Analisis Deskriptif

4.1 Analisis Deskriptif

4.1.1 Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi

Produksi padi Indonesia meskipun mengalami fluktuasi namun masih menunjukkan pertumbuhan yang meyakinkan yaitu rata-rata 2,52 persen per tahun selama kurun waktu tahun 1981-2010 sementara luas panen pada periode yang sama pertumbuhannya lebih lambat yaitu rata-rata 1,27 persen per tahun (Gambar 4.1). Pertumbuhan produksi padi yang signifikan terjadi pada periode 1981-1985 dan pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras untuk pertama kalinya. Mulai tahun 1970-an pemerintah Indonesia mengadopsi sistem revolusi hijau melalui program Intensifikasi Khusus (INSUS) dan berhasil meningkatkan produksi padi.

65000 65000

55000 n 55000 Lu s 45000 a

0 0 To 45000

Pa 0 n

35000 si, en

d u 0 ,0

k 35000

25000 0 H Pro

Luas Panen

Sumber: BPS dan Kementan, 1981-2010. (Diolah). Gambar 4.1: Produksi dan Luas Panen Padi di Indonesia, 1981-2010

Produksi padi merupakan hasil perkalian antara luas panen dan produktivitas tanaman padi. Pertumbuhan produktivitas memegang peranan yang lebih penting dibandingkan pertambahan luas panen. Gambar 4.2 menunjukkan perkembangan produktivitas padi dari 3,5 ton per hektar pada tahun 1981 meningkat hingga 5 ton per hektar pada tahun 2010, peningkatan produktivitas ini mampu mendorong peningkatan produksi padi pada saat luas panen relatif stagnan. . Secara rata-rata produktivitas padi di Indonesia tumbuh 1,27 persen per tahun selama periode 1981-2010. Penurunan produktivitas yang signifikan terjadi pada tahun 1998 saat Indonesia dilanda kekeringan akibat El-Nino dan La-Nina, yang mengakibatkan gagal panen di beberapa wilayah. Produktivitas padi Indonesia saat ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata dunia yaitu 4,3ton/Ha, akan tetapi jika dibandingkan produktivitas sawah irigasi sebesar 12,5ton/Ha maka Indonesia masih dapat meningkatkan produktivitas padi terutama pada lahan sawah irigasi (FAO, 2011).

Sumber: BPS dan Kementan, 1981-2010. (Diolah). Gambar 4.2: Produktivitas Padi di Indonesia, 1981-2010

4.1.2 Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Indonesia

Rata-rata produksi beras di Indonesia tahun 1980-2010 adalah 31,1 juta ton/tahun dan menunjukkan trend meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 2,51 persen per tahun. Dari Gambar 4.3 tampak bahwa peningkatan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 1992 dan 2009. Penurunan produksi yang signifikan terjadi pada tahun 1997 dimana pada periode tersebut Indonesia menghadapi banyak bencana alam dan krisis ekonomi yang mengakibatkan pemerintah mencabut subsidi untuk komoditi input pertanian seperti pupuk dan bibit.

Produksi Beras

Konsumsi Beras

Sumber: BPS dan Kementan, 1980-2010. (Diolah). Gambar 4.3: Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia, 1980-2010

Konsumsi beras dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan. Rata-rata konsumsi beras pada periode 1980-2010 adalah 32 juta ton/tahun dengan rata-rata pertumbuhan 0,59 persen per tahun. Secara rata-rata produksi beras lebih rendah dibandingkan konsumsinya. Dari Gambar 4.3 tampak bahwa produksi beras lebih tinggi dari konsumsi atau surplus produksi hanya terjadi pada periode 1980-1986. Pada Konsumsi beras dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan. Rata-rata konsumsi beras pada periode 1980-2010 adalah 32 juta ton/tahun dengan rata-rata pertumbuhan 0,59 persen per tahun. Secara rata-rata produksi beras lebih rendah dibandingkan konsumsinya. Dari Gambar 4.3 tampak bahwa produksi beras lebih tinggi dari konsumsi atau surplus produksi hanya terjadi pada periode 1980-1986. Pada

Gambar 4.4 menunjukkan impor beras serta selisih antara produksi dan konsumsi beras tahun 1980-2010. Impor beras seharusnya sama dengan defisit produksi, semakin tinggi defisit maka semakin tinggi pula volume beras yang diimpor akan tetapi realisasi impor beras tidak selalu sejalan dengan surplus atau defisit produksi beras yang terjadi pada tahun tersebut. Ketika impor tidak dapat memenuhi defisit produksi yang terjadi dapat memicu kenaikan harga beras di pasar domestik.

Selisih Produksi dan Konsumsi

Impor Beras

Sumber: BPS, Kementan dan FAO, 1980-2010. (Diolah). Gambar 4.4: Impor serta Selisih Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia,

1980-2010

Volume beras yang diimpor oleh Indonesia sepanjang periode 1980-2010 berfluktuasi dari tahun ke tahun, namun secara rata-rata mengalami kenaikan 160 persen per tahun. Impor beras tertinggi terjadi tahun 1999 yaitu sebesar 4,7 juta ton, pada akhir tahun 1998 kebijakan liberalisasi pasar beras mulai berlaku efektif di Indonesia. Periode tahun 1985-1988 merupakan periode impor beras terendah yaitu rata-rata 37,3 ribu ton per tahun dimana pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Impor beras Indonesia terutama berasal dari Thailand, Vietnam dan Amerika Serikat (AS). Volume impor beras menurut negara asal ditunjukkan dalam Tabel 4.1. Tabel 4.1: Impor Beras Indonesia Menurut Negara Asal Tahun 2005-2009 (Ton)

Sumber: BPS, 2010

4.1.3 Perkembangan Harga dan Impor Beras di Indonesia

Pemerintah berusaha menjaga stabilitas harga beras untuk menjaga daya beli masyarakat. Harga beras tahun 1980-1997 cenderung stabil dengan kenaikan rata-rata 11,81 persen per tahun. Lonjakan harga beras di pasar dalam negeri terjadi pada tahun 1998, pada tahun ini Indonesia mengalami puncak krisis ekonomi dan politik yang membuat harga beras meningkat hingga 98,7 persen.

Kenaikan yang cukup signifikan juga terjadi pada tahun 2006-2007 yang dipicu oleh kenaikan harga beras dunia, pada periode ini harga beras naik sebesar 30,72 persen.

Kebijakan impor beras merupakan salah satu cara untuk menjaga stabilitas harga beras. Kenaikan harga beras dalam negeri menjadi sinyal adanya excess demand sehingga perlu dilakukan impor untuk menambah supply dan mencegah kenaikan harga. Gambar 4.5 menunjukkan perkembangan impor beras dan harga beras di pasar domestik. Pada tahun 1999 dan 2002 kenaikan impor beras diikuti oleh penurunan harga eceran beras di pasar domestik pada tahun berikutnya. Pada tahun 2007 terjadi peningkatan impor beras sebesar 208 persen yang dimaksudkan untuk mengatasi kenaikan harga di pasar domestik, akan tetapi kenaikan harga pangan dunia pada tahun yang sama membuat kebijakan menambah supply beras melalui impor tidak efektif untuk menurunkan harga.

ia 6000.00 p u 5000.00

n 4000.00

u T 3000.00 ib R 2000.00

1000.00 0.00

Tahun

Impor Beras (000 Ton) Harga Rata-rata Eceran Beras (Rp/Kg)

Sumber: FAO, 1980-2010. (Diolah). Gambar 4.5: Volume Impor dan Harga Rata-rata Eceran Beras di Indonesia,

1980-2010

Gambar 4.6 menunjukkan perkembangan harga gabah kering giling (GKG) di tingkat petani dan harga beras di tingkat konsumen tahun 1989-2010. Sebelum pemerintah menerapkan kebijakan liberalisasi pasar beras rata-rata selisih harga gabah dan harga beras adalah Rp 535,-. Setelah liberalisasi pasar beras mulai diberlakukan efektif pada tahun 1998 kesenjangan antara harga gabah di tingkat petani dan harga beras di tingkat konsumen terus meningkat. Data terakhir pada tahun 2010 menunjukkan harga beras di tingkat konsumen lebih mahal 2,3 kali dibandingkan rata-rata harga gabah pada tahun yang sama. Kondisi ini menunjukkan ketidakberpihakan kebijakan pemerintah kepada petani. Petani menerima harga yang murah atas produksi padi mereka sementara petani di Indonesia sebagian besar merupakan net-buyer beras sehingga harga beras yang mahal akan menurunkan daya beli dan meningkatkan kemiskinan.

Harga GKG

Harga Beras

Sumber: BPS dan FAO, 1989-2010. (Diolah).

Gambar 4.6: Harga Rata-rata Gabah kering Giling (GKG) dan Eceran Beras

Hasil penghitungan Indeks Spesialisasi Produksi (ISP) menunjukkan bahwa untuk komoditi beras Indonesia sejak tahun 1994 merupakan net-importir beras yang berarti lebih banyak mengimpor daripada mengekspor beras. Sebagai net-importir harga beras dalam negeri dipengaruhi oleh harga beras di pasar internasional. Gambar 4.7 menunjukkan harga beras di pasar domestik cenderung mengikuti harga beras di pasar internasional, namun pergerakan harga beras domestik tampak lebih fluktuatif. Setelah kenaikan harga pangan dunia pada tahun 2007-2008 harga beras dunia kembali menurun pada tahun 2009 namun harga beras di pasar domestik justru terus meningkat. Kesenjangan antara harga beras di pasar domestik dan pasar internasional dapat menjadi pendorong terus meningkatnya impor beras.

g /K 1000.00

Harga Beras Dunia

Harga Beras Indonesia

Sumber: World Bank dan BPS, 1999-2010. (Diolah). Gambar 4.7: Harga Rata-rata Eceran Beras Dunia dan Indonesia, 1999-2010

Gambar 4.8 menunjukkan perbandingan harga beras di pasar domestik dan harga ekspor beras negara-negara eksportir beras utama di Indonesia tahun 2000-2009. Pada tahun 2000-2005 harga beras Vietnam merupakan yang tertinggi dibandingkan harga beras di Indonesia, Thailand, Cina, Amerika Serikat dan Vietnam. Pada tahun 2006 harga eceran beras di pasar dalam negeri mengalami kenaikan dan hingga tahun 2010 harga beras di pasar dalam negeri lebih tinggi dibandingkan harga ekspor negara-negara tersebut, hal ini menunjukkan lemahnya daya saing Indonesia dibandingkan produsen-produsen beras dunia.

Sumber: BPS dan UN, 2010. (Diolah). Gambar 4.8: Harga Beras Indonesia, Cina, Thailand, Amerika Serikat dan

Vietnam, 2000-2009

4.1.4 Rasio Ketergantungan Impor Beras

Rasio ketergantungan impor beras mengukur proporsi impor beras terhadap persediaan beras dalam negeri yaitu produksi dikurangi ekspor ditambah Rasio ketergantungan impor beras mengukur proporsi impor beras terhadap persediaan beras dalam negeri yaitu produksi dikurangi ekspor ditambah

Sumber: FAO dan BPS, 1980-2010. (Diolah).

Gambar 4.9: Rasio Ketergantungan Impor Beras di Indonesia, 1980-2010

4.1.5 Jumlah Penduduk dan Persediaan Beras Nasional

Jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan agregat termasuk permintaan beras. Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan beras sebagai bahan pangan pokok. Idealnya, pertumbuhan persediaan beras harus mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk. Dari Gambar 4.9 tampak bahwa jumlah penduduk terus meningkat Jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan agregat termasuk permintaan beras. Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan beras sebagai bahan pangan pokok. Idealnya, pertumbuhan persediaan beras harus mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk. Dari Gambar 4.9 tampak bahwa jumlah penduduk terus meningkat

Sepanjang periode 1980-2010 produksi beras meningkat sebesar 66,3 persen lebih besar dibandingkan peningkatan jumlah penduduk. Kebijakan ekspor-impor yang kurang tepat mengakibatkan persediaan beras nasional justru tidak dapat mengimbangi pertumbuhan jumlah penduduk pada periode tersebut.

n 180000 B a h Pen

ia d

la 160000

30000.00 se m

Jumlah Penduduk (000 Jiwa) Persediaan Beras (000 Ton)

Sumber: FAO, 1980-2010. (Diolah). Gambar 4.10: Jumlah Penduduk dan Persediaan Beras Indonesia, 1980-2010