Perceraian tanpa melalui proses persidangan di pengadilan agama ditinjau adri undang-undang nomor 1 tahun 1974: studi kasus Desa Kadu Ti'is di Kec. Mekar Jaya Kab. Pandeglang
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk kehidupan yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Perkawinan dalan Bahasa Arab disebut dengan al-nikah atau al-wathi yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.2 Selanjutnya Tahir Mahmood mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan, masing-masing menjadi suami-isteri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran Ilahi. Lebih jelasnya ia menyatakan “Marriage is a relationship of body and soul between a man and woman as husband and wife for the purpose of establishing a happy and lasting family founded an belief in god almighty”.3
Dalam Kompilasi Hukum Islam pengertian perkawinan atau pernikahan yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati “perintah Allah dan melaksanakannya
1
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 2
Imam Taqiyuddin, Kifayatul al-Akhyar fi Hal ghayat al-Ikhtiyar, (Bandung : Al-Ma’Arif, t.t), Juz II, h. 36
3
Tahir Mahmood, Personal law in Islamic Countries, (New Delhi : Academy of law and Religion, 1987), h. 209
(2)
merupakan ibadah.4 Dan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”.5
Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbooek) putusnya perkawinan dipakai istilah “pembubaran perkawinan” (ont binding des
huweliks).6 Yang diatur dalam bab X dengan tiga bagian, yaitu tentang
pembubaran perkawinan pada umumnya (pasal 199), tentang pembubaran perkawinan setelah pisah meja dan ranjang (pasal 200-2006 b), tentang perceraian perkawinan (pasal 207-232 a), dan yang tidak dikenal dalam hukum adat atau hukum agama (Islam) walaupun kenyataannya juga terjadi, ialah bab XI tentang pisah meja dan ranjang (pasal 233-249).
Dengan ibadah dalam sebuah perkawinan menjadi perkawinan yang harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan tercapainya apa yang menjadi tujuan perkawinan yaitu : terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah. Namun seringkali apa yang menjadi tujuan perkawinan itu kandas diperjalanan harus bubar ditengah jalan karena beberapa sebab dan alasan perceraian.
Walaupun perkawinan itu ditujukan untuk selama-lamanya, tetapi ada kalanya terjadi hal-hal tertentu yang menyebabkan perkawinan tidak dapat
4
Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 “Perkawinan Menurut Hukum Islam Adalah Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqal ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”
5
Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”, Lihat Juga Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Fokus Media, 2005), h. 7
6
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia; Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung : Mandar Maju, 1990), Cet Ke 1, h. 160
(3)
diteruskan, misalnya salah satu pihak berbuat serong dengan orang lain, terjadi pertengkaran terus menerus antara suami isteri, suami atau isteri mendapat hukuman lima tahun penjara atau lebih berat, dan masih banyak lagi alasan-alasan yang menyebabkan perceraian.
Adanya perceraian membawa akibat hukum terputusnya ikatan suami isteri. Apabila dalam perkawinan telah dilahirkan anak, maka perceraian juga membawa akibat hukum terhadap anak, yaitu orang tua tidak dapat memelihara anak secara bersama-sama lagi, untuk itu pemeliharaan anak diserahkan kepada salah satu dari orang tua. Di lain pihak akibat perceraian terhadap harta kekayaan adalah harus dibaginya harta bersama antara suami isteri tersebut.7
Dalam pasal 199 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan perkawinan dapat bubar karena (1) kematian salah satu pihak ; (2) keadaan tidak hadirnya suami isteri selama sepuluh tahun, yang disusul oleh perkawinan baru isteri atau suami, setelah mendapat izin dari hakim sesuai dengan pasal 199 ayat 3 dan 4 yang menyatakan bahwa keputusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang dan pembekuan pernyataan bubarnya perkawinan dalam putusan itu dalam registrasi catatan sipil karena kematian salah satu pihak.
Ada beberapa sebab yang menyatakan bahwa perkawinan dapat putus berdasarkan atas persetujuan antara suami-isteri.8 Lebih lanjut dinyatakan dalam pasal 209 ayat (1), (2), (3), dan (4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
7
Masyudin, ‘Akibat Perceraian’, Artikel Diakses Pada Tanggal 19 Juli 2010 dari http://www.Skripsi-Tesis.com,
8
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta : Kencana, 2006), h. 445-446
(4)
alasan yang dapat mengakibatkan perceraian adalah : zina baik yang dilakukan oleh suami atau isteri ; meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja ; suami atau isteri di hukum selama 5 tahun penjara atau lebih yang dijatuhkan setelah perkawinan dilaksanakan ; salah satu pihak melakukan penganiayaan berat yang membahayakan jiwa pihak lain (suami atau isteri).9
Sebenarnya perpisahan suatau ikatan perkawinan merupakan hal yang wajar. Karena akad atau perikatan terjadi jika dua orang yang apabila mempunyai kemauan dan kesanggupan yang dipadukan dalam suatu ketentuan dan dinyatakan denga kata-kata yang bisa dipahami. Dengan demikan terjadilah peristiwa hukum yang disebut dengan perikatan.10 Apabila ikatan tersebut sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena berbagai pertimbangan maka konsekuensinya dapat terjadi talak. Pada dasarnya perkara talak itu diperbolehkan, namun merupakan hal yang amat dibenci oleh Allah SWT.
Idealnya sebuah kehidupan rumah tangga adalah untuk hidup rukun bahagia dan tenteram namun sebuah perjalanan hidup tidak selamanya mulus sesuai yang diharapkan, kadang terdapat perbedaan pandangan dalam memahami kehidupan dan pertengkaran diantara pasangan suami isteri yang merasa tidak nyaman dan tenteram lagi dengan perkawinan mereka, karena pada kenyataannya membina hubungan keluarga tidak mudah bahkan sering terjadi perkawinan
9
R.. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2006), Cet. 37, h. 46-51
10
Ahmad Kurzari, Perkawinan Sebagai Sebuah Perikatan, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), h. 1
(5)
mereka kandas ditengah jalan.11 Perselisihan yang timbul dalam pernikahan kini banyak disebabkan permasalahan yang beragam bermula dari faktor ekonomi, perbedaan dalam menentukan sikap penyelesaian masalah yang mementingkan ego, dan lain sebagainya.12
Syarat untuk mendirikan rumah tangga bahagia dapat dikelompokkan menjadi empat faktor yaitu :13
1. Faktor yang berkenaan dengan ciri-ciri pribadi, keadaan bathin dan hubungan timbal balik antara anggota-anggota keluarga. Faktor inilah yang merupakan faktor terpenting.
2. Faktor yang berkaitan dengan masalah ekonomi keluarga, meliputi penghasilan yang memadai, pengaturan terhadap urusan rumah tangga termasuk ketertiban pembelanjaan rumah tangga.
3. Faktor-faktor yang berkaitan dengan pikiran-pikiran umum yang mendominasi rumah, termasuk perilaku suami isteri dan pandangan mereka terhadap nilai-nilai moral dan agama.
4. Faktor-faktor sosial yang berkaitan dengan hubungan keluarga dan cara pengaturan waktu-waktu senggang, waktu untuk istirahat dan rekreasi. Banyak suami yang tidak mengetahui apa yang diinginkannya. Oleh karena itu, yang pertama harus dikerjakan seorang isteri adalah membantunya
11
Chuzaemah Tahido Yanggo dan A. Hafit Anshari. A. Z., Problematika Hukum Islam dan Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002), h. 72
12
Budianto, ‘Perselisihan Dalam Rumah Tangga’, artikel diakses pada tangga 09 Februari 2010dari http://docs.google.com.
13
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), Cet Ke-1, h. 166
(6)
memperjelas angan-angan dan keinginan yang ada dalam benaknya, atau membantunya mengetahui apa yang sebenarnya dicari dalam kehidupan ini. Setelah itu ia mengajukan diri agar diikut sertakan dalam merealisasikan tujuan-tujuan yang hendak dicapai suaminya dan juga tujuan mereka berdua. Sebenarnya, dua tujuan diatas tidak ada bedanya. Tujuan-tujuan suami haruslah satu dan sesuai dengan tujuan isterinya yang menjadi teman hidupnya. Sebab, keberadaan satu tujuan merupakan asas pernikahan yang bahagia.14
Seorang suami atau isteri yang baik tidak akan meninggalkan pasangannya disaat mengalami berbagai macam cobaan. Sebagaimana mereka telah bersama-sama merasakan kebahagiaan, maka mereka juga harus berbersama-sama-bersama-sama pula sewaktu berada dalam keadaan susah tanpa disertai keluh kesah dan perasaan marah.15
Pada saat didalam rumah tangga timbul masalah seperti suami ketahuan berselingkuh dengan perempuan lain maka bicarakan berdua dengan baik-baik tanpa emosi dan pertengkaran. Selesaikan masalah rumah tangga dengan pikiran dewasa dan kepala dingin. Apabila dalam rumah tangganya mengalami masalah, alangkah indahnya antara suami dan isteri mengingat kembali masa-masa indah dahulu agar rasa emosi itu bisa diredam oleh diri sendiri. Jika masalah tersebut tidak dapat diselesaikan dan jalan terakhirnya yaitu perceraian maka bercerailah
14
Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi Pilihan, h. 80 15
(7)
secara resmi menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pada Pasal 39 UUP dinyatakan :
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri tdak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.
Masalah yang muncul kemudian adalah bagaimana perceraian tanpa melalui proses persidangan di pengadilan yang membuat masyarakat tidak mempunyai kekuatan hukum di Indonesia. Kasus perceraian sering terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat, apakah dilakukan karena inisiatif suami untuk permohonan cerai talak atau inisiatif untuk menggungat cerai suami.
Dalam masalah perceraian sudah diatur sedemikian oleh aturan yang dijadikan pedoman oleh umat Islam di Negara Indonesia, tetapi masyarakat di Desa Kadu Ti’is hampir seluruhnya melakukan perceraian tanpa mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan tersebut. Bukannya masyarakat di Desa Kadu Ti’is tidak ingin mematuhi aturan yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang hanya saja terbatasnya keuangan di Desa Kadu Ti’is dan mahalnya biaya perceraian. Perceraian yang dilakukan di Desa Kadu Ti’is tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan Agama. Bila dilihat dari hukum yang berlaku maka
(8)
perceraian yang mereka lakukan tidak mempunyai kekuatan hukum meskipun keduanya sebelumnya melakukan pernikahan yang dicatat.16
Akan tetapi pada kenyataannya banyak sekali masyarakat yang melakukan sebuah perceraian sebagai jalan terakhir untuk mengakhiri sebuah pernikahan tanpa melalui proses persidangan di pengadilan. Padahal sudah jelas sekali bahwa perceraian hanya dapat dilakukan melalui sebuah proses persidangan dipengadilan dan telah melalui prosedur yang telah ditentukan serta telah melalui usaha untuk perdamaian untuk tidak terjadinya perceraian, jika semua jalan itu sudah dijalankan dan tetap menjadi keinginan antara suami isteri tetap bercerai maka perceraianlah yang menjadi jalan terakhir bagi keduanya.
Akibat hukum dari perceraian yang dilakukan tanpa melalui proses persidangan di pengadilan pada masyarakat merupakan akibat hukum berdasarkan hukum Islam. Akibat hukum tersebut meliputi akibat terhadap harta benda, sedangkan apabila dipandang dari perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka perceraian tersebut belumlah mempunyai akibat hukum yang diakui dan bersifat mengikat secara yuridis.
Seperti yang terjadi pada masyarakat Desa Kadu Ti’is Kecamatan Mekar Jaya Kabupaten Pandeglang ketika diantara mereka ada yang bercerai mereka hanya mendatangkan pihak keluarga dan beberapa orang saksi, bukan hanya itu saja, ada beberapa masyarakat Desa Kadu Ti’is yang ingin bercerai hanya cukup mengucapkan kata cerai secara lisan di depan saksi-saksi, kemudian mereka
16
(9)
mendapatkan bukti cerai yaitu sebuah selembar kertas yang menyatakan mereka sah bercerai. Dengan cara yang mereka lakukan tersebut dianggap perceraian yang sah, tapi jika ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka perceraian mereka tidaklah sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Menurut Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 39 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan.17
Perceraian tanpa melalui proses persidangan di pengadilan bukan hanya di desa kadu ti’is saja tapi di semua desa yang ada di daerah terpencil. Karena bagi mereka proses perceraian sangat membutuhkan biaya yang besar sedangkan mereka tidak cukup untuk membayar biaya perceraian di pengadilan maka dari itu mereka melakukan perceraian tanpa melalui proses persidangan hanya lewat KUA lalu mereka mendapatkan surat cerai mereka.18 Ada sebagian masyarakatnya jika ingin bercerai maka hanya mendatangkan penghulu yang waktu itu menikahkan mereka lalu mendatangkan kedua orang tua mereka masing-masing sebagai saksi bahwa suami dan isteri akan melakukan perceraian setelah itu suami dan isteri mendatangani surat cerai diatas selembar kertas yang bermaterai, maka menurut mereka sudah sah perceraian mereka berdua dan mereka sudah tidak menjadi pasangan suami isteri.
17
Abdurahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Perkawinan, (Jakarta : Akademik Presindo, 1986), Cet Ke 1, h. 114
18
(10)
Selain karena faktor biaya yang sangat mahal melakukan proses perceraian di pengadilan, faktor lainnya, dikarenakan tempat pengadilan yang begitu jauh dari tempat tinggal mereka. Tempat tinggal mereka di pelosok-pelosok dan perdesaan yang jauh dari mana-mana termasuk pasar sekalipun sedangkan tempat pengadilan agama yang letaknya di perkotaan jauh dari pedesaan, makanya masyarakat tidak bisa melakukan perceraian melalui proses persidangan. Selain itu dikarenakan awamnya atau tidak tahunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikehidupan mereka. Dengan adanya perilaku perceraian masyarakat Desa Kadu Ti’is tersebut maka saya tertarik untuk melakukan penelitian yang akan saya tinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis merasa terdorong untuk melakukan penelitian dan membuat pembahasan skripsi ini dengan judul
“PERCERAIAN TANPA MELALUI PROSES PERSIDANGAN DI
PENGADILAN AGAMA DI TINJAU DARI UU NOMOR 1 TAHUN 1974 (Studi Kasus Di Desa Kadu Ti’is Kecamatan Mekar Jaya Kabupaten Pandeglang)”
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH 1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan ini tidak meluas kemana-mana, maka skripsi ini harus penulis batasi agar nantinya diharapkan dapat memberikan konstribusi pemahaman yang mendalam. Karena pembahasan mengenai perceraian sangat luas, maka penelitian ini difokuskan pembahasannya mengenai perceraian tanpa
(11)
melalui proses persidangan di pengadilan agama. Karena di dalam Undang-Undang yang berkaitan dengan masalah perceraian sangat luas, maka penulis juga mempertegas batasan-batasan penyusunan skripsi ini mengenai perceraian tanpa melalui proses persidangan di pengadilan agama di tinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
2. Perumusan Masalah
Menurut Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 39 ayat 1 dan KHI Pasal 115 yang berbunyi : Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Meskipun peraturan perceraian telah jelas diatur seperti yang sudah dijelaskan diatas, akan tetapi pada kenyataannya sebagian masyarakat dari Desa Kadu Ti’is yang melakukan perceraian tidak melalui Pengadilan. Maka dalam permasalahan ini penulis akan menelusuri dan meneliti tinjauan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Faktor apa saja yang menyebabkan sebagian masyarakat di Desa Kadu Ti’is melakukan perceraian tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan Agama?
2. Bagaimana tatacara perceraian diluar Pengadilan Agama yang dilakukan sebagian masyarakat Desa Kadu Ti’is?
3. Apakah tradisi perceraian tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan Agama pada sebagian masyarakat desa Kadu Ti’is sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974?
(12)
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui proses perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
b. Untuk mengetahui faktor penyebab dari perceraian di Desa Kadu Ti’is tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan Agama.
c. Untuk mengetahui dampak positif dan negaifnya akibat perceraian masyarakat di Desa Kadu Ti’is.
d. Untuk mengetahui tradisi perceraian di Desa Kadu Ti’is dengan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengetahui faktor yang menyebabkan masyarakat bercerai tanpa proses persidangan di pengadilan
b. Memberikan pemahaman kepada masyarakat pentingnya perceraian melalui proses persidangan di pengadilan Agama
c. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai betapa penting mempunyai surat cerai atau kekuatan hukum perceraian yang sah melalui proses persidangan di pengadilan dan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
(13)
d. Dapat mengetahui dampak positif dan negatif perceraian tanpa melalui proses persidangan di pengadilan
D. METODE PENELITIAN
Untuk memperoleh data yang akan di butuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka penulis menggunakan beberapa langkah antara lain :
1. Jenis Penelitian
a. Penulis kepustakaan (library research) yaitu penulis yang di lakukan dengan cara mengkaji buku-buku, literatur-literatur, dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.
b. Penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang di lakukan dengan cara mengumpulkan data-data lapangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
2. Sumber Data
a. Data Primer : Data yang didapat dari hasil wawancara dengan masyarakat yang bercerai tanpa melalui proses persidangan. Dalam penelitian menggunakan tehnik wawancara secara mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan pokok-pokok masalah sebagai pedoman wawancara. Pokok-pokok tersebut guna menghindari terjadinya penyimpangan dari pokok masalah penelitian dan kevakuman selama wawancara.
b. Data Sekunder : Data yang memberikan bahan tidak langsung atau data yang didapat selain dari data primer. Data ini dikumpulkan melalui penelusuran buku, makalah tulis baik dari surat kabar, internet,
(14)
literatur-literatur yang mempunyai relevansi dalam penelitian ini dan data lapangan tempat penelitian, ataupun data lain yang berkumpul dan yang mempunyai hubungan dengan tema ini.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data-data akurat saat penelitian, penulis menggunakan beberapa tehnik, yaitu :
a. Interview (Wawancara), yaitu suatu alat pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi yang jelas dan akurat yang berkaitan dengan hal yang diteliti.19 Wawancara dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab langsung dengan masyarakat setempat, serta tanya jawab juga dilakukan dengan lembaga pemerintahan dibidang hukum yaitu pengadilan setempat.
b. Dokumentasi, yaitu dengan cara melihat dokumen dan arsip-arsip yang ada di lembaga pemerintah atau swasta setempat yang dijadikan objek penelitian serta data-data yang diperoleh dari literatur dan referensi yang berhubungan dan berkenaan dengan judul skripsi ini.
c. Observasi, adalah kegiatan yang diarahkan untuk memperhatikan sesuatu secara akurat, serta mencatat fenomena atau kejadian yang muncul saat pengamatan serta mempertimbangkan hubungan aspek dalam fenomena tersebut. Observasi dilakukan penelitian apabila dalam penelitian nanti sedang terjadi kegiatan yang menjadi objek utama bagi penelitian.
19
Badan Penelitian Dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri Dan Otonomi Daerah,
(15)
4. Jenis Data
Adapun jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif (deskriptif) yaitu data yang didapatkan dari buku, literatur-literatur yang mempunyai relevansi dalam penelitian ini dan data lapangan tempat penelitian.
5. Tehnik Analisa Data
Dalam menyusun skripsi ini menggunakan tehnik analisa dengan cara menganalisis dan mengambil kesimpulan dari data-data yang ada.
6. Tehnik Penulisan Skripsi
Adapun tehnik penulisan skripsi ini menggunakan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Cet 1 Tahun 2005. 7. Kerangka Teori
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya, fiqh al-Sunnah menyatakan bahwa kata itlaq, yang berarti “melepaskan” atau “meninggalkan”. Selanjutnya dalam istilah agama, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan atau putusnya hubungan perkawinan.20
Sedangkan Al-San’ani dalam kitabnya, subul al-salam memberikan pengertian talak menurut bahasa adalah “pelepasan ikatan yang kokoh”, sedangkan menurut istilah syara’, talak adalah pelepasan akad perkawinan.21
20
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah [terj.] Drs. Moh. Tholib, (Bandung : Al-Ma’ruf, 1994), hal. 9 21
(16)
Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perceraian dalam istilah ahli fikih disebut talak atau furqah. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian dan furqah berarti bercerai, yaitu lawan kata dari berkumpul. Kemudian kedua kata ini dijadikan istlah oleh para ahli fikih yang berarti perceraian antara suami isteri.
Kemudian yang dimaksud dengan perceraian atau talak disini adalah sebagaimana yang dijelaskan didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 38 menerangkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, percerian, dan atas keputusan pengadilan. Kemudian dalam pasal 39 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perUndang-Undangan tersendiri yang sudah jelas.
E. REVIEW STUDI TERDAHULU
Penulis melakukan review terdahulu sebelum menentukan judul skripsi, dalam review terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada kaitannya dengan perceraian.
(17)
Pertama, skripsi yang berjudul, Penyelesaian Perkara Perceraian Bersama Dengan Gugatan Penguasa Anak (analisis putusan No. 816/pdt.G/2004/PPAJT) Oleh : Ariyanih (102044124992) Tahun 2006.
Skripsi menjelaskan bahwa cerai gugat diatur dalam pasal 86 ayat (1) yaitu: gugatan soal penguasa anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kedua, skripsi yang berjudul, Penyelesaian Perkara Cerai Gugat Di Pengadilan Agama Karena Penganiayaan (Studi kasus di pengadilan agama jaktim)
Oleh : Desi Royalya (101044222186)Tahun 2005.
Skripsi ini menjelaskan bahwa sebab berakhirnya suatu ikatan perkawinan terbagi menjadi :
1. Berakhirnya perkawinan dalam keadaan suami isteri masih hidup dapat terjadi atas kehendak suami dan isteri.
2. Dapat juga terjadi di luar kehendak keduanya.
Ketiga, skripsi yang berjudul, Cerai Gugat Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif (Studi kasus cerai gugat karena cacat badan di pengadilan agama jaktim) Oleh : Ahmad Madroji (101044222175) Tahun 2005.
Skripsi ini menjelaskan hukum cerai gugat karena cacat badan menurut KHI landasan hukum cerai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, analisa tentang cerai gugat karena cacat badan menurut Hukum Islam dan Hukum Positif.
(18)
Jelas sekali bahwa skirpsi ini berbeda dengan skripsi terdahulu. Dalam skripsi ini yang akan saya tulis mengenai tentang perilaku perceraian masyarakat kadu ti’is Mekar Jaya pandeglang.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini, maka penulis mengklarifikasikan dalam beberapa bab, dengan sistematika sebagai berikut :
Pada Bab Pertama, penulis menjelaskan mengenai pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian.
Pada Bab Kedua, penulis menjelaskan mengenai pengertian perceraian, rukun dan syarat-syarat perceraian, perceraian dalam perspektif fiqh, perceraian dalam perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Pada Baba Ketiga, penulis menjelaskan mengenai sejarah singkat desa kadu ti’is, letak geografis, kondisi kebudayaan, dan kondisi perekonomian di desa kadu ti’is.
Pada Bab Keempat, penulis menjelaskan mengenai tradisi perceraian masyarakat di desa kadu ti’is, alasan dan faktor perceraian, akibat perceraian masyarakat di desa kdu ti’is yang membahas tentang dampak positif dan negatifnya, prosedur perceraian di desa kadu ti’is, perceraian menurur
(19)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan analisa penulis terhadap perilaku perceraian yang terjadi pada masyarakat kadu ti’is.
Pada Bab Kelima, penulis menjelaskan mengenai inti kajian penelitian penulis mengenai kesimpulan dan saran-saran.
(20)
A. Pengertian Perceraian a. Pengertian
“Putusnya Perkawinan” adalah istilah hukum yang digunakan dalam UU Perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini hidup sebagai suami isteri. Untuk maksud perceraian itu fiqh menggunakan istilah furqah.1
Perceraian dalam istilah ahli fiqih disebut “talak” atau “furqah”. “Talak” berarti “membuka ikatan”, “membatalkan perjanjian”. “furqah” berarti “bercerai”, lawan dari “berkumpul”. Kemudian kedua perkataan ini dijadikan istilah oleh ahli-ahli fiqih yang berarti : perceraian antara suami isteri.
Perceraian berasal dari bahasa Arab yaitu Thalaq yang berarti membuka ikatan, baik ikatan nyata seperti ikatan kuda atau tawanan ataupun ikatan ma’nawi seperti ikatan pernikahan. Sedangkan thalaq menurut istilah adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata tertentu. Secara spesifik menurut syara’ thalaq adalah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan suami isteri.2
1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, ( Jakarta : Kencana, 2006), h. 189
2
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987), Cet ke-1, h. 94
(21)
Perkataan “talak” dan “furqah” dalam istilah fiqih mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus. Arti yang umum, ialah segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang telah ditetapkan oleh hakim dan perceraian yang jatuh dengan sendirinya seperti perceraian yang disebabkan meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri. Arti khusus ialah perceraian yang diajtuhkan oleh suami saja.3
Talak merupakan kalimat bahasa Arab yang artinya “menceraikan” atau
“melepaskan”. Mengikuti istilah syara ia bermaksud, “melepaskan ikatan
pernikahan atau perkawinan dengan kalimat atau lafaz yang menunjukkan talak atau perceraian”.
Dalam Islam perceraian biasa disebut dengan talak. Dan dalam bab ini penulis akan memaparkan beberapa pengertian dari talak. Kata talak berasal dari bahasa arab “ithlaq” yang berarti “melepaskan” atau meninggalkan. Dalam istilah fiqih berarti melepaskan ikatan perkawinan, yakni perceraian antara suami isteri,4 talak merupakan perceraian yang timbul karena sebab-sebab dari pihak suami.5
Jika suami melafazkan kalimat sindiran kepada isterinya, maka dengan sendirinya mereka berdua telah terpisah dan istrinya berada dalam keadaan iddah. Jika semasa isteri didalam iddah kedua pasangan ingin berdamai, mereka boleh
3
Ibid., h. 156 4
Muhammad Baghir Al Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al Qur’an, As Sunnah daPendapat Para Ulama, (Bandung : Mizan, 2002), Cet Ke 2, h. 81
5
Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indah, 1985), Cet Ke 2, h. 35
(22)
☺
☺
)ا
ق
/
:
(
Artinya: “Maka rujuklah mereka dengan cara yang baik atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik pula”. (QS. At-Talaq : 2)
Talak merupakan perbuatan yang tidak disukai oleh Allah SWT., hal ini pun disepakati oleh para ulama sebagaimana yang terdapat dalam hadits Nabi SAW :
ا
ﺮ
ر
ﷲاا
ﻬ
ﺎ
لﺎ
:
لﺎ
ر
ﻮ
ل
ﷲا
ﷲا
ﻰ ﺻ
و
ﱠ
:
ا
ﻐ
ا
ﺤ
ل
ا
ﻰ
ﷲا
ﱠ ا
ق
)
ﺤﺤﺻو
ﺟ
م
اودوا
دﻮ ا
اور
آﺎﺤ ا
(
Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a berkata : Rasulullah SAW bersabda : perbuatan yang paling dibenci oleh Allah adalah thalaq”. (HR. Abu Daud, Ibnu
Majah dan dinilai shahi oleh Hakim)6
Adapun pengertian perceraian menurut istilah ahli hukum adalah :
a. Mazhab Syafi’i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan lafal talak itu.
b. Mazhab Maliki mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami isteri.7
6
Abu Daud, Sunan Abu Daud (Beirut : Dar al-Fikr, 1994), Jilid 2, h. 500 7
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam ”Nikah”, Ensiklopedia Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet Ke-2, Jilid 4, h. 53
(23)
c. Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali mendefinisikannya sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan perkawinan dimasa yang akan datang.
d. Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.8
Menurut Prof. Subekti, S.H. perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan dari salah satu pihak dalam perkawinan tersebut.9
b. Hukum Perceraian
Perceraian dalam Islam memang dibolehkan kalau rumah tangga yang didirikan sulit dirajut kembali, tetapi menjatuhkan talak mempunyai muatan hukum yang berbeda-beda. Hukum perceraian adalah10 :
a) Wajib
Sebuah rumah tangga yang selalu ribut dan terjadi pertengkaran (syiqaq) yang sangat memuncak antara suami dan isteri, serta sudah diusahakan intervensi pihak ketiga yang terdiri dari dua orang, satu orang dari pihak suami dan satu orang lagi dari pihak isteri, yang berfungsi sebagai pendamaian. Namun usaha ini tidak membawa hasil maka sudah seharusnya talak itu dijatuhkan.
8
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Terjemah, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1996), Cet ke-2, Jilid 9, h. 9
9
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2003), Cet ke-31, h. 42 10
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam Perum Griya Suryo, 2004), h. 232
(24)
b) Sunnah
Seorang isteri yang kurang menjaga kehormatannya seperti bermata keranjang, mudah mengundang kecemburuan suaminya, bergaul terlalu dekat dengan orang lain, dan sebagainya, dan setelah diberikan peringatan oleh suaminya tentang perilaku dan sikapnya itu agar dihentikan tetapi dia tetap tidak menghiraukan, maka sebaiknya (sunnah) talak itu dijatuhkan.
c) Mubah (boleh)
Hubungan rumah tangga antara suami dan isterinya cenderung tertutup, pergaulan sehari-harinya kurang harmonis, ada ketidakcocokan, dan sebagainya, maka suasana rumah tangga semacam ini dibolehkan terjadi perceraian.
d) Haram
Seorang isteri dalam keadaan haid, atau dalam keadaan suci dan hari-hari yang dilalui antara suami dan isterinya biasa mengadakan hubungan badan, tahu-tahu suaminya mau menjatuhkan talak.
e) Makruh
Sebuah rumah tangga yang berjalan sebagaimana biasanya dan tidak terjadi badai sedikitpun yang dianggap bisa meretakkan keharmonisan rumah tangganya yang didirikan, maka menjatuhkan talak pada suasana semacam imi hukumnya makruh menurut Syafi’i dan Hambali. Sedangkan pendapat Hanafi adalah haram hukumnya, karena bisa menimbulkan kesengsaraan terhadap isteri dan anak-anaknya. Ini berlandaskan kepada sabda Nabi SAW :
(25)
“Tidak boleh mendatangkan mudarat (kepada isterinya) dan tidak juga kepada orang lain.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan Malik).
Talak adalah sesuatu yang halal yang dibenci oleh Allah SWT, tetapi ada talak yang dijatuhkan oleh seorang suami yang tidak dibenci oleh Allah SWT disebabkan oleh tindakan dan perilaku pasangannya11 diantaranya :
1. Isterinya diketahui berbuat zina;
2. Isterinya berbuat nusyuz dan sudah berkali-kali dikasih peringatan;
3. Isterinya suka mabuk, penjudi, bertindak tanduk yang bisa merugikan lingkungan sekitarnya; dan
4. Isterinya susah diajak kerja sama dalam membina rumah tangga yang lebih damai dan tentram, mau menang sendiri, kurang menghargai peran suami, dan sebagainya.
Talak atau sebuah perceraian itu sah apabila dijatuhkan oleh seorang laki-laki yang bertindak sebagai suami (atau bisa diwakilkan), dewasa (baligh), tidak gila, dan tidak ada paksaan.
Seorang suami yang dipaksa oleh orang lain agar menceraikan isterinya tanpa sebab-sebab yang dibenarkan oleh syariat Islam, menurut Syafi’i dan Maliki, adalah tidak sah talaknya.
Hal ini berlandaskan pada Nabi Muhammad SAW :
“Diangkat (tidak diberikan beban hukum) kepada umatku tentang kesalahan, kelupaan dan sesuatu yang dipaksa kepadanya.” (HR. Ibnu Majah).
11
(26)
Sedangkan pendapat Hanafi, talak yang dipaksakan kepada seorang suami dan orang yang bersangkutan mau menerimanya adalah tetap sah, karena ada tindakan menerima terhadap sesuatu yang dipaksakan itu.
Adapun seorang suami yang menjatuhkan talak kepada isterinya dan dia dalam keadaan mabuk, menurut Syafi’i, Maliki dan Hanafi, adalah sah jika orang yang bersangkutan itu mabuk mengikuti kemauannya sendiri, bukan karena paksaan atau darurat lainnya. Istinbath hukum semacam ini merupakan hukuman yang harus diterima oleh seorang pemabuk yang bergelimang dengan kemaksiatan. Sedangkan pendapat Hanbali, seorang suami yang sedang mabuk yang menjatuhkan talak kepada isterinya adalah tidak sah, karena pada saat itu orang yang bersangkutan sudah hilang akal atau bisa dikatagorikan orang hilang.
Seorang suami yang menjatuhkan talak kepada isterinya dengan perkataan yang bolok-olok atau bersenda gurau, menurut Syafi’i dan Hanafi, adalah sah. Ini berlandaskan kepada sabda Nabi Muhammad SAW :
“Ada tiga perkara: sesungguhnya memang benar-benar sungguh-sungguh dan ungkapan olok-oloknya sama dengan ungkapan yang sungguh-sungguh:
yaitu nikah, talak dan rujuk.” (HR. At-Turmudzi dan Ibnu Majah).
Sedangkan pendapat Maliki dan Hanbali, suami yang menjatuhkan talak dengan perkataan bernada senda gurau adalah tidak sah, karena ucapan yang dilontarkan itu hanya sekedar guyonan belaka dan tidak bisa dikatagorikan yang sungguh-sungguh.
(27)
c. Dasar Hukum Perceraian
Perceraian (thalak) dalam agama Islam diatur dalam Qur’an dan Al-Hadits Nabi SAW. Dan adanya landasan tersebut menegaskan bahwa perceraian dalam Islam dibolehkan atau halal dilakukan sebagaimana yang tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 227 :
⌧
)
ﺮ ا
/
2
:
227
(
Artinya: “Dan kalau mereka tetap hendak menceraikan isterinya itu, maka Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Selanjutnya disebutkan sebagaiman firman Allah dalam Al-Qur’an suarat Al-Baqarah ayat 228 :
☺
☺
☺
☯
)
ﺮ
/ 2 : 228 (
Artinya: “Dan wanita-wanita yang diceraikan itu harus menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ dan tidak boleh mereka menyembunyikan isi kandungannya yang telah diciptakan oleh Allah, jika mereka benar-benar percaya kepada Allah dan hari kemudian. Dan suaminya berhak menarik kembali isterinya itu (dalam masa iddah), kalau mereka mau berdamai. Dan kaum wanita mempunyai hak terhadap kaum pria, sebagaimana kaum pria mempunyai hak terhadap kaum wanita dengan cara yang sebaik-baiknya. Hanya kaum pria
(28)
mempunyai kedudukan lebih tinggi dari kaum wanita satu tingkat. Tuhan Maha Tinggi dan Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah : 228)
Selanjutnya disebutkan sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 229 :
⌧
☺
☺
⌧
☺
⌧
☺
⌧
)
ﺮ ا
/
:
(
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) itu hanya dua kali, sesudah itu harus kembali rujuk lagi dengan cara yagn sebaik-baiknya, atau diceraikan lepas dengan cara yang sebaik-baiknya pula. Dan tidak dihalalkan bagi kamu mengambil kembali apa yagn sudah diberikan kepada isterimu sedikitpun juga, kecuali kalau kedua belah pihak merasa tidak akan dapat menepati batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah. (Dalam hal ini) kalau kamu pun (para hakim) berpendapat bahwa tidak mungkin bagi kedua belah pihak dapat menepati batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah itu, maka tidak ada dosa buat kedua belah pihak mengenai uang tebusan dari isteri-isterinya itu. Demikianlah batasan-batasan ketentuan dari Allah. Janganlah hendaknya kamu langgar batas-batas tersebut. Barang siapa yang melanggar batas-batas Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
(29)
⌧
)
ق
ا
/
:
(
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (izinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barang kali, Allah mengadakan sesudah itu sesuatu ketentuan yang baru”. (Q.S. At-Thalaq ayat 1).
Firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 231 :
☺
(30)
⌧
)
ﺮ ا
/ : (
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya. Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula), janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan. Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan dan ingatlah nikmat Allah padamu. Dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkannya itu, dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasannya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah : 231)
B. Rukun Dan Syarat-Syarat Perceraian
Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun talak ada empat, sebagai berikut12 :
a. Suami
Suami adalah yang emiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena talak itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah.
Abu Ya’la dan Al-Hakim meriwayatkan hadits dari Jabir bahwa Rasulullah SAW bersabda :
12
(31)
ﻚ
ﺪ
ا
و
ﺢﻜ
ﺪ
ق
Artinya: “Tidak ada talak kecuali setelah akad perkawinan dan tidak ada pemerdekaan kecuali setelah ada pemilikan.
Abu Daud dan Al-Tirmizi meriwayatkan hadits dari Amir Ibn Syu’aib bahwa Rasulullah SAW bersabda :
ﻚ
ﺎ ﻓ
او
ﺎ
مدا
رﺬ
ﺎ ﻓ
ق
و
ﻚ
Artinya: “tidak ada nazar bagi anak Adam (manusia) tentang hal yang baik dimiliki, tidak ada pemerdekaan budak dalam hal yang tidak dimiliki, dan tidak ada talak dalam hal yang tidak dimiliki.
Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak disyaratkan13 : 1. Berakal
Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit, termasuk kedalamnya sakit pitam, hilang akal karena sakit panas, atau sakit ingatan karena rusak syaraf otaknya.
2. Baligh
Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang belum dewasa. Dalam hal ini ulama Hanabilah mengatakan bahwa talak oleh anak yang
13
(32)
sudah mumayyiz kendati umur anak itu kurang dari 10 tahun asalkan ia telah mengenal arti talak dan mengetahui akibatnya, talaknya dipandang jatuh. 3. Atas kemauan sendiri
Yang dimaksud atas kemauan sendiri disini ialah adanya kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri, bukan dipaksa orang lain.
Kehendak dan kesukarelaan melakukan perbuatan menjadi dasar taklif dan pertanggung jawaban. Oleh karena itu, orang yang dipaksa melakukan sesuatu (dalam hal ini menjatuhkan talak) tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
ا
ﱠن
ﷲا
ر
ا
ﱠ
ا
ﺨ
ءﺎ
و
ﱢ ا
نﺎ
و
اﺎ
ﻜ
ﺮ
ه
ﻮ
ا
Artinya: “Sungguh Allah melepaskan dari umatku tanggung jawab dari dosa silap, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.
b. Isteri
Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap isteri sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap isteri orang lain.
Untuk sahnya talak, bagi isteri yang ditalak disyaratkan sebagai berikut14 : 1)Isteri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Isteri yang
menjalani masa iddah talak raj’i dari suaminya oleh hukum Islam dipandang masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Karenaya bila dalam masa itu suami menjatuhkan talak lagi, dipandang jatuh talaknya sehingga
14
(33)
menambah jumlah talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami. Dalam hal talak ba’in, bekas suami tidak berhak menjatuhkan talak lagi terhadap bekas isterinya meski dalam masa iddahnya, karena dengan talak ba’in itu bekas isteri tidak lagi berada dalam perlindungan kekuasaan bekas suami.
2)Kedudukan isteri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah. Jika ia menjadi isteri dengan akad nikah yang batil, seperti akad nikah terhadap wanita dalam masa iddahnya, atau akad nikah dengan perempuan saudara isterinya (memadu antara dua perempuan bersaudara), atau akad nikah dengan anak tirinya padahal suami pernah menggauli ibu anak tirinya itu dan anak tiri itu berada dalam pemeliharaannya, maka talak yang demikian tidak dipandang ada.
c. Shighat Talak
Shighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap isterinya yang menunjukkan talak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran), baik berupa ucapan atau lisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain.
Talak tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap isterinya menunjukkan kemarahannya, semisal suami memarahi isteri, memukulnya, mengantarkannya ke rumah orang tuanya, menyerahkan barang-barangnya, tanpa disertai pernyataan talak, maka yang demikian itu bukan talak. Demikian pula niat talak atau masih berada dalam pikiran dan angan-angan,
(34)
tidak diucapkan, tidak dipandang sebagai talak. Pembicaraan suami tentang talak tetapi tidak ditujukan terhadap isterinya juga tidak dipandang sebagai talak.
d. Qashdu (Sengaja),
Artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain. Oleh karena itu, salah ucap yang tidak dimaksud untuk talak dipandang tidak jatuh talak, seperti suami memberikan sebua salak kepada isterinya, semestinya ia mengatakan kepada isterinya itu kata-kata : “Ini sebuah salak untukmu”, tetapi keliru ucapan, berbunyi: “Ini sebuah talak untukmu”, maka talak tidak dipandang jatuh.15
C. Perceraian Dalam Perspektif Fiqh
Menurut istilah, adalah : melepaskan ikatan (hal al-qoid) atau bisa juga disebut pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan.16
Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri. Definisi yang agak panjang dapat dilihat di dalam kitab kifayat al-Akhyar yang menjelaskan talak sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan talak adalah lafaz jahiliyah yang setelah Islam
15
Ibid, h. 204 16
Azhari Akmal Tarigan dan Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Grouf, 2006), h. 207
(35)
datang menetapkan lafaz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang talak itu berdasarkan al-Qur’an, hadist, ijma ahli agama dan ahli sunnah.17
Dari definisi diatas, jelaslah bahwa talak merupakan sebuah institusi yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Dengan demikian ikatan perkawinan sebenarnya dapat putus dan tata caranya telah diatur baik di dalam fikih maupun di dalam UUP. Meskipun perkawinan tersebut sebuah ikatan suci namun tidak boleh dipandang mutlak atau tidak boleh dianggap tidak dapat diputuskan. Perkawinan Islam tidak boleh dipandang sebagai sebuah sakramen seperti yang terdapat di dalam agama Hindu dan Kristen, sehingga tidak dapat diputuskan. Ikatan perkawinan harus dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, bisa bertahan dengan bahagia dan bisa juga putus di tengah jalan.18
Para ulama klasik juga telah membahas masalah putusnya perkawinan ini di dalam lembaran kitab-kitab fikih. Menurut Imam Malik srebab-sebab putusnya perkawinan adalah talak, khulu, khiyar atau fasakh, syiqoq, nusyuz, ila’ dan zihar. Imam safi’i menuliskan sebab-sebab putusnya perkawinan adalah talak, khulu, khiyar atau fasakh, syiqoq, nusyuz, ila’, zihar dan li’an. As-Sarakshi juga menuliskan sebab-sebab perceraian, talak, khulu, ila’ dan zihar.19
17 Ibid 18
Ibid 19
(36)
Islam mendorong terwujudnya perkawinan yang bahagia dan kekal dan menghindarkan terjadinya perceraian (talak). Dapatlah dikatakan, pada prinsipnya Islam tidak memberi peluang untuk terjadinya perceraian kecuali pada hal-hal yang darurat.
Ada empat kemungkinan yang dapt terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian20 yaitu :
1. Terjadinya nusyuz dari pihak isteri
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang isteri terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga.
Berdasarkan firman Allah memberikan opsi sebagai berikut : a. Isteri diberi nasehat dengan cara yang ma’ruf agar ia segera sadar
terhadap kekeliruan yang diperbuatnya.
b. Pisah ranjang. Cara ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi isteri dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi terhadap kekeliruannya.
c. Apabila dengan cara ini tidak berhasil, langkah berikutnya adalah memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya. Penting untuk
20
(37)
dicatat, yang boleh dipukul adalah bagian yang tidak membahayakan si isteri seperti betisnya.21
2. Nusyuz Suami Terhadap Isteri
Kemungkinan nusyuz ternyata tidak hanya datang dari isteri tetapi dapat juga datang dari suami. Selama ini sering disalah pahami bahwa nusyuz hanya datang dari pihak isteri saja. Padahal al-Qur’an juga menyebutkan adanya nusyuz dari suami sebagaimana yang tercantum pada firman Allah SWT :
⌧
☺
☺
☯
⌧
☯
⌧
⌧
☺
☺
)
ءﺎ ا
/
:
(
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz, atau tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu menggauli isterimu dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa : 4/128)
21
(38)
Adapun nusyuznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya terhadap isteri, baik nafkah lahir ataupun nafkah batin.
3. Terjadinya siqoq
Jika kedua kemungkinan diatas telah disebutkan di muka menggambarkan satu pihak yang melakukan nusyuz sedangkan pihak yang lain dalam kondisi normal, maka kemungkinan yang ketiga ini terjadi karena kedua-duanya terlibat dalam syiqoq (percekcokan), misalnya disebabkna kesulitan ekonomi, sehingga keduanya sering bertengkar.
Tampaknya alasan untuk terjadinya perceraian lebih disebabkan oleh alasan syiqoq. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dinyatakan bahwa syiqoq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami isteri.
Untuk sampai pada kesimpulan bahwa suami isteri tidak dapat lagi didamaikan harus dilalui beberapa proses. Sebagaimana firman Allah SWT :
☺
☺
☯
☺
⌧
☺
)
ءﺎ ا
/
:
(
Artinya: “Bila kamu khawatir terjadinya perpecahan antara mereka berdua, putuslah seorang penengah masing-masing dari pihak keluarga suami dan pihak keluarga isteri. Jika keduanya menghendaki
(39)
kerukunan, Allah akan memberikan jalan kepada mereka, sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal”. (QS. An-Nisa : 4/35)
Berdasarkan ayat diatas, jelas sekali aturan Islam dalam menangani problema kericuhan dalam rumah tangga. Dipilihnya hakam (arbitrator) dari masing-masing pihak di karenakan para perantara itu akan lebih mengetahui karakter, sifat keluarga mereka. Ini lebih mudah mendamaikan suami isteri yang sedang bertengkar. An-Nawawi dalam syarah muhazzab menytakan bahwa disunnahkan hakam itu dari pihak suami isteri, dan jika tidak boleh dari pihak lain.22
4. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fahisyah), yang menimbulkan saling tuduh-menuduh antar keduanya.
Cara menyelesaikannya adalah dengan cara membuktikan tuduhan yang di dakwakan, dengan cara li’an seperti telah disinggung di muka. Li’an sesungguhnya telah memasuki “gerbang putusnya” perkawinan, dan bahkan untuk selama-lamanya. Karena akibat li’an adalah terjadinya talak ba’in kubro.23
Jika diamati aturan-aturan fikih berkenaan dengan talak, terkesan seolah-olah fikih memberi aturan yang sangat longgar bahkan dalam tingkat tertentu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki. Seolah-olah
22
Azhari Akmal Tarigan dan Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Grouf, 2006), h. 214
23
(40)
talak menjadi hak frerogatif laki-laki sehingga bisa saja seorang suami bertindak otoriter, misalnya, mencerai isteri (perempuan) secara sepihak.24
Jika fikih terkesan mempermudah terjadinya perceraian, maka UUP dan aturan-aturan lainnya terkesan mempersulit terjadinya perceraian ini untuk dapat terwujudnya sebuah perceraian harus ada alasan-alasan tertentu yang dibenarkan Undang-Undang dan ajaran agama. Jadi tidak semata-mata diserahkan kepada aturan-aturan agama.25
D. Perceraian Dalam Perspektif UU No.1 Tahun 1974
Pada pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Namun dalam realitanya sering kali perkawinan tersebut kandas ditengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian, perceraian ataupun karena putusan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.26
Pasal 38 UUP menyatakan :
Perkawinan dapat putus karena, a. Kematian, b. Perceraian, dan c. atas keputusan pengadilan.
Kematian sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan adalah jika salah satu pihak baik suami atau isteri meninggal dunia. Sedangkan untuk
24
Ibid, h. 215 25
Ibid, h. 216 26
(41)
sebab perceraian, UUP memberikan peraturan-peraturan yang telah baku, terperinci, dan sangat jelas. Adapun putusnya perkawinan dengan keputusan pengadilan adalah jika kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk waktu yang lama. Dan UUP tidak menyebutkan beberapa lama jangka waktu untuk menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalnya seseorang itu. Di dalam UUP pasal 38 tersebut dipandang cukup jelas.27
Didalam PP No.9 Tahun 1975 pasal 16 dinyatakan hal-hal yang menyebabkan terjadinya perceraian. Perceraian dapat terjadi karena alasan sebagai berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal yang lain diluar kemampuannya ;
c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihka lain ;
d. Salah satu pihak mendapt cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menghilangkan kewajibannya sebagai suami atau isteri ;
e. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Selanjutnya pada pasal 39 UUP dinyatakan :
27
(42)
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri tdak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.
Pasal 41 UUP juga membicarakan akibat yang ditimbulkan oleh perceraian. Adapaun bunyi pasalnya sebagai berikut :
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah :
a. Baik ibu atau bapak tertap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberikan keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Berbeda dengan putusnya perkawinan dengan sebab kematian yang merupakan ketentuan Allah yang tidak bisa ditolak, sebab-sebab lain seperti
(43)
percerian pada dasarnya kesalahan yang bersumber dari manusia itu sendiri. Terjadinya perceraian misalnya, lebih disebabkan ketidak mampuan pasangan saumi isteri tersebut merealisasikan tujuan perkawinan itu sendiri.28
28
(44)
A. Sejarah Singkat Desa Kadu Ti’is
Nama “Ranca” adalah lahan yang dialiri air yang mengandung banyak lumpur hingga mencapai 1-2 meter sehingga lahan ini tidak di garap oleh masyarakat, nama “Bugel” adalah sebuah bukit/hutan tua, atau di sebut oleh masyarakat setempat adalah “Leuweung Kolot”, dan bukit ini mempunyai mata air yang terus mengalir ke ranca tersebut. Sehingga di satukanlah ranca dan bukit tersebut sehingga menjadi “Rancabugel”1
Sedangkan di lihat dari sudut pemerintahan, desa Rancabugel adalah salah satu pemekaran dari Desa Wirasinga Kecamatan Cimanuk, pada tahun 1980 Desa Wirasinga di mekarkan menjadi 3 (tiga desa) yaitu Desa Wirasinga, Rancabugel dan Pasirmae, pada awalnya Desa Rancabugel masuk kepada Kecamatan Cimanuk, pada tahun 2005 ada pemekaran Kecamatan antara Kecamatan Banjar dan Kecamatan Cimanuk, dan Desa Rancabugel masuk kepada Kecamatan baru yaitu Kecamatan Mekarjaya.
Desa Rancabugel pernah dipimpin oleh beberapa kepala desa diantaranya :
a. Bapak Husein b. Bapak H. Dulsirad c. Bapak Nurdin
1
Wawancara Pribadi dengan Sumantri. Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari, 2010
(45)
d. Bapak Sukraya e. Bapak Sumantri
B. Letak Geografis
Desa Rancabugel dengan luas Wilayah seluruhnya 323 ha, Penggunaan lahan di Desa Rancabugel terdiri Lahan Sawah 150 ha dan Lahan Darat 173 ha. Lahan Darat terbagi pada lahan Perkebunan, Hutan dan Pertanian dan Pemukiman.2
a. Batas-Batas Desa Rancabugel sebagai berikut :
Sebelah Utara : Desa Gunung Cupu Kecamatan Cimanuk Sebelah Timur : Desa Pareang, Desa Wirasinga
Sebelah Barat : Desa Pasirmae Kecamatan Cipeucang Sebelah Selatan : Kabupaten Lebak
b. Sedangkan jarak tempuh ke desa rancabugel adalah : Jarak dari Kecamatan Mekarjaya 10 km Jarak dari ibu kota Kabupaten 25 km Jarak dari ibu kota Provinsi 45 km Jarak dari ibu kota Negara 155 km
c. Daftar Kampung atau dusun, dan jaraknya dari satu kampung ke kampung lain 500 m-1 km. Diantaranya :
a. Kampung Rancabugel
2
(46)
b. Kampung Karoya
c. Kampung Pasir Pogor Girang d. Kampung Pasir Pogor Kidul e. Kampung Kebon
f. Kampung Dukuh
g. Kampung Karya Jaya Barat h. Kampung Karya Jaya Timur i. Kampung Panamun
j. Kampung Kadu Ti’is k. Kampung Garunggang l. Kampung Rancanyenang m. Kampung Dahu
C. Kondisi Kebudayaan
Sebelum kita membahas kebudayaan di Desa Kadu Ti’is, kita bahas pengertian kebudayaan itu sendiri terlebih dahulu. Definisi kebudayaan yang di kemukakan oleh beberapa ahli yaitu3 :
1. Edward B. Taylor
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, adat istiadat, dan
3
Kuntoro, ‘Pengertian Kebudayaan’, artikel diakses pada tangga 09 Februari 2010dari http://docs.google.com.
(47)
kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
2. M. Jacobs dan B. J. Stern
Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi sosial, ideologi, realigi, dan kesenian serta benda yang kesemuanya merupakan warisan sosial.
3. Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan relajar.
4. Dr. K. Kopper
Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.
5. William H. Haviland
Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh semua masyarakat.
6. Kihajar Dewantara
Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan
(48)
bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
7. Francis Merill
• Pola-pola perilaku yang dihasilkan oleh interaksi sosial
• Semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh seseorang sebagai anggota suatu masyarakat yang ditemukan melalui interaksi simbolis.
8. Bounded et:al
Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi diri kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai rangkaian simbol yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya diantara para angggota suatu masyarakat. Pesan-peasan tentang kebudayaan yang diharapkan dapat ditemukan di dalam media, pemerintah, institusi agama, sistem pendidikan, dan semacam itu.
9. Mitchell (Dictionary of Soriblogy)
Kebudayaan adalah sebagian perulangan keseluruhan tindakan atau aktifitas manusia dan produk yang dihasilkan manusia yang telah
(49)
memasyarakat secara sosial dan bukan sekedar dialihkan secara genetikal.4
10. Robert H. Lowie
Kebudayaan adalah segala sesuatau yang diperolah individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, nama-nama artis, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal.
11. Arkeologi R. Soekmono
Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan dalam penghidupan.
Secara etimologi (bahasa), kebudayaan berasal dari akar kata budaya (Budaya Sansekerta) “bodhya” yang diartikan pikiran dan akal budi. Berbudaya berarti mempunyai budaya, mempunyai pikiran dan akal budi untuk memajukan diri. Kebudayaan diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia sebagai hasil pemikiran dan akal budinya; peradaban sebagai hasil akal budinya; ilmu pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang dimanfaatkan untuk kehidupannya dan memberikan manfaat kepadanya.5
4
Kuntoro, ‘Pengertian Kebudayaan’, artikel diakses pada tangga 09 Februari 2010dari http://docs.google.com.
5
Dadan Anugerah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antar Budaya Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta : Jala Permata, 2008), Cet Ke-1, h. 32
(50)
Desa Kadu Ti’is mempunyai kebudayan tersendiri yang mungkin berbeda dari yang lainnya. Seperti dalam bidang pengetahuan : anak-anak di Desa ini pendidikannya bisa dihitung, lulusan SD jumlahnya 1.071 orang, lulusan SLTP jumlahnya 227 orang, lulusan SLTA jumlahnya 52 orang, lulusan perguruan D II jumlahnya 4 orang, SI jumlahnya 3 orang, dan yang tidak sekolah jumlahnya 412 orang, kebanyakan orang tua disini mengatakan bahwa buat apa anak saya sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya mereka di dapur-dapur juga kerjanya dan lagian saya tidak mampu untuk menyekolahkan anak saya ke tingkat yang lebih tinggi.6
Untuk masalah kepercayaan, masyarakat Desa Kau Ti’is masih percaya kepada Allah SWT., tetapi ada juga yang masih percaya dengan guna-guna, pelet pokoknya hal-hal yang berbau mistis. Kepercayan seperti itu sudah menjadi kebudayaan bagi masyarakat Desa Kadu Ti’is serta kota Pandeglang.
Kesenian di Desa Kadu Ti’is seperti alat musik yang sering mereka gunakan adalah gendang, suling yang sering di gunakan oleh orang-orang sunda dan sering digunakan jika ada salah seorang masyarakat sedang mengadakan pernikahan maka sering memanggil dangdutan atau tarian-tarian
6
(51)
seperti jaipongan dan lain-lainnya. Bukan hanya dari segi alat musiknya saja tapi kesenian yang masih digunakan si desa ini yaitu pencak silat.7
Adat istiadat di desa ini dalam masalah pernikahan, jika ada salah satu dari masyarakat ini ada yang melakukan pernikahan maka sesudah mereka resmi menjadi pasangan suami isteri lalu mereka digiring atau diarak keliling desa gunanya untuk mengetahui kepada penduduk desa sekitar bahwa mereka berdua telah resmi menjadi pasangan suami isteri. Pasangan suami isteri tersebut di temani oleh keluarga mereka masing-masing untuk keliling desa.
Selain itu ada juga yang sudah menjadi adat istiadat masyarakat disini, seperti dalam setiap hari-hari besar contohnya maulid Nabi SAW., bulan Rajab, Roah, dan bulan Syafar. Di saat bulan-bulan tertentu itu mereka mempunyai kebiasaan melakukan sedekahan (itu sebutan bagi masyarakat Desa Kadu Ti’is).
Setiap acara maulidan tanggal 12, 24, 25, dan 27 masyarakat mengeluarkan sedekah buat masyarakat sekitar seperti memberikan makanan kesetiap rumah dan semua masyarakat di Desa itu melakukannya dengan ikhlas dan senang. Pada setiap bulan Rajab pun mereka melakukan sedekahan seperti itu. Membawakan atau memberikan makanan kepada masyarakat sekitar, istilahnya mereka saling tukar-menukar makanan. Begitupun saat
7
(52)
menjelang datangnya bulan puasa (Roah), masyarakat sekitar memberikan atau sedekahkan makanannya kepada masyarakat sekitar.8
Jika menjelang bulan syafar, sama seperti maulidan, Rajab dan Roah sama-sama memberikan sedekahan makanannya kepada masyarakat tetapi disini yang bikin bedanya adalah setiap bulan syafar masyarakatnya diwajibkan memberikan sedekah makanannya berupa ketupat dan itu sudah menjadi tradisi di Desa Kadu Ti’is. Hanya bukan syafar saja sedekahannya harus berupa ketupat itu yang jadi utamanya di bulan syafar.
Kalau kita lihat dari setiap acara hari-hari besar seperti yang diatas bahwa menggambarkan di Desa ini masih kuat agamanya tetapi kenapa masih ada yang mempercayai dengan adanya dukun ataupun yang lainnya.
Dalam masalah perceraian di Desa Kadu Ti’is ini pun sudah menjadi tradisi mereka, setiap masyarakat yang melakukan perceraian tidak melalui proses persidangan di karena ada beberapa faktor penyebab yang menurut mereka tidak bisa melakukan perceraiannya di depan persidangan. Salah satu faktor penyebabnya yaitu:
1. Letak persidangannya yang jauh dari perkampungan mereka 2. Faktor ekonomi
3. Repot dan sulitnya mengurus perceraian, mereka menginginkan perceraian yagn simpel dan gampang.
8
(53)
4. Karena sudah adanya perceraian (tidak melalui proses persidangan) yang seperti itu di Desa Kadu Ti’is sejak berdirinya Desa tersebut.
Angka perceraian di Kabupaten Pandeglang saat ini terbilang tinggi. Berdasarkan data di Pengadilan Agama (PA) dalam kurun waktu sebulan, ada 20 hingga 25 perkara. Bahkan, sampai akhir April ini, sudah 100 perkara yang selesai disidangkan.Walaupun begitu, bila dibandingkan kabupaten dan kota lain di Banten, jumlahini terbilang rendah. Humas PA Pandeglang Sopyan Maulani mengatakan, perceraian di Pandeglang mayoritas didominasi oleh faktor ekonomi. Istri dengan terpaksa menuntut suami karena merasa tidak dipenuhi kebutuhan hidupnya. “Penyebab lainnya karena ditinggal pergi dalam jangka waktu lama oleh suami,” katanya kepada Radar Banten di ruang kerjanya, Jumat (30/4). Ia menilai, jika dibanding dengan daerah lain, kasus perceraian di Pandeglang relatif kecil. “Di sini yang menggugat cerai rata-rata istri. Kalau dirata-rata jumlahnya mencapai 75 persen,” tukasnya seraya menambahkan ada empat alasan isteri menggugat cerai suami.9
Pertama si suami meninggalkan isteri selama dua tahun lebih, kedua suami tidak memberikan nafkah wajib selama tiga bulan, ketiga menyakiti badan seperti memukul dan keempat membiarkan atau tidak mempedulikan isteri selama enam bulan. Ia melanjutkan, tahun 2008 perkara perceraian mencapai 150 perkara dan tahun 2009 meningkat jadi 280 kasus. “Jenis
9
Kuntoro, ‘Pengertian Kebudayaan’, artikel diakses pada tangga 09 Februari 2010 dari http://docs.google.com.
(54)
perceraian yang ditangani PA terbagi dua. Yakni gugat cerai (cerai yang diajukan isteri-red) dan permohonan ikrar talak yang disampaikan suami,”paparnya.
Dalam kesempatan ini bapak yang telah 13 tahun menjadi hakim di PA Pandeglang meminta masyarakat mematuhi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam aturan itu, semua persoalan dalam pernikahan harus diselesaikan melalui jalur ini. Rain Fachrudin meminta Pemkab memperbanyak lapangan kerja sebagai solusi menekan angka perceraian. “Saya yakin gugat cerai yang diajukan isteri akan berkurang jika suami memiliki pekerjaan alias tidak menganggur,”10
D. Kondisi Ekonomi
Secara umum mata pencaharian masyarakat di Desa Rancabugel masih mengandalkan sektor pertanian yang pada umumnya dikarenakan kondisi yang sangat mendukung untuk pertanian, namun demikian ada beberapa sektor lain yang menjadi andalan pendapatan masyarakat. Seperti Buruh Perkebunan, Budidaya Ikan Air Tawar, Beternak dan Berkebun ada juga beberapa masyarakat yang berdagang kecil-kecilan, melihat kondisi jalan yang dilalui desa Rancabugel sekarang banyak yang rusak sehingga sulit untuk memasarkan hasil pertanian.11
10
Kuntoro, ‘Pengertian Kebudayaan’, artikel diakses pada tangga 09 Februari 2010dari http://docs.google.com.
11
(55)
A. Tradisi Perceraian Masyarakat Desa Kadu Ti’is a. Prosedur Perceraian
Semua masyarakat yang sudah berumah tangga sudah pasti menginginkan rumah tangganya yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Akan tetapi tidak sedikit pula masyarakat yang rumah tangganya mengalami perselisihan yang pada ujungnya berakhir dengan sebuah perceraian.
Seperti halnya masyarakat di Desa Kadu Ti’is ternyata tidak semua masyarakatnya dapat atau memiliki suasana sebagaimana yang mereka inginkan. Beberapa rumah tangga tidak harmonis lagi, yang kemudian bercerai. Mereka menganggap bahwa perceraian adalah suatu jalan yang terbaik diantara mereka karena menurut mereka apabila tidak bercerai, salah satu diantara mereka merasa tersakiti dikarenakan tidak ada rasa tanggungjawab antara mereka. Selain alasan yang diatas ada juga alasan dari terjadinya perceraian diantaranya faktor ekonomi dan karena tidak saling memahami antara keduanya yang mengakibatkan perselisihan terus-menerus sehingga perceraian dipilih sebagai jalan terbaik.
Perceraian bukanlah suatu yang mustahil terjadi bagi setiap masyarakat yang sudah menikah. Masyarakat yang berada di Desa Kadu Ti’is pun ada masyarakat yang bercerai akan tetapi mereka bercerai tidak mengikuti
(56)
prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Proses perceraian yang dilakukan masyarakat Kadu Ti’is yaitu perceraian tanpa melalui proses persidangan di pengadilan agama.
Prosedur perceraian yang dilakukan suami isteri di Desa Kadu Ti’is langkah pertama yaitu melalui kelurahan, maupun para penghulu atau lebe dan juga tokoh masyarakat setempat. Masyarakat yang ingin melakukan perceraian biasanya mereka mendatangi Bapak RT setempat dan mereka mengemukakan alasan-alasan kenapa mereka ingin bercerai, dalam hal ini Bapak RT berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang ingin bercerai dengan segala cara, jika RT setempat tidak mampu lagi untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk hidup rukun, maka Bapak RT menghadirkan RW setempat.1
Tugas RT dan RW dalam hal ini yaitu bermusyawarah untuk berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang ingin melakukan perceraian, jika RT dan RW tidak sanggup membujuk kedua belah pihak untuk rukun kembali dan tidak sanggup mendamaikan mereka maka dari pihak RT dan RW memanggil atau menghadirkan Bapak lurah, penghulu dan tokoh masyarakat juga para saksi dari pihak keluarga masing-masing.
Pasangan suami isteri yang ingin melakukan perceraian setelah sudah memberitahukan kepada RT, RW, Bapak Lurah, penghulu, dan tokoh
1
Wawancara Pribadi dengan Bapak Abah Ibin, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010, Jam 14:10
(57)
masyarakat, kemudian suami mengucapkan kata cerai kepada isterinya yang disaksikan oleh pihak keluarga masing-masing dan dihadapan penghulu, setelah kata talak itu di ucapkan maka resmilah mereka bercerai dan bagi mereka itu sudah sah perceraian kedua belah pihak.
Persyaratan yang lain yaitu hanya selembar kertas yang berisi ungkapan bahwa telah terjadi perceraian diantara keduanya, yang kemudian ditanda tangani oleh suami dan istri yang bercerai di atas materai. Dari tata perceraian yang mereka lakukakan tersebut sudah dianggap sah, dan yang menjadi bukti dari perceraian mereka adalah selembar kertas yang berisi ungkapan cerai lalu selembar kertas itu di pegang oleh kedua belah pihak yang sudah sah melakukan perceraian.2
Tradisi atau kebiasaan perceraian yang berlaku di desa kadu ti’is sudah berlaku sejak dahulu kala hingga sekarang pun tradisi ini tetap berjalan. Bagi masyarakat kadu ti’is proses perceraian yang mereka lakukan sudah sah dan mempunyai kekuatan hukum, sehingga mereka tidak merasa takut akan hal yang datang dikemudian hari jika salah satu diantara kedua belah pihak ada menuntut hak asuh anak dan menuntut harta gono gini, karena mereka memiliki selembar kertas yang berisi ungkapan cerai yang ditanda tangani di atas materai. Itulah yang dapat dijadikan bukti oleh mereka.3
2
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sanuri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
3
(58)
Jika perceraian sudah terjadi ada kemungkinan kedua belah pihak rujuk kembali dan bisa juga tidak, dengan kata lain tetap bersatus janda atau duda bahkan ada juga yang menikah lagi dengan orang lain yang dianggap lebih baik dari pasangan mereka sebelumnya. Bagi mereka yang akan menikah lagi dengan yang lain maka harus menunjukkan tanda bukti bahwa dia sudah bercerai dengan pasangannya yang sebelumnya.
Mengenai perceraian biasanya diprioritaskan adalah anak-anak dan bagaimana masa depannya. Namun bagi masyarakat Kadu Ti’is perceraian bukanlah penghalang bagi anak-anak mereka untuk mendapatkan kasih sayang dari orang tua kandung mereka. Hal ini karena mereka memberikan kebebasan kepada anaknya untuk ikut ke bapak atau ibunya. Orang tua mereka tetap mengutamakan kasih sayang kepada anak-anak mereka meskipun sudah bercerai.4
Sedangkan mengenai harta bersama menurut tradisi masyarakat Kadu Ti’is jatuhnya kepada istri dikarenakan anak yang diperoleh dari pernikahannya yang terdahulu diasuh oleh mantan isterinya sehingga harta bersama tersebut jatuh kepda mantan isterinya guna untuk kehidupan anaknya pada saat ini dan masa depannya. Setelah terjadi perceraian suami tidak boleh mempermasalahkan mana yang menjadi hak isterinyaa dan suaminya tidak berhak untuk meminta bahkan menggunakannya sedikitpun.5
4
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sanuri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010 5
(59)
Prosedur perceraian baik penerimaan perkara sampai jalannya persidangan secara global, mulai dari pendaftaran perkara di kepaniteraan pengadilan sampai perkara tersebut disidangkan.
Awal surat gugatan atau permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani diajukan kepanitera Pengadilan Agama atau (surat gugatan diajukan pada sub kepaniteraan gugatan sedangkan permohonan pada sub kepaniteraan permohonan) Undang-Undang membedakan antara perceraian atas kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik Hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian.6
Perceraian atas kehendak suami disebut dengan cerai talak dan perceraian atas kehendak isteri disebut cerai gugat. Menurut Hukum Islam suamilah yang memegang tali perkawinan, oleh karenanya suamilah yang berhak melepaskan tali perkawinan dengan mengucapkan ikrar talak. Pemohonan cerai talak meskipun bentuknya adalah permohonan tetapi pada hakekatnya adalah kontentius (perkara gugatan). Sedangkan perceraian atas kehendak isteri disebut dengan cerai gugatan.7
Sebelum perkara terdaftar di kepaniteraan, penitera melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap kelengkapan berkas perkara (penelitian terhadap bentuk dari isi gugatan permohonan) sudah dilakukan sebelum perkara didaftarkan. Misalnya dalam membuat surat gugatan kepaniteraan
6
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2003), Cet Ke4, h. 206
7
(60)
dibolehkan memberikan arahan pada penggugat apabila dalam gugatan yang dibuat tidak sesuai. Apabila terjadi kesalahan dalam gugatan atau permohonan maka tidak boleh didaftarkan sebelum petita dan positanya jelas.
Jika hal tersebut terjadi maka gugatan atau permohonan tersebut terlebih dahulu harus diperbaiki, panitera sebagai pihak yang mempunyai kewenangan dalam meneliti berkas gugatan atau permohonan sebaiknya melakukan penelitian tersebut disertai dengan membuat resume tentang kelengkapan berkas perkara, lalu berkas perkara beserta resume tersebut diserahkan kepada ketua pengadilan (dengan buku ekspedisi lokal sebenarnya) dengan disertai saran tidak misalnya berbunyi “syarat-syarat cukup dan siap untuk di sidangkan”.8
Kemudian penggugat atau pemohon menghadap kemeja I untuk menaksir besarnya biaya perkara dan menulisnya pada surat kuasa untuk membayar (SKUM). Besarnya biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan pasal 193 Rbg atau pasal 182 ayat (1) HIR atau pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan dari Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, yang meliputi :
a. Biaya kepaniteraan dan biaya materai
b. Biaya pemeriksaan saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah
8
Raihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), Cet Ke2, Cet Ke8, h. 129
(61)
c. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain
d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut.9
Ketentuan diatas tidak berlaku bagi yang tidak mampu dan diizinkan untuk mengajukan gugatan perkara secara prodeo (Cuma-Cuma). Ketidak mampuannya dapat dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari lurah atau kepala desa setempat yang dilegalisir oleh camat. Setelah itu, penggugat atau pemohon menghadap kemeja II dengan menyerahkan surat gugatan atau permohonan dan surat kuasa untuk membayar (SKUM) yang telah dibayar. Setelah selesai, kemudian surat gugatan atau permohonan tersebut dimaksudkan dalam map berkas acara, kemudian menyerahkannya pada wakil panitia untuk disampaikan kepada ketua pengadilan melalui panitera.10
Setelah terdaftar, gugatan diberi nomor perkara, kemudian diajukan kepada ketua pengadilan, setelah ketua pengadilan menerima gugatan maka ia menunjuk hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut. Pada prinsipnya pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh hakim maka ketua
9
Pasal 90 ayat (1), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 74
10
M. Fauzan, Pokok-Pokok Acara Peradilan Agama Dan Mahkamah Syar’iyah Di Indonesia,
(62)
menunjuk seorang hakim sebagai ketua majelis dan dibantu dua orang hakim anggota.11
Setalah itu hakim bersangkutan dengan surat ketetapannya dapat menetapkan hari, tanggal serta jam, kapan perkara itu akan disidangkan, ketua majelis memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir dalam persidangan. Pasal 121 HIR,12 untuk membantu majelis hakim dalam menyelesaikan perkara, maka ditunjuk seorang atau lebih penitera sidang dalam hal ini panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti.13
Tata cara memanggil dimana harus secara resmi dan patut, yaitu : a. Dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti diserahkan kepada pribadi
yang dipanggil ditempat tinggalnya.
b. Apabila tidak ditemukan maka surat panggilan tersebut diserahkan kepada kepala desa dimana ia tinggal.
c. Apabila salah seorang telah meninggal dunia maka disampaikan kepada ahli warisnya.
11
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara Dan Proses Persidangan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), Cet Ke6, h. 39
12
M. Fauzan, Pokok-Pokok Acara Peradilan Agama Dan Mahkamah Syar’iyah Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2005), Cet Ke2, h. 13
13
(1)
ribetnya mengurus perceraian di Pengadilan Agama. Saya bercerai dengan suami hanya melalui kiyai dan disaksikan oleh kedua orang tua kita masing-masing.
5. Apa yang membuktikan Ibu dan suami bahwa Ibu telah bercerai? Jawab :
Bukti bahwa saya sudah resmi bercerai dari suami saya yaitu hanya selembar kertas yang ditandatangani oleh saya dan suami diatas materai dan disaksikan oleh kiyai dan kedua orang tua kita masing-masing.
6. Apakah sah perceraian yang Ibu lakukan tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan Agama?
Jawab :
Iya sah perceraian yang saya lakukan karena saya bercerai dengan suami disaksikan oleh kedua orang tua kita masing-masing dan dihadapan Bapak penghulu yang waktu itu menikahkan saya dengan suami saya.
7. Bagaimana dengan anak Ibu yang sekarang sudah dewasa dengan perceraian Ibu dan suami?
Jawab :
Saya bercerai dengan suami sejak anak saya masih kecil sekitar umur 5 bulan tapi setelah anak saya berumur 8 tahun saya memberitahukan tentang keadaan orang tuanya yang sudah mengalami perceraian atau pisah dari bapaknya. Anak saya juga sebelumnya lama-lama mengetahui bahwa Bapaknya sudah tidak tinggal bersama lagi dengan Ibunya. Semakin dewasa saya memberi tahu mengapa alasan Ibu dan Bapak berceraian. Ibu bercerai karena Bapak selingkuh dnegan perempuan lain selama Bapak bekerja di Jakarta.
(2)
8. Setelah Ibu bercerai dari suami dan Ibu menikah lagi, apakah dengan bukti selembar kertas yang menyatakan bahwa Ibu pernah menikah bisa dijadikan bukti abhwa Ibu telah bercerai dari suami Ibu yang pertama?
Jawab :
Jika saya menikah dengan laki-laki lain maka saya hanya menunjukkan selembar kertas yang menyatakan saya pernah bercerai dari suami setelah itu selembar kertas tersebut ditunjukkan kepada orang tua laki-laki dan dihadapan penghulu. Jika semua sudah selesai maka saya baru bias menikah kembali dengan laki-laki lain.
9. Apakah Ibu menikah kembali sebelumnya meminta ijin kepada anak Ibu? Jawab :
Pastinya saya minta ijin kepada anak saya, masalah boleh atau tidaknya dengan anak saya, saya akan terima keputusannya karena saya menikah dengan laki-laki lain yang benar-benar sayang dan mau nerima anak saya apa adanya. Jika saya diperbolehkan menikah kembali sama anak maka saya akan menikah.
10.Selama Ibu bercerai dari suami, Apakah Ibu melarang anaknya untuk tidak bertemu dengan Bapaknya?
Jawab :
Saya tidak pernah melarang anak untuk tidak bertemu lagi dengan Bapaknya karena saya tidak berhak, dia adalah Bapak dari anak saya juga dan saya tidak boleh ikutin egois saya sendiri. Semua akan saya lakukan demi anak, apapun itu.
(3)
WAWANCARA KUESIONER PENELITIAN
(Perceraian Tanpa Melalui Proses Persidangan Di Pengadilan Agama) Desa Kadu Ti’is Kec. Mekar Jaya Kab. Pandeglang
Narasumber : Bapak Sumantri Jabatan : Kelurahan Pewawancara : Risna Ayesa
Hari/Tanggal : Sabtu, 13 Februari 2010
1. Bagaimana menurut bapak jika ada masyarakat di sekitar ini ada yang ingin bercerai? Jawab :
Yang pertama pasti saya merasa sedih karena saya sebagai lurah tidak bisa membuat warga di desa ini hidup harmonis dan tentram. Kemudian saya akan bertanya kepada kedua belah pihak yang ingin bercerai, alasan apa yang membuat kedua belah pihak ingin bercerai lalu apa tidak ada jalan yang lain selain perceraian dan apa sudah dipikirkan dengan baik-baik, setelah saya bertanya kepada mereka dan kedua belah pihak sudah yakin ingin bercerai maka saya sebagai lurah di desa ini, akan saya bantu mengurus perceraian kedua belah pihak.
2. Bagaimana proses perceraian di Desa Kadu Ti’is ini? Jawab :
Proses perceraian di desa ini hanya datang ke RT, RW dan kelurahan untuk mengetahui bahwa kedua belah pihak ingin bercerai lalu dari RT memanggil bapak Sanuri yang bekerja di KUA lalu kedua belah pihak membawa saksi-saksi yaitu
(4)
kedua orang tua kedua belah pihak setelah itu kedua belah pihak melakukan perceraian di depan saksi-saksi dan di depan bapak Sanuri setelah itu kedua belah pihak sudah sah bercerai lalu kedua belah pihak menandatangani surat cerai di atas selembar kertas yang bermateraikan dan kertas itu di pegang oleh masing-masing kedua belah pihak yang sudah sah melakukan perceraian.
3. Siapa saja yang berperan penting dalam proses perceraian? Jawab :
Yaitu RT, RW, bapak lurah. Kedua orang mereka masing-masing untuk dan bapak Sanuri sebagai yang bekerja di KUA dan sering menikahkan masyarakat di desa ini. 4. Apakah proses perceraian ini sudah ada sejak lama?
Jawab :
Memang proses perceraian di desa ini tidak melalui proses persidangan di Pengadilan Agama sudah ada sejak dahulu kala. Dan perceraian yang sperti ini sudah menjadi adat bagi masyarakat di desa kadu ti’is.
5. Apakah masyarakat di desa ini mengetahui tentang proses perceraian yang harus dilakukan di depan Pengadilan Agama?
Jawab :
Masyarakat disini tidak mengetahui dan tidak paham sekali dengan peraturan undang-undang yang seperti itu dan kalau mengetahuipun mereka tetap tidak bisa melakukan perceraian di Pengadilan Agama. Kebanyakan masyarakat disini mengetahuinya bahwa perceraian yang seperti itu yang biasa dilakukan di desa kadu ti’is.
6. Fakor apa yang menyebabkan masyarakat di desa kadu ti’is melakukan perceraian tanpa mealui proses persidangan di Pengadilan Agama?
(5)
Jawab :
Faktor yang pertama karena perekonomian di desa tersebut sangat lemah, fakktor yang kedua karena letak Pengadilan Agama yang jauh dari letak desanya, yang ketiga karena biaya mengurus perceraian di Pengadilan Agama terbilang mahal, dan faktor yang terakhir adalah karena perceraian ini sudah menjadi adat ataupun kebiasaan bagi masyarakat di desa kadu ti’is.
7. Apakah letak Pengadilan Agama menjadi faktor perceraian tidak dapat dilaksanakan di Pengadilan Agama?
Jawab :
Iya, salah satunya karena letak Pengadilan Agama yang begitu jauh dari perkampungan atau desa.
8. Apakah bapak sebagai lurah di desa ini sudah memberikan mereka nasehat tentang adanya peraturan perceraian menurut Undang-Undang?
Jawab :
Setiap masyarakat disini yang ingin melakukan perceraian sudah saya kasih tahu bahwa proses perceraian itu harus melalui proses persidnagan di Pengadilan Agama dan sbelumnyapun saya sudah sering mengatakanya di setiap ada pertemuan dan disetiap ada acara di desa.
9. Apakah setelah kedua belah pihak bercerai maka data-data perceraian itu ada di KUA?
Jawab :
Data-data itu ada di KUA tetapi data perceraian tersebut sudah lama kalau untuk akhir-akhir ini sudah tidak ada lagi yang bercerai di desa kadu ti’is, maksudnya
(6)
perceraian di desa ini sudah jarang terjadi lagi. Data-data perceraian disini juga tidak bisa dilegalisir karena kami tidak menginjikan memberikan baik dalam bentuk legalisir ataupun foto copy kepada siapapun, saya takut desa kami dilacak oleh pegawai Pengadilan atau siapapun