Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian

17.2.1 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian

Pada survei ini interpretasi dari skor yang digunakan adalah sebagai berikut: Pemeriksa membisikkan kalimat sederhana dan responden diminta mengulanginya. Jika

responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “0”. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu kalimat dengan volume suara normal dan responden kembali diminta mengulanginya. Jika

responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “1” 

pendengaran NORMAL. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu

kalimat dengan volume suara yang lebih keras dan responden kembali diminta mengulanginya dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “2”  gangguan pendengaran ringan.

Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan meneriakkan satu kalimat pada telinga dengan fungsi pendengaran lebih baik dan responden kembali diminta mengulanginya dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “3  gangguan pendengaran sedang.

Jika responden tidak dapat mengikuti teriakan kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “4”  ketulian.

Dalam Riskesdas 2013 diperoleh prevalensi gangguan pendengaran tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas (36,6%), disusul oleh kelompok umur 65-74 tahun (17,1%). Angka prevalensi terkecil berada pada kelompok umur 5-14 tahun dan 15-24 tahun (masing-masing 0,8%) sesuai Tabel 17.1. Prevalensi tertinggi ketulian terdapat pada kelompok umur yang sama dengan gangguan pendengaran, yaitu umur ≥75 tahun (1,45%), begitu pula dengan prevalensi terkecil terdapat pada kelompok umur 5-14 tahun dan 15-24 tahun (masing-masing 0,04%). Prevalensi responden dengan gangguan pendengaran pada perempuan cenderung sedikit lebih tinggi daripada laki-laki (2,8%:2,4%), begitu juga prevalensi ketulian prevalensi perempuan 0,10 persen dan laki-laki 0,09 persen.

Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian tertinggi ditemukan pada kelompok tingkat pendidikan tidak sekolah (8,0% gangguan pendengaran dan 0,38% ketulian). Gangguan pendengaran pada kelompok responden tidak bekerja memiliki angka prevalensi tertinggi, yaitu 3,4 persen, disusul oleh petani/nelayan/buruh sebesar 3,3 persen. Prevalensi gangguan pendengaran terendah ditemukan pada kelompok pegawai (1,0%). Prevalensi ketulian tertinggi ditemukan pada kelompok responden tidak bekerja (0,15%) dan terendah pada pegawai (0,02%).

Terdapat perbedaan angka prevalensi ketulian dan gangguan pendengaran menurut tempat tinggal. Di perkotaan diperoleh prevalensi gangguan pendengaran sebesar 2,2 persen dan prevalensi ketulian 0,09 persen. Prevalensi gangguan pendengaran di perdesaan cenderung sedikit lebih tinggi, yaitu sebesar 3 persen dan prevalensi ketulian 0,1 persen.

Tabel 17.5

Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi

menurut karakteristik, Indonesia 2013

Karakteristik

Ketulian Kelompok Umur (tahun)

Gangguan pendengaran

1,45 Jenis kelamin Laki-laki

0,10 Pendidikan Tidak sekolah

0,38 Tidak tamat SD

0,12 Tamat SD

0,08 Tamat SMP

0,04 Tamat SMA

0,03 Tamat PT

0,04 Pekerjaan Tidak bekerja

0,03 Petani/nelayan/buruh

0,10 Tempat tinggal Perkotaan

0,10 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah

0,14 Menengah bawah

0,08 Menengah atas

Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian memiliki pola yang sama menurut kuintil indeks kepemilikan, yaitu semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin kecil prevalensi gangguan pendengaran dan ketuliannya. Pada kuintil indeks kepemilikan terbawah ditemukan prevalensi gangguan pendengaran tertinggi (4,1%) dan prevalensi ketulian tertinggi (0,14%). Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian terendah ditemukan pada kuintil indeks kepemilikan teratas (berturut-turut 1,6% dan 0,07%).

*) Berdasarkan tes konversasi

Prevalensi gangguan pendengaran penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut

provinsi, Indonesia 2013

Berdasarkan provinsi, prevalensi gangguan pendengaran tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (3,7%), dan terendah di Banten (1,6%). Terdapat sembilan provinsi dengan prevalensi gangguan pendengaran yang lebih besar dari rata-rata nasional (2,6%), seperti terlihat pada Gambar 3.15.8.

*) Berdasarkan tes konversasi

oron G

IND

Gambar 17.9

Prevalensi ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut provinsi,

Indonesia 2013

Gambar 17.9 menunjukkan prevalensi ketulian Indonesia sebesar 0,09 persen dan terdapat dua provinsi yang mempunyai prevalensi ketulian sama dengan angka nasional, yaitu Bengkulu dan Maluku Utara. Provinsi dengan prevalensi ketulian diatas rata-rata nasional sejumlah 15 provinsi dan prevalensi ketulian tertinggi ditemukan di Maluku (0,45%), sedangkan yang terendah di Kalimantan Timur (0,03%).

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Dominating Set Dan Total Dominating Set Dari Graf-Graf Khusus

5 80 24

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Integrated Food Therapy Minuman Fungsional Nutrafosin Pada Penyandang Diabetes Mellitus (Dm) Tipe 2 Dan Dislipidemia

5 149 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103