Deteksi Residu Antibiotika Pada Karkas, Organ Dan Kaki Ayam Pedaging Yang Diperoleh Dari Pasar Tradisional Kabupaten Tangerang

(1)

DETEKSI RESIDU ANTIBIOTIKA PADA

KARKAS, ORGAN DAN KAKI AYAM

PEDAGING YANG DI PEROLEH DARI PASAR

TRADISIONAL KABUPATEN TANGERANG

MARTALENI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

ABSTRAK

MARTALENI. Deteksi Residu Antibiotika pada Karkas, Organ dan Kaki Ayam Pedaging yang di peroleh dari Pasar Tradisional Kabupaten Tangerang. Dibimbing oleh ROCHMAN NAIM dan HADRI LATIF

Kebutuhan produk pangan asal hewan terus meningkat disebabkan peningkatan pengetahuan dan pergeseran gaya hidup. Daging Ayam harus aman dan siap untuk dikonsumsi masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya residu antibiotika pada karkas, organ dan kaki ayam pedaging. 31 (tiga puluh satu ekor) sampel ayam pedaging yang diambil secara random dikumpulkan dari 6 pasar tradisional. Pengujian residu antibiotika dengan metoda kualitatif screening test menggunakan pengujian hambat agar. Bacillus

subtillis (ATCC 6633), Bacillus cereus (ATCC 11778), Bacillus

calidolactis (C-953 Nizo) and Micrococcus luteus (ATCC 9341)

sebagai strain bakteri yang direferensi.

Hasil pengujian terhadap karkas, organ dan kaki ayam pedaging di Laboratorium Kesmavet DKI tidak ditemukan residu antibiotika. Hal ini juga didukung data skunder pada tahun 2004-2005, sebanyak 431 sampel daging ayam yang diperiksa di Laboratorium Kesmavet DKI hanya 1 sampel (0,0023%) yang positif dan Laboratorium BPMPP sebanyak 226 sampel daging dan hati ayam hasilnya 6 sampel (0,027%) yang positif.

Tidak ditemukannya residu antibiotika pada karkas, organ dan hati ayam pedaging dimungkinkan, Farmakokinetika obat yaitu, fase farmakokinetika berupa, absorpsi, transport, biotransformasi, distribusi dan ekskresi. Tuntutan konsumen akan produk ternak yang sehat, aman dan terbebas dari residu antibiotika telah mengajak ilmuwan untuk mencari alternatif zat tambahan pakan yang aman.


(3)

ABSTRACT

MARTALENI. Detection of Antibiotic Residue on Carcas, Edible and Broiler Leg Chicken Obtained from Tangerang District Traditional Market. Under the direction of ROCHMAN NAIM and HADRI LATIF

The need of food product from animal kept increasing, it was caused of the advance in and the transition of life style. Chicken meat must have been safe and suitable for human consumption. This research was to find out the existence of antibiotic residue on carkas, edible and broiler leg. A total of 31 samples were randomly collected from 6 (six) traditional markets.

The samples were qualitatively screened for antibiotic residues using the agar inhibition test. Bacillus subtillis (ATCC 6633), Bacillus cereus (ATCC 11778), Bacillus calidolactis (C-953 Nizo) and Micrococcus luteus (ATCC 9341) as the reference bacterial strain. The test results of carcas, edible and broiler leg in Kesmavet laboratory of DKI Jakarta didn’t find the antibiotic residue. It was also supported by secondary data in the year of 2004-2005, as many as 431, chicken meat was samples which were examined in Kesmavet Laboratory of DKI Jakarta, there was only one sample (0,0023 % ) which was positive and BPMPP laboratory, there were as many as 226 meat and liver of chickens, the results were 6 samples (0,027%) which were positive.

There was no finding antibiotic residue on carcas, edible and chicken liver of broiler which may possibly be caused of the Pharmacokinetics drug that was pharmacokinetic fase consist of the absorption, transportation, biotransformation, distribution and exretion. The demand of consumer for animal products which were healthy, safe and free of antibiotic residue had brought scientists to look for the alternatives of feed additive element that were safe.


(4)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya


(5)

DETEKSI RESIDU ANTIBIOTIKA PADA KARKAS,

ORGAN DAN KAKI AYAM PEDAGING YANG

DI PEROLEH DARI PASAR TRADISIONAL

KABUPATEN TANGERANG

MARTALENI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(6)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :

” DETEKSI RESIDU ANTIBIOTIKA PADA KARKAS, ORGAN, DAN KAKI AYAM PEDAGING YANG DI PEROLEH DARI PASAR

TRADISIONAL KABUPATEN TANGERANG ”

Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juni 2007

Martaleni


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Aceh Timur pada tanggal 14 Nopember 1967 dari ibu Hj. Anidar dan Bapak Bustami. Penulis merupakan putri keempat dari lima bersaudara. Tahun 1986 penulis lulus dari SMA Negeri Aceh Timur dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SIPENMARU). Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan dan meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 1992 dan lulus Dokter Hewan di tahun 1993. Pada tahun 2004, penulis diterima di Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner pada Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis bekerja sebagai Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Poskeswan Caringin di Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang.


(8)

Judul Tesis : Deteksi Residu Antibiotika pada Karkas, Organ dan Kaki Ayam Pedaging yang Diperoleh dari Pasar Tradisional Kabupaten Tangerang

Nama : Martaleni NIM : B551034144

Diketahui :

Tanggal Ujian : 21 Juni 2007 Tanggal Lulus : 1 Agustus 2007 Disetujui :

Komisi Pembimbing

drh. Rochman Naim, Ph.D Ketua

drh. Hadri Latif, MSi. Anggota

Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi.

Dekan Sekolah Pascasarjana


(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan bimbingan dan inayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2005 ini ialah Deteksi Residu Antibiotika pada Karkas, Organ, dan Kaki Ayam Pedaging yang Di Peroleh dari Pasar Tradisional Kabupaten Tangerang.

Terima Kasih Penulis Ucapkan kepada bapak drh. Rochman Naim, PhD. dan bapak drh. Hadri Latif, MSi. selaku pembimbing, bapak Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi, selaku ketua program studi atas bimbingan dan motivasinya serta bapak Prof. Dr.drh. H. Fachrian Pasaribu selaku dosen penguji luar komisi.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada bapak drh. H. Didi Aswadi, MM. Selaku Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang, atas kesempatan yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan program studi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, bapak, suami dan anak serta seluruh keluarga dan teman-teman atas segala doa dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2007


(10)

ii

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA... i

DAFTAR ISI... ii

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR GRAFIK... v

PENDAHULUAN Latar belakang... 1

Rumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Antibiotika ... 5

Mekanisme Kerja ... 6

Penggunaan Antibiotika di Peternakan ... 9

Penggunaan Antibiotika dalam Pakan ... 11

Penggunaan Antibiotika dalam Air Minum ... 17

Residu Antibiotika ... 19

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

Sampel Penelitian... 26

Alat dan Bahan... 26

Cara Pengujian Residu Antibiotika... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN... 36

KESIMPULAN DAN SARAN... 42


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Antibiotika Sebagai Imbuhan Pakan Ayam Pedaging ... 12

2. Jenis Antibiotika yang Sudah Terdaftar untuk Pengobatan ... 18

3. Standar Penghitungan Cawan ... 31

4. Standar Penghitungan Cawan ... 31

5. Rata-rata Zona Hambat Residu Antibiotika (Penisillin) Antara Daging (Paha, Dada, Sayap), Organ (Hati, Ginjal) dan Kaki Ayam Pedaging ... 36

6. Hasil Pengujian Residu Antibiotika (Laboratorium BPMPP) Tahun 2004 – 2005 ... 40

7. Hasil Pengujian Residu Antibiotika (Laboratorium Kesmavet DKI) Tahun 2004 – 2005 ... 41


(12)

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Tahap Resistensi ... 24 2. Bagan Penghitungan Spora ... 30 3. Distribusi Obat dalam Tubuh... 39


(13)

DAFTAR GRAFIK

Gambar Halaman

1. Rataan Zona Hambat Residu Antibiotika Golongan Penisilin,


(14)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebutuhan produk pangan asal hewan terus meningkat disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, peningkatan pengetahuan, pergeseran gaya hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat semakin membaik. Kontribusi terbesar dalam penyediaan daging secara Nasional umumnya berasal dari ternak unggas dan sapi potong. Produksi daging sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 rata-rata sekitar 59,96% berasal dari ternak unggas dan 21,29% berasal dari ternak sapi potong (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).

Berbagai penelitian telah dilakukan dalam rangka peningkatan efisiensi dan produktifitas peternakan, salah satunya adalah penggunaan antibiotika untuk pengobatan penyakit dan pemacu pertumbuhan. Kebutuhan antibiotika untuk pakan dan pengobatan tahun 2001 sebesar 502,27 ton, kemudian meningkat menjadi 5.574,16 ton pada tahun 2005 (Dirjenak, 2006). Dengan meningkatnya penggunaan antibiotika tersebut, maka meningkat pula manfaat dan resiko yang mungkin ditimbulkan. Resiko ini berupa residu antibiotika pada hasil-hasil ternak (daging, susu dan telur) akibat penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dengan dosis atau tidak memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time).

Penelitian Balai Penelitian Veteriner Bogor (Balitvet) terhadap residu antibiotika, telah berhasil mendeteksi residu oksitetrasiklin, tetrasiklin dan khlortetrasiklin pada daging ayam, telur dan susu dengan kadar melebihi batas maksimum residu (Bahri et al., 1992 dan Darsono et al., 1996). Yuningsih et al. (2005) melakukan penelitian tentang keberadaan residu antibiotika tilosin (golongan makrolida) dalam daging ayam yang berasal dari daerah Sukabumi, Bogor dan Tangerang, semua sampel daging ayam mengandung tilosin berkisar antara 0,0006 – 0,0845 µg/g, angka tersebut masih berada dibawah nilai batas maksimum residu.

Hasil pengujian residu antibiotika terhadap 20 sampel daging ayam yang diperoleh dari pasar swalayan dan pasar tradisional di Kabupaten Tangerang hanya satu sampel yang positif residu antibiotika golongan penisilin, tetrasiklin dan makrolida (Distannak, 2005).


(15)

Penelitian di lapang terhadap 30 peternakan ayam di Kabupaten Tangerang didapatkan bahwa hampir 50% antibiotika golongan tetrasiklin merupakan sediaan yang ditambahkan ke dalam pakan, hal ini dibuktikan dengan melakukan pemeriksaan terhadap pakan yang berasal dari peternakan ayam petelur dan pedaging (Distannak, 2006).

Menurut Bahri et al. (2005) hampir semua pabrik pakan menambahkan antibiotika ke dalam pakan komersial, sehingga sebagian besar pakan komersial yang beredar di Indonesia mengandung antibiotika. Penggunaan antibiotika yang kurang tepat ini dimungkinkan berkaitan dengan pola pemasaran obat hewan di lapangan, dimana 30,80% peternak ayam pedaging skala kecil dan 33,30% peternak ayam petelur skala kecil yang tidak mempunyai dokter hewan untuk mengawasinya, mendapat obat langsung dari distributor sehingga dikhawatirkan penggunaan obat-obatan tersebut tidak mengikuti aturan yang benar. Selain itu peternak kurang memahami waktu henti suatu obat sehingga mengakibatkan munculnya residu pada produk ternak (Peter et al., 2002 ; Bahri et al., 2005). Antibiotika tidak boleh dicampur dalam pakan dan tidak boleh dikombinasikan dengan vitamin, mineral dan asam amino yang dipakai melalui air minum kecuali, sesuai Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 806/Kpts/TN.260/12/94 tentang Klasifikasi obat hewan. Peraturan ini telah beberapa kali ditambah dan disempurnakan, jenis antibiotika yang direkomendasi sebagai bahan tambahan dalam pakan hewan yaitu, avilamisina, avoparsina, bacitrasin zink, enramisina, flavomycin (bambermisin), kitasamisin, kolistin sulfate, lasalosid, maduramisina, lincomisin HCl, monensin natrium, narasina, salinomisin (Na), spiramisin (embonate), virginiamisin.

Keberadaan residu antibiotika dalam bahan pangan asal hewan, dari aspek kesehatan masyarakat veteriner perlu mendapat perhatian, bahaya yang dapat ditimbulkannya terhadap kesehatan konsumen, seperti reaksi hipersensitifitas mulai dari yang ringan sampai parah, keracunan dan yang terpenting adalah peningkatan resistensi beberapa mikroorganisme patogen yang akan menimbulkan masalah besar dalam bidang kesehatan manusia maupun hewan (Phillips et al., 2004).


(16)

3

Secara ekonomi dampak yang ditimbulkan dari adanya residu dalam pangan asal hewan, menyebabkan kerugian ekonomi berupa penolakan produk terutama bila produk tersebut di ekspor ke negara yang konsisten dan serius dalam menerapkan sistem keamanan pangan (Crawford dan Franco, 1994).

Hasil penelitian Kadarwati et al. (1989) menunjukkan bahwa tiga jenis bakteri kokus (Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Streptococcus

betahaemolyticus) yang diisolasi dari kelompok anak sehat dan sakit di wilayah

Jakarta Timur telah resisten antibiotika, terutama tetrasiklin (53,3%), hal tersebut kemungkinan disebabkan tingginya tingkat terpaparnya tetrasiklin di masyarakat seperti pengobatan yang selalu menggunakan tetrasiklin karena memiliki spektrum yang luas.

Menurut hasil penelitian Hermawati (1997), pemakaian antibiotika kurang dari 50 gram/ton pakan tidak menimbulkan problem residu pada jaringan hewan, tetapi pemakaian tetrasiklin antara 200 – 1000 gram/ton pakan menghasilkan residu di jaringan ayam, sedangkan pemakaian lebih dari 500 gram/ton pakan menghasilkan residu dalam telur. Penggunaan klortetrasiklin pada pakan ayam pedaging yang diberikan selama 11 hari dapat menimbulkan residu sebanyak 0,49 – 0,88 µg/ml dalam serum, 1,5 – 3,0 µg/g dalam hati, 0,68 – 1,30 µg/g dalam daging dada dan 0,59 – 0,75 µg/g dalam jaringan lainnya.

Residu doksisiklin dalam daging dada, daging kaki, hati, ampela dan kulit ayam broiler yang diberikan doksisiklin 200 ppm selama 5 hari melalui air minum masih ditemukan berturut-turut sampai dengan hari ke 14, 13, 11 dan 10 setelah pengobatan terakhir. Pemanasan 80' C dan 100' C masing-masing selama 10, 20 dan 30 menit tidak dapat menginaktivasi 100% doksisiklin (kadar 0,04 µg/l, 0,32 µg/l dan 0,64 µg/l) dalam larutan dapar (Lukman, 1994).

Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menekan bahaya potensial yang diakibatkan residu pada manusia adalah dengan melakukan pemasakan jaringan hewan apabila hendak dikonsumsi. Hal ini akan menurunkan konsentrasi dari beberapa antibiotika seperti penisilin dan tetrasiklin. Beberapa antibiotika seperti kloramfenikol dan streptomisin bersifat lebih stabil terhadap panas (Crawford and Franco, 1994).


(17)

Pola konsumsi dan kegemaran masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi ayam pedaging, sehingga hampir semua bagian tubuh ayam pedaging dapat diolah untuk dimakan. Hal ini disebabkan daging ayam bernilai gizi tinggi, relatif murah dibanding harga daging yang lain, mudah didapat, dapat dimakan oleh pemeluk agama apapun, disukai semua golongan, jarang dipantang, kandungan kolesterolnya rendah dan di negara maju tergolong tingkat konsumsi protein hewani yang tinggi.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka dapat dibuat suatu rumusan yaitu, terdapat residu antibiotika pada karkas, organ dan kaki ayam pedaging.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya residu antibiotika pada karkas, organ dan kaki ayam pedaging.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi ilmiah tentang adanya residu antibiotika pada karkas, organ dan kaki ayam pedaging dan penentu kebijakan dalam pengawasan keamanan pangan asal hewan yang dimulai dari peternakan terutama berkaitan dengan residu antibiotika pada karkas, organ dan kaki ayam pedaging.

1.5 Hipotesis

Tidak ditemukan residu antibiotika pada karkas, organ dan kaki ayam pedaging.


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Antibiotika

Antibiotika adalah senyawa berat dengan molekul rendah yang membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagian besar antibiotika dihasilkan oleh mikroorganisme, khususnya Streptomyces spp. dan jamur (Mutschler, 1999; Salyers dan Whitt, 2005). Penggunaan antibiotika untuk terapi infeksi pada manusia dan hewan harus memenuhi sejumlah kriteria.

Antibiotika dapat dikelompokkan berdasarkan struktur dari antibiotika tersebut ataupun berdasarkan target kerjanya pada sel yaitu, broad spektrum, mempunyai kemampuan membunuh mikroorganisme dari berbagai spesies dan narrow spectrum hanya mampu membunuh mikroorganisme secara spesifik (Bezoen et al., 2000)

Terhadap sebagian besar penggunaan, antibiotika harus mempunyai aktivitas spektrum yang luas (Martin, 1992; Tjay dan Raharja, 2005). Bahwa antibiotika harus membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri dari tipe yang berbeda. Antibiotika broad spektrum berguna karena adanya gejala (simptom) yang sama yang disebabkan oleh bakteri dari spesies yang berbeda dan dari gejala yang muncul tidak mungkin menunggu isolasi, identifikasi organisme penyebab sebelum terapi dimulai (Nhiem, 2005; Salyers dan Whitt, 2005). Antibiotika broad spektrum mempunyai kekurangan, tidak hanya menyerang bakteri patogen tetapi juga mengurangi jumlah mikroflora usus (Focosi, 2005).

Setiap antibiotika harus mampu mencapai bagian tubuh dimana terjadinya infeksi. Beberapa antibiotika tidak diabsorpsi oleh saluran pencernaan, sementara masuk ke aliran darah tetapi tidak melintasi barrier darah otak dalam cairan spinal dan tidak masuk dalam sel fagosit (Phillips et al., 2004; Focosi, 2005).

Munculnya fenomena resistensi antibiotika pada bakteri patogen sangat berbahaya. Hal ini diduga dapat mengakibatkan terjadinya perpindahan sifat resistensi antibiotika bakteri dari ayam dan telur ke manusia dan lingkungan (Kusumaningsih, 2007). Adanya resistensi antibiotika bakteri pada ternak dan manusia dapat mengakibatkan kegagalan pengobatan penyakit yang disebabkan oleh bakteri (Phillips et al., 2004; Bahri et al., 2005)


(19)

2.2. Mekanisme kerja

Menurut Prescott dan Baggot (1997) dan Mutschler (1999), mekanisme kerja antibitotika dibagi dalam empat kategori, yaitu: menghambat sintesa dinding sel (antibiotika golongan beta-laktam, basitrasin dan vankomisin), menghambat sintesa protein (aminoglikosida, linkosamida, makrolida,

pleuromutilin dan tetrasiklin), merusak fungsi membran sel (polimiksin dan polyenes) dan menghambat fungsi asam nukleat (nitroimidazol, nitrofuran,

quinolondanrifampin).

2.2.1. Antibiotika Beta- laktam

Menurut Salyers dan Whitt (2005), antibiotika beta-laktam diberi nama berdasarkan 4 anggota cincin beta-laktam. Kelompok ini terdiri dari empat tipe utama yaitu, penisilin, sefalosporin, karbapenem dan monobaktam. Antibiotika ini tergolong yang paling besar digunakan. Masalah toksikologi utama golongan beta-laktam ini yaitu reaksi alergi yang terjadi akibat terbentuknya beta-laktam/ serum protein konyugasi yang mendapatkan peradangan respon immun. Seseorang yang alergi terhadap penisilin juga alergi terhadap sefalosporin dan karbapenem (Adam, 2002).

Mekanisme kerja antibiotika beta-laktam menghambat tahap akhir sintesa peptidoglikan, reaksi transpeptidase yang melintasi rantai tepi peptida sumber kekuatan peptidoglikan polisakarida (Prescott dan Baggot, 1997). Antibiotika ini juga mengikat dan menghambat aksi membran protein sitoplasmik lain yang merupakan tugas dalam sintesa peptidoglikan. Enzim transpeptidase dan protein lainnya dinamakan penisilin binding protein. Hasil dari beta-laktam terikat pada protein adalah menstimulasi enzim endogen yang didegradasi peptidoglikan (autolisin) (Focosi, 2005).

Secara normal katalisis enzim ini terjadi pada pergantian peptidoglikan dilakukan bakteri pada saat tumbuh dan membelah. Antibiotika beta-laktam melepaskan kontrol pada saat menyimpan enzim ini dan merangsang serangan lain dari peptidoglikan. Penghancuran peptidoglikan dari dinding sel menyebabkan bakteri lisis. Beta-laktam secara normal mempunyai sifat bakterisid


(20)

7

Adakalanya, jika bakteri pada tekanan osmosis yang tinggi dalam tubuh (ginjal) atau jika pH lingkungan mencegah aktifitas enzim autolitik, bakteri terhindar dari pengaruh antibiotika bheta-laktam. Antibiotika ini berpengaruh terhadap bakteri gram positif dan gram negatif (Adam, 2002). Pemberian secara oral hanya 5-30% dari dosis yang diserap, tergantung pada stabilitas asam dan ikatan pada makanan. Setelah penyerapan, penisillin tersebar luas dalam jaringan dan cairan tubuh.

2.2.2. Antibiotika Glikopeptida

Kelompok lain yang menghambat sintesa peptidoglikan adalah glikopeptida, ditunjukkan oleh vankomisin dan teikhoplanin. Antibiotika glikopeptida menghambat dua tahap akhir sintesa peptidoglikan yaitu, transglikosilasi dan transpeptidasi. Vankomisin terutama digunakan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan vankomisin sangat tidak efektif untuk bakteri gram negatif karena tidak mampu menembus bagian luar membran bakteri gram negatif (Adam, 2002 dan Focosi, 2005).

Menurut Salyers dan Whitt (2005), meskipun vankomisin mempunyai spektrum yang sempit, antibiotika ini diperlukan di klinik. Vankomisin penting untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh strain Staphylococcus aureus

yang resisten dengan antibiotika lain.

2.2.3. Antibiotika Tetrasiklin

Klortetrasiklin, oksitetrasiklin, tetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, adalah senyawa kristal yang sedikit larut dalam air pada PH 7. Tetrasiklin seperti aminoglikosida, target pada ribosom bakteri dan terikat pada 30S subunit. Meskipun sebagian besar tetrasiklin tidak diragukan lagi kerjanya mengganggu sintesa protein, beberapa kelompok baru yang ditemukan (selokardin) bekerja dengan cara mengganggu membran bakteri bukan dengan menghentikan sintesa protein. Tetrasiklin yang digunakan sebagai feed aditif untuk pemacu pertumbuhan pada ternak telah menyebabkan terjadinya resistensi antibiotika sehinggga penggunaan kelompok tetrasiklin dikurangi (Focosi, 2005).


(21)

2.2.4. AntibiotikaAminoglikosida

Menurut Jawetz (1996), aminoglikosida merupakan kelompok antibiotika dengan sifat kimia, antimikrobial, farmakologi dan toksisitas yang sama serta mempunyai polar basa organik. Kelompok ini terdiri dari streptomisin, kanamisin, gentamisin, tobramisin, apramisin, amikasin, dihidrosterptomisindanneomisin. Target antibiotika ini pada ribosom bakteri, aksi aminoglikosida dengan mengikat 30S subunit dari ribosom bakteri. Aminoglikosida bersifat bakterisid menyebabkan akumulasi 30S subunit toksik pada sel, efektif untuk sejumlah bakteri patogen. Penggunaan antibiotika ini dapat menghilangkan pendengaran dan merusak fungsi ginjal (Salyers dan Whitt, 2005).

Menurut Adam (2002) Aminoglikosida sedikit sekali diserap di saluran pencernaan, berikatan sangat rendah sampai ke protein plasma <25% dan mempunyai batas kapasitas masuk ke dalam sel dan menembus barrir sel.

2.2.5. Antibiotika Makrolida dan Linkosamida

Kelompok makrolida ini memiliki sedikit efek samping dan menghambat sintesa protein bakteri dengan mengikat sub unit 50S ribosom. Pengikatan ini menghambat pemanjangan protein oleh peptidiltransferase dan atau mencegah translokasi (Adam, 2002).

Makrolida bersifat bakteriostatik bagi kebanyakan bakteri tetapi bersifat bakterisid bagi beberapa bakteri gram positif. Antibiotika ini seperti tetrasiklin juga banyak digunakan pada hewan ternak. Penggunaan non klinik dari antibiotika ini berperan dalam penyebaran resistensi bakteri (Salyers and Whitt, 2005). Sedangkan antibiotika linkosamida berbeda tipe struktur dengan makrolida tetapi memiliki mekanisme kerja yang sama dengan makrolida dan kemungkinan mengikat ribosom pada atau dekat dengan tepi yang sama dengan makrolida.

2.2.6. Antibiotika Quinolon

Menurut Salyers dan Whitt (2005), quinolon menghambat replikasi DNA bakteri. Asam naliksik quinolon telah telah lama digunakan sebagai reagen laboratorium untuk menghambat replikasi DNA bakteri, tetapi tidak dianjurkan


(22)

9

menarik pada penggunaan klinik karena aktifitas antibakterinya dan sifat farmakologinya yang baik.

Quinolon bersifat bakterisid yang mengikat bheta sub unit DNA gyrase, ini adalah enzim yang penting bagi replikasi DNA. Pengikatan antibiotika menghambat aktifitas DNA gyrase. Antibiotika ini memiliki sedikit aktifitas terhadap streptococci yang sebagian besar merupakan mikroflora pada mulut, kolon dan traktus vaginalis. Kelompok ini sedikit mempengaruhi keberadaan mikroflora dibanding antibiotika lain (Phillips et al., 2004).

2.3. Penggunaan Antibiotika di Peternakan

Antibiotika digunakan untuk hewan sebagaimana digunakan pada manusia yaitu untuk mencegah dan mengobati infeksi. Manfaat pengobatan dengan antibiotika antara lain membasmi agen penyakit (Butaye et al., 2003), menyelamatkan hewan dari kematian, mengembalikan kondisi hewan untuk berproduksi kembali dalam waktu yang relatif singkat, mengurangi/ menghilangkan penderitaan hewan dan mencegah penyebaran mikroorganisme ke alam sekitarnya yang dapat mengancam kesehatan hewan dan manusia (Adam, 2002).

Penemuan antibiotika membawa dampak besar bagi kesehatan manusia dan ternak. Seiring dengan berhasilnya pengobatan dengan menggunakan antibiotika, maka produksinya semakin meningkat (Phillips et al., 2004). Pada industri peternakan pemberian antibiotika selain untuk pencegahan dan pengobatan penyakit, juga digunakan sebagai imbuhan pakan (feed additive) untuk memacu pertumbuhan (growth promoter), meningkatkan produksi, dan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan (Bahri et al., 2005).

Di Eropa ada beberapa antibiotika yang diperbolehkan digunakan sebagai imbuhan pakan seperti olaquinodik, basitrasin, flavomisin, monensin, salinomisin, tilosin, virginiamisin, avoprasin, dan avilamisin. Sejak tahun 1999, antibiotika olaquinodik, basitrasin, tilosin, dan virginiamisin sudah dilarang digunakan sebagai imbuhan pakan (Butaye et al., 2003).

Berdasarkan Feed Additive Compendium, ada beberapa antibiotika yang direkomendasikan digunakan sebagai imbuhan pakan pada pakan unggas dan


(23)

hewan lain, seperti penisilin, basitrasin, streptomisin, eritromisin, tilosin, neomisin, tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin, linkomisin, spiramisin, dan virginiamisin (Anonimus, 2002).

Pemanfaatan antibiotika sebagai imbuhan pakan ternak juga banyak digunakan di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor menunjukkan bahwa 71,43% (5/7) pabrik pakan di Kabupaten Bogor, Cianjur, Tangerang, Bekasi dan Sukabumi memberikan tambahan antibiotika golongan tetrasiklin dan sulfonamida pada produk pakan ayam (Bahri et al., 2005).

Berdasarkan pengamatan di lapang, antibiotika yang lazim digunakan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit antara lain streptomisin, kloramfenikol, doksisiklin, tetrasiklin, eritromisin, neomisin, tilosin, siprofloksasin, enrofloksasin, dan golongan sulfonamida. Antibiotika ini diberikan dalam air minum pada ayam-ayam yang menunjukkan gejala sakit atau setelah vaksinasi (Kusumaningsih, 2007).

Beberapa peneliti melaporkan bahwa dibutuhkan antibiotika dalam jumlah banyak untuk pengobatan, pencegahan, dan sebagai pemacu pertumbuhan pada ternak penghasil daging. Pada tahun 2001 dilaporkan bahwa, di Amerika Serikat setiap tahun membutuhkan sebanyak 900 ton antibiotika untuk pengobatan dan sebanyak 11.200 ton antibiotika untuk non pengobatan pada hewan, sedangkan antibiotika yang digunakan untuk pengobatan pada manusia hanya digunakan 1.300 ton (Phillips et al., 2004). Kebutuhan antibiotika untuk pakan dan pengobatan tahun 2001 sebesar 502,27 ton, kemudian meningkat menjadi 5.574,16 ton pada tahun 2005 (Ditjenak, 2006).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penggunaan antibiotika dalam dunia peternakan berkisar antara lain 80% digunakan untuk unggas, 75% pada peternakan babi, 60% pada peternakan sapi potong dan 75% antibiotika digunakan dalam peternakan sapi perah masyarakat (Crawford and Franco, 1994). Dari kenyataan di lapang, dipastikan bahwa pemakaian antibiotika pada peternakan ayam cenderung berlebihan dan kurang tepat. Beberapa peneliti mengkhawatirkan bahwa penggunaan antibiotika secara terus-menerus dan dalam


(24)

11

terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotika pada ternak (Butaye et al.,

2003).

Menurut Barber et al. (2003) berdasarkan laporan World Health Organization menunjukkan bahwa munculnya fenomena resistensi antimikroba pada bakteri patogen disebabkan oleh pemakaian antimikroba yang salah pada ternak dan pada saat ini resistensi antimikroba pada ternak dan hasil produksinya (susu, daging dan telur) telah menjadi masalah global di seluruh dunia.

2.4. Penggunaan Antibiotika dalam Pakan

Amerika Serikat pada tahun 1940 melakukan penelitian, dimana pakan ayam diberikan produk fermentasi tetrasiklin yang menghasilkan pertumbuhan sangat cepat pada tubuh ayam dibandingkan dengan yang tidak diberikan produk fermentasi tersebut, hal ini kemudian diikuti negara lainnya (Phillips et al., 2004 dan PIC, 2006).

Berbagai penelitian mengenai penggunaan antibiotika dalam pakan dengan dosis subterapeutika yang berpengaruh terhadap penurunan biaya produksi daging, telur dan susu. Anthony (1997) menyebutkan penggunaan antibiotika pada dosis subterapeutika melalui pakan atau air minum berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan, mempengaruhi metabolisme seperti tetrasiklin mempengaruhi ekskresi nitrogen dan air, effisiensi nutrisi dengan menekan bakteri intestin yang bersaing dengan host menggunakan nutrisi dan mencegah penyakit. Hewan yang diberikan antibiotika secara rutin, struktur dinding usus lebih tipis dan lebih besar daya absorpsinya, ini yang mengakibatkan antibiotika dapat memperbaiki dan meningkatkan produksi daging sapi, domba, unggas dan babi.

Antibiotika yang digunakan dalam campuran pakan perlu dicermati karena pakan memberikan kontribusi yang besar sekitar 60% dalam usaha pemeliharaan ternak, pemberian dalam jumlah besar dan diberikan secara terus menerus akan menyebabkan akumulasi dalam tubuh ternak tersebut (Teuber, 2001).

Jenis antibiotika, penggunaan dan tujuannya yang direkomendasikan oleh pemerintah seperti tabel dibawah ini :


(25)

Tabel 1. Antibiotika sebagai Imbuhan Pakan Ayam Pedaging

No Jenis antibiotika /Ton Pakan Tujuan

1 Avilamisina 2,5g - 15g Perangsang pertumbuhan 2 Avoparsina 7,5g - 15g Perangsang pertumbuhan 3 Bacitrasin zink 50g Perangsang pertumbuhan

4 Enramisina 5g - 10g Perangsang pertumbuhan

5 Flavomycin (Bambermisin) 2,5g Perangsang pertumbuhan 6 Kitasamisin 5g - 15g Perangsang pertumbuhan 7 Kolistin sulfate 2g - 20g Perangsang pertumbuhan

8 Lasalosid 2g Koksidiostat

9 Maduramisina 5g Koksidiostat

10 Lincomisin HCl 2,2g - 4,4g Perangsang pertumbuhan 11 Monensin natrium 70g - 90g Koksidiostat

12 Narasina 60g - 80g Koksidiostat

13 Salinomisin (Na) 60g Koksidiostat

14 Spiramisin (embonate) 5g - 20g Perangsang pertumbuhan 15 Virginiamisin 5g - 15g Perangsang pertumbuhan

Sumber : SK Mentan, 1994.

2.4.1. Avilamisin

Avilamisin termasuk antibiotika kelompok oligosakarida dan hanya digunakan untuk pemacu pertumbuhan. Avilamisin diproduksi oleh Streptomyces

viridochromogenes, antibitika ini merupakan campuran beberapa senyawa mayor

dan minor, aktif terutama terhadap bakteri gram positif (Adam, 2002).

Pemberian avilamisin secara oral 60 ppm diekskresikan hampir seluruhnya pada feses, hanya sedikit residu ditemukan pada babi dan tikus. Jumlah organisme

Clostridium perfringens pada intestin ayam menurun dengan penambahan 10 ppm

avilamisin pada pakan. Avilamisin juga mencegah enteritis nekrotik yang disebabkan Clostridium perfringens pada ayam broiler (Elwinger et al., 1998).


(26)

13 2.4.2. Basitrasin

Merupakan antibiotika polipeptida yang diproduksi oleh Bacillus

licheniformis, lebih stabil sebagai garam zink dan digunakan sebagai pemacu

pertumbuhan dan beberapa preparat topikal pada pengobatan manusia dan hewan. Basitrasin terutama aktif terhadap gram positif. Spektrum antibiotika ini mirip dengan kelompok penisilin (Cain et al., 1993 dan Adam, 2002).

Semua basitrasin menimbulkan nefrotoksik jika diberikan secara parenteral, antibiotika ini diabsorpsi sangat sedikit atau tidak sama sekali dari intestin seperti, yang diperlihatkan pada tikus, babi dan ayam, sehingga tidak ditemukan residu pada daging jika antibiotuika ini diberikan secara oral (Phillips et al., 2004). Penelitian menunjukkan penurunan jumlah enterococci jika basitrasin ditambahkan pada pakan hewan, penurunan ini terutama disebabkan menurunnya jumlah organisme Enterococci fecalis. Jumlah organisme Enterococci faecium

meningkat dibandingkan kelompok kontrol selama pemberian antibiotika yang diperpanjang. Enteritis nekrotik yang disebabkan Clostridium perfringens pada ayam dicegah dengan pemberian basitrasin dengan dosis 55-110 ppm dalam pakan. Selain itu jumlah organisme Clostridium perfringens menurun dengan penggunaan basitrasin (Chalker et al., 2000).

Pada uji lapang basitrasin terlihat menurunkan lesio intestinal adenomatosis yang disebabkan oleh Lawsionia intracellularis porsin pada babi. Basitrasin meningkatkan kolonisasi Salmonella enterica serotipe enteritidis pada caecum ayam (Chia et al., 1995).

2.4.3. Bambermisin

Menurut Butaye et al. (2003) bambermisin (flavofosfolipol dan flavomisin) merupakan antibiotika glikolipid yang diproduksi oleh speies streptomyces termasuk Streptomyces bambergiensis, Streptomyces ghanaensis, Streptomyces

geysirensis dan Streptomyces ederensis. Bambermisin hanya digunakan sebagai

antibiotika pemacu pertumbuhan pada pakan hewan.

Mekanisme kerja, bambermisin menghambat sintesa peptidoglikan dengan cara menghambat polimerase peptidoglikan merusak aktifitas transglikolase dari protein pengikat penisilin (PBPs). Hambatan ini menghasilkan pada blok spesifik


(27)

pembentukan rantai muren polisakarida (Butaye et al., 2000). Aktifitas spektrum bambermisin terutama aktif terhadap bakteri gram positif, juga menghambat beberapa bakteri gram negatif seperti, pasteurella dan brucella. Aktifitas spektrum terhadap streptococci dan stafilococci mirip dengan penisilin G dan makrolida dan anggota enterobactericiae sedikit peka.

Prevalensi resistensi, beberapa publikasi membahas tentang uji kepekaan bakteri untuk bambermisin, data yang ada hanya mengenai konsentrasi hambat minimum untuk spesies enterococci, lactobacilli, staphylococcus dan clostridia. Kasus resistensi belum dilaporkan dengan pasti walupun sebagian besar strain

Enterococci faecium sudah resisten menurut hasil penelitian di Denmark dan

Belanda (Focosi, 2003).

Bambermisin sangat sedikit diabsorpsi setelah pemberian oral pada beberapa spesies. Absorpsi yang jelas dideteksi hanya ketika pemberian antibiotika ini dengan dosis tinggi. Pemberian secara parenteral, bambermisin tetap tidak berubah, dengan perlahan diekskresikan melalui urin. Pada ayam dosis oral 20 ppm tidak menghasilkan residu pada jaringan atau organ. Residu bambermisin tidak dapat dideteksi pada saat pemberian feed aditive dosis tinggi.

2.4.4. Streptogramin

Streptogramin terdiri dari senyawa A dan senyawa B yang bekerja secara sinergis. Antibiotika ini tergolong kelompok makrolida, linkosamida-streptogramin. Sampai sekarang hanya tiga streptogramin yang dijual baik sebagai terapi maupun pemacu pertumbuhan yaitu, virginiamisin, pristinamisin dan quinupristin/dalfopristin (Salyers dan Whitt, 2005).

Virginiamisin telah digunakan baik pada preparat topikal untuk manusia dan obat hewan juga sebagai pemacu pertumbuhan pada pakan hewan. Virginiamisin diproduksi oleh Streptomyces virginiae sebagai campuran alami dua senyawa yang berbeda secara kimiawi, virginiamisin M (senyawa streptogramin A) dan virginiamisin S (senyawa streptogramin B) yang bekerja secara sinergis (Youssef

et al, 1983).


(28)

15

beberapa cocci gram negatif. Kebanyakan bakteri gram negatif secara alami resisten karena dinding selnya tidak permeabel (Chinali et al., 1988).

Pemberian virginiamisin secara oral tidak diabsorpsi di usus hewan, tidak ada residu virginiamisin ditemukan pada ginjal, hati, daging ayam yang diberi virginiamisin. Jumlah organisme Clostridium prefringens pada intestin ayam menurun dengan penambahan 55 ppm virginiamisin pada pakan. Virginiamisin mengurangi angka kematian dan keparahan enteritis nekrotik yang disebabkan

Clostridium perfringens. Tidak ada efek shedding salmonella pada ayam

(Revolledo et al., 2006).

2.4.5. Ionophore

Kebanyakan antibiotika ionophore diproduksi oleh Streptomyces spp., meskipun stroptopertisillium, nocardiopsis, nokardia dan actinomadura juga dikenal untuk memproduksi antibiotika tersebut. Ionophore aktif terhadap parasit termasuk coccidia (eimeria) dan plasmodium, juga terhadap organisme gram positif dan mikoplasma. Antibiotika ini tidak digunakan pada terapi manusia, pada hewan digunakan untuk pemacu pertumbuhan dan koksidiostat (Prescott dan Baggot, 1997).

Monensin, lasalosid, salinomisin, narasin dan maduramisin digunakan di Eropa, hanya monensin (sapi) dan salinomisin (babi) efektif terdaftar sebagai pemacu pertumbuhan. Ionophore lain yang terdaftar dapat digunakan pada pakan unggas sebagai koksidiostat. Mekanisme kerja, antibiotika polieter menganggu sistem transpor ion natural pada sel prokariotik dan eukariotik (Phillips et al., 2004).

Antibiotika ini diabsorpsi dengan baik pemberian secara oral, sehingga antibiotika ini cukup toksik bagi mammalia dan unggas. Beberapa kejadian dilaporkan mengenai overdosis ionophore pada mammalia kebanyak melibatkan intoksikasi akut, meskipun adanya laporan mengenai intoksikasi kronis. Kuda dan kelinci peka terhadap intoksikasi ionophore, kalkun, dan burung puyuh lebih peka terhadap intoksikasi monensin daripada jenis burung lain (Butaye et al., 2003). Beberapa penelitian menunjukkan efek antibiotika ionophore pada intestin. Tidak ditemukan kemampuan kolonisasi salmonella pada caecum dan tidak ada


(29)

seleksi resistensi coliform dan streptococci ditemukan pada ayam. Antibiotika ini menghambat Clostridium perfringens (tipe A dan C) pada ayam dan kalkun, sehingga diperkirakan antibiotika dapat digunakan untuk mencegah enteritis nekrotik. Narasin juga efektif dalam pengobatan dan pencegahan infeksi

Clostridium perfringens pada ayam. Pada babi salinomisin mengurangi lesio dan

keberadaan Lawsonia intracellularis yang menyebabkan proliferasi enteropati pada usus babi (Butaye et al., 2003).

2.4.6. Quinoksalin

Karbadoks dan olakuidoks merupakan antibakteri sintetik yang bekerja dengan menghambat sintesa DNA, antibiotika ini terutama aktif terhadap bakteri gram negatif. Meskipun quinoksalin dianggap sebagai pemacu pertumbuhan, antibiotika ini juga terutama digunakan dalam pencegahan disentri pada babi yang disebabkan Brachyspira hyodysenteriae (Adam, 2002).

2.4.7. Efrotomisin

Merupakan sebagai antibiotika eflamisin, digunakan hanya sebagai pemacu pertumbuhan, namun demikian penggunaannya sangat terbatas sampai sekarang. Dengan alasan yang tidak diketahui produk ini belum dijual secara luas di Eropa. Efrotomisin diproduksi oleh Nokardia laktamdurans, produk ini tidak aktif terhadap bakteri gram negatif karena tidak dapat menembus sel. Spesies streptococci relatif tidak sensitif. Efrotomisin tidak aktif terhadap staphylococci, beberapa spesies lactobacillus, spesies enterococci tertentu dan beberapa spesies bakteri tertentu (Prescott dan Baggot, 1997).

Efrotomisin diabsorpsi secara cepat melalui oral, tidak ada pengaruh terhadap prevalensi tiphimurium serotipe Salmonella enteritica, sheding dan resistensi pada babi. Antibiotika ini menurunkan jumlah organisme Clostridium perfringens pada ileum ayam (Butaye et al., 2003).

Pakan memegang peranan penting dalam keamanan pangan asal hewan karena mutu pakan akan tercermin dalam produk yang dihasilkan. Keamanan pangan hewani berkaitan erat dengan pengawasan pakan atau bahan pakan.


(30)

17

peraturan yang berkaitan dengan pengawasan mutu pakan, seperti SK. Mentan No.241/Kpts/OT.210/4/2003 dan SNI tentang pakan nomor 01-3930-1995. Menurut Butaye et al. (2003), penggunaan antibiotika dalam pakan dapat meningkatkan konversi pakan, pertumbuhan hewan, menurunkan angka sakit dan kematian pada penyakit klinis dan subklinis. Rata-rata peningkatan pertumbuhan berkisar antara 4 – 8% dan manfaat di pakan meningkat 2 – 5%. Mekanisme bagaimana antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan belum secara pasti diketahui, penelitian menggunakan germ- free chicken terlihat bahwa aksi growth promoter

dipengaruhi oleh antibiotika. Ada beberapa hipotesa yang dikemukakan untuk menjelaskan hal tersebut yaitu; antibiotika dapat mengamankan nutrisi, antibiotika secara selektif menghambat organisme yang menggunakan nutrisi, penyerapan nutrisi meningkat disebabkan menipisnya barrier usus kecil, antibiotika menurunkan produksi toksin oleh bakteri yang berada dalam usus dan antibiotika menurunkan kejadian infeksi usus subklinis.

2.5. Penggunaan Antibiotika dalam Air Minum

Meningkatnya permintaan akan komoditi hewan telah menyebabkan dilakukannya intensifikasi usaha peternakan yaitu dimana hewan dipelihara dalam skala besar. Adanya kecendrungan untuk memilih cara beternak secara intensif telah menyebabkan mudahnya penularan dari kelompok hewan yang satu ke hewan yang lain. Sehingga semakin intensif usaha peternakan maka semakin meningkat pula pemakaian antibiotika untuk mengatasi infeksi yang sering timbul.

Pengobatan massal melalui air minum dalam peternakan unggas berskala besar merupakan cara terapi yang paling baik, diharapkan pengobatan (terapi) yang cepat dan efektif serta dapat diikuti dengan pemberian obat melalui pakan. Hal ini disebabkan karena pengobatan melalui cara parenteral (intramuskuler, sub kutan dan intra vena) tidak mungkin dilakukan untuk pengobatan massal dalam peternakan berskala besar (Purvis, 2003 dan PIC, 2006).

Hasil pengamatan beberapa peneliti di lapangan menunjukkan bahwa setelah dilakukan vaksinasi, akan diikuti dengan pemberian antibiotik melalui air minum selama 3 - 4 hari. Apabila ayam-ayam tersebut menunjukkan tanda-tanda


(31)

sakit, pemberian antibiotika dilanjutkan sampai delapan hari, bahkan terkadang sampai sembuh (Bahri et al., 2005).

Antibiotika yang digunakan untuk pengobatan sangat bervariasi, ada yang menggunakan satu jenis antibiotika, dua jenis antibiotika, konsentrasi dan keefektifannya berbeda dalam satu merek dagang. Jenis antibiotika yang beredar secara komersil dan mendapat sertifikasi dari Departemen Pertanian terlihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 2. Jenis Antibiotika yang Sudah Terdaftar untuk Pengobatan

No. Jenis Antibiotika Dosis (air minum)

Lamanya Pengobatan

1. Enrofloksasin 1 gr/2 liter 3 Hari

2. Ampisilin Trihidrat 1 gr/liter 3 - 5 Hari

3. Amoksilin Trihidrat 10 gr/10 liter 3 - 5 Hari

4. Amoksilin + Colistin 1 gr/2 liter 3 - 5 Hari

5. Eritromisin 2,5 gr/liter -

6. Norfloksasin 25-50 ml/100 liter 3 - 5 Hari

7. Norfloksasin + Colistin 1 gr/4 liter 3 - 5 Hari

8. Colistin Sulfat 0,5 ml/liter 3 - 4 Hari

9. Colistin Sulfat + Spriramisin 0,3-0,4 gr/liter 3 - 5 Hari

10. Ciprofloksasin 1 gr/2 liter 3 - 5 Hari

11. Sulfadiazin + Trimetorpim 1 ml/liter -

12. Eritromisin + Colistin Sulfat 1 gr/liter 3 - 5 Hari

13. Chlortetrasiklin 0,5 gr/liter 5 - 7 Hari

14. Ciprofloksasin 1 gr/2 liter 5 Hari

15. Doksisiklin + Colistin Sulfat 1 gr/liter 3 - 5 Hari

16. Neomisin S. + Oksitetrasiklin 10 gr/5 liter -

17. Sulfaquinoksalin 5 gr/liter 3 Hari

18. Spiramisin 1-2 gr/liter 3 Hari

19. Doksisiklin 1 gr/5 liter 3 - 5 Hari


(32)

19

Beberapa negara berbagai jenis antibiotika, termasuk golongan tetrasiklin, neomisin, basitrasin, dan preparat sulfa diizinkan untuk diberikan secara berkala pada peternakan ayam. Pemberian gentamisin dan spektinomisin melalui injeksi pada ayam bibit dapat mencegah infeksi Salmonella enteritidis dari induk ayam ke telur yang akan ditetaskan (Kusumaningsih, 2007).

Menurut Lukman (1994) khlortetrasiklin, doksisiklin dan oksitetrasiklin merupakan antibiotika yang paling banyak digunakan untuk pengobatan dan golongan ini tidak diizinkan diberikan melalui pakan ternak di Indonesia.

Derivat penisilin (antibiotika beta-laktam) secara luas digunakan pada sapi, babi dan unggas untuk mengobati infeksi dan ditambahkan ke dalam pakan atau air minum untuk mencegah beberapa penyakit. Penisilin biasanya cepat hilang dalam darah melalui ginjal dan keluar melalui urin (Nhiem, 2005).

2.6. Residu Antibiotika

Residu adalah senyawa asal dan atau metabolitnya yang terdapat dalam jaringan produk hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya dari obat tersebut. Semua cara pemberian antibiotika dapat menyebabkan terjadinya residu dalam pangan asal hewan seperti, daging susu dan telur (Phillips et al., 2004). Perhatian besar telah diperlihatkan selama 40 tahun mengenai adanya residu antibiotika pada daging ayam di Amerika Serikat.

Menurut Adam (2002) residu antibiotika terjadi akibat penggunaan antibiotika untuk kontrol atau mengobati penyakit infeksi tidak memperhatikan waktu henti obat, penggunaan antibiotika yang melebihi dosis yang dianjurkan, penggunaan antibiotika sebagai feed additive dalam pakan hewan.

Pada pangan asal hewan residu meliputi senyawa asal yang tidak berubah (nonaltered parent drug), metabolit dan atau konyugat lain. Beberapa metabolit obat diketahui bersifat kurang atau tidak toksik dibandingkan senyawa asalnya, namun beberapa diketahui lebih toksik (Phillips, 2004 dan Bahri et al., 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh (fase farmakokinetika) yaitu, perfusi darah melalui jaringan, kadar gradien, pH dan ikatan zat dengan makromolekul, partisi ke dalam lemak, transpor aktif, barier (sawar) dan ikatan obat dengan protein plasma atau jaringan (Anief, 1990 dan


(33)

Adam 2002). Secara umum fase farmakokinetik obat dipengaruhi oleh: keragaman dalam satu spesies, perbedaan spesies, interaksi antar obat, faktor-faktor biofarmasetik, keberadaan kinetika non linear dan penyakit.

Pakan yang mengandung antibiotika akan berinteraksi dengan jaringan (organ) dalam tubuh ternak, meskipun dalam jumlah yang kecil pengaruh yang ditimbulkan tidak secara langsung tetapi akan berefek kronis dan tetap berada dalam tubuh ternak (Adam, 2002).

Senyawa induk dan metabolitnya sebagian akan dikeluarkan dari tubuh melalui air seni dan feces, tetapi sebagian lagi akan tetap tersimpan di dalam jaringan (organ tubuh) yang disebut sebagai residu. Jika pakan yang dicampur antibiotika secara terus menerus, maka residu antibiotika tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan dengan konsentrasi yang bervariasi antara organ tubuh (Bahri et al, 2005).

Antibiotika yang paling sering dideteksi dalam daging yaitu, penisilin (termasuk ampisilin), tetrasiklin (termasuk khlortetrasiklin dan oksitetrasiklin), sulfonamida (termasuk sulfadimethoksin, sulfamethazin dan sulfamethoksazol), neomisin, gentamisin dan streptomisin (Phillips et al., 2004).

Residu dari semua jenis obat hewan paling tinggi terdapat dihati dan ginjal dibandingkan pada jaringan otot. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar residu beberapa antibiotika berbeda pada jaringan berbeda dalam tubuh ayam. Secara farmakokinetik dapat dijelaskan mengenai metabolisme dan distribusi jenis obat pada hewan yang berbeda, pada fase ini juga dapat diperkirakan waktu henti obat untuk menghilangkan kadar obat pada jaringan yang berbeda (Adam, 2002). Menurut Anthony (1997), dampak negatif keberadaan residu antibiotika yaitu, reaksi alergi, toksisitas, mempengaruhi flora usus, respon immun, resistensi terhadap mikroorganisme, pengaruh terhadap lingkungan dan ekonomi.

2.6.1. Reaksi Alergi

Alergi atau intoleransi adalah reaksi abnormal yang berhubungan dengan substansi alami yang tidak membahayakan banyak individu. Reaksinya meliputi urtikaria pada membran mukosa dan kulit, bintik ruam dan pengelupasan kulit


(34)

21

Pada aspek alergi dengan melimpahnya antibiotika baik dikalangan medik maupun ditoko-toko sampai kakilima tidak diragukan lagi menyebabkan terjadinya perubahan respon terhadap suatu substansi tertentu. Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan kepekaan yang disebut hipersensitivitas.

Menurut Nhiem (2005) tidak ada bukti bahwa dengan terpapar residu penisilin dalam pangan menyebabkan peka terhadap penisilin, tetapi ada beberapa kasus pada manusia diketahui sensitif penisilin menderita reaksi alergi ketika terekspos pangan yang mengandung residu penisilin. Dosis 10 IU (0,6 μg) dapat menyebabkan reaksi alergi pada individu yang sensitive. Sedikit 0,01 IU/ml penisilin dalam susu menyebabkan reaksi alergi pada individu yang sangat sensitif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa residu penisilin dalam ginjal dan hati (uji HPLC) kira-kira 100 kali lebih tinggi dibandingkan dalam otot. Reaksi alergi menurut penelitian ini merupakan faktor yang menentukan untuk keamanan evaluasi residu. Secara keseluruhan prevalensi alergi penisilin pada populasi yang berbeda kira-kira 3 – 10% (Doyle, 2005).

Bagaimanapun perbedaan individu dan tipe pangan (pengaruh absorbsi obat), beberapa reaksi dilaporkan akibat tercerna kurang dari 40 μg obat. Dua kasus reaksi anaphilatik shok diselidiki pada orang yang diketahui hipersensitif penisilin, setelah mengkonsumsi steak dan daging babi. Penelitian ini memperkirakan bahwa jika terdapat residu dalam daging (hati dan ginjal) pada batas maksimum residu (MRL) 0,05 ppm dan untuk susu 0,004 ppm, maksimum sehari boleh makan benzilpenisilin dari residu total 29 μg (15 μg dari daging, 5 μg hati, 3 μg ginjal dan 6 μg dari susu) (Doyle, 2005).

2.6.2. Toksisitas

Antibiotika dapat mempengaruhi kesehatan manusia secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung antibiotika memiliki sifat toksik bagi manusia, sebagai contoh khloramphenikol memiliki efek samping yang cukup serius, yaitu penekanan aktivitas sumsum tulang yang berakibat gangguan pembentukan sel-sel darah merah. Kondisi ini dapat menyebabkan aplastik anemia yang secara potensial berakibat fatal (Naim, 2002).


(35)

Banyak antibitika yang digunakan sebagai agen terapeutik pada hewan domestik dalam kenyataannya juga digunakan di manusia. Bahaya toksikologik yang terjadi pada manusia akibat residu antibiotika terutama yang berasal dari bahan pangan sangat erat hubungannya dengan dosis dan durasi keterpaparan (Focosi, 2005).

2.6.3. Mempengaruhi Flora Usus

Sebagai hasil penggunaan antibiotika yang panjang, perkembangan yang tidak menyenangkan bakteri dalam saluran pencernaan merupakan masalah pada manusia dan hewan. Pada banyak kasus penggunaan neomisin melalui oral meningkatkan pertumbuhan jamur dalam usus. Tetrasiklin menghasilkan iritasi gastrointestinal pada banyak individu dan menyebabkan perubahan dalam flora usus seperti, diare akibat infeksi (Anthony, 1997).

Penggunaan antibiotika tidak hanya menyebabkan resistensi pada bakteri patogen yang sedang ditangani tetapi juga pada mikroorganisme lain yang ada dalam saluran pencernaan. Kemungkinan lain adalah adanya gangguan terhadap flora normal yang ada pada saluran pencernaan manusia karena adanya residu antibiotika pada makanan (Mazell dan Davies, 1999; Boothe dan Arnold, 2003). Semakin panjang waktu bakteri terpapar dengan antibiotika maka akan semakin tinggi kesempatan terjadinya mutasi, sehingga menimbulkan strain yang kurang sensitif terhadap antibiotika tersebut.

2.6.4. Respon Immun

Berbagai penelitian dilaporkan bahwa antibiotika tidak hanya bekerja sebagai bakterisid tetapi juga mengatur fungsi dari sel immun. Pengaruh antibiotika pada respon immun terjadi secara langsung pada sel imuno kompeten atau secara tidak langsung dengan merubah struktur atau metabolit dari organisme menyebabkan terjadinya konsentrasi hambat sub minimal terhadap bakteri (subMIC) (Anthony, 1997).


(36)

23 2.6.5. Resistensi Terhadap Mikroorganisme

Menurut Naim (2002) masalah resistensi bakteri terhadap antibiotika telah dapat dipecahkan dengan penemuan antibiotika golongan baru seperti, aminoglikosida, makrolida dan glikopeptida, juga dengan modifikasi kimiawi dari antibiotika yang sudah ada tetapi tidak ada jaminan pengembangan antibiotika baru dapat mencegah kemampuan bakteri patogen untuk menjadi resisten. Masalah resistensi mikroba terhadap antibiotika bukanlah masalah yang baru, sejak tahun 1963, WHO telah mengadakan pertemuan tentang aspek kesehatan masyarakat dari penggunaan antibiotika dalam makanan dan bahan makanan. Penggunaan antibiotika pada pakan hewan sebagai pemacu pertumbuhan telah mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap antibiotika yang umum digunakan untuk terapi. Sebelum tahun 1984 di Eropa

Salmonella dublin masih peka terhadap antibiotika khloramfenikol.

Resistensi kolonisasi merupakan istilah yang menggambarkan imunitas alami yang diperoleh manusia melalui keberadaan flora normal dalam saluran pencernaan sehingga manusia akan terlindungi dari kolonisasi/infeksi oleh mikroorganisme dari luar tubuh. Ini merupakan konsep penting bagi kesehatan manusia karena pencegahan kolonisasi oleh mikroba patogen seperti salmonella atau oleh mikroba resisten adalah kunci untuk meminimalkan resiko hidup dalam lingkungan yang terkontaminasi oleh mikroorganisme patogen (Naim, 2002; Boothe dan Arnold, 2003).

Menurut Charles et al. (2001), antibiotika tidak digunakan pada seluruh peternakan dan resistensi antibiotika terjadi di peternakan yang tidak menggunakan antibiotika. Bahan baku protein yang berasal dari hewan yang terkandung dalam pakan unggas berpotensi sebagai penyimpan sumber resistensi bakteri terhadap antibiotika. Dari 165 sampel bahan baku protein berasal dari sapi, ikan dan unggas yang diperoleh dari perusahaan pakan unggas, 55% sampel tepung unggas dideteksi kadar bakteri gram negatif antara 40-10.440 CFU/g sampel.

Resistensi diakibatkan oleh mikroba mensintesis enzim yaitu resistensi mikroba terhadap penisilin. Dimana mikroba tersebut menghasilkan enzim penisilinase yang mampu memecah cincin beta-laktam penisilin menjadi


(37)

penicilloic acid yang tidak aktif. Demikian pula pada sefalosporin yang didegradasi oleh beta laktamase (Salyers dan Whitt, 2003). Banyak bakteri mampu memproduksi beta-laktamase, seperti bakteri gram positif dan negatif, dimana enzim ini mempunyai peranan yang besar dalam menyebabkan resistensi bakteri gram positif terhadap penisilin dan sefalosporin.

Gambar 1. Tahap resistensi

STEPS FOR RESISTANCE TRANSFER

Antibiotic use in animals

Development of resistant animal bacterial strain Survival through food processing/handling

Survival through food preparation Resistance transfer to human

Colonization in human Disease Treatment failure H ur d le s f o r tr ans fe r H u rd le s f o r tr a n s fe r ?

Sumber : Focosi (2005).

Menurut Doyle (2005) penelitian tentang resistensi bakteri akibat penggunaan antibiotika yang diisolasi dari daging dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2005, dari laporan tersebut dilakukan percobaan untuk mengetahui jenis antibiotika yang paling sering menimbulkan resistensi bakteri dari berbagai jenis daging yaitu :

1. Daging sapi: tetrasiklin > streptomisin = sulfametoksazol > ampisillin > klorampenikol > sephalotin

2. Daging babi: tetrasiklin > streptomisin = sulfametoksazol > ampisillin > klorampenikol > gentamisin

3. Daging ayam : tetrasiklin > sulfa > streptomisin = sephalotin > ampisillin > klorampenikol > gentamisin


(38)

25 2.6.6. Pengaruh Terhadap Lingkungan

Pemberian antibiotika secara oral seperti, tetrasiklin yang tingkat absorpsinya tidak sempurna dan sebagian besar diekskresi secara utuh. Pengaruh resistensi terhadap organisme yang terdapat di lingkungan termasuk Escheria coli

sebagian besar tidak diketahui

2.6.7. Ekonomi

Adanya laporan mengenai residu antibiotika dalam susu menimbulkan masalah di industri perusahaan susu. Residu antibiotika menghambat dan tidak sempurnanya produksi asam oleh bakteri starter kultur yang digunakan untuk menghasilkan produk seperti keju. Hal ini mengakibatkan kehilangan ekonomi karena meningkatnya biaya penjualan susu dan masalah kesehatan bagi konsumen. (Anthony, 1997).

Pada tahun 2001 terjadi penolakan udang yang berasal dari Asia karena terdapat residu khloramfenikol. Residu antibiotika ini menyebabkan terjadinya penekanan pada sumsum tulang sehingga mengganggu pembentukan sel darah merah, hal ini menimbulkan aplastik anemi. Adanya residu antibiotika pada produk pangan asal hewan sudah tentu menjadi masalah Internasional, oleh karena dapat menimbulkan gangguan bagi kesehatan konsumen yang mengkonsumsi produk hewan yang mengandung atau tercemar residu (Naim, 2002).


(39)

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner (kesmavet) Bambu Apus DKI Jakarta, dimulai sejak bulan September 2005 sampai dengan bulan Januari 2006.

3.2. Sampel Penelitian

Materi penelitian sebanyak 31 (tiga puluh satu) ekor ayam pedaging diperoleh dari 6 pasar tradisional di Wilayah Kabupaten Tangerang. Materi tersebut diambil dari pasar tradisional selama 6 hari berturut-turut. Selanjutnya seluruh sampel yang diperoleh dilakukan pengujian terhadap residu antibiotika di laboratorium Kesmavet Bambu Apus DKI Jakarta.

3.3. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah, erlenmeyer, pipet volumetrik, mixer, sentrifus, water bath, magnetik stirer, homogenizer/stomacher, autoclave,

refrigerator, freezer, kertas cakram dan stomacher plastik bags.

Bahan yang digunakan yaitu, bacto peptone, bacto agar, beef extract,

yeast extract, D(+) glucose, tryptone, spora bakteri Bacillus calidolactis, Bacillus cereus, Bacillus subtilis dan Micrococcus luteus.

3.4. Cara Pengujian Residu Antibiotika

Pengujian antibiotika dilakukan dengan metode biologik yaitu, metode

Bio-Assay/Screening test menggunakan spora bakteri Bacillus calidolactis,

Bacillus cereus, Bacillus subtilis dan Micrococcus luteus. Laboratorium Kesmavet

Bambu Apus DKI Jakarta menggunakan metode ini untuk pengujian residu antibiotika pada produk ternak seperti, daging, susu dan telur. Metode ini diadopsi dari beberapa literatur dengan beberapa modifikasi.


(40)

27 3.4.1. Golongan Penisilin

Pembuatan Spora Bakteri Uji

Bakteri Bacillus calidolactis ditambahkan dalam agar miring dan diinkubasi pada suhu 550 C selama 2 (dua) minggu. Kemudian bakteri yang ditumbuhkan tersebut dipanen dan dimasukkan ke dalam larutan aquabides steril 20 ml, sebanyak 4 tabung sentrifuge, lalu dipanaskan dalam waterbath pada suhu 650C selama 30 menit. Selanjutnya suspensi dipusing 3000 rpm selama 10 menit buang supernatan (lapisan atasnya).

Kedalam endapan tambahkan aquabides secukupnya, dikocok dan dimasukkan kedalam refrigerator dengan suhu 40C selama 18-24 jam. Kemudian larutan dipanaskan kembali dalam waterbath dengan suhu 650C selama 30 menit, setelah itu dipusing dengan kecepatan 1000 rpm selama 5 menit dan diambil lapisan atasnya. Hasilnya disimpan dalam refrigerator sebagai spora.

Pembuatan Kultur Media Uji

Sebanyak 5 gr tryptone, 12 gr yeast extract, 1 gr dextrose dan 15-16 gr bacto agar dilarutkan dalam 1000 ml aquades, kemudian diukur pada pH 5,7 ± 0,1 dan dididihkan. Media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.

Pembuatan Larutan Dapar Fosfat (Buffer)

Sebanyak 13,3 gr KH2PO4 dan 6,2 gr Na2HPO4 dilarutkan dalam 1000 ml

aquades, kemudian larutan disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.

3.4.2. Golongan Tetrasiklin Pembuatan Spora Bakteri Uji

Bakteri Bacillus cereus ditambahkan dalam agar miring dan diinkubasi pada suhu 300 C selama 1 (satu) minggu. Kemudian bakteri yang ditumbuhkan tersebut dipanen dan dimasukkan ke dalam larutan NaCl fisiologis steril 20 ml, sebanyak 4 tabung sentrifus, lalu dipanaskan dalam waterbath pada suhu 650C


(41)

selama 18-24 jam. Selanjutnya suspensi dipusing 3000 rpm selama 10 menit buang supernatan (lapisan atasnya).

Kedalam endapan tambahkan NaCl fisiologis secukupnya, dikocok dan dimasukkan kedalam refrigerator dengan suhu 40C selama 18-24 jam. Kemudian larutan dipanaskan kembali dalam waterbath dengan suhu 650C selama 30 menit, setelah itu dipusing dengan kecepatan 1000 rpm selama 5 menit dan diambil lapisan atasnya. Hasilnya disimpan dalam refrigerator sebagai spora.

Pembuatan Kultur Media Uji

Sebanyak 6 gr peptone, 1,5 gr beef extract, 3 gr yeast extract, 1,35 gr KH2PO4, dan 15-16 bacto agar dalam 1000 ml aquadest, kemudian diukur pada

pH 5,7 ± 0,1 dan dididihkan. Media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.

Pembuatan Larutan Dapar Fosfat (Buffer)

Sebanyak 3,5 gr KH2PO4 dan 3 gr Na2HPO4 dilarutkan dalam 1000 ml

aquades, kemudian larutan disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.

3.4.3. Golongan Makrolida Pembuatan Spora Bakteri Uji

Bakteri Micrococcus luteus ditambahkan dalam agar miring dan diinkubasi pada suhu 360 C selama 18-24 jam. Kemudian diambil 1 ose kuman biakan Micrococcus luteus ke dalam 10 ml media Heart Infusion Broth (HIB). Selanjutnya diinkubasikan selama 18-24 jam dalam inkubator suhu 360C. Kuman siap digunakan untuk pengujian.

Pembuatan Kultur Media Uji

Sebanyak 6 gr peptone, 1,5 gr beef extract, 3 gr yeast extract, 1 gr D(+)glukosa dan 15-16 gr bacto agar dilarutkan dalam 1000 ml aquades, kemudian diukur pada pH 5,7 ± 0,1 dan dididihkan. Media disterilisasi dengan


(42)

29 Pembuatan Larutan Dapar Fosfat (Buffer)

Sebanyak 7 gr KH2PO4 dan 6 gr Na2HPO4 dilarutkan dalam 1000 ml

aquades, kemudian larutan disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit.

3.4.4. Golongan Aminoglikosida Pembuatan Spora Bakteri Uji

Bakteri Bacillus subtilis ditambahkan dalam agar miring dan diinkubasi pada suhu 360 C selama 1 (satu) minggu. Kemudian bakteri yang ditumbuhkan tersebut dipanen dan dimasukkan ke dalam larutan aquabides 20ml, sebanyak 4 tabung sentrifuge, lalu dipanaskan dalam waterbath pada suhu 650C selama 30 menit. Selanjutnya suspensi dipusing 3000 rpm selama 10 menit dibuang supernatan (lapisan atasnya).

Kedalam endapan tambahkan aquabides secukupnya, dikocok dan dimasukkan kedalam refrigerator dengan suhu 40C selama 18-24 jam. Kemudian larutan dipanaskan kembali dalam waterbath dengan suhu 650C selama 30 menit, setelah itu dipusing dengan kecepatan 1000 rpm selama 5 menit dan diambil lapisan atasnya. Hasilnya disimpan dalam refrigerator sebagai spora.

Pembuatan Kultur Media Uji

Sebanyak 5 gr peptone, 3 gr beef extract, 3 gr yeast extract, dan 15-16 gr bacto agar dilarutkan dalam 1000 ml aquades, kemudian diukur pada pH 5,7 ± 0,1 dan dididihkan. Media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit.

Pembuatan Larutan Dapar Fosfat (Buffer)

Sebanyak 6,4 gr KH2PO4 dan 18,9 gr Na2HPO4 dilarutkan dalam 1000 ml

aquades, kemudian larutan disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit.


(43)

3.4.5. Kalibrasi Spora/Kuman

Media di panaskan dan simpan di dalam waterbath pada suhu 550C. Kemudian di ambil sebanyak 100 ml, tambahkan spora yang akan diuji dan di kocok hingga larutan media dan kuman tercampur rata. Di pipet kultur media masing-masing sebanyak 8 ml (dilakukan 3 kali pengulangan) dan dibiarkan memadat. Kertas cakram (paper disk) diletakkan diatas permukaan kultur media dan ditetesi dengan larutan baku standar antibiotika. Sebelum diinkubasikan spora dibiarkan pada suhu kamar selama 1 jam. Inkubasikan di dalam inkubator dengan suhu sesuai dengan spora yang diuji, selama 18-24 jam. Hasil ditentukan dengan mengukur diameter daerah hambatan dengan menggunakan jangka sorong/kaliper

3.4.6. Penghitungan Spora Bakteri

Dari contoh suspensi diatas dibuat pengenceran berseri sampai dengan 10-8 , setiap konsentrasi pengenceran ditu ang ke dalam cawan petri masing-masing 1 ml (dilakukan 2 kali pengulangan), kemudian di tambahkan media agar sebanyak 15-20 ml dan digoyang hingga merata dan ditunggu sampai memadat. Selanjutnya cawan petri di inkubasi selama 18-24 jam pada masing-masing temperatur tergantung jenis sporanya dan tiap cawan petri di hitung dan koloni yang di hitung jumlahnya antara 25-250.

Gambar 2. Bagan Penghitungan Spora

1 ml SPORA 100

1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml + 9 ml + 9 ml + 9 ml + 9 ml + 9 ml + 9 ml + 9 ml + 9 ml 10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8

+ 1 ml + 1 ml + 1 ml + 1 ml + 1 ml + 1 ml + 1 ml + 1 ml


(44)

31

Masing-masing cawan petri diisi dengan 15-20 ml media agar dan 1 ml spora.

3.4.7. Cara Menyatakan Hasil

Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka, yaitu angka pertama di depan koma dan angka kedua dibelakang koma. Jika angka yang ketiga sama dengan atau lebih besar dari 5, harus dibulatkan satu angka lebih tinggi pada angka yang kedua.

Tabel 3. Standar Penghitungan Cawan

Jumlah Koloni Per Pengenceran

Standar

Penghitungan Cawan Keterangan

10-1 10-2 10-3

200 23 1 20 x 10-4 23 dan 1 < 25

700 125 10 1,3 x 10-5 700>250 ; 10<25

Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni dengan jumlah antara 25 dan 250, dan perbandingan antara hasil tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran tersebut lebih kecil dari atau sama dengan 2, tentukan rata-rata dari kedua nilai tersebut dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika perbandingan antara hasil tertinggi dan terendah lebih besar 2, yang dilaporkan hanya hasil yang terkecil.

Tabel 4. Standar Penghitungan Cawan

Jumlah Koloni Per Pengenceran

Standar

Penghitungan Cawan

Keterangan

10-2 10-3 10-4

250 41 4 4,1 x 10-4 Hitung rata-rata :

41000\25000=1,64 (<2)

140 32 2 1,4 x 10-4 Hitung rata-rata :


(45)

3.4.8.Pembuatan Larutan Standar Kerja

Penisilin

Masing-masing standar baku ditimbang dengan memperhatikan potensi standar Penisilin dengan larutan dapar sampai konsentrasi 0,1 µg/ml.

Larutan Stok Standar Konsentrasi 1000 µg/ml

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar Konsentrasi menjadi 100 µg/ml

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar

Konsentrasi menjadi 10 µg/ml

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar

Konsentrasi menjadi 1 µg/ml

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar

Konsentrasi menjadi 0,1 µg/ml

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar

Konsentrasi menjadi 0,01 µg/ml (sebagai larutan standar kerja)

Tetrasiklin


(46)

33

Larutan Stok Standar Konsentrasi 1000 µg/ml

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar

Konsentrasi menjadi 100 µg/ml

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar

Konsentrasi menjadi 10 µg/ml

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar

Konsentrasi menjadi 1 µg/ml (sebagai larutan standar kerja)

Aminoglikosida

Masing-masing standar baku ditimbang dengan memperhatikan potensi standar Aminogliksida dengan larutan dapar sampai konsentrasi 1µg/ml.

Larutan Stok Standar Konsentrasi 1000 µg/ml

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar

Konsentrasi menjadi 100 µg/ml

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar

Konsentrasi menjadi 10 µg/ml

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar


(47)

Makrolida

Masing-masing standar baku ditimbang dengan memperhatikan potensi standar Makrolida dengan larutan dapar sampai konsentrasi 1µg/ml.

Larutan Stok Standar Konsentrasi 1000 µg/ml

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar

Konsentrasi menjadi 100 µg/ml

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar

Konsentrasi menjadi 10 µg/ml

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar

Konsentrasi menjadi 1 µg/ml (sebagai larutan standar kerja)

3.4.9. Pengujian Sampel

Sebanyak 10 gram contoh masing-masing sampel (daging paha, sayap, dada, hati, ginjal dan kaki bagian metatarsal) dimasukkan kedalam tabung sentrifuge, ditambahkan 20 ml larutan dapar dihomogenkan, kemudian di sentrifuge 3000 rpm selama 10 menit untuk mendapatkan larutan supernatannya. Sementara itu kultur media agar disiapkan untuk masing-masing kelompok antibiotika. Selanjutnya kertas cakram steril diletakkan di atas permukaan kultur media.

Tiap cawan petri berisi 5 buah kertas cakram, 4 buah kertas cakram ditetesi dengan mikro pipet steril berisi larutan sampel dan 1 buah kertas cakram ditetesi dengan larutan standar antibiotika. Selanjutnya kultur media diinkubasikan pada suhu 300 C untuk golongan tetrasiklin 300C, untuk golongan makrolida dan aminoglikosida pada suhu 360C sedangkan penisilin pada suhu 550C


(48)

35

pengulangan. Setelah itu hasil uji ditentukan dengan menggunakan jangka sorong/kaliper. Sampel yang terbentuk zona hambatan diplotkan pada kertas semi logaritma kurva standar masing-masing antibiotika.

3.4.10. Pengukuran Hasil

Diamati dan diukur diameter zona hambat yang terbentuk di sekeliling kertas cakram dengan menggunakan jangka sorong (kaliper). Sampel dinyatakan positif mengandung antibiotik apabila zona hambat yang terbentuk ≥ 2 mm dari tepi kertas cakram. Sampel dinyatakan negatif apabila zona hambat yang terbentuk 0 – 2 mm. Karena zona hambat yang terbentuk < 2 mm dianggap akibat adanya natural inhibitor. Kontrol positif harus membentuk zona hambat 15 – 30 mm, sedangkan kontrol negatif harus tidak membentuk zona hambat.

3.4.11. Pembuatan Standar Kurva Antibiotika

Kultur media disiapkan untuk masing-masing antibiotika. Kemudian di encerkan larutan stock solution standar untuk masing-masing standar antibiotika dengan komposisi konsentrasi bervariasi. Variasi konsentrasi untuk antibiotika oksitetrasiklina, aminoglikosida dan makrolida adalah 0,25 ; 0,5 ; 1,0 ; 2,0 dan 4,0. Sedangkan variasi konsentrasi untuk antibiotika penisilina adalah 0,01 ; 0,1 ; 0,25 dan 1 µg/ ml. Selanjutnya kertas cakram steril diletakkan diatas permukaan kultur media. Tiap cawan petri berisi 4 buah kertas cakram Sebelum di inkubasi, kultur media dibiarkan pada suhu kamar selama 30-60 menit. Inkubasikan di dalam inkubator, untuk oksitetrasiklin pada suhu 300C, makrolida dan tilosin pada suhu 360C dan penisilin pada suhu 550C, masing-masing selama 18-24 jam. Hasil uji ditentukan dengan menggunakan jangka sorong/kaliper dan dikonfirmasi pada kurva standar masing-masing anti biotika.


(49)

0.25 0 0 1.55 0.99 0.79 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 Zo n a H a m b a t ( m m )

Daging Daging Daging Hati Ginjal Kaki

Penisilin Tetrasiklin M akrolida Aminoglikosida

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian residu antibiotika terhadap sampel daging bagian paha, sayap, dada, hati, ginjal dan kaki ayam pedaging menggunakan metode Bio-Assay atau

Screening Test yang mengacu pada SNI 01-6366-2000 tentang batas maksimum

residu dalam bahan pangan asal hewan. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5. Rata-rata Zona Hambat Residu Antibiotika (Penisillin) Antara Daging (Paha, Dada, Sayap), Organ (Hati, Ginjal) dan Kaki Ayam Pedaging

Zona Hambat No. Sampel Jumlah

Penisilin Tetrasiklin Makrolida Aminoglikosida 1. Hati 31 1,55 ± 8,53 Negatif Negatif Negatif 2. Ginjal 31 0,99 ± 6,34 Negatif Negatif Negatif 3. Daging Paha 31 0,25 ± 1,85 Negatif Negatif Negatif 4. Kaki 31 0,79 ± 3,77 Negatif Negatif Negatif 5. Daging Dada 31 Negatif Negatif Negatif Negatif 6. Daging Sayap 31 Negatif Negatif Negatif Negatif Berdasarkan tabel di atas terlihat golongan antibiotika tetrasiklin, makrolida dan aminoglikosida tidak terbentuk zona hambat, sedangkan golongan penisilin terbentuk zona hambat. Hasil rataan zona hambat pada daging paha, hati, ginjal dan kaki ayam pedaging masih berada di bawah standard SNI 01-6366-2000. Ilustrasi dari rata-rata zona hambat seperti grafik di bawah ini:

Grafik 1. Rataan Zona Hambat Residu Antibiotika Golongan Penisilin, Tetrasiklin, Makrolida dan Aminoglikosida


(50)

37

Organ hati mempunyai rataan zona hambat yang paling besar dibandingkan dengan lima bagian lainnya, sedangkan bagian dada dan sayap tidak ada sebaran rataan zona hambat karena nilainya adalah negatif.

Tidak ditemukannya residu antibiotika pada karkas, organ dan kaki ayam pedaging, dimungkinkan karena farmakokinetika obat pada fase farmakokinetika yaitu, absorpsi, transpor, biotransformasi, distribusi dan ekskresi.

a. Absorpsi

Antibiotika yang diberikan secara oral masuk ke dalam lambung, kemudian di usus hancur menjadi molekul kecil dan menembus dinding usus halus. Penyerapan obat dari usus ke sirkulasi darah melalui filtrasi, difusi atau transfor aktif, kecepatan resorpsi tergantung pada pemberian, cara pemberian dan sifat fisikokimiawi obat. Disini kecepatan larut partikel obat (dissolution rate) mempunyai peranan yang penting, semakin halus obat semakin cepat larut dan resorpsi obat. Contohnya sulfonamida dan khloramfenikol (Mutchler, 1999 dan Phillips et al., 2004) .

Antibiotika yang digunakan sebagai growth promoter, daya absorbsi paling kecil oleh usus artinya antibiotika ini bekerja hanya membunuh bakteri patogen, sehingga jenis antibiotika tersebut sama sekali tidak ada resiko terakumulasi di organ tubuh ternak. Dosis penggunaannya sangat kecil yaitu antara 1 – 2 ppm atau 1 – 2 kg/ton pakan, sifat antibiotika harus mudah terdegradasi oleh alam, sesuai Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 806/Kpts/TN.260/12/94 tentang klasifikasi obat hewan, bahwa antibiotika yang digunakan tidak memiliki waktu paruh atau waktu henti (withdrawal time) obat (Anonimus, 1991).

b. Transpor

Agar transpor obat ke target sasaran tercapai dalam organ tubuh, zat aktif diolah menjadi suatu bentuk pemberian. Bentuk utama transpor yaitu, secara lokal (intranasal, intraokuler, intra vaginal, intrapulmonal dan kulit) dan sistemis (oral, sublingual, injeksi, inplantasi subkutan dan rektal). Molekul zat kimia melintasi membran semipermeabel berdasarkan adanya perbedaan konsentrasi seperti, melintasi dinding pembuluh ke ruang antar jaringan (interstitium) (Adam, 2002). Mekanisme transpor terbagi dua secara pasif dan aktif, transpor pasif tidak memerlukan energi dan menggunakan cara filtrasi melalui pori-pori kecil dari


(1)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pengujian yang dilakukan pada daging dada, sayap, paha, hati, ginjal dan kaki (ceker) tidak ditemukan residu antibiotika pada 30 ekor sampel ayam pedaging yang berasal dari 6 (enam) pasar tradisional di Wilayah Kabupaten Tangerang. Tidak ditemukannya residu antibiotika pada contoh sampel tersebut dimungkinkan karena farmakokinetika obat pada fase farmakokinetika seperti, absorpsi, transpor, biotransformasi, distribusi dan ekskresi.

Saran

Perlu dilakukan penyuluhan mengenai penggunaan antibiotika yang rasional dan tepat guna kepada peternak skala kecil sampai menengah dan industri pakan, serta perlu adanya perbaikan peraturan dan ketegasan penggunaan antara obat hewan dengan manusia.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Adam R. 2002. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. IOWA State University Press/Ames. USA

Anief M. 1993. Farmasetika. Penerbit Gajah Mada University. Yogyakarta.

Anonimus.1991. Ringkasan Imbuhan Pakan (Feed Additive) untuk Hewan. Edisi II. Direktorat Jenderal Peternakan.Departemen Pertanian. Jakarta

Anonimus. 2002. Feed Additive Compendium. Vol. 41. The Miller Publishing Company. Minnoseta. USA.

Anthony T. 1997. Food Poisoning. Departement of Biochemistry Colorado Estate University. New York.

Bahri S, Maryam R, Yuningsih, Murdiati TB. 1992. Residu Tetrasiklin, Khlortetrasiklin dan Oksitetrasiklin pada Susu Segar Asal Beberapa DATI II di Jawa Tengah.

Bahri S, Masbulan E dan Kusumaningsih A. 2005. Proses Praproduksi sebagai Faktor Penting dalam Menghasilkan Produk Ternak yang Aman untuk Manusia. Jurnal Litbang Pertanian 24 (1).

Barber DA, Miller GY, McNamara PE. 2003. Models of Antimicrobial Resistance and Foodborne Illness: Examining Assumption and Practical Applications. J. Food Prot. 66(4):700-709.

Benzoen A, Haren WV, Hanekamp JC. 2000. Emergence of a Debate : AGPs and Public Health. Heidelberg Appleal Nederland Foundation. Amsterdam. Pp:1-49, 110-153. http://Cmr.asm.org/ [2 Februari 2006].

Butaye P, Devriese A, Haesebrouck F. 2003. Antimicrobial Growth Promotors Used in Animal Feed: Effects of Less Well Known Antibiotics 0n Gram-Positive Bacteria. Clinical Microbiology Reviews. 16(2):175-188.

Cain BD, Norton PJ, Eubanks W, Nick HS, Allen CM. 1993. Amplifiation of The bacA Gene Confers Bacitacin Reistance to Escherichia coli. J. Bacteriol. 175:3784-3789.

Chalker AF, Ingraham KA, Lunsford RD, Bryant AP, Bryant J, Wallis NG, Broskey JP, Perason SC, Holmes DJ. 2000. The bacA Gene, Which Determines Bacitracin Susceptibility in Streptocccus pneumonie and


(3)

45

Staphylococcus aureus, is also Required for Virulence. Microbiology. 146:1547-1553.

Chang CS, Tai TF, Li HP. 2000. Evaluating the Applicability of the Modified Four-Plate Test on the Detection of Antimicrobial Agent Residues in Pork. J.Food and Drug Analysis. 8(1): 25-34.

Charles LH, David GW, John JM, Cesar M, Christine L, Charlene H. 2001. Characterization of Antibiotic-Resistant Bacteria in Rendered Animal Products. Avian Diseases. 45:953-961.

Chia JK, Nakata M, Park SS, Lewis RP, McKee B. 1995. Use of Bacitracin Theraphy for Infection due to Vancomycin-Resistant Enterococcus faecium. Clin. Infect. Dis. 21:1520.

Chinali G, Nyssen E, Di Giambattista, Cocito C. 1998. Action of Erythromycin and Virginiamycin S on Polypeptide Synthesis in Cell-Free System. Biochim. Biophys. Acta. 951:42-52.

Crawford L dan Franco DA. 1994. Animal Drug and Human Health. Technomic Publishing Co. Inc. USA.

Darsono R. 1996. Deteksi Residu Oksitetrasiklin dan Gambaran Patologi Anatomi Hati dan Ginjal Ayam Kampung dan Ayam Broiler yang di Jual di Lima Pasar di Kodya Surabaya. Media Kedokteran Hewan. 12 (No.3): 178-182. [Dinas Pertanian dan Peternakan] Distannak. 2005. Laporan Tahunan 2005

Distannak Kabupaten Tangerang.

[Dinas Pertanian dan Peternakan] Distannak. 2006. Laporan Tahunan 2006 Distannak Kabupaten Tangerang.

[Direktorat Jenderal Peternakan] Ditjenak. 2006. Laporan Tahunan 2006 Ditjenak. Departemen Pertanian. Jakarta.

Doyle ME. 2006. Veterinary Drug Residues in Processed Meats – Potential Health Risk. University of Wisconsin-Madison. http://wisc/edu/fri/ [10 Maret 2006].

Elwinger K, Berndtson KE, Engström B, Fossum O, Waldenstendt. 1998. Effect of Antibiotic Growth Promoters and Anticoccidials on Growth of Clostridium perfringens in The Caeca and on Perfomance of Broiler Chicken. Acta Vet. Scand. 39:433-411.


(4)

Gaudin V, Maris P, Fuselier R, Ribouchon JL, Cadieu N, Rault A. 2004. Validation of a microbiologicacl method: the STAR protocol, a five-plate test, for the screening of antibiotic residues in milk. J. Food Additives and Contaminants. 21(5):422-433.

Focosi D. 2005. Antimcrobial for Bacteria. http://focosi.altervista.org/ [2 Februari 2006].

Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. 1996. Mikrobiologi. Edisi XVI. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.

Hermawati D. 1997. Tesis Residu Antibiotik Dalam Ayam Pedaging Yang Diberi Dosis Pengobatan Spiramisina. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor

[Indeks Obat Hewan Indonesia] IOHI. 2005. Indeks Obat Hewan Indonesia. Assosiasi Obat Hewan Indonesia dan Ditjen Bina Produksi Peternakan. Jakarta.

Kadarwati U, Gitawati R, Uci R. 1989. Pola Resistensi Kuman Kokus terhadap Enam Jenis Antibiotika di Wilayah Jakarta Timur. Cermin Dunia Kedokteran 56: 45-48.

Kartasudjana R dan Suprijatna E. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.

Kusumaningsih A. 2007. Disertasi Profil dan Gen Resistensi Antimikroba Salmonella enteritidis Asal Ayam, Telur dan Manusia. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor

Laporan Tahunan. 2005. Balai Pengujian Mutu Produk Ternak. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Dinas Pertanian.

Laporan Tahunan. 2005. Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner. Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta.

Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner. 2005. Metoda Pengujian Residu Antibiotika pada Daging, Susu dan Telur dengan Screening. (Tidak Dipublikasikan).

Lukman, DW. 1994. Periode Residu Doksisiklin pada Daging dan Jeroan Broiler serta Pengaruh Pemanasan terhadap Kandungan Residunya. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.


(5)

47

Martin AR. 1992. Buku Teks Wilson dan Gisvold Kimia Farmasi dan Medisinal Organik. JB Lippincott Company. Philladelphia.

Mazell D dan Davies J. 1999. Antibiotic Resistance in Microbes. Cell. Mol Life Sci. 56:742-754.

Mitchell J, Griffiths MW, McEwen SA, McNabWB, Yee AJ. 1998. Antimicrobial Drug Residues In Milk and Meat: Causes, Concerns, Prevalence, Regulations, Tests, and Test Performance. J. Food Protection 61(6):742-56.

Mutchler E. 1999. Dinamika Obat. Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi Edisi Ke-5. Penerbit ITB. Bandung.

Moerad B. 2003. Pencemaran Salmonella spp. Dalam Produk Pangan Asal Ternak dan Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Masalah Keamanan Pangan. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Direktorat Jendral Produksi Peternakan. Disampaikan pada Simposium Sehari Purna Bakti “Teknologi

Veteriner dalam Peningkatan Hewan dan Produknya”. Balitvet, 12 Maret 2003.

Naim R. 2002. Antibiotik dan Resistensi Mikroba. Pasca Sarjana IPB. Bogor. Nhiem DV. 2005. Analysis of Tetracycline Residues in Marketed Pork in Hanoi,

Vietnam. Master of Science in Veterinary Public Health. Chiang Mai University and Freie University Berlin.

Nicholls TJ. 2000. Contamination of Food is A Public Health, Public Preception and Trade Sigue. Aust .Vet. J. 78(1):32-33.

Peraturan Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. 1997. Proyek Penanganan Keswan Pengawasan Masyarakat Veteriner. Pemerintah Propinsi Daerah. Jawa Barat.

Peter TL, Fulton RM, Roberson DK Dan Orth MW. 2002. Effect Of Antibiotics On In Vitro And In Vivo Avian Cartilage Degradation. Avian Diseases 46:75-86.

Phillips I, Casewell M, Cox T, Groot B, Friis C, Jones R, Nightingale C, Preston R and Waddell J. 2004. Does the Use of Antibiotics in Food Animals Pose A Risk to Human Health?. Journal Of Antimicrobial Chemotherapy. 53;28-52. http://www.oxfordjournals.org/faq [2 Februari 2006].


(6)

(PIC) Poultry Industry Council. 2006. Water Medications. Compendium Article Series. http://poultryindustrycouncil/ [10 Maret 2006].

Prescott JF, Baggot JD. 1997. Antimicrobial Therapy in Veterinary Medicine. IOWA State University Press/Ames. USA

Purvis A. 2003. Meat Bacteria Can Breed Deadly Superbugs In Humans. http://www.rense.com/ [23 Juli 2006].

Revolledo L, Ferreira AJP, Mead GC. 2006. Prospects in Salmonella Control: Competitive Exclusion, Probiotics, and Enhancement of Avian Intestinal Immunity. J. Appl. Poult. Res. 15(2):341-351.

Salyers AA, Whitt DD. 2005. Bacterial Pathogenesis A Molecular. Approach. ASM. Press. Wassington DC.

[Standard Nasional Indonesia] SNI. 2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dan Batas Maksimum Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan. SNI 01-6366-2000. Dewan Standardisasi Nasional.

Tauchi T.1984. Technical Manual for Veterinary Drug Quality Control Vol 1. Agricultural Development Cooperation Department Japan Internal Cooperation Agency. Jepang.

Teuber M. 2001. Veterinary Use and Antibiotic Resistance in Microbiology. Current Opinion in Microbiology. 4:493-499.

Tjay TH dan Raharja K. 2005. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Edisi VII. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Youssef MH, Di Cuollo CJ, Free SM, Scott GC. 1983. The Influence of a Feed Additive Level of Virginiamycin on The Course of an Experimentally Induced Salmonella typhimurium Infection in Broilers. Poult. Sci. 62:30-37. Yuningsih, TB. Murdiati S. Joariah. 2005. Keberadaan Residu Antibiotika Tilosin

(Golongan Makrolida) dalam Daging Ayam Asal Daerah Sukabumi, Bogor dan Tangerang. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Zhang R, Eggleston K, Rotimi V dan Zeckhauser RJ. 2006. Antibiotic Resistence As A Global Theat : Evidence From China, Kuwait and United States. http://www.pubmed.gov [7 Februari 2007].