Manfaat Penelitian

2.2.1 Matriks Empiris

Secara ringkas, penelitian-penelitian di atas dapat dilihat pada Tabel

2.1 berikut ini;

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

NO Nama

Hasil Penelitian 1. Budi

Ordinary Least Hasil Penelitian ini 2009

Mulyadi, Analisis

Faktor Tabungan

yang

Nasional (Y)

Square (OLS)

menunjukkan bahwa

mempengaruhi

Pertumbuhan

seluruh variabel

Tabungan Nasional Ekonomi (X 1 )

independen tersebut

di Indonesia

Defisit Anggaran

secara simultan

(X 2 )

berpengaruh signifikan

Ekspor Neto (X 3 )

terhadap tabungan

Pendapatan

nasional di Indonesia

Perkapita (X 4 ) Pertumbuhan Penduduk (X 5 )

2. Friska Julianti, Analisis Pengaruh Tabungan Ordinary Least Variabel Inflasi 2013

Inflasi, Nilai tukar, Mudharabah (Y)

Square (OLS)

berpengaruh positif dan

dan

BI rate Inflasi (X 1 )

signifikan,variabel nilai

terhadap Tabungan Nilai Tukar (X 2 )

tukar tidak mempunyai

Mudharabah pada BI rate (X 3 )

pengaruh, sedangkan BI

perbankan syariah

rate berpengaruh negative dan signifikan terhadap

tabungan mudharabah. 3. Muhammad

ini Menunjukkan bahwa Sofyan, 2011

Analisis Pengaruh Tabungan (Y)

variabel pendapatan

Perkapita, Tingkat Perkapita

(X 1 ) Metode Error perkapita tingkat suku

suku

bunga, Tingkat

Suku Corection

bunga, dan

Jumlah

Uang bunga (X 2 ) JUB Model (ECM)

inflasiberpengaruh beredar (M2), dan (X 3 ) Inflasi (X 4 signifikan

jumlah tabungan di

Jumlah tabungan di

Indonesia pada jangka

Indonesia

pendek. Sedangkan pada jangka panjang JUB

berpengaruh terhadap

jumlah tabungan 4. Ahmad Hidayah Analisis

Variabel suku bunga Dalimunthe,

Tabungan

(Y) Metode

Ordinary Least mempunyai pengaruh Murni

Determinan yang Pertumbuhan

(X 1 ) Square (OLS) yang positif PE Irsyad

Daulay, mempengaruhi

Ekonomi

berpengaruh positif dan Iskandar Syarif

Lubis, Tabungan

di Suku Bunga (X 2 ) dengan

signifikan, pengeluaran

Perkapita

(X 3 ) alat

analisis pemerintah memiliki

Pengeluaran

untuk

pengaruh negatif dan

Pemerintah (X 4 )

membantu

signifikan, dan terakhir mengolah data pendapatan

perkapita adalah dengan berpengaruh positif dan program

tidaksignifikan terhadap

eviews 4.1

tabungan

Lanjutan Tabel 2.1

NO Nama

Hasil Penelitian 5. Muhammad

Pendapatan perkapita Fhris

Analisis

faktor- Jumlah tabungan Menggunakan

Balada faktor yang Bank umum (Y), metode Regresi mempunyai pengaruh Billah, 2009

mempengaruhi

tingkat

bunga Linear

terhadap jumlah

besarnya tabungan tabungan

(X 1 ) Berganda

tabungan pada Bank

pada Bank umum

pendapatan

umum, sedangkan

perkapita

(X 2 )

variabel bebas lainnya

Inflasi (X 3 )

(tingkat bunga dan inflasi)

tidak mempunyai

pengaruh yang

signifikan terhadap

jumlah tabungan pada Bank umum.

Model Dinamis Variabel suku bunga Listyoadi, 2005

6. Sekti Wibowo Analisis

Faktor- Tabungan

faktor

yang perbankan

(Y) (Error

deposito dan pendapatan

mempengaruhi

suku bunga (X 1 ) Corection

perkapita berpengaruh

Tabungan

Rasio JUB (X 2 ) Model)

signifikan terhadap

Perbankan

di Pendapatan

tabungan.

Indonesia

perkapita (X 3 )

7. Hanifeliza, 2004

Analisis

Faktor- Tabungan

Dengan analisis Faktor yang signifikan

faktor

yang Masyarakat (Y) Ordinary Least

suku Square (OLS)

tabungan masyarakat

Total

Tabungan bunga riil (X 1 )

adalah tingkat

Masyarakat

yang Inflasi

(X 2 )

sukubunga riil,

Dihimpun

Jumlah bank (X 3 )

inflasi,jumlah

Perbankan

di Pendapatan

riil

bank,populasi besarnya

Indonesia

(X 4 )

tabungan masyarakat pada

periode sebelumnya

dan keadaan perekonomian Indonesia

dengan terjadinya krisis tahun 1997(variabel dummy). Pendapatan riil tidak mempengaruhi tabungan

masyarakat secara signifikan.

2.3 Kerangka Pemikiran

2.3.1 Hubungan Pendapatan Perkapita dengan Tabungan Nasional

Alfred Marshall dari kaum neoklasik mengemukakan bahwa terdapat faktor ekonomi dan non ekonomi yang mempengaruhi tabungan. Diantara faktor-faktor ekonomi tersebut, menekankan bahwa pada tingkat bunga, walaupun mungkin saja terdapat keadaan dimana tetap ada tabungan pada saat tingkat bunga negatif. Selain tingkat bunga, pendapatan juga dikatakan sebagai salah satu faktor yang memepengaruhi tabungan nasional.

Pendapatan tersebut dikemukakan oleh Keynes dalam teorinya mengenai kecenderungan untuk mengkonsumsi ( propensity to consume ) yang secara ekplisit menghubungkan antara tabungan dengan pendapatan. Keynes menyatakan suatu fungsi konsumsi modern yang didasari oleh perilaku psikologis modern, yaitu apabila terjadi peningkatan pada pendapatan riil, peningkatan tersebut tidak digunakan seluruhnya untuk meningkatkan konsumsi, tetapi dari sisa pendapatan tersebut juga digunakan untuk menabung (Budi Mulyadi, 2009).

Menurut Dalimunthe (2006) hasil penelitiannya menyebutkan bahwa pendapatan perkapita memiliki pengaruh yang positif meski tidak signifikan terhadap total tabungan.

2.3.2 Hubungan Defisit Anggaran dengan Tabungan Nasional

Menurut Manurung (2006), menyatakan ketika terjadi defisit fiskal maka pengendalian moneter menjadi penting dan tekanan terhadap sistem keuangan akan terjadi. Pengeluaran yang lebih besar dari penerimaan pemerintah mengakibatkan penjualan obliagsi pemerintah kepada masyarakat. Penjualan obligasi dan uang inti kepada masyarakat akan mengingkatkan penerimaan melalui pajak inflasi dan pajak bunga terhadap pemegang uang dan obligasi pemerintah.

Model kedua adalah smallopen economy . Menurut pandangan model ini defisit anggaran akan menurunkan tabungan nasional, tapi modal internasional yang masuk akan menutupi penurunan tabungan nasional. Menurut model ini defisit anggaran akan meningkatkan pinjaman dari luar negeri dan karena itu akan mengurangi pendapatan nasional yang akan datang, tapi defisit tidak akan berpengaruh pada tingkat bunga atau produksi domestik masa yang akan datang.

Model ketiga sering disebut dengan pandangan konvensional yang menyatakan bahwa defisit anggaran akan mengurangi tabungan nasional dan selanjutnya penurunan investasi domestik. Menurut model ini defisit anggaran dan investasi swasta terjadi crowding out dan sebagian terjadi peningkatan pinjaman luar negeri, yang mana kedua-duanya mengurangi pendapatan nasional dan produksi domestik masa yang akan datang.

2.3.4 Hubungan Tingkat Suku Bunga Riil terhadap Tabungan Nasional

BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan di umumkan kepada publik. Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian, Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan.

Tingkat bunga merupakan salah satu pertimbangan utama seseorang dalam memutuskan untuk menabung. Tabungan merupakan fungsi dari tingkat bunga. Tingkat bunga yang tinggi akan mendorong seseorang untuk menabung dan mengorbankan konsumsi di masa yang akan datang. (Smithin, 1994 dalam Reni dan Rina, 2006). Tingginya minat masyarakat untuk menabung biasanya dipengaruhi oleh tingkat bunga yang tinggi. Hubungan yang positif antara tingkat bunga dengan tingkat tabungan ini menunjukkan bahwa pada umumnya para penabung bermotif pada keuntungan atau “ profit motive ”. (Khairunisa,2001:7 dalam Dian Ariestya, 2011: 38).

Berdasarkan penjelasan dan kajian terhadap penelitian terdahulu, maka disusun kerangka pemikiran teori mengenai penelitian yang akan dilakukan.

Pengaruh Pendapatan perkapita yang rendah, Defisit anggaran yang meningkat serta turunnya Tingkat Suku Bunga Riil membuat pembangunan di Indonesia mengalami keterhamabatan dikarenakan rendahnya Kerangka pemikiran teori tersebut adalah sebagai berikut. modal yang disimpan dalam bentuk Tabungan Nasional

Tabungan Nasional

Pendapatan Perkapita

Defisit Anggaran

Real Interest rate

Menurut Dalimunthe

Menurut

pandangan

Hubungan yang positif antara

(2006) hasil penelitiannya

small of economy , defisit

tingkat bunga dengan tingkat

tabungan ini menunjukkan

bahwa pada umumnya para memiliki pengaruh yang

pendapatan perkapita

penabung bermotif pada

positif

keuntungan atau signifikan terhadap total

meski

tidak

internasional yang masuk

“profitmotive”. tabungan.

akan menutupi penurunan

(Muhammad

tabunngan nasional. (Budi

(Khairunisa,2001:7 dalam

Sofyan, 2011)

Mulyadi, 2009)

Dian Ariestya, 2011: 38).

Studi Empiris

Budi Mulyadi (2009) hasil penelitian menunjukkan bahwa Pendapatan perkapita dan Defisit anggaran secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Tabungan Nasional.

Muhammad Sofyan (2011) hasil penelitian menunjukkan tabungan dan real interest rate berpengaruh signifikan terhadap jumlah Tabungan Nasional di Indonesia.

Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran

Untuk memudahkan kegiatan penelitian yang akan dilakukan serta untuk memperjelas akar pemikiran dalam penelitian ini, berikut gambar paradigma penelitian yang sekmatis:

Pendapatan Perkapita

Defisit Anggaran Tabungan Nasional

Tingkat Suku Bunga Riil

Gambar 2.2 Paradigma Penelitian

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pendapatan perkapita, defisit anggaran dan tingkat suku bunga riil berpengaruh secara individu atau parsial terhadap tabungan nasional di Indonesia dalam jangka panjang dan jangka pendek.

2. Pendapatan perkapita, defisit anggaran dan tingkat suku bunga riil berpengaruh secara simultan terhadap tabungan nasional di Indonesia dalam jangka panjang dan jangka pendek.

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

Objek yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini adalah Tabungan Nasional, pendapatan perkapita, defisit anggaran dan tingkat suku bunga riil di Indonesia.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat time series . Data sekunder merupakan data atau informasi yang diperoleh dari pihak kedua atau data yang dikumpulkan oleh lembaga pengumpulan data dan di publikasikan kepada masyarakat pengguna data (Kuncoro, 2003: 127). Metode yang digunakan dalam pengumpulan data untuk melakukan penelitian ini adalah:

1. Metode Dokumenter Metode dokumenter adalah pengumpulan data melalui catatan-catatan tertulis tentang berbagai kegiatan atau peristiwa yang lalu berhubungan dengan aspek penelitian.

2. Metode Observasi

Library Research adalah dengan mencari dan mengumpulkan literature yang terdiri dari buku-buku referensi, artikel, jurnal penelitian dan media masa sebagai bahan pengutipan serta referensi.

3.3 Operasional Variabel

Variabel penelitian terdiri dari dua macam yaitu variabel terikat ( dependent variable ) atau variabel yang tidak tergantung pada variabel lainnya. Variabel terikat dalam penelitian ini yaitu Tabungan Nasional dan variabel bebas dalam penelitian ini yaitu pendapatan perkapita, defisit anggaran dan tingkat suku bunga riil.

Tabel 3.1

Variabel Penelitian dan Operasional Variabel

Variabel

Konsep Operasional

Indikator

Satuan Skala

Jumlah tabungan

Tabungan

pemerintah dan

(S + (T-G))

Rupiah Rasio

tabungan masyarakat

Nasional (Y)

dalam mata uang

rupiah.

Pendapatan per kapita adalah pendapatan rata-

Pendapatan Perkapita

rata penduduk suatu

Pendapatan Perkapita = Rupiah Rasio

Negara (Djoko Untoro :

(X 1 )

Lanjutan Tabel 3.1

Satuan Skala Variabel

Defisit keseimbangan

Defisit

primer pada anggaran

Persen Rasio Anggaran

pemerintah dibagi

(%) (X 2 )

dengan Produk

Domestik Bruto

Indonesia Suku bunga kebijakan

yang mencerminkan sikap

Tingkat Suku

Persen Rasio Bunga Riil

atau stance kebijakan

Tingkat Suku Bunga

moneter yang

(%) (X 3 )

nominal - Inflasi

ditetapkan oleh bank

Indonesia dan diumumkan kepada publik.

3.4 Pengolahan Data

Untuk pengolahan data dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan program E-Views 8 .

3.5 Metode Analisis

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah variabel independen yang diuji memiliki pengaruh terhadap variabel dependen. Data yang digunakan adalah data time series dari makro ekonomi yang umumya tidak stasioner pada tingkat level sehingga perlu dilakukan differencing . Sementara dalam melakukan penelitian mengenai kebijakan makro ekonomi, data yang digunakan seharusnya data asli (Level) agar dapat mencerminkan kondisi sebenarnya, dan tidak membawa penarikan yang menyesatkan ( misleading ).

Data dikatakan stasioner jika nilai rata-rata dan variannya konstan. (Nachrowi, 2006).

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan Error Corecotion Model (ECM) untuk melihat hubungan jangka pendek dan menggunakan uji kointegrasi untuk melihat indikasi hubungan jangka panjang.

Berdasarkan model fungsi SAV = f (Pendapatan perkapita, Defisit anggaran, BI rate) dapat dibentuk persamaan model ekonometrika sebagai berikut.

t (3.1)

Untuk menstandarkaan data, maka model di atas kemudian di transformasikan ke dalam bentuk persamaan model ekonometrika sebagai berikut:

t (3.2)

Keterangan :

= Saving β 0 = Konstanta

β 1 β 2 β 3 = Koefisien Regresi

X 1 = Ypc

X 2 = Defisit Anggaran

X 3 = BI Rate

= Error

= menunjukkan waktu

Sehingga model jangka panjangnya sebagai berikut :

Dimana : Koefisien Jangka Panjang

Sementara model ECM dinyatakan dalam bentuk : (3.4)

Sementara model ECT dinyatakan dengan persamaan (3.5) Dimana :

D Ln SAV

= Tabungan Nasional

D Ln YPC

= Pendapatan Perkapita

D DA

= Defisit Anggaran

D BIRate

= Tingkat Suku bunga Riil

ECT

= Error Correction Term

D = Perubahan

= Periode waktu

= Error

3.5.1. Uji Akar Unit ( Unit Root Test) Uji ini dapat dipandang sebagai uji stasioneritas. Hal ini karena pada

prinsipnya uji tersebut dimaksudkan untuk mengamatti apakah koefisien tertentu dari model otoregfresif yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Dengan demikian pertanyaan berapa kali suatu data runtun waktu haus dideferensiasi agar diperoleh data stasioner akan terjawab. (Insukindo, 1992).

Uji akar unit ini dimaksudkan untuk menentukan stasioner tidaknya sebuah variabel. Data dikatakan stasioner bila data tersebut mendekati rata- ratanya dan tidak terpengaruh waktu. Apabila dilakukan analisis pada dat yang tidak stasioner, maka akan memberikan hasil regresi yang palsu atau disebut regresi lancing ( spurious regression ). Regresi lancing adalah situasi dimana hasil regresi menunjukkan koefisien regresi yang signifikan secara statistik dan nilai koefisien determinasi yang tinggi, namun hubungan antara variabel di dalam model tidak saling berhubungan (Enders, 2014:195).

Salah satu konsep formal yang dipakai untuk mengetahui stasioneritas data adalah melalui uji akar unit ( unit root test ). Uji ini merupakan pengujian yang popular, dikembangkan oleh David Dickey dan Wayne Fuller dengan sebutan Augmented Dickey-Fuller (ADF) test. Hipotesis statistik pengujian ADF adalah sebagai berikut:

H o : Data tersebut tidak stasioner pada tingkat level.

H a : Data tersebu stasioner pada tingkat level. Pengambilan keputusan dilakukan dengan kriteria : H a : Data tersebu stasioner pada tingkat level. Pengambilan keputusan dilakukan dengan kriteria :

b. Jika nilai statistic ADF < nilai kritis ( critical value α = 1%, 5%, 10%) maka tidak tolak H o dan tolak H a artinya data tersebut tidak stasioner pada derajat nol.

3.5.2. Uji Derajat Integrasi

Uji ini dilakukan untuk mengetahui pada derajat atau order differensi ke berapa derajat data yang diteliti akan stasioner. Uji derajat integrasi ini mirip dengan uji aka unit.

Prosedur untuk menentukan apakah data stasioner atau tidak dengan cara membandingkan antara nilai ADF dengan nilai kritis distribusi statistic MacKinnon. Jika nilai absolute statistic ADF lebih besar dari nilai kritisnta, maka data yang diamati menunjukan stasioner dan jika sebaliknya nilai absolute statistik ADF lebih kecil dari nilai kritisnya maka data tidak stasioner (Agus Widarjono, 2005:320).

Hipotesis statistik pengujian derajat integrasi sebagai berikut:

H o : Data tersebut tidak stasioner pada derjat 1 atau 2.

H a : Data tersebut stasioner pada derajat 1 atau 2.

Pengambilan keputusan dilakukan dengan criteria:

a. Jika nilai statistik ADF > nilai kritis ( critical value α = 1%, 5%,10%) maka tolak H o dan tidak tolak H a artinya data tersebut stasioner pada derajat 1 atau 2

b. Jika nilai statistik ADF < nilai kritis ( critical value α = 1%, 5%,10%) maka tidak tolak H o dan tolak H a artinya data tersebut tidak stasioner pada derajat 1 atau 2

3.5.3. Uji Kointegrasi ( Cointegration Test )

Uji kointegrasi adalah uji ada tidaknya hubungan jangka panjang antara variabel bebas dan terikat, uji ini merupakan kelanjutan dari uji akar- akar unit (Unit Root Test) dan uji derajat integrasi (Integration Test) .

Berdasarkan uji stasioneritas, apabila data variabel makro tidak stasioner pada tingkat Level sedangkan pada tingkat diferensi pertama, kedua data menjadi stasioner, maka penelitian dapat dilanjutkan pada Uji Kointegrasi. Definisi dari Engle and Granger, kointegrasi mengacu pada variabel yang terintegrasi pada orde (derajat) yang sama. Maka dari itu, sebelum melakukan pengujian kointegarsi sebaiknya semua variabel terintegrasi di orde yang sama (Enders, 2014 : 345).

Kemudian dapat dibentuk persamaan model ekonometrika dalam penelitian sebagai berikut:

(3.6) Keterangan :

SAV

= Tabungan Nasional

YPC

= Pendapatan Perkapita DA = Defisit Anggaran

BIRate

= Tingkat Suku Bunga Birate β 0 = Konstanta

β 1 ,β 2 ,β 3 = Koefisien regresi

= Error

= menunjukkan waktu

Uji kointegrasi yang banyak digunakan adalah uji kointegrasi yang dikembangkan oleh Johansen . Hipotesis statistik pengujian kointegrasi dengan uji Johansen dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

H o : Tidak terdapat pengaruh jangka panjang antara variabel independen

dan variabel dependen

H a : Terdapat pengaruh jangka panjng antara variabel independen dan variabel dependen

Pengambilan keputusan dilakukan dengan kriteria :

a. Jika trace statistic > nilai kritis (critical value α = 1%, 5%, 10%) maka H o

ditolak dan tidak ditolak H a

b. Jika trace statistic < nilai kritis (critical value α = 1%, 5%, 10%) maka H o

tidak ditolak dan H a ditolak.

3.5.4 Uji Error Corection Model (ECM)

Apabila data tidak stasioner pada tingkat level, tetapi stasioner pada tingkat diferensi dan variabel saling berkointegrasi, ini berarti terdapat hubungan atau keseimbangan jangka panjang antara kedua variabel tersebut. Dalam jangka pendek mungkin saja ada ketidakseimbangan ( disequilibrium ). Ketidakseimbangan inilah yang sering kita temui dalam perilaku ekonomi. Artinya bahwa apa yang diinginkan pelaku ekonomi belum tentu sama dengan apa yang terjadi sebenarnya. Adanya perbedaan apa yang diinginkan pelaku ekonomi dan apa yang terjadi maka dierlukan penyesuaian ( adjustment ). Model yang memasukan penyesuaian untu melakukan koreksi bagi ketidakseimbangan disebut sebagai model koreksi kesalahan ( Error Correction Model ) (Widarjono, 2007:356).

Analisis yang digunakan bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dalam jangka pendek dan jangka panjang. Setelah pengujian ECM dilakukan, maka model yang terbentuk akan dilakukan uji ECT ( Error Correction Term ).

Error Correction Term atau koreksi kesalahan merupakan bagian dari ECM. Hasil signifikansi ECT akan menentukan apakah model dapat dianalisa

dalam jangka pendek atau tidak. Jika nilai ECT signifikan berarti model spesifikasi ECM yang digunakan dalam penelitian adalah valid (Widarjono, 2007:358).

Hasil probabilitas ECT akan menentukan apakah model dapat dianalisa baik jangka pendek maupun jangka panjang. Jika variabel ECT positif dan signifikan 5% maka spesifikasi model sudah valid dan dapat menjelaskan variabel dependen.

3.5.5 Uji Asumsi Klasik

Sebelum dilakukan regresi, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik untuk melihat apakah data terbebas dari masalah multikolinearitas, heterokedastisitas, dan autokorelasi. Uji asumsi klasik penting dilakukan untuk menghasilkan estimator yang linier tidak ias dengan varian yang minimum ( Best Linier Unbiased Estimator = BLUE ), yang berarti model regresi tidak mengandung masalah. Untuk itu perlu dibuktikan lebih lanjut apakah model regresi yang digunakan sudah memenuhi asumsi tersebut.

Menurut Damodar Gujarati (2006) agar model regresi tidak bias atau agar model regresi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) maka perlu dilakukan uji asumsi klasik terlebih dahulu. Uji persyaratan analisis untuk regresi berganda yang sering digunakan adalah sebagai berikut :

3.5.5.1 Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk menguji disribusi frekuensi dari data yang diamati apakah data tersebut terdistribusi normal atau tidak (Gujarati dan Porter, 2010:169). Pengujian ini menggunakan nilai Jarque-Bera yang Uji normalitas digunakan untuk menguji disribusi frekuensi dari data yang diamati apakah data tersebut terdistribusi normal atau tidak (Gujarati dan Porter, 2010:169). Pengujian ini menggunakan nilai Jarque-Bera yang

Kriteria pengujian normalitas Jarque-Bera dengan menggunakan aplikasi eviewe 8 adalah sebagai berikut (Widarjono, 2013:54):

a. Jika nilai probabilitas JB test > α 0,05%, maka data terdistribusi normal (H 0 ditolak), artinya lolos uji normalitas.

b. Jika nilai probabilitas JB test < α 0,05%, maka data terdistribusi normal (H a ditolak), artinya tidak lolos uji normalitas.

3.5.5.2 Uji Multikolinearitas

Menurut Ghozali (2011:105) uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah ada korelasi antar variabel independen dari suatu model regresi. Untuk mengetahui ada tidaknya multikolineritas ada beberapa metode deteksi, diantaranya (Gujarati, 2004:345):

1. 2 Diperoleh nilai R-square (R ) yang besar (0,7-1), sedangkan koefisien regresi tidak signifikan pada uji parsial.

2. Korelasi derajat nol yang tinggi merupakan kondisi yang cukup tapi tidak perlu adanya kolinieritas karena hal ini dapat terjadi meskipun melalui korelasi derajat nol sederhana relatif rendah.

3. Melihat tanda (+ atau -) pada koefisien regresi berlawanan dengan teori disebutkan.

4. Untuk mengetahui variabel X mana yang berhubungan dengan variabel X lainnya adalah dengan meregresi setiap X t atas sisa variabel X.

Untuk mengetahui terjadi atau tidaknya multikolinearitas dapat dilihat dari nilai correlation matrix dari hasil outut eviews. Menurut Gujarati (2004:359) kriteria pengujiannya diketahui sebagai berikut :

a. Pada Correlation Matrix , jika koefisien korelasi yang dihasilkan < 0,8, maka tidak terjadi multikolinearitas.

b. Pada Correlation Matrix , jika koefisien korelasi yang dihasilkan > 0,8, maka terjadi multikolinearitas.

3.5.5.3 Uji Heterokedastisitas

Heterokedastisitas merupakan penyimpangan yang terjadi apabila varian dari factor pengganggu tidak sama pada data pengamatan yang lain, uji terhadap ada tidaknya heterokedastisitas dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa uji yaitu Rank Spearman, White Park, Goldfiel- Quandt, Breush-Godfrey dan lain-lain (Nachrowi, 2005:127).

Untuk mendeteksi ada atau tidaknya heterokedastisitas dapat diketahui dengan uji White test Heterokedasticity yang dilakukan dengan aplikasi eviews

8 untuk membandingkan nilai probabilitas Obs*R-squared dan Level of significance ( α) dengan kriteria sebagai berikut : (Widarjono, 2013:140). Hipotesis :

H 0 : tidak terdapat heterokedastisitas

H a : terdapat heterokedastisitas Kesimpulan pada output eviews 8 adalah :

a. Jika nilai probabilitas Obs*R-squared < α (0,05), maka terdapat heterokedastisitas (H 0 ditolak). Artinya tidak lolos uji heterokedastisitas.

b. Jika nilai probabilitas Obs*R-squared > α (0,05), maka terdapat heterokedastisitas (H a ditolak). Artinya lolos uji heterokedastisitas.

3.5.5.4 Uji Autokorelasi

Secara harfiah autokorelasi berarti adanya korelasi anara anggota observasi dengan observasi lain yang berlainan waktu. Dalam kaitannya dengan asumsi metode OLS, autokorelasi merupakan korelasi antara satu residual dengan residual lainnya. Sedangkan salah satu asumsi penting metode OLS berkaitan dengan residual adalah tidak adanya hubungan antara residual dengan residual yang lain (Agus Widarjono, 2005).

Dalam penelitian ini untuk melihat ada tidaknya autokorelasi digunakan uji autokorelasi yang dikembangkan oleh Bruesh dan Godfrey yang lebih umum dan dikenal dengan uji Lagrange Multiplier ( LM-test ). Hipotesis :

H 0 : tidak terdapat autokorelasi

H a : terdapat autokorelasi

Kesimpulan pada output eviews 8 adalah :

a. Jika nilai probabilitas Obs*R-squared > α (0,05), maka tidak tolak

H o dan konsekuensinya tolak H a . Artinya tidak terdapat autokorelasi.

b. Jika nilai probabilitas Obs*R-squared < α (0,05), maka tolak H o dan konsekuensinya tidak tolak H a . Artinya terdapat autokorelasi. Apabila data tersebut terdeteksi autokorelasi dapat dilakukan dasar pengambilan keputusan berdasarkan metode pengujian uji Durbin-Watson (uji DW) dengan ketentuan sebagia berikut :

1. Jika d < dL atau ≥ (4-dL) maka H 0 ditolak, yang berarti terdapat autokorelasi.

2. Jika d terletak antara dU dan (4-dU), maka H 0 diterima, yang berarti tidak ada autokorelasi.

3. Jika d terletak antara dL dan dU atau diantara (4-dU) dan (4-dL), maka tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti.

3.5.6 Hipotesis Statistik

Secara statistik, ketepatan fungsi regresi dalam menaksir nilai aktual dapat diukur dengan nilai statistik t, nilai statistik f, serta koefisien determinasi. Dalam bahasa statistik, hipotesis yang dinyatakan dikenal sebagai hipotesis nol dan dilambangkan dengan H o . Hipotesis nol biasanya Secara statistik, ketepatan fungsi regresi dalam menaksir nilai aktual dapat diukur dengan nilai statistik t, nilai statistik f, serta koefisien determinasi. Dalam bahasa statistik, hipotesis yang dinyatakan dikenal sebagai hipotesis nol dan dilambangkan dengan H o . Hipotesis nol biasanya

3.5.6.1 Uji Parsial (t-Statistik)

Uji statistik t dilakukan dengan mengujikan variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial untuk mengetahui pengaruh signifikan atau tidaknya variabel bebas dan variabel terikat. Permulaan uji statistic t

ditentukan oleh hipotesis nol atau null hypothesis (H 0 ) yang menyatakan bahwa masing-masing vaiabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat secara individu. Untuk mengetahui nilai t hitung dapat menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan : = Koefisien variabel ke-i = Nilai hipotesis nol = Simpangan baku dari variabel independepn ke-i Dengan menggunakan taraf signifikan ( α) sebesar 5%, maka hipotesis statistik yang digunakan :

1. H o :β i > 0; Variabel pendapatan perkapita berpengaruh positif dan signifikan terhadap tabungan nasional

H a :β i < 0; Variabel pendapatan perkapita tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap tabungan nasional.

2. H o : β i > 0; Variabel defisit anggaran berpengaruh positif dan signifikan terhadap tabungan nasional.

H a :β i < 0; Variabel defisit anggaran tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap tabungan nasional.

3. H o : β i > 0; Variabel suku bunga riil berpengaruh positif dan signifikan terhadap tabungan nasional.

H a :β i < 0; Variabel suku bunga riil tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap tabungan nasional.

3.5.6.2 Uji Simultan (F-Statistik)

Uji F digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen secara simultan terhadap variabel dependen dari suatu persamaan regresi dengan

menggunakan hipotesis statistik (Gujarati dan Porter, 2010:311). Statistik F diformulasikan sebagai berikut:

 1  R ( n  k ) (3.7)

Di mana :

2 R : Koefisien determinasi

N : Jumlah observasi K : Jumlah parameter (termasuk intercept ) dalam model

Dengan menggunakan taraf signifikansi (α) sebesar 5 persen, maka hipotesis statistik yang digunakan:

1. H o : β 1, β 2, β 3 < 0, maka keputusannya adalah tidak terdapat pengaruh signifikan dari Pendapatan Perkapita, Defisit aggaran dan Tingkat suku bunga riil terhadap Tabungan Nasional.

2. H a :β 1, β 2, β 3 > 0, maka keputusanya adalah terdapat pengaruh signifikan dari Pendapatan Perkapita, Defisit Anggaran dan Tingkat suku bunga riil terhadap Tabungan Nasional.

Pengambilan keputusan dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:

a. Jika nilai F hitung < nilai F tabel, maka hipotesis statistik yaitu tidak tolak

H o yang konsekuensinya tolak H a . Artinya, bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan dari Pendapatan Perkapita, Defisit Anggaran dan Tingkat suku bunga riil terhadap Tabungan Nasional.

b. Jika nilai F hitung > nilai F tabel , maka hipotesis statistik yaitu tolak H o yang konsekuensinya tidak tolak H a . Artinya, bahwa terdapat pengaruh signifikan dari Pendapatan Perkapita, Defisit Anggaran dan Tingkat suku bunga riil terhadap Tabungan Nasional.

3.5.6.3 Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi (R²) merupakan ukuran ringkas yang menginformasikan seberapa baik sebuah garis regresi sampel sesuai dengan Koefisien determinasi (R²) merupakan ukuran ringkas yang menginformasikan seberapa baik sebuah garis regresi sampel sesuai dengan

Nilai R 2 diformulasikan sebagai berikut:

Keterangan:

R 2 : koefisien determinasi

e : Jumlah standar error Y

: Jumlah Y

Dalam penelitian ini, nilai R 2 diperoleh melalui program Eviews

8. Kriteria-kriteria pengujian koefisien determinasi yaitu:

a. 2 Bila R = 0, artinya variasi dari Y (tabungan nasional) tidak dapat diterangkan oleh X (pendapatan perkapita, defisit anggaran dan tingkat suku bunga riil)

sama sekali.

b. 2 Bila R = 1, artinya variasi dari Y (tabungan nasional) 100% dapat diterangkan oleh X (pendapatan perkapita, defisit anggaran dan tingkat suku

bunga riil)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian

Gambaran umum dilakukan untuk mengetahui bagaimana variabel instrument yang dipakai dalam suatu penelitian. Variabel yang digunakan dalam penelitian adalah tabungan nasional, pendapatan perkapita, defisit anggaran, dan tingkat suku bunga riil.

4.1.1 Perkembangan Tabungan Nasional di Indonesia

Peranan tabungan sangat penting bagi keberlangsungan pembangunan ekonomi suatu Negara. Tabungan nasional merupakan sumber utama pembiayaan investasi dalam negeri, sehingga tingkat tabungan tinggi sangat diharapkan oleh setiap Negara demi tercapainya pembangunan ekonomi yang optimal. Negara berkembang pada umumnya memiliki tingkat tabungan nasional yang rendah, sehingga tabungan tidak cukup membiayai kebutuhan yang berkaitan dengan proses pembangunan didalam negeri. Ini pun mengakibatkan kesenjangan antara tabungan dan investasi sehingga Negara harus meminjam sebagian modal atau meminjam dana dari luar negeri untuk mengatasi kesenjangan tersebut.

Sumitro (1994:44) menjelaskan bahwa kekurangan didalam perimbangan antara tabungan nasional dan investasi harus di tutup dengan pemasukan modal dari luar yang berasal dari tabungan oleh kalangan luar Sumitro (1994:44) menjelaskan bahwa kekurangan didalam perimbangan antara tabungan nasional dan investasi harus di tutup dengan pemasukan modal dari luar yang berasal dari tabungan oleh kalangan luar

Berdasarkan angka yang diperoleh dari Bank Indonesia perkembangan tabungan nasional dari tahun 1981 sampai dengan 2015 menggambarkan naik turunnya angka tabungan nasional di Indonesia. Yang dapat didefinisikan dari gambar tersebut adalah kenaikan yang terus menerus dapat terlihat pada tahun 1981 s/d 2015 yaitu Rp.15.747(miliar) sampai Rp.1.360.784(miliar). Disamping itu penurunan pun terjadi pada tahun 1994 s/d 1999, selama 5 tahun angka tabungan nasional mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu tahun 1993 sebesar Rp.238.447(miliar) turun menjadi Rp.26.740(miliar) sangat drastis penurunan ini. Penurunan ini diakibatkan pada masa ini adanya peralihan pola pembangunan dari Pelita V pada masa orde baru ke Pelita VI untuk melanjutkan pembangunan jangka panjang tahap kedua. Yang di harapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri demi mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Di tahun selanjutnya atau tahun 1994, kondisi tabungan berada di posisi yang minim sekali dibanding tahun sebelumnya. Pada tahun 1994 berlakunya peristiwa berkelanjutan yaitu pelita VI yang menjadi titik berat pada proses pembangunan jangka panjang tahap kedua. Pada periode pelita VI ini terjadi krisis moneter yang melanda Negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim orde baru runtuh. Pada tahun 2000 pun angka tabungan nasional mengalami kenaikan yang signifkan dari tahun sebelumnya sebesar Rp.89.815(miliar), dan meningkat sekali pada tahun 2001 yaitu Rp.511.556(miliar). Pergantian presiden ke-5 yang dilaksanakan pada tahun 2001 berhasil memberikan respon yang baik untuk masyarakat, karena pada saat itu presiden ke-5 Indonesia berhasil membawa perekonomian Indonesia pada posisi wajar.

Berdasarkan grafik menunjukkan bahwa tabungan dari tahun 2001 pun selalu mengalami kenaikan yang cukup signifikan dan terus membaik sampai pada tahun 2013 posisi tabungan yaitu Rp.11.548.916(miliar). Peningkatan tabungan dari tahun ke tahun sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat karena jika pendapatan meningkat maka tabungan juga akan naik begitupun sebaliknya. Semua jumlah tabungan akan di investasikan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi yang akan datang.

Pengalaman lebih dari 30 tahun pelaksanaan pembangunan menunjukkan bahwa faktor tabungan nasional telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam proses pembangunan. Fluktuasi tabungan nasional dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

TABUNGAN (miliar rupiah)

Sumber : Bank Indonesia

Grafik. 4.1. Perkembangan Tabungan Nasional Periode 1981-2015 (Dalam Miliar Rupiah)

4.1.2 Perkembangan Pendapatan Perkapita di Indonesia

Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, sebuah bangsa berkepulauan yang mencakup lebih dari 300 suku, Indonesia telah memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang sangat baik sejak mengalami krisis finansial Asia di akhir 1990an. Pendapatan perkapita suatu negara merupakan indikator tingkat kesejahteraan rakyat suatu Negara tersebut.

Menurut data yang diperoleh dari Bank Indonesia, pendapatan perkapita selama tiga dasawarsa ini menunjukkan angka dengan kondisi yang cukup signifikan, baik pra dan pasca krisis yang pernah dialami oleh Indonesia. Pada tahun 1980-an ketika harga minyak menurun, ekonomi Indonesia mengalami masalah karena negara lambat mengantisipasinya. Nilai rupiah jatuh tapi Indonesia mampu membatasi akibat yang lebih buruk. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun pada 1980an menurun menjadi 5,6% atau sebesar Rp.10.227(miliar). Dan terus mengalami kenaikan yang signifikan sampai dengan tahun 2015, dilihat dari kondisi grafik selama

30 tahun terakhir ini tidak terdapat angka yang menunjukkan bahwa pendapatan perkapita mengalami kondisi yang sangat buruk. Di setiap tahunnya pendapatan perkapita di Indonesia mengalami peningkatan yang fluktuatif, yang apabila dijelaskan secara merinci lagi yaitu, setiap ada peningkatan dalam satu tahun, dipastikan ditahun selanjutnya pasti akan mengalami penurunan. Menurut Mankiw ( Principles of Macroeconomic edisi 3), faktor utama yang mempengaruhi perbedaan standard of living (ditunjukkan oleh perbedaan besar pendapatan per kapita) antara negara kaya dan negara miskin adalah tingkat produktivitas. Produktivitas mengacu pada jumlah barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh seorang pekerja dalam setiap jam. Dengan demikian, suatu negara dapat menikmati standard of living yang tinggi jika negara tersebut dapat memproduksi barang dan jasa 30 tahun terakhir ini tidak terdapat angka yang menunjukkan bahwa pendapatan perkapita mengalami kondisi yang sangat buruk. Di setiap tahunnya pendapatan perkapita di Indonesia mengalami peningkatan yang fluktuatif, yang apabila dijelaskan secara merinci lagi yaitu, setiap ada peningkatan dalam satu tahun, dipastikan ditahun selanjutnya pasti akan mengalami penurunan. Menurut Mankiw ( Principles of Macroeconomic edisi 3), faktor utama yang mempengaruhi perbedaan standard of living (ditunjukkan oleh perbedaan besar pendapatan per kapita) antara negara kaya dan negara miskin adalah tingkat produktivitas. Produktivitas mengacu pada jumlah barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh seorang pekerja dalam setiap jam. Dengan demikian, suatu negara dapat menikmati standard of living yang tinggi jika negara tersebut dapat memproduksi barang dan jasa

Berikut gambaran pendapatan perkapita berdasarkan angka dari Bank Indonesia tertera dalam grafik 4.2 :

Pendapatan Perkapita (miliar rupiah)

Sumber : Bank Indonesia

Grafik. 4.2.

Perkembangan Pendapatan Perkapita Indonesia periode 1981-2015

(Dalam Miliar Rupiah)

4.1.3. Perkembangan Defisit Anggaran di Indonesia

Selama periode 30 tahun terakhir yang lalu ini perkembangan defisit anggaran mendapatkan perhatian yang utama, bahkan sejak kabinet orde pertama. Perhatian tersebut adalah terhadap tingginya tingkat inflasi yang disebabkan oleh pembiayaan defisit anggaran dengan pencetakkan uang. Pinjaman ke luar negeri merupakan alternatif pembiayaan yang paling dominan selamat tahun 1969-2000. Pembiayaan defisit dengan anggaran dengan menggunakan utang luar negeri dilatarbelakangi oleh trauma inflasi yang tinggi pada tahun 1960-an, yang disebabkan oleh pembiayaan defisit anggaran dengan pencetakkan uang. Pada awalnya pemerintah mengintroduksi anggaran dengan memasukkan utang luar negeri sebagai sumber penerimaan Negara maka anggaran terlihat sebagai balance budget . Disisi lain pemerintah diharapkan dapat melakukan fungsi pengawasan terhadap penggunaan anggaran agar dapat menghasilkan outcome yang telah ditargetkan oleh pemerintah, karena defisit anggaran menggunakan pembiayaan yang dananya bersumber dari utang baik dalam maupun luar negeri hanya akan membawa dampak meningkatnya stok utang dan bunga utang yang akan timbul di masa-masa yang akan datang. Selain utang dari dalam dan luar negeri dampak pencetakkan uang yang berlebih pun membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan melihat kondisi defisit anggaran Indonesia saat ini sebesar 2.21% di tahun 2015, hal ini disebabkan karena

pendapatan dan beanja Negara tidak memenuhi target. Pemerintah menggunakan kebijakan fiskal dengan tujuan pertumbuhan ekonomi diharapkan akan selalu positif, sedangkan dampak inflasi diharapkan negatif. Namun secara teori, kebijakan fiskal ekspansif yang dilakukan dengan peningkatan pengeluaran pemerintah tanpa terjadinya peningkatan sumber pajak, sebagai sumber keuangan utama pemerintah, akan mengakibatkan peningkatan defisit anggaran. Selama ini Indonesia cenderung melakukan kebijakan fiskal yang ditunjukkan untuk mendorong perekonomian yang biasa dikenal dengan kebijakan anggaran yang longgar ( loose budget policy ), yang intinya berupa kenaikan rasio anggaran negara terhadap pendapatan nasional yang berupa kenaikan defisit anggaran atau penurunan surplus anggaran (Anggito Abimanyu, 2003).

Berdasarkan grafik 4.3 dapat dilihat perkembangan defisit anggaran selama 30 tahun terakhir, dimulai dari tahun 1981-2015. Selama 12 tahun Indonesia menghasilkan surplus pada kondisi perekonomian yang bisa dibilang sangat baik sehingga pada tahun 1981 hingga tahun 1992 Indonesia tidak mengalami defisit. Menurut Hill (1996), pemerintahan orde baru telah berhasil merehabilitasi ekonomi, mengendalikan inflasi dan rnengurangi tingkat pertumbuhan penduduk. Hill juga menyebutkan bahwa pada akhir tahun 1980an lndonesia telah berhasil memasuki tahapan industrialisasi lebih lanjut mengingat struktur output dan ekspor sernakin didominasi oleh produk Berdasarkan grafik 4.3 dapat dilihat perkembangan defisit anggaran selama 30 tahun terakhir, dimulai dari tahun 1981-2015. Selama 12 tahun Indonesia menghasilkan surplus pada kondisi perekonomian yang bisa dibilang sangat baik sehingga pada tahun 1981 hingga tahun 1992 Indonesia tidak mengalami defisit. Menurut Hill (1996), pemerintahan orde baru telah berhasil merehabilitasi ekonomi, mengendalikan inflasi dan rnengurangi tingkat pertumbuhan penduduk. Hill juga menyebutkan bahwa pada akhir tahun 1980an lndonesia telah berhasil memasuki tahapan industrialisasi lebih lanjut mengingat struktur output dan ekspor sernakin didominasi oleh produk

Pada periode 1998 sampai dengan tahun 1999 pasca krisis perekonomian Indonesia memasuki fase defisit anggaran yang cukup signifikan. Dilihat dari tahun 1998 surplus sebesar Rp.456(miliar) di tahun berikutnya tahun 1999 defisit sebesar Rp.-83.495(miliar). Kondisi defisit anggran setelah adanya krisis ekonomi pada tahun 1999 itu membuat kondisi perekonomian pun semakin bergejolak, seperti terlihat dari kondisi defisit anggaran hingga tahun 2015 mencapai angka Rp.-245.895(miliar). Lihat grafik 4.3

Defisit Anggaran (miliar rupiah)

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.3. Perkembangan Defisit Anggaran Periode 1981-2015 (Dalam Miliar Rupiah)

4.1.4. Perkembangan Tingkat Suku Bunga Riil di Indonesia

Untuk mengukur perbandingan suku bunga yang sesungguhnya di suatu Negara dengan Negara lain, biasanya digunakan tingkat suku bunga riil (real interest rate) yaitu tingkat suku bunga yang telah disesuaikan dengan laju inflasi. Di satu sisi, tingginya suku bunga riil memang menguntungkan bagi investor karena imbal hasil yang yang diperoleh lebih tinggi dari nilai riilnya namun sebaliknya akan berdampak negatif terhadap kreditur. Tingginya suku bunga riil juga memberatkan dunia usaha apalagi ditengah melambatnya pertumbuhan ekonomi.

Perkembangan tingkat suku bunga riil di Indonesia yang tidak wajar secara langsung dapat mengganggu perkembangan perekonomian. Karena disatu sisi, suku bunga yang tinggi akan meningkatkan hasrat masyarakat untuk menabung sehingga jumlah dana perbankan akan meningkat. Sementara itu, disisi lain suku bunga yang tinggi akan meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh dunia usaha sehingga mengakibatkan penurunan kegiatan produksi di dalam negeri. Menurunnya produksi pada gilirannya akan menurunkan pula kebutuhan dana oleh dunia usaha. Hal ini berakibat permintaan terhadap kredit perbankan juga menurun sehingga dalam kondisi suku bunga tinggi yang menjadi persoalan adalah kemana dana itu disalurkan (Pohan, 2008 : 53).

Dilihat dari grafik 4.5 perkembangan tingkat suku bunga dari tahun 1981-2015 memperlihatkan grafik yang mengalami naik turun yang signifikan. Pada tahun 1981 tingkat suku bunga berada di posisi 15.01 persen dan di tahun 1982 kondisi tingkat suku bunga sangat tinggi dari tahun sebelumnya yaitu 28.13%. Dan seterusnya sampai pada tahun 2010 keadaan tingkat suku bunga yang fluktuatif terjadi selama kurang lebih 28 tahun, dan di tahun 2010 pun tingkat suku bunga berada diposisi 8.11% merupakan posisi ketiga terendah selama 34 tahun terakhir. Dua tahun setelah tahun 2010, pada tahun 2012 merupaka tahun dimana kondisi tingkat suku bunga sangat rendah yaitu 5.47%. Sampai pada tahun 2015 kenaikan tingkat suku Dilihat dari grafik 4.5 perkembangan tingkat suku bunga dari tahun 1981-2015 memperlihatkan grafik yang mengalami naik turun yang signifikan. Pada tahun 1981 tingkat suku bunga berada di posisi 15.01 persen dan di tahun 1982 kondisi tingkat suku bunga sangat tinggi dari tahun sebelumnya yaitu 28.13%. Dan seterusnya sampai pada tahun 2010 keadaan tingkat suku bunga yang fluktuatif terjadi selama kurang lebih 28 tahun, dan di tahun 2010 pun tingkat suku bunga berada diposisi 8.11% merupakan posisi ketiga terendah selama 34 tahun terakhir. Dua tahun setelah tahun 2010, pada tahun 2012 merupaka tahun dimana kondisi tingkat suku bunga sangat rendah yaitu 5.47%. Sampai pada tahun 2015 kenaikan tingkat suku

Tingkat Suku Bunga Riil (persen)

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4.4.

Perkembangan Tingkat Suku Bunga Riil di Indonesia periode 1981-2015

(Dalam Persen)

4.2 Hasil Analisis Penelitian

Data yan digunakan dalam penelitian ini adalah data tahunan selama periode tahun 1980 sampai dengan tahun 2015. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Tabungan Nasional dan variabel independen dalam penelitian ini adalah pendapatan perkapita, defisit anggaran dan tingkat suku bunga riil. Penelitian ini menggunakan model Error Corection Model (ECM) dengan aplikasi eviews 8 untuk mempercepat perolehan hasil dengan metode analisis secara ekonometrik. Adapun hasil dari uji yang dilakukan sebagai berikut :

4.2.1 Hasil Uji Stasioneritas

4.2.1.1 Hasil Uji Akar Unit

Tahap awal dalam proses pengujian yang dilakukan adalah uji stasioneritas terhadap seluruh variabel yang diuji. Uji akar unit dipandang sebagai uji stasioneritas karena pengujian ini pada prinsipnya bertujuan untuk mengamatti apakah koefisien tertentu dari model otoegresif yang ditaksir mempunya nilai atau tidak (Yahya Hamja, 2008:20).

Uji akar-akar unit merupakan uji yang populer untuk mengetahui stasioner atau tidaknya sebuah data. Untuk menguji akar-akar unit pada penellitian ini digunakan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) yang dikembangkan oleh Dickey dan Fuller, yaitu dengan membandingkan nilai

ADF test statistic dengan MacKinnon critical value 1%, 5%, 10% (Gujarati, 2003:817). Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1

Uji Akar Unit Pada Tingkat Level

Critical Value

Variabel Nilai ADF Keterangan

LNSAV -1.554767

Tidak Stasioner LNYPC

Stasioner DA 2.118490

Stasioner BIRATE

Tidak Stasioner

Sumber: Output Eviews-8, data diolah

Tabel diatas menunjukkan hasil uji akar unit dengan menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF) Test . Dalam uji akar unit menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat data yang belum stasioner pada tingkat level. Data yang tidak stasioner disebabkan nilai ADF lebih kecil dari nilai Critical Value . Sehingga harus dilanjutkan pada tingkat berikut sampai data menjadi stasioner yaitu dengan menggunakan Uji Derajat Integrasi.

4.2.1.2 Hasil Uji Derajat Integrasi

Dalam uji ADF bila menghasilkan kesimpulan bahwa data tidak stasioner, maka di perlukan langkah untuk membuat data menjadi stasioner melalui proses diferensi data. Uji stasioner data melalui proses diferensi ini disebut uji derajat integrasi (Widarjono, 2007: 349).

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pada derajat atau order diferensi ke berapa (langkah pertama di atas), jika ternyata data tersebut tidak stasioner pada derajat nol. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.2

Tabel 4.2 Uji Stasioner ADF Pada Tingkat Diferensi Pertama

Critical Value

Variabel Nilai ADF Keterangan

LNSAV -5.135052

Stasioner LNYPC

Stasioner DA -8.240085

Stasioner BIRATE

Stasioner Sumber: Output Eviews 8.0 diolah

Tabel diatas merupakan hasil dari uji stasioneritas data pada tingkat diferensi pertama. Dimana hasil uji stasioneritas data pada tingkat diferensi pertama tersebut telah menunjukkan bahwa seluruh variabel telah stasioner, dimana data dapat dikatakan stasioner jika nilai ADF test lebih besar dari Critical Value 5% (ADFtest > CV 5%). Dengan stasionernya seluruh variabel yang diestimasi maka dapat dilanjutkan dengan melakukan pengujian kointegrasi.

4.2.2 Hasil Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi biasanya mengacu pada kombinasi linier variabel non stasioner. Definisi dari Engle and Granger, kointegrasi mengacu pada variabel yang terintegrasi pada orde (derajat) yang sama. Maka dari itu, sebelum Uji kointegrasi biasanya mengacu pada kombinasi linier variabel non stasioner. Definisi dari Engle and Granger, kointegrasi mengacu pada variabel yang terintegrasi pada orde (derajat) yang sama. Maka dari itu, sebelum

Uji kointegrasi dapat dijadikan penentuan estimasi yang digunakan memiliki keseimbangan dalam jangka penjang atau tidak. Dalam penelitian ini, uji kointegrasi digunakan untuk mengetahui ada tidaknya keseimbangan dalam jangka panjang antara variabel dependen dengan variabel indepanden. Uji metode kointegrasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Johansen. Berikut adalah hasil pengujian kointegrasi:

Tabel 4.3 Hasil Pengujian Kointegrasi

Unrestricted Cointegrasi Rank Test (Trace)

Hypothesized

0.05 No. Of CE(s)

Critical Value Prob.**

0.0000 At most 1*

None* O.826470

0.0075 At most 2*

0.0177 At Most 3*

Trace test indicates 4 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level *denotes rejecton of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug_Michelis (1999) p-values

Cointegrating Equation(s) Normalized cointegrating coeficients (standard error in parentheses)

DA BIRATE

Sumber: Output Eviews 8.0 diolah

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa nilai trace statistic lebih besar dari nilai kritis sebesar 5 persen. Kesimpulannya adalah tolak H o, yang artinya terdapat hubungan jangka panjang antara Tabungan Nasional dengan variabel yang mempengaruhinya yaitu Pendapatan perkapita, Defisit anggaran dan Tingkat Suku Bunga Riil. Selanjutnya dapat dibentuk persamaan jangka panjang dari hasil uji kointegrasi Johansen yaitu :

LNSAV = 868.6672 – 76.89617LNYPC – 0.002290DA – 6.627499SBRiil + ε (4.1)

4.2.3 Hasil Error Correction Model (ECM)

Dalam model ECM mengaharuskan bahwa beberapa variabel terdapat kointegrasi. Dinamika jangka pendek pada variabel di pengaruhi oleh penyimpangan dari jangka panjang . Jika kesenjangan jangka pendek relatif besar terhadap hubungan jangka panjang, maka jangka pendek perlu menutupi kesenjangan jangka panjang. (Enders, 2014:353).

Dengan ditemukannya hubungan jangka panjang antara variabel- variabel yang digunakan dalam pengujian kointegrasi di atas, maka langkah selajutnya adalah melakukan uji Error Correction Model (ECM). Uji model ECM ini dilakukan untuk mengetahui persamaan jangka pendek. Pembentukkan model ECM dimaksudkan untuk mengetahui perubahan variabel mana diantara pendapatan perkapita, defisit anggaran dan tingkat suku bunga yang memiliki pengaruh signifikan dalam jangka pendek terhadap tabungan nasional. Berikut adalah hasil pengujian ECM :

Tabel 4.4

Hasil Regresi Error Correction Model

Variabel

Coefficient

Std. Error

t-Statistic Prob

1.187334 0.2444 D(LNSAV)

C 0.165427

-0.238011 0.8135 D(DA)

0.489472 0.6281 D(BIRATE)

1.94E-06

3.96E-06

0.393953 0.6964 ECT (-1)

1.266873 Adjusted R-Squared

Prob (F-statistic)

Sumber: OutputEviews 8.0 diolah

Berdasarkan tabel 4.4 menunjukkan hasil estimasi model ECM menghasilkan nilai R- squared 0.144507 yang menunjukkan bahwa pendapatan perkapita, defisit anggaran dan suku bunga riil mampu menjelaskan tabungan nasional sebesar 14.45% sedangkan sisanya sebesar 85.55% dipengaruhi oleh variabel bebas lain akan tetapi tidak dimasukan dalam model penelitian.

Jika dilihat dari nilai probalitas masing masing variabel yaitu sebesar 0.8135, 0.6281 dan 0.6964 dengan α = 5% yang berarti probalitas > α = 5%. Hal ini menunjukkan bahwa pada jangka pendek pendapatan perkapita, defisit anggaran dan suku bunga riil tidak berpengaruh terhadap tabungan nasional.

Nilai probalitas ECT yang ditunjukkan pada hasil analisis ECM diatas yaitu sebesar 0.0582. Hal ini menunjukkan bahwa ECT sudah signifikan

dengan menggunakan level signifikansi α = 5% (0.05), oleh karena itu pengujian ECM ini sudah dikatakan valid.

Berdasarkan pada tabel 4.4 akan menunjukkan persamaan jangka pendek yaitu :

D(LNSAV) = 0.165427 – 0.064399 D(LNYPC) t + 1.94E-06 D(DA) t +

0.015964 D(SBRiil) - 0.230218 ECT +ε t (4.2)

4.2.4 Uji Asumsi Klasik

Pengujian asumsi klasik dalam penelitian ini meliputi: uji normalitas, uji multikolinieritas, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi. Adapun hasil pengujian yaitu sebagai berikut:

4.2.4.1 Uji Normalitas

Uji signifikansi pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen melalui uji t hanya akan valid jika residual yang di dapatkan mempunyai distribusi normal. Ada beberapa metode yang bisa digunakan untuk medeteksi apakah residual mempunyai distribusi normal atau tidak. Kriteria pengujian normalitas Jarque-Bera adalah jika nilai Jarque

Bera 2 < X kritis , maka data berdistribusi normal (H o ditolak), artinya lolos ujinormalitas; jika nilai 2 Jarque-Bera > X

kritis , maka data tidak berdistribusi normal (H a ditolak), artinya data bermasalah atau tidak normal. (Widarjono, 2007:53).

Series: Residuals

Sample 1980 2015 Observations 36

Mean

-1.43e-15

Median -0.156662 Maximum

Minimum -2.150477 Std. Dev.

Skewness 0.060232 Kurtosis

Gambar 4.1 Hasil Uji Jarque-Bera

Berdasarkan gambar 4.1 dapat dilihat bahwa nilai Jarque-Bera sebesar 3.265349. Berdasarkan nilai Jarque- Bera (3.265349) > α (0.05), maka data tersebut dinyatakan berdistribusi normal, sehingga bisa dilanjutkan ke pengujian selanjutnya.

4.2.4.2 Uji Multikolinieritas

Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahhui ada tidaknya hubungan (korelasi) yang signifikan diantara dua atau lebih variabel independen dalam model regresi. Deteksi adanya multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan uji korelasi persial antar variabel independen. Dengan melihat nilai koefisien korelasi (r) antara variabel independen, dapat diputuskan apakah data terkena multikolinearitas atau tidak, yaitu dengan menguji koefisien korelasi antara variabel independen. Menurut Widarjono (2013:104) dikatakan terjadi multikolinieritas jika koefisien korelasi cukup Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahhui ada tidaknya hubungan (korelasi) yang signifikan diantara dua atau lebih variabel independen dalam model regresi. Deteksi adanya multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan uji korelasi persial antar variabel independen. Dengan melihat nilai koefisien korelasi (r) antara variabel independen, dapat diputuskan apakah data terkena multikolinearitas atau tidak, yaitu dengan menguji koefisien korelasi antara variabel independen. Menurut Widarjono (2013:104) dikatakan terjadi multikolinieritas jika koefisien korelasi cukup

Tabel 4.5 Hasil Uji Multikolinearitas

DA SBRiil LNYPC

DA -0.722813

Sumber: Output Eviews 8.0 diolah

Dari tabel 4.5 dapat dilihat bahwa hasil uji multikolinieritas dengan menggunakan Correlation Matrix menunjukkan tidak terdapat nilai koefisien korelasi yang lebih besar dari 0.89. Hal ini berarti tidak tolak H o yang artinya tidak terjadi multikolinieritas.

4.2.4.3 Uji Heterokedastisitas

Dalam persamaan regresi berganda perlu juga diuji mengenai sama atau tidak varians residual dari observasi yang satu dengan observasi yang lain. jika residualnya mempunyai varians yang sama disebut homokedastisitas dan jika variansnya tidak sama atau berbeda disebut heteroskedastisitas (Gujarati, 2010:84). Persamaan regresi dikatakan baik jika tidak terjadi heteroskedastisitas. Salah satu pengujian yang digunakan untuk mendeteksi heteroskedastisitas adalah uji white heteroskedasticity . Pengujian Dalam persamaan regresi berganda perlu juga diuji mengenai sama atau tidak varians residual dari observasi yang satu dengan observasi yang lain. jika residualnya mempunyai varians yang sama disebut homokedastisitas dan jika variansnya tidak sama atau berbeda disebut heteroskedastisitas (Gujarati, 2010:84). Persamaan regresi dikatakan baik jika tidak terjadi heteroskedastisitas. Salah satu pengujian yang digunakan untuk mendeteksi heteroskedastisitas adalah uji white heteroskedasticity . Pengujian

Tabel 4.6 Hasil Uji Heteroskedatisitas

Heteroskedasticty Test: White Obs*R-Squared

0.7067 Sumber: Output Eviews 8.0 diolah

Prob. Chi-Square

Berdasarkan tabel 4.6 dapat dilihat hasil uji white heteroskedasticity menunjukkan nilai probalitas sebesar 0.7067 lebih besar

dari nilai α yaitu sebesar 0.05. Hal ini berarti tidak tolak H o yang artinya tidak terdapat heteroskedastisitas.

4.2.4.4 Uji Autokorelasi

Persamaan regresi yang baik adalah tidak memiliki masalah autokorelasi. Jika terjadi auutokorelasi maka persamaan tersebut menjadi tidak baik/tidak layak dipakai prediksi. Istilah autokorelasi adalah korelasi antara anggota seri dari observasi-observasi yang diurutkan berdasarkan waktu. Autokorelasi merupakan korelasi anatara satu variaebl gangguan dengan variabel gangguan lain (Gujarati, 2010:85). Untuk menguji ada tidaknya autokorelasi dalam penelitian ini , digunakan LM-test .

Tabel 4.7 Hasil Uji Autokorelasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared 19.90775

Prob.Chi-Square

Sumber: Output Eviews 8.0 diolah

Pada Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa nilai probalitas yang dihasilkan sebesar 0.0000 lebih kecil dari nilai α sebesar 0.05. hal ini berarti diterima H o

yang artinya terdapat autokorelasi. Maka dari itu kita menggunakan perbandingan Durbin Watson. Yang telah berhasil mengembangkan uji statistik berdasarkan persamaan yang disebut uji statistik Durbin Watson berhasil menurunkan nilai kritis bawah (d L ) dan batas atas (d U ) sehingga jika nilai d hitung terletak di luar nilai kritis ini maka ada tidaknya autokorelasi baik positif atau negatif dapat diketahui. Penentuan tidaknya adanya autokorelasi dapat dilihat dengan perbandingan antara DW < (4-dU) < dU, maka

DW < (4-dU) < dU 1.678165 < (4-1.7245) < 1.7245 1.678165 < 2.3 < 1.7245

Tidak terdapat autokorelasi dari hasil perbandingan sesuai dengan tabel Durbin Watson. (Agus Widarjono 160:2)

4.2.5 Pengujian Hipotesis Statistik

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan uji signifikansi individu (uji t), uji signifikansi bersama-sama (uji-f) dan koefisien

determinasi (R 2 ). Hasil pengujiannya yaitu sebagai berikut:

4.2.5.1 Hasil Uji t-Statistik (Uji-t)

Uji t digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen secara individu terhadap variabel dependen (Gujarati, 2010:150). Pengambilan keputusan uji hipotesis secara individu dengan kriteria sebagai berikut:

a. Jika t hitung > t tabel atau probalitas < α = 5%, maka hipotesis statistik atau H o ditolak, konsekuensinya yaitu H a diterima. Artinya variabel pendapatan perkapita, defisit anggaran dan suku bunga riil berpengaruh signifikan terhadap tabungan nasional.

b. Jika t hitung < t tabel atau probalitas > α = 5%, maka hipotesis statistik atau H a ditolak, konsekuensinya yaitu H o diterima. Artinya variabel pendapatan perkapita, defisit anggaran dan suku bunga riil tidak berpengaruh signifikan terhadap tabunngan nasional.

Untuk persamaan jangka panjang taraf signifikan α = 5% dan derajat kebebasan: df = (n-k), dimana n = 36 dan k = 4. Maka df = (36-4) = 32.

Tabel 4.8 Hasil Uji t (Jangka Panjang)

Signifikan SBRiil

Sumber: Output Eviews 8.0 diolah.

Maka Hipotesis dari uji t jangka panjangnya adalah : Maka Hipotesis dari uji t jangka panjangnya adalah :

H o :β i < 0, artinya variabel pendapatan perkapita tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap tabungan nasional.

H a : β i > 0, artinya variabel pendapatan perkapita berpengaruh positif dan signifikan terhadap tabungan nasional. Jika nilai t hitung >t tabel atau -t hitung <-t tabel pada batas nilai α = 5%, maka tolak

H o . Nilai t hitung untuk variabel nilai tukar adalah 6.378619. Sehingga, lebih besar dari t tabel -nya, maka H o ditolak dengan konsekuensi H a diterima. Artinya, yaitu terdapat pengaruh variabel pendapatan perkapita secara positif dan signifikan terhadap tabungan nasional dalam jangka panjang.

b. Defisit Anggaran

H o : β i > 0, artinya variabel defisit anggaran tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap tabungan nasional.

H a :β i < 0, artinya variabel defisit anggaran berpengaruh positif dan signifikan terhadap tabungan nasional. Jika nilai t hitung >t tabel atau -t hitung <-t tabel pada batas nilai α = 5%, maka tolak

H o . Nilai t hitung untuk variabel nilai inflasi adalah 4.490196. Sehingga, lebih besar dari t tabel -nya, maka H o ditolak dengan konsekuensi H a diterima. Artinya, yaitu terdapat pengaruh variabel defisit anggaran secara positif dan signifikan terhadap tabungan nasional dalam jangka panjang.

c. Suku Bunga Riil

H o : β i < 0, artinya variabel suku bunga riil tidak berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap tabungan nasional.

H a : β i > 0, artinya variabel suku bunga riil berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap tabungan nasional. Jika nilai t hitung >t tabel atau -t hitung <-t tabel batas nilai α = 5%, maka tolak H o . Nilai t hitung untuk variabel nilai suku bunga riil adalah 2.048559. Sehingga, lebih kecil dari t tabel -nya, maka H o diterima dengan konsekuensi H a ditolak. Artinya, variabel suku bunga riil memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap investasi tabungan nasional dalam jangka panjang.

Untuk persamaan jangka pendek taraf signifikansi α = 5% dan derajat kebebasan: df = (n-k), dimana n = 36 dan k = 4. Maka df = 36 – 4 = 32

Tabel 4.9 Hasil Uji t (Jangka Pendek)

Tidak Signifikan

Tidak Signifikan SBRiil

Tidak Signifikan

Sumber: Output Eviews 8.0 diolah Maka Hipotesis dari uji t jangka pendeknya adalah :

a. Nilai Tukar

H o :β i > 0, artinya variabel pendapatan perkapita tidak berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap tabungan nasional.

H a :β i < 0, artinya variabel pendapatan perkapita berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap tabungan nasional. Jika nilai t hitung > t tabel atau -t hitung <-t tabel pada batas nilai α = 5%, maka

tolak H o . Nilai t hitung untuk variabel pendapatan perkapita adalah -0.238011. Sehingga, lebih kecil dari t tabel -nya, maka H o diterima dengan konsekuensi H a ditolak. Artinya, yaitu variabel pendapatan perkapita memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap tabungan nasional dalam jangka pendek.

b. Defisit Anggaran

H o : β i < 0, artinya variabel defisit anggaran tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap tabungan nasional.

H a : β i > 0, artinya variabel defisit anggaran berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap tabungan nasional. Jika nilai t hitung >t tabel atau -t hitung <-t tabel pada batas nilai α = 5%, maka tolak H o . Nilai t hitung untuk variabel nilai defisit anggaran adalah 0.489472. Sehingga, lebih kecil dari t tabel -nya, maka H o diterima dengan konsekuensi H a ditolak. Artinya, yaitu variabel defisit anggaran memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap tabungan nasional dalam jangka pendek.

c. Suku Bunga Riil

H o : β i > 0, artinya variabel suku bunga riil tidak berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap tabungan nasional.

H a : β 3 <0, artinya variabel suku bunga rill berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap tabungan nasional. Jika nilai t hitung >t tabel atau -t hitung <-t tabel pada batas nilai α = 5%, maka tolak H o . Nilai t hitung untuk variabel nilai suku bunga adalah 0.393953. Sehingga, lebih kecil dari t tabel -nya, maka H o diterima dengan konsekuensi H a ditolak. Artinya, yaitu variabel suku bunga riil memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhaadap tabungan nasional dalam jangka pendek

4.2.5.2 Hasil Uji F-Statistik (Uji F-hitung)

Pengujian ini akan memperlihatkan hubungan atau pengaruh variabel independen secara bersama sama terhadap variabel dependen (Widarjono 2013:73). Hipotesisnya adalah:

H o :β 1 ,β 2 ,β 3 = 0, artinya variabel pendapatan perkapita, defisit anggaran dan suku bunga riil tidak berpengaruh signifikan terhadap tabungan nasional.

H a :β 1 ,β 2 ,β 3 ≠ 0, artinya artinya variabel pendapatan perkapita, defisit anggaran dan suku bunga riil berpengaruh signifikan terhadap tabungan nasional. Ketentuan dengan menggunakan taraf signifikan α = 5% dan derajat bebas: df

1 = (k-1), df 2 = (n-k), dimana df 1 = (4-1) = 3 dan df 2 (36 – 4) = 32

Tabel 4.10 Hasil Uji F Jangka Pendek dan Jangka Panjang

F hitung F tabel Kesimpulan Jangka Panjang

Jangka Pendek

Tidak Signifikan

Sumber: Output Eviews 8.0 diolah

Pada tabel 4.10 pada jangka panjang menunjukkan F hitung >F tabel keputusannya

H 0 ditolak konsekuensinya H a diterima. Artinya, yaitu terdapat pengaruh signifikan dari seluruh variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen dalam jangka panjang. Sedangkan dalam jangka pendek F hitung < F tabel keputusannya

H o diterima konsekuensinya H a ditolak Artinya, yaitu tidak terdapat pengaruh signifikan dari seluruh variabel independen secara bersama sama terhadap variabel dependen dalam jangka pendek.

4.2.5.3 Koefisien Determinasi (R 2 )

2 Koefisien determinasi (R ) bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan variabel independen menjelaskan variabel dependen dalam model

penelitian yang digunakan

Tabel 4.11 Hasil Koefisien Determinasi (R 2 )

Koefisien Determinasi 2 Nilai R

Jangka Panjang

Jangka Pendek

Sumber: Output Eviews 8.0 diolah

Berdasarkan hasil regresi besarnya angka R square dalam jangka pendek sebesar 14.4507%. Hal ini menunjukkan bahwa variabel pendapatan perkapita, defisit anggara dan suku bunga riil dapat menjelaskan pengaruhnya terhadap tabungan nasional sebesar 14.4507% dalam jangka pendek dan sisanya sebesar 85.5493% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak digunakan dalam penelitian ini.

Sedangkan untuk koefisien determinasi dalam jangka panjang besarnya R Square 98.8238%. Hal ini menunjukkan bahwa variabel nilai pendapatan perkapita, defisit anggaran dan suku bunga riil dapat menjelaskan pengaruhnya terhadap tabungan nasional sebesar 98.8238% dalam jangka panjang dan sisanya sebesar 1.177% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak digunakan dalam penelitian ini.

4.3 Interprestasi Hasil dan Pembahasan

Setelah dilakukan pengujian dengan menggunakan Error Correction Model (ECM) maka dapat diambil kesimpulan untuk persamaan jangka panjang dan jangka pendek didapat hasil sebagai berikut:

a. Persamaan Jangka Panjang

LNSAV = 868.6672 – 76.8967 LNYPC – 0.002290 DA – 6.627499 SBRiil + ε t

Koefisien jangka panjang

Koefisien konstanta sebesar 868.6672, artinya apabila pendapatan perkapita, defisit anggaran dan suku bunga riil adalah sama dengan nol, maka tabungan nasional sebesar Rp. 868.6672 dalam jangka panjang.

Koefisien pendapatan perkapita sebesar -76.8967, artinya apabila variabel

X 1 (pendapatan perkapita) naik 1 persen, maka tabungan nasional melemah sebesar Rp.76.8967 miliar dalam jangka panjang. Koefisien defisit anggaran sebesar -0.00290, artinya apabila variabel

X 2 (defisit anggaran) naik 1 persen, maka tabungan nasional melemah sebesar Rp.0.00290 miliar dalam jangka panjang. Koefisien suku bunga sebesar -6.627499, artinya apabila variabel X 3 (suku bunga riil) naik 1 persen, maka tabungan nasional melemah sebesar Rp. 6.627499 dalam jangka panjang.

b. Persamaan Jangka Pendek D(LNSAV) = 0.165427 – 0.064399 D(LNYPC) + 1.94E-06 D(DA) + 0.015964

D(SBRiil) - 0.230218 ECT +ε t

Koefisien jangka pendek

Koefisien konstanta sebesar 0.165427, artinya apabila pendapatan perkapita, defisit anggaran dan suku bunga riil adalah sama dengan nol, maka tabungan nasional sebesar Rp. 0.165427 dalam jangka pendek.

Koefisien pendapatan perkapita sebesar -0.064399, artinya apabila variabel X 1 (pendapatan perkapita) naik 1 persen, maka tabungan nasional melemah sebesar Rp. 0.064399 dalam jangka pendek.

Koefisien defisit anggaran sebesar 1.94E-06, artinya apabila variabel

X 2 (defisit anggaran) naik 1 persen, maka tabungan nasional menguat sebesar Rp. 1.94E-06 dalam jangka pendek. Koefisien suku bunga riil sebesar -0.015964, artinya apabila variabel

X 3 (suku bunga riil) naik 1 persen, maka tabungan nasional melemah sebesar Rp. 0.015964 dalam jangka pendek. Selanjutnya untuk pengaruh masing masing variabel independen terhadap variabel dependen dapat dijelaskan sebagai berikut:

4.3.1 Pengaruh Pendapatan Perkapita Terhadap Tabungan Nasional

Hasil estimasi dengan model ECM ( Error Correction Model ) menunjukkan bahwa variabel pendapatan perkapita memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap tabungan nasional dalam jangka panjang yaitu dengan nilai koefisien sebesar -76.89617. Sedangkan dalam jangka pendek pendapatan perkapita memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap tabungan nasional dengan nilai koefisien sebesar -0.064399. Berdasarkan hasil uji signifikan parsial, nilai koefisien jangka panjang bernilai positif yang berarti apabila variabel pendapatan perkapita meningkat, maka tabungan nasional akan meningkat. Hasil uji signifikansi secara individu menunjukkan bahwa nilai koefisien pendapatan perkapita yaitu sebesar 6.378619 > 1.69726 maka H o ditolak. Artinya variabel pendapatan perkapita berpengaruh signifikan terhadap tabungan nasional dalam jangka panjang.

Sedangkan nilai koefisien jangka pendek bernilai negatif yang berarti apabila variabel pendapatan perkapita meningkat, maka tabungan nasional Sedangkan nilai koefisien jangka pendek bernilai negatif yang berarti apabila variabel pendapatan perkapita meningkat, maka tabungan nasional

Pendapatan dikemukakan oleh J.M. Keynes dalam teorinya menyatakan mengenai kecenderungan untuk mengkonsumsi ( propensity to consume ) yang secara ekplisit menghubungkan antara tabungan dengan pendapatan. Keynes menyatakan suatu fungsi konsumsi modern yang didasari oleh perilaku psikologis modern, yaitu apabila terjadi peningkatan pada pendapatan riil, peningkatan tersebut tidak digunakan seluruhnya untuk meningkatkan konsumsi, tetapi dari sisa pendapatan tersebut juga digunakan untuk menabung. (Mulyadi, 2009)

Syafri (2009:60) berdasarkan teori loanable fund ada beberapa faktor yang mempengaruhi tabungan. Faktor pertama adalah pendapatan, semakin besar pendapatan seseorang, semakin besar kemampuan seseorang tersebut untuk menabung. Faktor yang kedua adalah tingkat bunga, tingkat bunga meupakan balas jasa terhadap tabungan. Semakin besar tingkat bunga, semakin besar pula keinginan masyarakat ingin menabung.

Mengacu pada model sollow, suatu Negara akan memiliki tingkat pendapatan yang tinggi jika Negara tersebut menyisihkan sebagian besar pendpatannya ke tabungan dan investasi. Sebaliknya jika suatu Negara mengalokasikan tabungan dan investasi dalam jumlah yang kecil maka pendapatannya akan rendah (Putu Oktavia, 2005:14).

Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis penelitian dan diperkuat oleh penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Sekti WL (2005), M.Sofyan (2011) dan Budi.M (2009) dengan hasil bahwa pendapatan perkapita berpengaruh positif dan signifikan terhadap tabungan nasional.

4.3.2 Pengaruh Defisit Anggaran terhadap Tabungan Nasional

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh variabel defisit anggaran memiliki pengaruh negatif dan signifkan terhadap tabungan nasional yaitu dengan nilai konstanta sebesar -0.002290 dalam jangka panjang. Artinya bahwa ketika defisit anggaran meningkat sebesar 1 persen maka akan menyebabkan tabungan nasional menurun 0.002290 persen. Sedangkan dalam jangka pendek berpengaruh positif tidak signifikan dengan nilai konstanta sebesar 1.94E-06. Nilai koefisien jangka panjang bernilai positif yang berarti apabila variabel tabungan nasional menurun, maka tabungan nasional akan meningkat. Hasil dan uji signifikansi secara individu menunjukkan bahwa nilai nilai t hitung yaitu sebesar 4.490196 > 1.69726 maka H o ditolak, artinya variabel defisit anggaran berpengaruh signifikan terhadap tabungan nasional dalam jangka panjang.

Hasil uji signifikansi secara individu menunjukkan bahwa nilai t hitung

yaitu sebesar 0.489472 < 1.69726 maka H a ditolak. Artinya variabel defisit anggaran tidak berpengaruh signifikan terhadap tabungan nasional dalam jangka pendek.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Indonesia tidak terjadi equivalensi Ricardian ( full offset tabungan pemerintah menjadi tabungan swasta). Menurut Manurung (2006), menyatakan ketika terjadi defisit fiskal Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Indonesia tidak terjadi equivalensi Ricardian ( full offset tabungan pemerintah menjadi tabungan swasta). Menurut Manurung (2006), menyatakan ketika terjadi defisit fiskal

Menurut Sukirno (2007), defisit anggaran belanja pemerintah memiliki kecenderungan memperburuk ketidakseimbangan neraca pembayaran dan menaikkan harga valuta asing. Keadaan seperti akan menaikkan harga barang- barang impor dan menimbulkan inflasi (yang besumber dari kenaikkan harga barang-barang impor). Menurut Mankiw (2007), utang pemerintah atau defisit anggaran yang besar dapat mendorong ekspansi moneter yang berleihan dan karena itu, menyebabkan inflasi yang lebih besar. Tingkat utang pemerintah yang tinggi bisa menimbulkan resiko pelarian modal dan mengurangi pengaruh Negara tersebut di seluruh dunia.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis penelitian dan diperkuat oleh penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Budi Mulyadi (2009) menyatakan bahwa defisit anggaran tidak berpengaruh signifikan terhadap tabungan nasional.

4.3.3 Pengaruh Tingkat Suku Bunga Riil terhadap Tabungan Nasional

Berdasarkan hasil estimasi penelitian dapat dijelaskan pengaruh variabel suku bunga riil terhadap tabungan nasional, nilai koefisien dalam jangka panjang berpengaruh negatif dan signifikan dengan nilai koefisien Berdasarkan hasil estimasi penelitian dapat dijelaskan pengaruh variabel suku bunga riil terhadap tabungan nasional, nilai koefisien dalam jangka panjang berpengaruh negatif dan signifikan dengan nilai koefisien

Nilai koefisien jangka panjang bernilai positif yang berarti apabila variabel suku bunga riil meningkat, maka tabungan nasional akan meningkat. Hasil dan uji signifikansi secara individu menunjukkan bahwa nilai t hitung yaitu sebesar 2.048559 > 1.69726 maka H o ditolak. Artinya variabel suku bunga berpengaruh signifikan terhadap tabungan nasional.

Hasil dan uji signifikansi secara individu dalam jangka pendek menunjukkan bahwa nilai t hitung yaitu sebesar 0.393953 < 1.69726 maka H a

ditolak. Artinya variabel suku bunga tidak berpengaruh signifikan terhadap investasi asing langsung.

Menurut teori klasik, tabungan adalah fungsi dari tingkat bunga. Makin tinggi tingkat bunga makin tinggi pula keinginan masyarakat untuk menabung. Artinya, pada tingkat bunga yang lebih tinggi masyarakat akan lebih terdorong untuk mengorbankan atau mengurangi pengeluaran untuk konsumsi guna menambah tabungan (Nopirin,1986).

Tingkat bunga merupakan salah satu pertimbangan utama seseorang dalam memutuskan untuk menabung. Tabungan merupakan fungsi dari tingkat bunga. Tingkat bunga yang tinggi akan mendorong seseorang untuk menabung dan mengorbankan konsumsi di masa yang akan datang. (Smithin, 1994 dalam Reni dan Rina, 2006). Tingginya minat masyarakat untuk Tingkat bunga merupakan salah satu pertimbangan utama seseorang dalam memutuskan untuk menabung. Tabungan merupakan fungsi dari tingkat bunga. Tingkat bunga yang tinggi akan mendorong seseorang untuk menabung dan mengorbankan konsumsi di masa yang akan datang. (Smithin, 1994 dalam Reni dan Rina, 2006). Tingginya minat masyarakat untuk

Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis penelitian dan diperkuat oleh penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hanifeliza (2004), Fihris B.B(2009) dan Ahmad Hidayah Dalimunthe, Mumi Daulay, Irsyad Lubis, dan Iskandar Syarif menyatakan bahwa tingkat suku bunga riil berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap tabungan nasional. Dan diperjelas oleh Tri Wahyu Rejekiningsih dan Bantul Hayati (2004) yang menyatakan bahwa suku bunga memiliki pengaruh dalam hubungan jangka pendek terhadap tabungan swasta, tabungan daerah, dan tabungan pemerintah.

Selain itu pengaruh suku bunga terhadap tabungan juga pernah diteliti oleh Poppy Marieskha (2009), Syarif (2009), Ade Komaluddin, Appip Supriadi dan Dede (2008) yang mendapatkan hasil bahwa variabel suku bunga berpengaruh tehadap tabungan.

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka disimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam analisis jangka panjang variabel pendapatan perkapita memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap tabungan nasional di Indonesia dalm jangka panjang, hal ini berlawanan dengan hipotesis awal dikarenakan hubungan antara pendapatan perkapita dengan tabungan nasional adalah positif dan signifikan. Artinya apabila tabungan meningkat juga akan meningkatkan tabungan nasional. Sedangkan dalam jangka pendek variabel pendapatan perkapita dengan tabungan nasional memiliki pengaruh negatif tidak signifikan. Artinya apabila pendapatan menurun akan menurunkan tabungan nasional.

2. Dalam analisis jangka panjang variabel defisit anggaran memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap tabungan nasional di Indonesia. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal artinya apabila variabel defisit anggaan menurun akan meningkatkan tabungan nasional. Sedangkan dalam jangka pendek variabel defisit anggaran berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap tabungan nasional di Indonesia. Artinya dalam jangka pendek apabila defisit anggaran menurun akan

3. Dalam analisis jangka panjang variabel suku bunga riil memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap tabungan nasional di Indonesia. Sedangkan dalam jangka pendek variabel tingkat suku bunga riil memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap tabungan nasional di Indonesia. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yang signifikan, dimana variabel tingkat suku bunga riil memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap tabungan nasional di Indonesia.

4. Secara simultan variabel pendapatan perkapita, defisit anggaran dan tingkat suku bunga riil memiliki pengaruh positif signifikan terhadap tabungan nasional dalam jangka panjang. Sedangkan dalam jangka pendek variabel pendapatan perkapita, defisit anggaran dan tingkat suku bunga riil memiliki pengaruh positif dan signifikan.

5. Besar pengaruh dari variabel-variabel independen makro ekonomi terhadap variabel dependen tabungan dalam jangka pendek adalah sebesar 14.4507% dan untuk jangka panjang sebesar 98.8238% dan sisanya menggambarkan pengaruh dari variabel di lua model.

5.2 Saran

Ada beberapa saran yang dapat diberikan sehubungan dengan penelitian ini yaitu :

1. Berdasarkan hasil uji Error Correction Model (ECM) untuk jangka pendek variabel pendapatan, defisit anggaran dan tingkat suku bunga riil berpengaruh signifikan terhadap variabel tabungan nasional, oleh karena itu pemerintah melakukan usaha menjaga nilai tabungan.

2. Peran pemerintah sangat dierlukan dalam peningkatan pendapatan perkapita, diharapkan pemerintah dapat memberikan kebijakan-kebijakan yang meringankan pelaku usaha agar kenaikan PDB lebih tinggi daipada keaikan jumlah populasi, karena pendapatan perkapita itu timbul karena pembagian antara PDB dengan jumlah populasi.

3. Pemerintah pusat dan daerah harus membenahi birokrasi mereka agar lebih fleksibel dan tetap menjaga akuntabilitas untuk mengoptimalkan penyerapan pengeluaran pemeintah yang tercermin pada defisit anggaran. Hal ini perlu dilakukan mengingat pengeluaran pemerintah tersebut harus dapat memberikan konstribusi besar bagi pembangunan nasional dan dalam jangka panjang defisit anggaan dapat menyebabkan dampak negatif bagi perkembangan tabungan nasional di Indonesia.