Penerapan Tinjauan Yuridis Terhadap Peran Teori Penyalahgunaan (Misappropreation Theory) Sebagai Upaya Preventif Bagi Praktik Insider Trading

Pada pasar yang efisien, tindakan manipulasi semakin sulit dilakukan. Jika pasar modal efisien maka kecil kemungkinan bisa terjadi kasus insider trading. Sebab dalam pasar modal yang efisien, penyampaian informasi sudah begitu sempurna dan tidak mungkin para pelaku pasar manapun akan memperoleh keuntungan yang abnormal baik dengan memanipulasi maupun berusaha memperoleh informasi secara ilegal. Tidak terdapatnya “ruh” misappropriation theory dalam Undang-Undang Pasar Modal, merupakan suatu celah yang dapat merugikan investor beli maupun investor jual dalam transaksi efek di bursa, sehingga pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap bursa Indonesia sebagai alternatif pembiayaan jangka panjang. Penerapan serta aplikasi misappropriation theory di dalam rancangan Undang-Undang Pasar Modal nantinya sangat diperlukan untuk menciptakan penegakan hukum industri pasar modal yang efisien dan efektif serta memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi para investor.

B. Penerapan

Misappropreation Theory dalam Kasus-Kasus Adapun kasus-kasus insider trading yang berkaitan dengan penerapan misappropreation theory antara lain : 1. Carpenter v. United States. 185 Dalam kasus Carpenter ini terdakwa R.Foster Winans sebagai reporter The Wall Street Journal menulis dalam “Heard on the Street Column”, yang merupakan kolom hasil penilaian dan analisis tentang 185 Asril Sitompul et.al, Insider Trading: Kejahatan Di Pasar Modal, Op.Cit., hlm.52- 53. Universitas Sumatera Utara kondisi perusahaan tertentu yang listing di bursa. Winans bekerja sama dengan temannya, David Carpenter pegawai berita, yang juga bekerja pada Wall Street Journal untuk melakukan praktik tersebut. Apabila tulisan dalam kolom itu menilai perusahaan yang listing baik, maka harga sahamnya cenderung naik. Sebaliknya apabila penilaiannya tidak baik, maka harga sahamnya akan turun. Kolom tersebut ternyata dijadikan tolak ukur untuk menentukan apakah harga saham dari perusahaan yang dianalisis tersebut bagus atau tidak. Pengaruh tulisan yang terdapat dalam kolom ini dimanfaatkan oleh Winans untuk kepentingannya sendiri, dengan cara bersekongkol dengan temannya dan memberitahukan isi dari kolom. Selanjutnya Winans dan Carpenter ikut serta dalam suatu skema dengan Kenneth P. Felis dan Peter Brant, keduanya pialang saham, untuk memperdagangkan informasi pada kolom heard sebelum adanya publikasi umum atas kolom tersebut. Proses ini terjadi pada dua puluh tujuh kejadian yang berbeda, sehingga dapat menjaring keuntungan hampir US 690.000. Winans dan Carpenter menyampaikan informasi walaupun kebijakan Wall Street Journal menganggap semua materi berita yang dibuat para karyawan sebagai milik Journal dan semua informasi non-public adalah rahasia. Universitas Sumatera Utara Fakta bahwa Winans bersama Carpenter ini mendapat keuntungan besar secara tidak wajar sangat merugikan investor lain sehingga SEC mulai mencium praktik pelanggaran insider trading mereka. Praktek Winans ini oleh SEC dituduh insider dalam praktik insider trading berdasarkan tuduhan, bahwa Winans menyalahgunakan informasi milik Wall Street Journal untuk kepentingan pribadinya. Pengadilan dengan dasar misappropreation theory menetapkan winans melanggar ketentuan insider trading. Dalam hal ini, pengadilan menyatakan Winans melakukan penipuan melalui Wall Street Journal. SEC beranggapan bahwa Winans mengetahui secara sadar mengenai kebijakan dari Wall Street Journal dimana Winans harus menjaga informasi serta kerahasiaan milik Wall Street Journal. Mengikuti putusan kasus Carpenter yang didasarkan kepada misappropreation theory yang telah menetapkan kategori seseorang melakukan pelanggaran adalah didasarkan pada unsur-unsur : a. Melakukan penyalahgunaan materiel non-public information; b. Termasuk dari orang yang tidak mempunyai hubungan dari suatu trust dan confidence; c. Informasi itu digunakan untuk perdagangan saham; d. Termasuk orang yang mempunyai kewajiban kepada pemegang saham dan perdagangan saham. Dengan keputusan tersebut, membuat ketentuan yang selama ini berlaku yang mengharuskan adanya fiduciary duty sebagai unsur yang Universitas Sumatera Utara menentukan kategori insider telah ditambah unsurnya diluar unsur fiduciary duty. Tampaknya penerapan hukum pasar modal Amerika Serikat pada kasus Carpenter melihat kepada asas manfaat terbanyak dari banyak orang. Mungkin oleh karena teori inilah mendasari bahwa walaupun Carpenter tidak termasuk insiders akan tetapi jika perbuatannya itu dihukum akan membawa manfaat banyak pada banyak orang. Kategori insiders yang terdiri dari komisaris, direktur, pemegang saham utama dan karyawan perusahaan adalah contoh klasik dari seseorang yang mempunyai fiduary duty atau yang disebut dengan traditional insiders . 186 2. Kasus O’Hagan v. United States Dengan demikian, konsep hukum yang menentukan seseorang dikategorikan insider dalam insider trading adalah menganut putusan Carpenter yang menerapkan konsep hukum berdasarkan missappropreation theory. Penerapan putusan kasus Carpenter ini sekaligus tidak menganut lagi konsep hukum yang menentukan kategori insider yang didasarkan adanya fiduciary duty. Kasus insider trading O’Hagan v. United States ini merupakan kasus insider trading yang dilakukan oleh salah seorang penasehat hukum dari perusahaan yang melakukan transaksi penawaran tender. 186 Bisdan Sigalingging, Analisis Terhadap Beberapa Praktik Insider Trading, http:bisdan-sigalingging.blogspot.com201112analisis-terhadap-beberapa-praktik.html diakses tanggal 18 Februari 2014. Universitas Sumatera Utara Tergugat tidak terlibat dalam masalah penawaran tender yang dilakukan klien kantor hukum dimana ia bekerja, namun memungkinkan ia mendapat akses terhadap informasi orang dalam perusahaan tersebut. Tergugat James O’Hagan adalah partner pada Kantor Hukum Dorsey Whitney di Minneapolis, Minnesota. Pada bulan Juli 1988, Grand Metropolitan PLC Grand Met , sebuah perusahaan yang berbasis di London, England, menunjuk Dorsey Whitney sebagai konsultan lokal untuk mewakili Grand Met dalam rencana penawaran tender terhadap saham perusahaan Pillsburry Company yang kantor pusatnya di Minneapolis. Grand Met dan Dorsey Whitney telah mengambil langkah- langkah yang diperlukan untuk melindungi kerahasiaan penawaran tender yang akan dilakukan Grand Met itu. O’Hagan mengundurkan diri dari mewakili Grand Met pada tanggal 9 September 1988. Pada tanggal 4 Oktober 1988, Grand Met mengumumkan penawaran tendernya untuk saham Pillsburry. Pada tanggal 18 Agustus 1988, O’Hagan mulai membeli call option atas saham Pillsburry. Setiap opsi tersebut memberinya hak untuk membeli 100 lembar saham Pillsburry pada tanggal tertentu dalam bulan september 1988. Kemudian pada bulan Agustus dan September O’Hagan melakukan pembelian lagi atas call option Pillsburry. Sampai akhir bulan September, ia telah memiliki 2.500 opsi saham Universitas Sumatera Utara Pillsburry yang masih berlaku, yang merupakan jumlah yang paling banyak di antara investor individual lainnya. Pada bulan September 1988, O’Hagan juga membeli kira-kira 5.000 lembar saham biasa Pillsburry pada harga di bawah 39 per lembar. Grand Met mengumumkan penawaran tendernya pada bulan Oktober dan harga saham Pillsburry naik menjadi hampir 60 per lembar. O’Hagan kemudian menjual opsi saham dan saham Pillsburry , dan mendapatkan keuntungan lebih dari 4.3 juta. O’Hagan mengetahui bahwa Grand Met akan melakukan penawaran tender karena kedudukannya sebagai konsultan Grand Met meskipun ia telah mengundurkan diri sebelum penawaran tender tersebut dilaksanakan. O’Hagan melakukan pembelian opsi dan saham Pillsburry atas dasar pengetahuannya tentang adanya rencana penawaran tender tersebut. Kasus ini berkaitan dengan penafsiran dan penerapan Section 10 b dan Section 14 e Securities Exchange Act 1934, dan peraturan yang dibuat oleh Securities and Exchange Commission SEC berdasarkan ketentuan tersebut yaitu Rule 10b-5 dan Rule 14e-3a. Ada dua masalah utama yang terjadi dalam kasus ini. Pertama, berkaitan dengan penyalahgunaan informasi material non-publik untuk perdagangan sekuritas. Kedua, praktek penipuan dalam pelaksanaan penawaran tender. Universitas Sumatera Utara O’Hagan dituduh melakukan penipuan terhadap kantor hukum Dorsey Whitney dan kliennya Grand Met, dengan menggunakan informasi material non-publik mengenai rencana penawaran tender Grand Met untuk kepentingan perdagangannya sendiri. Menurut tuduhan itu, O’Hagan menggunakan keuntungan yang didapatnya melalui transaksi itu untuk menyembunyikan penyelewengannya yang terdahulu dan melakukan perubahan atas trust fund dari kliennya yang lain. Juri menyatakan O’Hagan bersalah atas keseluruhan tuduhan itu, dan ia diajatuhi hukuman penjara. Majelis Hakim Pengadilan Banding mengubah seluruh tuduhan atas O’Hagan tersebut dengan menyatakan bahwa tanggungjawab berdasarkan Section 10b dan Rule 10b-5 tidak boleh didasarkan pada misappropreation theory dari peraturan tentang securities fraud atas mana hukuman tersebut didasarkan. Pengadilan Banding juga menyatakan bahwa Rule 14e-3a, yang melarang perdagangan bagi pihak yang memiliki informasi material non-publik sehubungan dengan penawaran tender, adalah melampaui kewenangan legislatif SEC berdasarkan Section 14e karena peraturan itu tidak memuat persyaratan pelanggaran fiduciary duty. Namun Mahkamah Agung melalui Hakim Justice Thomas, menyatakan bahwa keputusan Majelis Hakim Pengadilan Banding tersebut tidaklah tepat, sebab bertentangan dengan ketepatan dari Universitas Sumatera Utara misappropreation theory berdasarkan Section 10b dan Rule 10b-5 dan pada keabsahan Rule14e-3a berdasarkan Section 14 e. Komentar pada kasus ini adalah bahwa meskipun tergugat bukan orang dalam perusahaan namun karena ia memiliki informasi orang dalam yang material dan non-publik, maka ia mempunyai kewajiban untuk tidak melakukan perdagangan efek tersebut sebelum informasi yang berkaitan dengan perusahaan diungkapkan kepada publik. Dalam kasus ini, teori utama yang diterapkan adalah misappropreation theory , bukan teori fiduciary duty. Karena tergugat bukan orang dalam perusahaan, maka ia tidak mempunyai fiduciary duty terhadap perusahaan tersebut. 3. Newman v. United States. 187 James M. Newman bekerja dalam over-the-counter dari sebuah perusahaan pialang di New York. Antara tahun 1973 dan 1978, Newman menerima informasi rahasia mengenai take over perusahaan dari para karyawan Morgan Stanley Co.dan Kuhn Loeb Co., dua perusahaan investasi perbankan. Para karyawan telah menyalahgunakan informasi rahasia majikan mereka tentang take over. Newman membeli saham sesuai target kedua perusahaan sebelum melakukan keterbukaan kepada publik dan kemudian menjual sahamnya tersebut untuk memperoleh keuntungan yang besar setelah 187 Bismar Nasution, Op.Cit., hlm.264-265. Universitas Sumatera Utara pengumuman kepada publik. Newman membagi keuntungan tersebut kepada para karyawan Morgan Stanley Co.dan Kuhn Loeb Co., Newman dan teman-temannya dituduh melakukan konspirasi, dengan dakwaan pelanggaran atas Rule 10b-5, Section 10 b, fraud melalui pos, dan konspirasi untuk melakukan penipuan perdagangan saham dan melalui pos. Jika diamati dalam kasus Newman tersebut, maka pada intinya mengkaji bagaimana apabila informasi non-public diambil orang lain dan disalahgunakan dalam perdagangan saham tetap dapat diadili secara hukum dengan menggunakan pendekatan misappropreation theory secara komprehensif. Penerapan misappropreation theory dalam kasus-kasus insider trading yang terjadi di Amerika Serikat sebagaimana yang telah dideskripsikan di atas adalah sangat efektif. Karena cakupan dari teori tersebut melengkapi teori insider trading terdahulu yakni fiduciary duty theory . C. Fungsi Penerapan Misappropreation Theory sebagai Upaya Preventif Praktik Insider Trading di Pasar Modal Cakupan misappropreation theory yang luas sangat mumpuni dan efektif dalam mencegah praktik insider trading yang terjadi di industri pasar modal. Hal ini dikarenakan misappropreation theory melengkapi teori klasik fiduciary duty theory dalam menjerat pelaku-pelaku insider trading. Sebagaimana telah diketahui bahwa fiduciary duty theory tidak mampu menjaring praktik insider Universitas Sumatera Utara trading yang dilakukan oleh bukan orang dalam, tetapi memperoleh informasi secara tidak langsung atau tidak sengaja dari orang dalam. Fungsi penerapan misaprropreation theory dalam menangani praktik insider trading, secara garis besar ada tiga, yakni pertama, menjerat pelaku insider trading tidak hanya berdasarkan kategori klasik tetapi juga kategori modern, kedua , menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi pelaku ekonomi khususnya para investor dari praktik insider trading yang merugikan, dan ketiga melindungi sirkulasi keuangan negara melalui industri pasar modal secara komprehensif sehingga stabilitas perekonomian negara Indonesia tetap terjaga. Dengan menerapkan misappropreation theory, tidak hanya insiders saja namun outsiders yang memanfaatkan informasi material non-publik untuk menarik keuntungan yang besar atas transaksi efek yang dilakukannya juga dapat terjerat jika misappropreation theory ini diaplikasikan dalam proses penyidikannya. Fakta bahwa, praktik insider trading yang terjadi di Indonesia belum pernah masuk dan diadili di pengadilan Indonesia menimbulkan kesan bahwa praktik insider trading adalah hal yang wajar terjadi. Padahal praktik insider trading ini merupakan kejahatan yang sangat merugikan investor, meskipun sebenarnya tidak banyak investor di industri pasar modal yang mengetahui perihal praktik insider trading sangat menciderai hak investor tersebut. Seharusnya, otoritas pasar modal harus lebih sigap serta lebih terbuka dalam menangani masalah insider trading yang terjadi, sebagai bahan edukasi ke Universitas Sumatera Utara publik bahwa praktik insider trading sebenarnya adalah praktik kejahatan dan bukanlah risiko pasar sebagaimana pandangan masyarakat selama ini. Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa suasana bathin masyarakat Indonesia yang berjiwa “kekeluargaan” masih mempengaruhi cara pandang khususnya masyarakat investor di pasar modal dalam menanggapi kejahatan insider trading ini. Secara umum, masih banyak para investor di pasar modal, yang menganggap wajar bahwa “orang dalam” lebih mengetahui situasi perusahaan dimana ia bekerja dari pada “orang luar”. Oleh karenanya, ketika mereka “orang dalam” tersebut mengambil keuntungan sewaktu melakukan transaksi berdasarkan posisi mereka sebagai “orang dalam” adalah hal yang wajar-wajar saja. Terlebih lagi, adanya anggapan bahwa perilaku aparat yang terlalu keras kepada para pelaku kejahatan pasar modal ini akan menghilangkan minat masyarakat ke dunia pasar modal karena industri pasar modal Indonesia yang masih baru menanjak naik. Seharusnya pemikiran seperti itu haruslah di hilangkan melalui edukasi-edukasi yang diberikan kepada masyarakat investor. Karena dampak insider trading sendiri pada akhirnya menghilangkan minat para investor ke dunia pasar modal, karena hilangnya kepercayaan para investor tersebut, efeknya dunia pasar modal menjadi sepi, dan pertumbuhan ekonomipun terhambat. Untuk memelihara kepercayaan serta menarik minat masyarakat investor agar tetap berinvestasi di pasar modal tentunya haruslah didukung dengan penegakan hukum yang jelas dan pasti, mengingat di Indonesia sebagian besar Universitas Sumatera Utara masyarakat masih memilih dunia perbankan sebagai alternatif penghimpun dana. 188 Kekurangmantapan pengaturan hukum pasar modal dapat mengakibatkan sikap apatis masyarakat dan sulit diharapkan partisipasinya. Hal ini lebih berat lagi bagi Indonesia yang sedang membenahi regulasi industri pasar modalnya, sebab dengan hilangnya kepercayaan masyarakat maka prospek pengembangan pasar modal akan terancam. Penegakan hukum yang pasti akan memberikan kejelasan hukum serta perlindungan hukum bagi masyarakat investor agar tetap merasa nyaman dalam menginvestasikan modalnya di pasar modal. Penegakan hukum adalah salah satu cara untuk mempertahankan arus perkembangan pasar modal yang sangat dinamis. 189 Sehingga karenanya, pekerjaan merevisi Undang-Undang Pasar Modal 190 haruslah menjadi agenda yang diutamakan oleh otoritas pasar modal yang dalam hal ini diwakili oleh Otoritas Jasa Keuangan OJK, agar otoritas memiliki senjata yang ampuh untuk menegakkan hukum bagi pelaku pelanggaran dan kejahatan pasar modal dengan demikian pasar modal dengan potensi besar yang dimilikinya, akan menjadi tumpuan harapan bagi perkembangan perekonomian nasional. 191 Peran misappropreation theory dalam rangka penegakan hukum terkait masalah insider trading ini adalah sangat efektif dan komprehensif. Amerika 188 Ana Rokhmatussa’dyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, hlm.175. 189 Sumantoro, Aspek-Aspek Hukum dan Potensi Pasar Modal Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia,1988, hlm.179. 190 m.tribunnews.combisnis201308152014-uu-pasar-modal-bakal-direvisi.html. diakses tanggal 21 Februari 2014. 191 Sumantoro, Pengantar tentang Pasar Modal di Indonesia Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990, hlm.130. Universitas Sumatera Utara Serikat sebagai negara pencetus teori ini telah mengaplikasikan teori ini ke dalam berbagai kasus insider trading yang terjadi di negaranya dan efeknya sangat baik sekali bagi dunia pasar modal Amerika. Amerika Serikat mempuyai Undang-Undang Pasar Modal yang di dalamnya terdapat ketentuan yang jelas dan tegas untuk menegakkan hukuman bagi para pelaku insider trading. Rule 10b-5 adalah ketentuan tentang antifraud pada Securities and Exchange Act tahun 1934 Undang-Undang Pasar Modal Amerika Serikat. Ketentuan ini memberikan perlindungan hukum bagi setiap pihak yang melakukan transaksi di pasar modal dengan jaminan bahwa informasi tentang efek tidak mengandung keterangan yang salah atau menyesatkan. Rule 10b-5 secara tepat dijelaskan sebagai “the judicial oak which has grown from little more than a legislatife acorn”. Ketentuan yang awalnya sangat kabur dan sempit kemudian tumbuh menjadi ketentuan yang cakupannya sangat luas. Securities Exchange Commission SEC berupaya menutup celah yang terdapat dalam Rule 10b-5. Rule 10b-5 antar lain menetapkan : Adalah merupakan pelanggaran bagi seorang yang, secara langsung maupun tidak langsung, dengan menggunakan setiap cara atau peralatan perdagangan antar negara bagian, atau dengan melalui surat atau fasilitas lainnya dari pasar modal nasional, : a untuk melakukan setiap perbuatan, skim, atau rancangn penipuan,... atau b untuk melakukan setiap tindkaan, praktek, atau rancangan bisnis yang digunakan sebagai cara penipuan atau kecurangan terhadap prang lain, yang berhubungan dengan pembelian atau penjualan efek. 192 Rule 10b-5 menjadi alat ampuh bagi SEC untuk menegakkan hukum pasar modal. SEC diberikan kewenangan yang luas untuk mengajukan gugatan pada 192 Rule 10b-5 Securities Exchange Act Of 1934. Universitas Sumatera Utara pengadilan federal untuk mencegah pelanggaran atas ketentuan yang dikeluarkannya. SEC juga merekomendasikan kepada Departemen Kehakiman untuk menggunakan Rule 10b-5 dalam perkara kriminal, suatu hal yang umum terjadi dalam kasus insider trading. Indonesia perlu mencontoh hal ini dengan mengaplikasikan misappropreation theory ke dalam kasus-kasus insider trading yang terjadi. Bila dibandingkan dengan Rule 10b-5, Pasal 95 Undang-Undang Pasar Modal Indonesia memberikan peluang bagi pihak lain yang tidak termasuk kategori orang dalam, melakukan transaksi saham perusahaan yang bersangkutan berdasarkan informasi tidak langsung. Pasal 95 hanya menjangkau orang dalam kapasitas fiduciary duty, sehingga para pelaku yang masuk dalam kategori misappropreation theory hampir dapat dipastikan dapat terhindar dari pelaksanaan Pasal 104 Undang-Undang Pasar Modal. Melihat Undang-Undang Pasar Modal yang sekarang berlaku di Indonesia dan dikaitkan dengan praktik insider trading yang terjadi maka dapat dilihat bahwa : 1. Peraturan insider trading dalam pasar modal Indonesia yang didsarkan pada fiduciary duty tidak mampu untuk menjangkau dan menentukan pelaku-pelaku praktik insider trading diluar kategori insider sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Pasar Modal, seperti pihak lain di luar perusahaan yang menggunakan informasi non-publik dalam transaksi sekuritas di pasar modal Indonesia. Universitas Sumatera Utara 2. Berdasarkan penelitian yang mengacu pada doktrin hukum negara Amerika Serikat melalui putusan-putusan pengadilan kasus insider trading, maka penerapan misappropreation theory dapat menjangkau dan menentukan pelaku-pelaku praktik insider trading yang didasarkan pada teori fiduciary duty. Penerapan misappropreation theory ini dapat menjadi model hukum untuk dijadikan dasar bagi otoritas pasar modal dalam menentukan pelaku praktik insider trading. 3. Peraturan larangan insider trading yang didasarkan pada misappropreation theory belum diatur dalam Undang-Undang Pasar Modal dan peraturan pelaksanannya. 4. Karena konstruksi hukum pasar modal Indonesia yang mengatur larangan insider trading hanya berdasarkan teori fiduciary duty maka otoritas pasar modal Indonesia sampai saat ini belum maksimal menggugat pihak-pihak yang diduga melakukan praktik insider trading melalui pengadilan. Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka Undang-Undang Pasar Modal perlu direvisi. Terlebih lagi dengan perubahan otoritas pasar modal dari Bapepam ke OJK sangat mempengaruhi dilakukannya revisi undang-Undang Pasar Modal ini. Pembaharuan hukum di dalam Undang-Undang Pasar Modal sangat mutlak diperlukan. Terutama menerapkan konsep misappropreation theory ke dalam salah satu klausula Undang-Undang Pasar Modal baru nantinya. Universitas Sumatera Utara Penerapan misappropreation theory telah membuat konsep insider menjadi sangat komprehensif. Perkembangan penentuan insider dari traditional insider kepada misappropreation theory, perlu dikaji dan dipertimbangkan untuk mengisi ketidakcukupan peraturan kategori insider di pasar modal indonesia. Karena tanpa penerapan misappropreation theory secara menyeluruh dapat menimbulkan masalah dalam menentukan kategori insider dan sekaligus menjadi hambatan dalam mengatasi praktik insider trading. Universitas Sumatera Utara BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan