Sebab yang merupakan hak suami Sebab yang merupakan Hak Isteri. Sebab atas keputusan Pengadilan.

67 2. Karena salah satu pihak berpindah Agama 3. Salah satu pihak melakukan perbuatan Keji 4. Suami tidak memberi apa yang seharusnya menjadi hak Isteri 5. Suami melanggar janji yang pernah diucapkan sewaktu Akad Pernikahan Taklik Talak. 21 Hal-hal yang menjadi sebab putusnya Ikatan Perkawinanan antara seorang suami dengan seorang Isteri yang menjadi pihak-pihak terkait dalam perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 38 dan Kompilasi Hukum Islam KHI menyatakan ada tiga sebab, yaitu karena kematian, karena Perceraian, dan atas keputusan pengadilan agama. 22 Perceraian bisa merupakan sebab hak suami, sebab hak istri, dan sebab keputusan pengadilan.

1. Sebab yang merupakan hak suami

Islam memperbolehkan untuk memutus ikatan perkawinan atas dasar kemauan pihak-pihak. Suami di beri hak untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum yang akan menjadi sebab pemutusannya. Perbuatan hukum itu disebut dengan Talak. 23

2. Sebab yang merupakan Hak Isteri.

21 Muhammad Hamidy, Perkawinan Dan Permasalahannya, Surabaya : Bina Ilmu, 1980, h. 22 Ahmad Khuzari, MA., Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet 1, h. 117 23 Ibid, h. 117-118 68 Isteri diberi hak untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang menjadi sebab putusnya perkawinan, perbuatan hukum tersebut adalah Khul’un. 24 Isteri meminta suaminya untuk melakukan pemutusan tali ikatan perkawinan dengan cara isteri menyediakan pembayaran untuk menembus dirinya kepada suami.

3. Sebab atas keputusan Pengadilan.

Sesuai dengan kedudukannya, kekuasaan atau hak pengadilan berada di luar pihak-pihak yang mengadakan akad sehingga dalam hal pemutusan hubungan ikatan perkawinan ini pengadilan tidak melakukan inisiatif keterlibatannya terjadi apabila salah satu pihak, baik pihak suami ataw pihak isteri mengajukan gugatan atau permohonan kepada pengadilan. 25 Suami isteri memiliki hak yang sama untuk melakukan perceraian karena para pihak itu tidak melaksanakan hak dan kewajiban dalam rumah tangga. Akan tetapi perceraian itu, harus dengan alasan-alasan yang sesuai dengan apa yang telah diatur dalam Undang-Undang. Adapun menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan pasal 39 ayat 2 dijelaskan bahwa untuk melakukan perceraian diperlukan alasan-alasan yang dapat di jadikan dasar untuk perceraian, oleh karena itu dalam peraturan pemerintahan nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 24 Ibid, h. 121 25 Ibid, h. 123 69 19 dan dalam kompilasi Hukum Islam KHI pasal 116 dan 51 menjelaskan tentang alasan perceraian yang dapat terjadi. Untuk itu penulis berusaha untuk menguraikannya satu persatu sebagai berikut : 1. Salah satu pihak berbuat Zina atau pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan Zina adalah perbuatan yang dilarang oleh agama. Zina merupakan alasan untuk bercerai. Pembuktian zina ini dapat dibuktikan dengan mendengar kesaksian para saksi yang memang benar-benar mengetahuai perbuatan zina tersebut. Namun dalam pembuktian ini sangat sulit untuk di buktikan, maka dalam persidangan digunakan istilah perselingkuhan. Awal dari perbuatan ini menimbulkan pertengkaran serta memancing konflik dalam rumah tangga secara terus menurus.begitu pula dengan perbuatan judi, madat serta mabuk yang berdampak sama dengan perbuatan zina. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. Perceraian dengan alasan diatas bertujuan untuk melindungi pihak yang ditinggalkan karena tidak ada kejelasan tentang informasi keadaan pihak yang meninggalkan. Jadi pihak yang ditinggalkan dapat dilindungi dari haknya. 70 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukumannya lebih berat setelah per kawinan berlangsung. Dalam peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 23 disebutkan bahwa : Gugatan perceraian karena salah seorang suami atau isteri mendapat hukuman penjara 5 lima tahun hukuman yang lebih berat, sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 19 huruf c maka untuk mendapatkan putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutus perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Hal ini berarti pihak tergugat tidak dapat melumpuhkan alat bukti yang diajukan penggugat, karena hakim pun terikat secara mutlak atas alat bukti tersebut, dengan syarat : a. Hukuman yang dijatuhkan paling rendah lima tahun penjara b. Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. c. Adanya keterangan dari pengadilan yang bersangkutan, menjelaskan bahwa putusan pidana tersebut telah benar mempunyai hukum tetap d. Putusan dijatuhkan setelah perkawinan berlangsung antara suami isteri. 26 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. 26 M. Yahya Harap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, Jakarta : Pustaka Kartini, 1993, Cet Ke 2, h. 260 71 Jika seorang suami melakukan penganiayaan berat terhadap isterinya, maka isteri berhak mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya di pengadilan. Sebagai langkah untuk tidak terjadi lagi hal-hal yang lebih buruk lagi. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri. Cacat badan juga dapat dijadikan alasan untuk bercerai, ini disebabkan oleh karena salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami isteri. Perceraian pada alasan ini bisa tidak terjadi kalau masing- masing pihak dapat menerima kekurangan serta kelebihan masing-masing. 6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak pada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pertengkaran yang terjadi antara suami isteri secara terus menerus ini berdampak buruk bagi kelangsungan hidup rumah tangga mereka. Semua usaha harus dilakukan untuk berdamai antara suami isteri tersebut tapi kalau tidak bisa maka salah satu jalan adalah perceraian. Masyarakat Desa Kadu Ti’is melakukan perceraian tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan Agama karena ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat hanya melakukan perceraiannya melalui saksi-saksi dari kedua belah pihak. Faktor diantaranya letak Pengadilan Agama yang jauh dari perkampungan mereka, ketidak tahuan mereka dalam melakukan 72 perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan lain sebagainya. Faktor yang menyebabkan perceraian sering terjadi dalam rumah tangga di Desa Kadu Ti’is diantaranya yaitu 27 : 1. Faktor Perekonomian Masyarakat Desa Kadu Ti’is masih mengandalkan dari sektor pertanian karena kondisi yang sangat mendukung untuk pertanian, ada beberapa sektor lain yang menjadi andalan masyarakat Desa Kadu Ti’is seperti dari perkebunan salah satunya kelapa muda yang sering dijual keluar daerah, pertenakan seperti melihara kambing, ayam dan sebagainya. Mereka hanya mengandalkan penghasilan dari perkebunan, pertanian dan perternakan saja, itupun tidak banyak yang didapat dari penghasilan tersebut. 2. Letak Pengadilan Agama yang jauh Jarak antara perkampungan dengan kotanya sangat jauh dijangkau oleh masyarakat perkampungan. Bukan hanya letak Pengadilan saja yang jauh tapi dari perkampungan kepasarpun sangat jauh jaraknya dan sulit dijangkau oleh masyarakat perkampungan. Kebanyakan masyarakat yang bertempat tinggal diperkampungan seperti di Desa Kadu Ti’is ini harus mempunyai kendaraan seperti motor. Motor yang mereka punya hampir 27 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sumantri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010, Pukul 13:00 73 seluruhnya motor bodongan yang tidak mempunyai STNK dan mesin yang sudah diganti oleh mereka masing-masing. Masyarakat sekitar walaupun membeli motor bodongan seperti itu, bagi mereka yang penting hanya sebagai kendara untuk mereka pergi jauh-jauh seperti kepasar itu sudah jauh jika sudah melewati pasa mereka tidak berani karena sudah banyak polisi, bisa-bisa mereka terkena tilang oleh polisi. 3. Faktor ketidak tahuan masyarakat terhadap perceraian Pada dasarnya masyarakat yang tinggalnya di perkampungan ataupun di pedesaan tidak mengetahui adanya peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Ada juga yang sudah mengetahui tapi berpura-pura tidak mengetahuinya, itu yang membuat masyarakatnya menjadi tidak memperdulikan terhadap peraturan-peraturan yang sudah ada. 4. Faktor Pendidikan Pendidikan masyarakat di Desa Kadu Ti’is kebanyakan lulusannya hanya sampai tingkat SLTA, untuk melanjutkan ketingkat yang lebih tinggi lagi orang tua tidak bisa membiayainya dikarenakan mahalnya biaya perguruan tinggi. Bagi orang tua disana, anak mereka bisa bersekolah sampai tingkat SD saja sudah bersyukur alhamdulilah. Masyarakat di Desa Kadu Ti’is hanya lulus sampai SD dan yang tidak bersekolah jumlah masih banyak sekitar 412 orang makanya mereka tidak mengetahui peraturan diluar dari Desa mereka seperti peraturan Undang-Undang tentang perceraian dan yang lain-lain. Jika kita lihat pendidikan di Desa 74 Kadu Ti’is sudah jelas bahwa sangat kurangnya pendidikan disana. Pengetahuan serta wawasan masyarakat disana sangat kurang sekali, makanya mereka tidak mengerti tentang apa itu Undang-Undang, cara menggunakan komputer, dan yang lainnya. Ada yang melanjutkan sampai keperguruan tinggi S1 jumlahnya 3 orang dan DII jumlahnya 4 orang. Rata-rata masyarakat yang mempunyai gelar DII dan S1 menjabat sebagai lurah di desa dan ada juga yang menjadi tokoh Agama yang suka mengajar ngaji disana pokoknya masyarakat yang sekolahnya sampai tingkat tinggi mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sekitar dan dihormati. c . Kekuatan Hukum Perceraian Tidak ada seorang pun yang ketika melangsungkan perkawinan mengharapkan akan mengalami perceraian. Apalagi jika dari perkawinan itu telah dikaruniai anak. Walaupun demikian ada kalanya ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan lagi sehingga terpaksa harus terjadi perceraian antara suami isteri. Untuk melakukan perceraian pihak yang ingin melakukan perceraian harus mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 39 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa ”pengadilan hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan 75 kedua belah pihak yang akan bercerai itu, maka perceraian tidak jadi dilakukan. Dalam hal ini adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan, semata-mata ditujukan demi kepastian hukum dari perceraian itu sendiri. Seperti diketahui bahwa putusan yang berasal dari lembaga peradilan mempunyai kepastian hukum yang kuat, dan bersifat mengikat para pihak yang disebutkan dalam putusan itu. Dengan adanya sifat yang mengikat ini, maka para pihak yang tidak mentaati putusan pengadilan dapat dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku. Sebagai contoh, bekas suami yang tidak mau memberikan biaya hidup yang ditentukan oleh pengadilan selama isteri masih dalam masa iddah atau tidak mau memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan anank yang di wajibkan kepadanya, dapat dituntut oleh bekas isteri dengan menggunakan dasar putusan pengadilan yang telah memberikan kewajiban itu kepada bekas suami. Adapun pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara perceraian ialah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. 28 Setelah perkawinan putus karena perceraian, maka sejak perceraian itu mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dalam arti telah tidak ada upaya hukum lain lagi oleh para pihak, maka berlakulah segala akibat putusnya perkawinan karena perceraian. Jika dari perkawinan yang telah dilakukan, 28 Soemati, ‘Kekuatan Hukum Perceraian’, Artikel Diakses Pada Tanggal 20 Agustus 2009 dari http:docs.google.com 76 terdapat anak, maka terhadap anak tersebut berlaku akibat perceraian sebagaimana diatur dalam pasal 41 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Itu kekuatan hukum menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sedangkan menurut tradisi di Desa Kadu Ti’is bagi suami isteri yang ingin bercerai hanya mendatangkan saksi kedua belah pihak dan di depan bapak Sumantri dalam kedudukanjabatan sebagai lurahsetelah itu pihak-pihak yang akan melakukan perceraian menandatangi surat cerai diatas selembar kertas yang bermaterai, selembar kertas yang bermaterai tersebut oleh masyarakat lingkungan desa Kadu Tiis beranggapan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, setelah itu kertas tersebut di pegang oleh kedua belah pihak yang sudah sah bercerai. Kemudian ada lagi tradisi yang menganggap atau melakukan perceraian hanya dengan ucapan yang di ucapkan di depan saksi-saksi kedua belah pihak seperti orang tua dari sang suami dan kedua orang tua sang isteri. Sebenarnya kekuatan hukum yang seperti itu tidak sah jika dilihat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. kekuatan hukum tersebut juga tidak bisa dijadikan bukti jika suatu saat nanti salah satu dari mereka melakukan tuntutan seperti kewajiban mantan suami memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan anak maka sang isteri tidak bisa menuntut mantan suaminya dikarenakan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap yang bisa dan mengharuskan mantan suaminya memberikan biaya pemeliharaan dan 77 pendidikan anaknya. Kekuatan hukum mereka hanya sebuah selembar kertas yang bermaterai saja, itu tidak bisa dijadikan kekuatan hukum tetap atau kekuatan hukum yang kuat dan bersifat mengikat karena tidak ada keputusan dari pengadilan, itu hanya keputusan dari kedua orang tua mereka masing- masing. Tradisi perceraian di Desa Kadu Ti’is tidak pernah mengalami permasalahan seperti menuntut mantan suami agar memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan anak atau sebaliknya mantan isteri dituntut untuk melakukan keadilan dalam mengatur anaknya untuk bisa hidup bersama mantan suaminya

B. Akibat Perceraian Masyarakat Di Desa Kadu Ti’is