Pengaruh suhu dan waktu proses sulfonasi metil ester jarak pagar 1. Densitas

Tabel 4 Nilai IFT pada berbagai tingkat salinitas Salinitas ppm Nilai IFT dynecm Blanko 7,699 10000 0,327 20000 0,382 30000 0,492 Pada Tabel 4 terlihat bahwa salinitas memberikan pengaruh terhadap nilai IFT surfaktan MES dengan meningkatnya nilai IFT dari 0,327 dynecm sampai 0,492 dynecm. Hasil pengujian bahkan menunjukkan bahwa nilai IFT surfaktan MES pada kondisi salinitas lebih baik dibandingkan nilai IFT blanko. Tingkat salinitas yang diinginkan dalam aplikasi EOR harus rendah, karena dapat mempengaruhi proses recovery minyak bumi, seperti terbentuknya sedimenendapan maupun korosi pada pipa dan peralatan lainnya. Hasil uji kinerja surfaktan MES dari ME jarak pagar pada air injeksi sumur minyak bumi dengan tingkat salinitas di bawah 10000 ppm dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Nilai IFT surfaktan MES jarak pagar pada salinitas 0-1000 ppm Tingkat salinitas Nilai IFT dynecm Sumur 1 Sumur 2 0 ppm 1.58E-01 1.51E-01 5000 ppm 1.52E-01 1.38E-01 10000 ppm 1.35E-01 1.27E-01 Berdasarkan Tabel 5, nilai kinerja surfaktan cenderung meningkat seiring dengan peningkatan salinitas. Namun demikian peningkatan salinitas yang terlalu tinggi harus dihindari pada aplikasi proses EOR dilapangan. Nilai IFT surfaktan MES dari jarak pagar yang dihasilkan dari penelitian ini masih pada kisaran nilai 1,2-1,5 E-01. Tingginya nilai IFT tersebut disebabkan karena belum sempurnanya proses sulfonasi, terutama karena tidak dilakukannya proses aging pada MESA, sehingga masih banyak produk antara yang tidak terkonversi menjadi MES. Selain menurunkan kinerja MES, produk antara tersebut dapat meningkatkan pembentukan disalt pada saat netralisasi yang akan menurunkan rendemen MES. Pada proses aging, senyawa intermediet RCHSO 3 HCOOSO 3 CH 3 , akan bereaksi dengan residu metil ester sehingga konsentrasi metil ester yang tidak terkonversi akan menurun. Interpretasinya senyawa intermediet akan mengalami rearrangement sehingga diperoleh sulfonic acid RCHSO 3 COOCH 3 dan residu intermediet yang jika dinetralkan akan menghasilkan disalt dan sodium metil sulfat. Menurut Susi 2010 proses aging secara teoritis menghasilkan sebagian besar produk MESA RCHSO 3 COOCH 3 dan sisa campuran anhidrida RCHSO 3 COOSO 3 CH 3 . MESA jika dinetralkan maka akan menghasilkan MES reaksi 1. Sedangkan campuran anhidrida ini jika langsung dinetralkan dengan NaOH maka akan menyebabkan terbentuknya disalt dan sodium metil sulfat reaksi 2. Oleh karena itu untuk meningkatkan yield MES maka campuran anhidrida ini harus direaksikan dengan metanol untuk reesterifikasi membentuk MESA, sehingga jika dinetralkan dengan metanol akan dihasilkan MES reaksi 3. Demikian pula menurut MacArthur et al. 1998 bahwa untuk menghindari terbentuknya disalt dilakukan proses aging pasca sulfonasi pada reaktor falling film dan penambahan metanol sebelum netralisasi. Reaksi netralisasi dan pembentukan disalt disajikan pada Gambar 26. Gambar 26 Reaksi pembentukan MES, di-salt dan reesterifikasi Mac Arthur et al. 1998 ……Reaksi 1 ………Reaksi γ ……Reaksi 1 ………Reaksi β

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Hasil kajian proses pembuatan metil ester sulfonat dari metil ester jarak pagar menunjukkan bahwa faktor suhu input pada taraf faktor suhu 80, 90 dan 100 o C pada tingkat kepercayaan 95 berpengaruh nyata terhadap densitas, viskositas, warna, pH, bilangan asam, bilangan iod dan kadar bahan aktif. Interaksi suhu input dengan lama sulfonasi pada tingkat kepercayaan 95 juga berpengaruh terhadap viskositas, warna, bilangan iod dan kadar bahan aktif. MESA dengan sifat fisiko kimia terbaik diperoleh dari suhu input 80 o C dengan lama sulfonasi 6 jam. MESA yang dihasilkan memiliki rata-rata kadar bahan aktif 15,01 , densitas 1,03 gcm 2 , viskositas 466,50 cp, warna 1,16 A, pH 0,63, bilangan iod 34,24 mg iodg MESA dan bilangan asam 21,07 mg KOHg. Kondisi tunak suhu input 80 o C dicapai pada lama proses sulfonasi 4 jam. Pada kondisi tunak nilai rata-rata bahan aktif MESA hingga 6 jam relatif tidak berubah.

5.2. SARAN

1. Perlu dilakukan kajian proses sulfonasi ME jarak pagar pada kisaran suhu input di bawah 80 °C dan lama proses sulfonasi lebih dari 6 jam serta pengaturan suhu reaktor single tube falling film. 2. Untuk meningkatkan kinerja surfaktan yang dihasilkan perlu dilakukan peningkatan kualitas MESA dengan melakukan proses aging dan formulasi surfaktan dengan bahan lain. DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. 1995. Washington: AOAC. [ASTM] American Society for Testing and Material D 1331 2000. Annual Book of ASTM Standards: Soap and Other Detergents, Polishes, Leather, Resilient Floor Covering. Baltimore: ASTM. Bailey AE. 1959. Industrial Oil and Fat Products. 2 nd Ed. New York: Interscience Publishers. Bernardini E. 1983. Vegetable Oils and Fats Processing. Volume II. Rome: Interstampa. De Groot WH. 1991. Sulphonation Technology in the Detergent House, Netherland: Kluwer Academic Publisher. Flider FJ. 2001. Commercial Considerations and Markets for Naturally Derived Biodegradable Surfactants. Inform 1212: 1161-1164. Formo MW. 1954. Ester Reaction of Fatty Materials. Di dalam : Mittelbach M dan Remschmidt C. Biodiesel The Comprehensive Handbook. Austria: Martin Mittelbach Publisher. Foster NC. 1996. Sulfonation and Sulfation Processes. Di dalam Spitz, L. Ed. Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. Champaign, Illinois: AOCS Press. Gerpen JHV et al. 2006. Determining the Influence of Contaminants on Biodiesel Properties. Final report prepared for The Iowa Soybean promotion Board. Iowa State University. 28 p. Gerpen JHV, B Shanks, R Pruszko, D Clements, G Knothe. 2004. Biodiesel Production Technology. Colorado: National Renewable Energy Laboratory. 106 p Gervasio GC. 1996. Deterg ency. Di dalam Baileys’ Industrial Oils and Fats Product, New York: Wiley Interscience Publisher. Gupta S, D Wiese. 199β. Soap, Fatty Acids, and Synthetic Detergent. In: Riegel’s Handbook of Industrial Chemistry. 9th Editon. Kent JA Ed.. New York: Van Nostrand Reinhold Gubitz GM, M Mittelbatch, M Trabi. 1999. Exploitation or Tropical Oil Seed Plant Jatropha curcas L. Bioresource Technology 67 : 73-82. Hambali E, S Mujdalipah, Armansyah HT, Abdul WP. 2006. Teknologi Bioenergi. Jakarta : Agromedia Pustaka. Hamilton RJ. 1983. The Chemistry of Rancidity in Foods. London : Applied Science Publishers. Hasenhuettl GL. 1997. Overview of Food Emulsifier. In : Food Emulsifier and Their Applications. G.L. Hasenhuettl dan R.W. Hartel Eds.. New York : Chapman Hall. Holmberg K, Jonssson B, Kronberg B, Lindman B. 2002. Surfactants and Polymers in Aqueous Solution. England: John Wiley Sons,Ltd. Hui YH. 1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Edisi 5, Vol 2. New York: John Willey Sons, Inc. Jungermann E. 1979. Fat-Based Surface-Active Agent. Baileys Industrial Oil and Fat Products. Edisi 4, Vol. I. New York : John Willey Son. Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : UI Press Krisnangkura K, Simamaharnnop R. 1992. Continuous Transesterification of Palm Oil in an Organic Solvent. JAOCS, Vol. 69, 166-169. Lotero E, et al. 2004. Synthesis of Biodiesel via Acid Catalysis. http:scienzechimiche.unipr.it Lewandowski H, MJ Schwuger. β00γ. α-Sulfomonocarboxylic Esters. di dalam Novel Surfactants: Preparations, Applications, and Biodegradibility 2nd Edition Revised and Expanded. Holmberg K ed. New York : Marcel Dekker Inc. MacArthur WB, WB Sheats, NC Foster. 1997. Meeting The Challenge of Methyl Ester Sulphonate. USA : The Chemithon Corporation. Mattjik AA, M Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Bogor : IPB Press. Matheson KL. 1996. Formulation of Household and Industrial Detergents. In : Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. Spitz, L. Ed. Champaign, Illinois : AOCS Press. Meher LC, D Vidya Sagar, SN Naik. 2006. Technical Aspects of Biodiesel Production by Transesterification – a review. Renewable and Sustainable Review Energy Reviews 10:248-268 Moretti GF, Adami I. 2001. Evolution of Processing Design as a Function of Update Feedstock and Surfactant Quality Specifications. Milano. Italy : Ballestra Spa. Moretti GF, Adami I, Nava F, Molteni E. 2001. The Multitube Film Sulfonation Reactor for The 21st Century. Milano. Italy : Ballestra Spa. Mujdalipah S. 2008. Proses Produksi Methyl Ester Sulfonic Acid MESA dari Olein Sawit menggunakan Single Tube Falling-Film Reactor STFR. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Mulyani, A, F Agus, David Allelorung. 2006. Potensi Sumber Daya Lahan untuk Pengembangan Jarak Pagar Jatropha curcas L. di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 254. Noureddini H, Harkey D, Medikonduru V. 1998. A Continuous Process for the Conversion of Vegetable Oil into Methyl Ester of Fatty Acid. JAOCS, Vol. 75, No. 12, pp. 1775-1783. Pore J. 1976. Oil and Fats Manual. Andover, New York : Intercept Ltd. Prihardana R, R Hendroko. 2006. Petunjuk Budi Daya Jarak Pagar. Jakarta: Agromedia Pustaka. Roberts DW, L Giusti, A Forcella. 2008. Chemistry of Methyl Ester Sulfonates. Biorenewable Resources 5 : 2-19. Rondinini S, Buck RP, Covington AK. 2001. The Measurement of pH Definition, Standards and Producers. IUPAC Provisional Recommendations. Sanford SD, et al. 2009. Feedstock and Biodiesel Characteristics Report. Renewable Energy Group. Schuchardta U, Serchelia R, Vargas RM. 1998. Transesterification of Vegetable Oils: a Review. J Braz Chem. Soc. 9 1:199-210. Setyaningsih D, Hambali E, Yuliani S, Sumangat D. 2007. Peningkatan Kualitas Biodiesel Jarak Pagar Melalui Kombinasi Minyak Nabati. IPB. Surfactan and Bioenergy Research Center LPPM IPB. SNI. Standard Nasional Indonesia. 2006. Biodiesel. Jakarta: SNI No. 04 –7182– 2006. Stein W , H Baumann. 1975. α-Sulfonated Fatty Acids and Esters: Manufacturing Process, Properties, and Applications. AOCS. P : 323 – 329. Susi. 2010. Proses Aging Pasca Sulfonasi Metil Ester Olein Sawit untuk Meningkatkan Kinerja Methyl Ester Sulfonic Acid MESA. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor Syah ANA. 2008. Jarak Pagar : Bahan Bakar Alternatif yang Ramah Lingkungan. Jakarta: Agromedia Pustaka. Watkins C. 2001. All Eyes are on Texas. Inform 12 : 1152-1159. Yamada K, S Matsutani. 1996. Analysis of the Dark-Colored Impurities in Sulfonated Fatty Acid Methyl Ester. J. Am Oil Chem Soc, Vol. 73 1: 121 - 125. LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Minyak Jarak Pagar 1. Kadar Air Metode Karl Fischer AOAC, 1984 a. Pereaksi Karl Fischer 133 g Iod dilarutkan dalam 425 piridin kering dalam botol kering. Kemudian ditambahkan 425 ml metanol atau etilen glikol monometil eter hati-hati jika menggunakan monometil eter karena dapat merusakmembocorkan cerat. Campuran tersebut didinginkan pada ice bath sampai suhu 4 ⁰ C dan ”bubble” dalam 10β-105 g SO 2 dan dibiarkan selama 12 jam. Pereaksi ini distabilkan sehingga ekuivalen airnya lebih kurang 5 mg H 2 Oml pereaksi. 50 ml formamida teknis dimasukkan ke dalam gelas Berzelius 200 ml yang telah diberi magnetik stirrer. Dan ditempatkan pada titrimeter lalu dititrasi sampai mendekati titik akhir perlahan-lahan. Titrasi dilanjutkan sampai penambahan 0,1 ml menyebabkan penunjuk bergerak ke kanan titik nol dan bertahan selama 60 detik. Ditambahkan dengan cepat disodiumtartrat 2H 2 O sebanyak 0,250-0,350 g jumlah yang ditambahkan diketahui dengan tepat. Kemudian dititrasi dengan cepat sampai titik akhir titrasi tercapai. Titrasi diulangi dan dihitung rata-rata mg H 2 Oml pereaksi = mg Na 2 C 4 H 4 O 6 .2H 2 O x 0,1566ml pereaksi b. Pelarut Karl Fischer Campuran metanol anhidrat dan CHCl 3 dalam jumlah yang sama catatan : Pereaksi Karl Fischer juga tersedua secara komersil, sehingga tidak perlu membuat pereaksi hanya perlu menstabilkan dan menstandarisasi Prosedur Standarisasi Diimbang dengan tepat lebih kurang 125 mg H 2 O dengan menggunakan syringe 1 ml Kemudian dimasukkan ke dalam 30-50 ml pelarut pretitrasi untuk menjaga penguapan, jarum syringe ditutup dengan penutupnya kembali kecuali waktu mengeluarkan H 2 O. dititrasi dengan menggunakan pereaksi a sampai mendekati titik akhir titrasi kemudian ditambahkan 0,1 ml lagi sampai titik akhir bertahan selama 1 menit biasanya 50μamp Dihitung nilai C = berat g H 2 Oml pereaksi Titrasi diulangi tidak boleh lebih atau kurang dari 0,1 mg H 2 Oml pereaksi dari ulangan 1 Penetapan sampel Sampel dimasukkan ke dalam kantong ”whirl park”, tempatkan dalam gelas piala 400 ml dan kemudian dimasukkan oven suhu 40 ±2⁰ C selama 2 jam sampai cair Campuran dihomogenkancampur merata dengan mengaduk menggunakan gelas pengaduk Sejumlah sampel diambil yang kira-kira mengandung ± 100 mg H 2 O dengan menggunakan syringe 10 ml Sampel ditambahkan ke dalam 30-50 ml pereaksi pratitrasi dan timbang kembali untuk mengetahui berat sampel yang diambil Sampel dititrasi seperti waktu standarisasi : H 2 O = ml pereaksi x C x 100 g sampel

2. Bilangan Iod AOAC, 1995

Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0,5 gram di dalam erlenmeyer 250 ml, lalu dilarutkankan dengan 10 ml kloroform atau tetraklorida dan ditambahkan dengan 25 ml pereaksi hanus. Semua bahan diatas dicampur merata dan disimpan di dalam ruangan gelap selama satu jam. Sebagian iodium akan dibebaskan dari larutan. Setelah penyimpanan, ke dalamnya ditambahkan 10 ml larutan KI 15 . Iod yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan Na 2 S 2 O 3 0,1 N sampai warna biru larutan tidak terlalu pekat. Selanjutnya ditambahkan larutan kanji satu persen dan titrasi kembali sampai warna biru hilang. Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa menggunakan minyak B-S x N x 12,69 Bilangan Iod = G Keterangan : B = ml Na 2 S 2 O 3 blanko S = ml Na 2 S 2 O 3 contoh N = normalitas Na 2 S 2 O 3 G = berat contoh 12,69 = berat atom iod10

3. Bilangan Penyabunan SNI 01-2891-1992

Sebanyak dua gram contoh ditimbang dan dimasukan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 25 ml KOH Alkohol 0,5 N dengan menggunakan pipet dan beberapa butir batu didih. Erlenmeyer yang berisi larutan dihubungkan dengan pendingin tegak dan dididihkan di atas penangas air atau penangas listrik selama satu jam. Lalu ditambahkan 0,5 – 1 ml fenolftalein ke dalam larutan tersebut dan dititer dengan HCL 0,5 N sampai warna indikator berubah menjadi tidak berwarna. Lakukan juga untuk blanko. Perhitungan : Bilangan Penyabunan = 56,1 x T x V – V 1 m Keterangan : V = volume HCL 0,5 N yang diperlukan pada peniteran blanko ml V 1 = volume HCL 0,5 N yang diperlukan pada peniteran contoh ml m = bobot contoh gram

4. Kadar Asam Lemak Bebas FFA

Sampel dipanaskan pada suhu 60°C sampai 70°C, kemudian diaduk hingga homogen. Sampel ditimbang sesuai tabel dibawah ini ke dalam Erlenmeyer 250 ml. Asam lemak bebas Berat contoh ± 10 g 1,8 10 ± 0,02 1,8 – 6,9 5 ± 0,01 6,9 2,5 ± 0,01 50 ml pelarut yang sudah dinetralkan ditambahkan ke dalam sampel kemudian dipanaskan di atas penangas air atau pemanas dan diatur suhunya pada 40°C sampai contoh minyak larut semuanya. Ditambahkan larutan indikator fenolftalein sebanyak 1-2 tetes pada sampel dan dititrasi dengan larutan titar sambil digoyang-goyang hingga mencapai titik akhir yang ditandai dengan perubahan warna menjadi merah muda merah jambu yang stabil untuk minimal selama 30 detik. Dicatat pengunaan ml larutan titar. Analisis dilakukan sekurang-kurangnya duplo, perbedaan antara kedua hasil uji tidak boleh melebihi 0,05 . Persentase asam lemak dihitung sebagai asam palmitat berdasarkan rumus di bawah ini dan dinyatakan dalam 2 desimal. Asam Lemak Bebas = 282 x N x V x 100 W Dengan: V = Volume larutan titar yang digunakan ml; N = Normalitas larutan titar; W = Berat contoh uji g; 282 = konstanta untuk menghitung kadar asam lemak bebas sebagai asam oleat.

5. Bilangan Asam Asam Lemak Bebas Derajat Asam SNI 01-2891-1992

Sebanyak 2 – 5 gram contoh ditimbang dan kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan dengan 50 ml etanol 95 netral. Larutan dikocok lalu ditambahkan 3 -5 tetes indikator PP dan dititer dengan larutan standard NaOh 0,1 N hingga warna merah muda tetap tidak berubah selama 15 detik. Disiapkan pula penghitungan untuk blanko. Perhitungan : a. Bilangan Asam = V x T x 56,1 m b. Asam Lemak Bebas FFA = M x V x T 10 m c. Derajat Asam = 100 x V x T m Keterangan : V = volume NaOH yang diperlukan dalam peniteran ml T = normalitas NaOH m = bobot contoh gram M = bobot molekul asam lemak

6. Densitas SNI 01-2891-1992

Densitas merupakan perbandingan berat dari suatu volume sampel pada suhu 25 ⁰ C dengan bobot air pada volume dan suhu yang sama. Peralatan yang digunakan adalah piknometer 5 ml. Piknometer dibersihkan dengan cara dibilas dengan aseton kemudian dengan dietil eter. Piknometer kosong diangkat, dikeringkan, dan ditimbang W0. Piknometer yang bersih dan kering diisi dengan air destilasi yang telah didihkan dan didinginkan pada suhu 20 o C dan piknometer disimpan dalam water bath penangas air pada suhu konstan 25 o C selama 30 menit. Piknometer berisi air diangkat, dikeringkan, dan ditimbang W1. Piknometer dibersihkan dan dikeringkan. Sampel dimasukkan ke dalam piknometer hingga meluap dan pastikan tidak terbentuk gelembung udara lalu ditutup. Keringkan pagian luar piknometer, kemudian piknometer berisi sampel dimasukkan ke dalam penangas pada suhu konstan 25 o C selama 30 menit. Piknometer kemudian diangkat, dikeringkan, dan ditimbang W2. Perhitungan: Densitas = W2-W0 W1-W0 Keterangan : W0 = bobot piknometer kosong W1 = bobot piknometer beserta air W2 = bobot piknometer beserta sampel

7. Pengukuran Viskositas Brookfield Viscometer

Pengukuran viskositas atau kekentalan sampel dilakukan dengan pengisian sampel ke dalam gelas piala 250 ml. Penentuan nilai viskositas menggunakan viskometer Brookfield dengan spindel nomor 1 pada putaran 50 rpm jika menggunakan Model RV atau 30 rpm jika menggunakan Model LV viskometer. Steker dipasang pada power supply. Tombol hitam pada viskometer digunakan sebagai pengontrol on ke kanan untuk menyalakan, off untuk mematikan ke kiri, atau pause tengah. Viskometer LV dapat diset untuk 4 macam spindel dengan kaki penahan yang lebih sempit; viskometer RV diset untuk 7 macam spindel dengan wadah dengan kaki penahan yang lebih lebar; HA dan HB viskometer diset untuk 7 macam spindel tanpa kaki. Kecepatan dalam rpm diatur dengan tombol di bagian atas viskometer pada kecepatan yang diinginkan. Viskometer yang digunakan adalah viskometer LV dengan kecepatan 30 rpm Jarum merah untuk membaca skala dipastikan di titik nol. Gunakan tuas di belakang viskometer untuk mengatur kemiringan sehingga jarum merah berhimpit pada titik nol. Spindel dipasang sesuai kekentalan sampel. Makin kental sampel, makin kecil nomor spindel yang digunakan. Sampel dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml. Kaki penahan diturunkan tetapi tidak sampai menyentuh dasar gelas piala. Tombol kontrol ditekan on. Saat piringan skala berputar, skala yang ditunjuk jarum merah dibaca pada putaran pertama. Viskositas cP atau mPa.S = Skala terbaca x Faktor Ukuran kekentalan diperoleh dengan perhitungan di atas dan tabel berikut. Lampiran 2. Prosedur Analisis Metil Ester Jarak Pagar 1. Metode Analisis Standar bilangan Asam BiodieselEster Akil Ditimbang 19 – 21 ± 0,05 gram contoh biodiesel ester alkil ke dalam sebuah labu erlenmeyer 250 ml kemudian ditambahkan 100 ml campuran pelarut yang telah dinetralkan ke dalam labu Erlenmeyer tersebut. Dalam keadaan teraduk kuat, larutan isi labu Erlenmeyer dititrasi dengan larutan KOH dalam alkohol sampai kembali berwarna merah jambu dengan intensitas yang sama seperti pada campuran pelarut yang telah dinetralkan di atas. Warna merah jambu ini harus bertahan paling sedikitnya 15 detik. Volume titran dicatat yang dibutuhkan V ml. Perhitungan Angka asam A a = m N x V x 56,1 mg KOHg biodiesel dengan : V = volume larutan KOH dalam alkohol yang dibutuhkan pada titrasi, ml. N = normalitas eksak larutan KOH dalam alkohol. m = berat contoh biodiesel ester alkil, g. Nilai angka asam yang dilaporkan harus dibulatkan sampai dua desimal dua angka di belakang koma.

2. Metode Analisis Standar Untuk Angka Penyabunan dan Kadar Ester

Biodiesel Ester Alkil Ditimbang 4 – 5 ± 0,005 gram contoh biodiesel ester alkil ke dalam sebuah labu Erlenmeyer 250 ml kemudian ditambahkan 50 ml larutan KOH alkoholik dengan pipet yang dibiarkan terkosongkan secara alami. Blanko disiapkan dan dilakukan analisis blanko secara serempak dengan analisis contoh biodiesel. Langkah-langkah analisisnya persis sama dengan yang tertulis untuk di dalam “prosedur analisis” ini, tetapi tidak mengikut-sertakan contoh biodiesel. Labu Erlenmeyer disambung dengan kondensor berpendingin udara dan didihkan pelahan tetapi mantap, sampai contoh tersabunkan sempurna. Ini biasanya membutuhkan waktu 1 jam. Larutan yang diperoleh pada akhir penyabunan harus jernih dan homogen; jika tidak, perpanjang waktu penyabunannya. Setelah labu dan kondensor cukup dingin tetapi belum terlalu dingin hingga membentuk jeli, bilas dinding-dalam kondensor dengan sejumlah kecil akuades. Kondensor dilepaskan dari labu, kemudian di tambahkan 1 ml larutan indikator fenolftalein ke dalam labu, dan isi labu dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai warna merah jambu persis sirna. Volume asam khlorida 0,5 N yang dihabiskan dalam titrasi dicatat.