5
Mediator lain yang kuat seperti leukotriene tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma juga dikeluarkan oleh sel sel inflamasi
ini. Kesemua proses ini menyebabkan inflamasi mukosa saluran napas yang akhirnya mengakibatkan hipereaktivitas bronkus yang memicu terjadinya asma
Nelson, 2007. Selain itu, pathogenesis asma turut dikaitkan dengan terjadinya airway
remodelling. Hal ini kerana proses inflamasi yang kronik akan menimbulkan kerusakan jaringan yang diikuti oleh proses penyembuhan healing process yang
menghasilkan perbaikan repair pada mukosa saluran pernapasan. Penyakit asma mempunyai ketergantungan antara inflamasi dan remodelling dimana perubahan
struktur seperti hiperplasia otot polos jalan nafas dan hipertropi kelenjar mukus mudah terjadi PDPI, 2011.
Di samping itu, yang turut terjadi adalah perubahan struktur parenkim pada salur napas. Sebenarnya airway remodelling ini merupakan fenomena
sekunder dari inflamasi. Dipercayai lingkungan sangat berpengaruh pada perburukan atau terjadinya asma kerana akibat oksidan yang terdapat pada udara
sekitar akan memicu terjadinya apoptosis PDPI, 2011.
2.3. Patofisiologi Serangan Asma
Serangan asma timbul apabila seorang yang atopi terpapar ataupun berkontak dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari. Ini akan
memicu pembentukkan imunoglobulin E IgE . Faktor atopi ini dipercayai diturunkan secara genetik. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran
nafas atau kulitakan ditangkap oleh sel makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell APC.
Setelah alergen diproses dalam badan sel APC alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada sel B dengan
dilepaskanya interleukin 2 IL-2 untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk imunoglobulin E IgE.
IgE yang terbentuk akan diikat oleh sel mastosit yang ada dalam jaringan dan sel basofil pada sirkulasi. Apabila proses ini
terjadi, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Apabila
6
orang yang sudah rentan terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama maka alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan sel
mastosit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca
++
kedalam sel dan perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Akibat menurunnya kadar cAMP degranulasi sel akan terjadi PDPI, 2011.
Seterusnya, proses ini akan menyebabkan terlepasnya zat – zat kimia
seperti histamin, slow releasing substance of anaphylaxis SRS-A, eosinophilic chomotetik faktor of anaphylaxis ECF-A dan lain-lain. Kesemua mediator ini
akan menimbulkan kontraksi otot-otot polos baik pada saluran napas yang besar ataupun yang kecil. Akibat kontraksi otot polos di sekitar saluran pernapasan
terjadilah suatu keadaan yang disebut sebagai bronkospame dimana penderita sering mengeluhkan rasa sesak di dada. Selain itu, akibat dari peningkatan
permeabilitas kapiler, saluran pernapasan akan menyempit dengan lebih parah lagi. Oleh sebab itu, gangguan ventilasi akan berlaku disamping distribusi
ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru yang jelek. Akibatnya terjadilah hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap seterusnya Barbara,
1996. Serangan asma yang mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga
stadium. Stadium pertama ditandai dengan batuk berkala dan kering. Batuk ini terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpal. Pada stadium ini terjadi
turut dijumpai edema dan pembengkakan bronkus. Stadium kedua ditandai dengan adanya batuk yang diserta dengan mukus yang jernih dan berbusa. Selain
itu, pasien kelihatan sesak ketika bernapas dan akan berusaha untuk bernafas dalam. Turut terjadi adalah proses ekspirasi yang memanjang dan diikuti dengan
bunyi mengi wheezing . Oleh demikian, pasien cendurung untuk duduk dengan posisi tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur. Pada stadium kedua penderita
kelihatan pucat dan gelisah serta terdapat perubahan warna kulit menjadi biru. Stadium ketiga ditandai dengan hampir tidak terdengar suara nafas karena aliran
udara yang kecil, pernafasan yang dangkal dan tidak teratur serta irama pernapasan yang tinggi karena asfiksia Tjen Daniel, 1991 .
7
2.4. Epidemologi Asma