinambungan produksi. Usaha budidaya laut merupakan suatu alternatif usaha untuk mengurangi ketergantungan kepada usaha pengambilan dari alam (anonim, 2000)
Gambar 34. Hasil tangkapan ikan di TPI
Kegiatan perikanan tangkap menurut UU No.27 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau mengawetkannya. Dalam hal ini perlu diketahui Mengenai Dampak Lingkungan. Dalam pemanfaatan sumberdaya hayati berupa kegiatan penangkapan ikan harus memperhatikan jalur-jalur penangkapan yang telah ditetapkan. Penangkapan ikan pada jalur IA dilakukan melalui jalur penangkapan sampai dengan 3 (tiga) mil dari garis pantai diperuntukkan bagi penangkapan ikan dengan menggunakan perahu tanpa motor dan atau perahu motor tempel bermesin kurang dari 16 PK dan kapal motor di bawah 3 GT.
Jalur penangkapan IB adalah antara 3 mil sampai dengan 4 mil dari garis pantai diperuntukkan bagi kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan perahu bermotor tempel 16 PK sampai dengan 25 PK dan kapal motor di bawah 5 GT dengan mesin berkekuatan sebesar-besarnya
10 PK dengan menggunakan alat tangkap jenis pancing ulur, pancing rawai dengan jumlah mata pancing kurang dari 100 unit, trammel net (jaring apollo) dan geruk kerang tradisional, sedangkan jalur II diperuntukkan untuk kapal-kalal yang besarnya >10 PK.
tangkapan hanya dapat dilakukan di tempat-tempat pendaratan ikan atau di tangkahan. Pendaratan ikan wajib melakukan pencatatan hasil tangkapan dan membayar retribusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang
berlaku. Gambar 35.Pendaratan Ikan di TPI
Permintaan dan kebutuhan ikan dunia terus meningkat dari tahun ke tahun, sebagai akibat pertambahan penduduk dan perubahan konsumi masyarakat ke arah protein hewani yang lebih sehat. Sementara itu pasokan ikan dari hasil penangkapan cenderung semakin berkurang, dengan adanya kecenderungan semakin meningkatnya gejala kelebihan tangkap dan menurunnya kualitas lingkungan, terutama wilayah perairan tempat ikan memijah, mengasuh dan membesarkan anak. Di Indonesia gejala overfishing terjadi pada hampir seluruh perairan Barat Indonesia, kecuali bagian barat Sumatera dan selatan Jawa. Guna mengatasi Permintaan dan kebutuhan ikan dunia terus meningkat dari tahun ke tahun, sebagai akibat pertambahan penduduk dan perubahan konsumi masyarakat ke arah protein hewani yang lebih sehat. Sementara itu pasokan ikan dari hasil penangkapan cenderung semakin berkurang, dengan adanya kecenderungan semakin meningkatnya gejala kelebihan tangkap dan menurunnya kualitas lingkungan, terutama wilayah perairan tempat ikan memijah, mengasuh dan membesarkan anak. Di Indonesia gejala overfishing terjadi pada hampir seluruh perairan Barat Indonesia, kecuali bagian barat Sumatera dan selatan Jawa. Guna mengatasi
Sumberdaya Pesisir adalah sumberdaya alam hayati seperti ikan dan biota laut lainnya dan sumberdaya non-hayati seperti pasir dan sumberdaya buatan serta jasa-jasa lingkungan yang berupa keindahan panorama alam wilayah pesisir. Sedangkan Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan dan organisme lainnya serta proses yang menghubungkan satu sama lain dalam membentuk keseimbangan, stabilitas dan produktivitas. Penetapan batas wilayah pesisir diperlukan demi kepastian dalam pelaksanaan ketentuan-ketentuan Peraturan Daerah ini. Penetapan batas wilayah pengelolaan ke arah darat didasarkan pada pendekatan administrasi pemerintah, sedangkan penetapan batas wilayah pengelolaan kearah laut didasarkan pada ketentuan Pasal 18 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu bertujuan untuk menetapkan kebijakan pengaturan pemanfaatan, perlindungan serta pelestarian sumber daya pesisir dengan memperhatikan kepentingan ekonomi dan pelestarian fungsi-fungsi lingkungan hidup dimana perencanaan masing- masing sektor senantiasa melibatkan semua pemangku kepentingan. Dasar hukum bagi penanaman modal merupakan aspek yang sangat penting karena pemanfaatan potensi ekonomi dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir secara optimal memerlukan pembiayaan melalui investasi dalam jumlah besar, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar Kabupaten Langkat. Dalam hal ini pelaksanaan kebijakan pengaturan secara konsisten dapat menjamin kepastian antara lain karena dapat diprediksikan bahwa modal yang ditanamkan akan membawa keuntungan.
Perlindungan terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat diharapkan dapat menumbuhkan umpan balik berupa dukungan dalam bentuk peran serta masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan yang dapat disepakati. Perlindungan terhadap situs-situs budaya dimaksudkan untuk memelihara dan melestarikan ciri-ciri khas Kabupaten Langkat yang dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata dan pemberdayaan masyarakat dalam dorongan meningkatkan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara lestari
Gambar 36. Konsep Kawasan Pesisir Terpadu Penataan struktur ruang (zonasi) kawasan merupakan tindak lanjut
dari penetapan batas pengelolaan wilayah pesisir yang selanjutnya menajdi roadmap pengembangan perikanan tangkap untuk mendukung program agromarinepolitan di Kabupaten Langkat. Dengan struktur ruang diartikan sebagai kombinasi secara serasi dan seimbang antar berbagai
kawasan di dalam wilayah pengelolaan. Penataan struktur ruang diarahkan untuk mengatur pemanfaatan ruang ruang berdasarkan potensi sumber alam, jenis kegiatan, besaran kegiatan, fungsi setiap zona, kualitas ruang, dan estetika lingkungan. Dengan demikian maka faktor keserasian dan keseimbangan merupakan visualisasi dari daya dukung dan daya tampung wilayah pengelolaan dilihat dari potensi ekologi dan potensi ekonominya. Oleh karena itu perkembangan setiap kawasan perlu dikendalikan sedemikian rupa guna mencegah benturan kepentingan antar kegiatan yang dapat merugikan kepentingan bersama. Pembatasan- pembatasan yang dapat dilakukan adalah melalui penerapan kriteria- kriteria tertentu untuk setiap kawasan, terutama berkaitan dengan volume kegiatan, besaran modal, maupun jenis teknologi yang diperkenankan untuk diintroduksikan ke dalam setiap zona. Kemudian dari itu, berdasarkan pertimbangan potensi sumber-sumber kekayaan alam yang dikandungnya, zona-zona tertentu dari wilayah pengelolaan pesisir Kabupaten Langkat dapat diprioritaskan pembangunannya sehingga dapat dijadikan sebagai andalan bagi pembangunan Kabupaten Langkat pada skala yang lebih luas. Pemerintah daerah menyiapkan infrastruktur untuk mendukung kegiatan perikanan, seperti gudang berpendingin ( cold storage), bengkel, Solar Pocked Dealer untuk Nelayan (SPDN), Tempat Pendaratan Ikan, Pangkalan Pendaratan Ikan dan Dermaga
Gambar 37. Penataan Zonasi di Kaw.Pesisir
Daerah pesisir dan laut sekarang telah mengalami ketertinggalan dan keterbelakangan dimana terjadi degradasi ekosistem lingkungan pesisir dan laut (mangrove, terumbu karang, estuaria, padang
lamun). Masyarakat pesisir khususnya nelayan kini
merupakan kelompok masyarakat termiskin oleh karena itu saatnya pembangunan di mulai dari wilayah pesisir dan laut. Gerakan Masyarakat untuk membangun ekonomi berbasis pesisir laut di kawasan terpilih yang dirancang dan dilaksanakan dengan pendekatan sistem.
Program Agromarinepolitan adalah pendekatan pembangunan wilayah berbasis pada sumberdaya alam (pertanian, kelautan dan perikanan) yang dilaksanakan secara terpadu, efisien, berdaya saing, berkeadilan dan ramah lingkungan untuk menciptakan kemajuan dan kesejahteraan
umum program agromarinepolitan
masyarakat
Adapun
dampak
Adanya peningkatan aksesibilitas pasar yg dapat menurunkan biaya transportasi, sehingga meningkatkan pendapatan petani Adanya peningkatan kelembagaan mampu mendorong terbukanya akses keuangan dan investasi Tumbuhnya partisipasi dan peranan stakeholder Adanya berbagai pertemuan yg melibatkan pemerintah dan
masyarakat, mampu meningkatkan partisipasi masyarakat Adanya peningkatan sarana & prasarana kawasan yg berdampak pada peningkatan mutu dan hasil pengolahan produk di kawasan (Sub Terminal Agribisnis, Packing House, jalan antar desa, air baku, dll)
Tercegahnya arus urbanisasi serta termanfaatkannya kearifan lokal ( indigenous technology) untuk kesejahteraan masyarakat
Gambar 38 . Pola Pemanfaatan Ruang di wilayah pesisir dalam penyusunan Roadmap Pengembangan Perikanan Tangkap
Pendanaan program agromariepolitan bersumber dari pemerintah kabupaten/kota menyiapkan anggaran (APBD) untuk melaksanakan kegiatan program sedangkan fasilitasi dari pusat dan provinsi (sesuai dengan tugas masing-masing) sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tahunan dari master plan. Unsur-unsur dari Pusat lokalitas agromarinpolitan adalah sebagai berikut : • Suatu hamparan lahan/ kawasan dengan luasan 1000 – 1500 ha, yang
memiliki kesamaan agroekosistem dengan komoditas unggulan yang berkembang/dikembangkan.
• Luasan tertentu antara 20 – 40 ha (khusus perikanan) • Memiliki sejumlah usahatani individu yang terorganisir dalam kelompok-
kelompok tani. • Memiliki usaha kelompok/koperasi atau usaha individu yang bergerak dalam perdagangan bibit, pupuk, pestisida, alat dan mesin pertanian (unit penyedia jasa alat dan mesin pertanian) seperti : traktor mini multifungsi, hand tractor, angkutan pedesaan, dryer, pergudangan, cold storage, dan lain-lain, usaha grading dan standarisasi, serta usaha packaging dan sortasi.
• Memiliki kelembagaan dan sistem penyuluhan agribisnis. • Memiliki lembaga keuangan mikro dan atau jaringan ke perbankan. • Memiliki jaringan ke sumber teknologi dan jaringan informasi pasar. • Memiliki jalan antar usahatani (farm road) dan jalan penghubung
lokalitas ke daerah lain • Memiliki infrastruktur (jalan, listrik dan telekomunikasi) • Terdapat sarana produksi perikanan tangkap setingkat TPI, sarana
penangkapan, SPDN, pabrik es dan bengkel.
Gambar 39. Rancang bangun lokalitas pada Program Agromarinepolitan
Gambar 40. Rancang bangun lokalitas