39
Penentuan Peubah Respon dan Prediktor
RTH KPop
RTB KKdr
X
1
X
2
X
3
X
4
UHI
Regresi Berganda Y
Uji korelasi
PCA dan Rotasi Varimax Peubah prediktor hasil rotasi
Simulasi dan Validasi
ya
Kontribusi prediktor terhadap UHI
Aplikasi dan Rekomendasi
ya tidak
tidak
Gambar 7. Diagram alir kajian kontribusi RTH, kepadatan populasi, RTB dan kepadatan kendaraan terhadap UHI
3.3.3. Kajian Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi
Untuk mencapai tujuan ketiga, selain melakukan kajian terhadap dampak fenomena UHI terhadap indeks kenyamanan THI dalam
o
C, dan neraca energi khususnya untuk latent heat flux atau menguapkan air ke atmosfer fluks LE
dalam Wm
-2
dan sensible heat flux untuk memanaskan udara secara konveksi fluks H dalam Wm
-2
. Untuk mendapatkan data THI diturunkan dari data kelembaban udara RH dan
suhu udara mengikuti persamaan-persamaan sebagai berikut: 1. Pendugaan Kelembaban Relatif RH
40 Kelembaban udara ditentukan oleh jumlah uap air yang terkandung di
dalam udara. Umumnya kelembaban udara dinyatakan dengan kelembaban relatif RH, dengan persamaan:
100 ×
=
s a
e e
RH …....………............................................................27
Keterangan:
RH =
Kelembaban relatif e
a
= Tekanan uap aktual kPa
e
s
= Tekanan
uap jenuh
kPa
Tekanan uap jenuh e
s
merupakan fungsi dari suhu udara Allen, et.al ,1998, secara empiris dapat dituliskan:
⎥ ⎦
⎤ ⎢
⎣ ⎡
+ =
3 .
237 27
. 17
exp 6108
.
a a
s
T T
e ..................................................................28
Keterangan: T
a
= Suhu udara
o
C e
s
= Tekanan uap jenuh kPa
Tekanan uap aktual e
a
dapat dihitung dari titik embun T
d
yang secara empiris dapat dituliskan sesuai persamaan 29, dengan T
a
diganti T
d
.
⎥ ⎦
⎤ ⎢
⎣ ⎡
+ =
3 .
237 27
. 17
exp 6108
.
d d
a
T T
e .................................................................29
2. Pendugaan THI Temperature Humidity Index Penentuan THI dapat ditentukan dari nilai suhu udara dan kelembaban
RH dengan persamaan Nieuwolt 1975:
500 8
,
a a
T RH
T THI
× +
=
...................................................................30 Keterangan:
THI =
Temperature Humidity Indeks
o
C T
a
= Suhu udara
o
C RH
= Kelembaban relatif udara
3. Pendugaan Neraca Energi Permukaan
41 Prosedur untuk mendapatkan neraca energi lihat pada prosedur ekstraksi
citra Landsat kanal 1,2 dan 3 menggunakan persamaan 4 hingga 16. Setelah radiasi netto didapatkan, dilanjutkan dengan penghitungan setiap
bagian energi berturut-turut G untuk memenasakan permukaan secara konduksi, H untuk memanaskan udara secara konveksi dan LE untuk menguapkan air
permukaan. 4. Penentuan Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi
Untuk mendapatkan bentuk hubungan dampak UHI terhadap THI dan neraca energi adalah dengan analisis regresi. Penentuan persamaan terpilih
dengan melihat nilai koefisien determinasi dan standar deviasi model persamaan. Dilanjutkan simulasi dan validasi persaman untuk melihat kecenderungan nilai
THI dan fluks LE dan H di masa mendatang 2015 dan 2025 sekaligus membandingkan output nilai dugaan dengan data observasi atau membandingkan
dengan hasil penelitian lain untuk tahun 2005. Bila hasil validasi dianggap baik persamaan dapat diaplikasikan dan direkomendasikan kepada berbagai pihak
terkait. Metodologi untuk mencapai tujuan ketiga secara grafis disajikan pada
Gambar 8.
42 Kajian dampak
UHI Peubah
prediktor X
1
THI Y
1
Ekstrak nilai RH
Rumus THI Ekstraks neraca
energi
Penentuan fluks LE dan H
LE Y
2
H Y
3
Menentukan bentuk hubungan UHI dan THI serta LE dan H
Persamaan terpilih
Simulasi dan Validasi
tidak
ya
Aplikasi dan Rekomendasi Gambar 8. Diagram alir dampak UHI terhadap THI, fluks LE dan H
43
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan tentang hasil yang diperoleh berdasarkan pada tiga tujuan kajian yang hendak dicapai. Ringkasan uraian hasil dan pembahasan dapat
disarikan sebagai berikut: 1 Penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu udara menghasilkan
persamaan terpilih nonlinier. Model persamaan RTH dan suhu udara terpilih mempunyai pola hubungan terbalik di mana setiap laju pengurangan atau
penambahan RTH menyebabkan peningkatan atau berkurangnya suhu udara dengan laju yang tidak sama. Setiap pengurangan RTH menyebabkan peningkatan
suhu udara lebih besar dibandingkan dengan penambahan RTH. Hasil ini membuktikan pentingnya mempertahankan keberadaan RTH. Ditemukan pula
bahwa setiap penambahan atau pengurangan RTH berakibat pada turun atau naiknya suhu udara dengan nilai relatif besar di wilayah perkotaan dibandingkan
wilayah kabupaten. 2 Peubah yang memberikan kontribusi terhadap UHI didominasi oleh
pengurangan RTH untuk Tangerang dan Bekasi, banyaknya kendaraan untuk Jakarta dan perluasan RTB pemicu UHI di Bogor. Ke-empat peubah prediktor
RTH, populasi, RTB dan kendaraan terbukti secara bersamaan mempunyai kontribusi nyata dan relatif tinggi terhadap UHI, kecuali Bogor. Kontribusi ke-
empat prediktor di Bogor lebih rendah akibat adanya peranan peubah di luar keempat prediktor yaitu ketinggian tempat dari permukaan laut.
3a Dampak UHI terhadap THI berupa persamaan non-linier, dengan pola berbanding lurus, setiap peningkatan UHI menyebabkan kenaikan nilai THI.
Peningkatan UHI 0.2-1.0
o
C menyebabkan peningkatan THI secara tajam, setelahnya terjadi peningkatan THI makin landai. Upaya pengurangan UHI hanya
sebesar 0.4
o
C berdampak pada makin rendahnya nilai THI setara dengan peningkatan UHI 1.2
o
C. Hasil ini membuktikan pengurangan UHI diperkotaan membawa perubahan yang nyata terhadap THI. Menurunnya nilai THI indikasi
bagi peningkatan kenyamanan kota. 3b Dampak UHI terhadap neraca energi permukaan berupa persamaan linier.
Setiap peningkatan UHI menyebabkan pengurangan penggunaan radiasi netto untuk fluks LE latent heat flux sebaliknya menambah penggunaan radiasi netto
untuk fluks H sensible heat flux. Berdasarkan hasil tersebut dampak UHI menyebabkan berkurangnya penggunaan radiasi netto untuk penguapan LE
sebaliknya meningkatkan penggunaan energi untuk pemanasan udara H. Indikator yang dapat dikaji dari perubahan penggunaan energi akibat perubahan
44 RTH menjadi RTB adalah nilai Rasio Bowen makin besar sementara nilai Fraksi
Alfa makin kecil, pertanda makin berkurangnya RTH. 4.1.
Pendugaan Nilai Suhu Udara dari Landsat
Suhu udara dugaan yang diektrak dari Landsat tahun 1991, 1997 dan 2004 merupakan nilai suhu udara pada tujuh wilayah kajian, yakni Jakarta, kota
Bogor, kabupaten Bogor, kota Tangerang, kabupaten Tangerang, kota Bekasi dan kabupaten Bekasi. Nilai suhu udara yang diekstrak merupakan gambaran suhu
udara yang terekam pada saat pukul 10.00 WIB, saat pengambilan citra Landsat tepatnya saat akuisisi 1 Juli 1991, 20 Juli 1997 serta 23 Juli 2004.
S uhu udara terendah dari suhu udara dugaan hasil ekstrak Landsat 1991,
1997 dan 2004 menunjukkan nilai yang lebih rendah dari data sesungguhnya pada hasil pengukuran di 12 stasiun yang tersebar di JABOTABEK pada waktu yang
sama, yakni stasiun Tanjung Priok, Jakarta Obs., Cengkareng, Halim Perdana Kusuma, Ciledug, Curug, Tangerang, Cibinong, Atang Sanjaya, Cimanggu,
Darmaga, Kampus Baranangsiang dan Muara. Begitupula untuk suhu tertinggi didapatkan hasil pengukuran yang lebih tinggi. Sehingga mutlak dilakukan
kalibrasi, agar data hasil ekstrak Landsat sesuai dengan data observasi. Kalibrasi dilakukan dengan cara analisis regresi antara peubah prediktor
suhu dugaan hasil ektraks Landsat sedangkan peubah respon suhu udara hasil observasi dari 12 stasiun di JABOTABEK. Metode yang diterapkan adalah
mencari model persamaan kedua peubah tersebut apakah berbentuk linier, kuadratik atau kubik dengan dasar nilai koefisien determinasi terkoreksi R
2
adj dan standar deviasi model S. Koefisien determinasi yang disesuaikan
merupakan koefisien determinasi yang telah memperhitungkan jumlah variabel yang dimasukkan kedalam model, sehingga dianggap lebih peka dibandingkan
koefisien determinasi saja. Koefisien determinasi yang disesuaikan menunjukkan besarnya ragam atau variasi peubah respon yang dapat dijelaskan oleh peubah
prediktor. Makin tinggi nilai R
2
adj maka makin baik model. Sebaliknya standar
deviasi model, merupakan gambaran besarnya penyimpangan model, makin kecil nilai S mendekati nol, makin baik model Drapper dan Smith, 1992. Hasil
analisis persamaan terpilih disajikan pada Tabel 9 sebagai berikut: Tabel 9. Tahap mencari model regresi terpilih kalibrasi suhu udara
45
TAHUN Parameter STK
1991 1997 2004 KETERANGAN
Hubungan Linier
R
2
adj 93 90
95 S 0.53
0.62 0.46
Hubungan Kuadratik
R
2
adj 94 93
96 S 0.49
0.52 0.39
Hubungan Kubik
R
2
adj 94 93 98
terpilih S
0.47 0.52 0.30
Dari Tabel 9 dapat disimpulkan bahwa untuk tahun 1991, 1997 dan 2004 persamaan kalibrasi yang digunakan adalah hubungan kubik karena memiliki nilai
koefisien determinasi R
2
adj tertinggi dan jumlah kuadrat sisa S terendah.
Adapun bentuk model persamaan terpilih disajikan secara grafik pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa untuk ketiga tahun data, secara
konsisten bentuk persamaan yang menghasilkan kriteria terbaik, yaitu R2adj tertinggi dan S terendah pada persamaan non-linier kubik. Meskipun hasilnya
memadai dan baik namun bila dicermati sebaran data pada Gambar 9 tersebut cenderung nilai hasil digaan ekstraksi Landsat pada ketiga tahun data dominan
berada di bawah garis persamaan. Kecenderungan seperti ini dikenal dengan dugaan yang under estimated. Sehingga kalibrasi nilai dugaan mutlak dilakukan
agar hasil dugaan sesuai dengan hasil observasi.
46
Gambar 9. Model persamaan terpilih kalibrasi suhu udara Setelah dilakukan kalibrasi maka data suhu terkalibrasi dapat dilihat
pada Tabel 10 sebagai berikut:
47 Tabel 10. Data suhu udara sebelum dan setelah kalibrasi
wilayah JABOTABEK Tahun 1991, 1997 dan 2004 No. Kisaran
Suhu Udara Sebelum
Kalibrasi
o
C Rataan Suhu
Udara Sebelum Kalibrasi
o
C Kisaran Suhu
Udara Setelah Kalibrasi
o
C Rataan Suhu
Udara Setelah Kalibrasi
o
C Tahun 1991
1. 19.7-31.9
25.8 26.2-30.7 26.7 Tahun 1997
2. 18.7-33.5
26.1 26.6-33.0 27.2 Tahun 2004
3. 18.9-33.3
26.5 26.0-32.4 27.5 Dari Tabel 10 dapat dijelaskan sebagai berikut:
• Nilai kisaran suhu udara terendah dan tertinggi sebelum dikalibrasi dengan data hasil observasi pada waktu yang sama dengan pengambilan citra,
terlihat pada selang yang lebih lebar. Nilai terendah tahun 1991 mencapai 19.7, tahun 1997 tercatat 18.7 dan 2004 sebesar 18.9
o
C, sedangkan tertinggi tercatat di tahun 1991 sebesar 31.9, tahun 1997 mencapai 33.5
sedangkan tahun 2004 tercatat sebesar 33.3
o
C. Nilai ini perlu dikoreksi karena tidak sesuai dengan suhu hasil observasi. Ketidaksesuaian dengan
hasil observasi disebabkan adanya pengaruh pada saat pengambilan citra. Sebagai contoh akibat adanya awan berdampak pada suhu udara yang
lebih rendah, sedangkan adanya bahan bangunan seperti seng berdampak pada suhu terukur lebih tinggi.
• Suhu udara setelah kalibrasi berada pada kisaran yang sesuai hasil observasi di 12 stasiun cuaca yang tersebar di kawasan JABOTABEK
dengan nilai berkisar antara 26.2-30.7
o
C untuk tahun 1991, antara 26.6- 33.0
o
C ditahun 1997 dan antara 26.0-32.4
o
C. • Nilai suhu udara rataan sebelum dikalibrasi juga lebih rendah dari nilai
rata-rata hasil observasi sehingga sebelum dikalibrasi suhu udara rataan dari data tahun 1991 sebesar 25.8, tahun 1997 meningkat menjadi 26.1 dan
tahun 2004 kembali meningkat menjadi sebesar 26.5
o
C. Berdasarkan data tersebut maka dapat dinilai bahwa suhu udara dugaan rata-rata dari
ekstraksi data Landsat dari tiga tahun data terjadi under estimated bila
48 dibandingkan dengan nilai observasi hal ini terlihat pada Gambar 9,
sebaran titik pada ketiga tahun data lebih dominan berada di bawah garis persamaan. Nilai suhu udara rataan setelah dikalibrasi sesuai dengan nilai
rataan hasil observasi yaitu sebesar 26.7 pada tahun 1991, menjadi 27.2 pada tahun 1997 meningkat menjadi 27.5
o
C di tahun 2004. Untuk lebih memperjelas distribusi atau sebaran suhu udara pada setiap
lokasi, maka suhu terkalibrasi disajikan secara spasial pada Gambar 10. Tahun 1991 sebaran nilai suhu terendah warna putih paling luas dan mendominasi
wilayah JABOTABEK, terutama di sebelah utara adanya badan air dan sebelah selatan kabupaten dan kota Bogor, sebagai indikasi masih luasnya RTH pada
tahun tersebut. Warna putih makin berkurang di tahun 1997 dan 2004, hanya terlihat di sebelah selatan kabupaten Bogor yaitu lahan dengan RTH hutan dan
sedikit di sebelah timur badan air tepatnya di kabuapetn Bekasi. Berdasarkan Gambar 10 terlihat pada tahun 1991 warna merah tua indikasi
bagi nilai suhu udara tertinggi, tersebar di empat kota DKI Jakarta dengan luasan terbesar, disusul Tangerang, Bekasi dan luasan paling rendah kota Bogor.
Landsat 1997 terlihat warna merah terang makin meluas ke arah kabupaten, namun paling merah tua atau suhu tertinggi tetap berada pada empat kota. Hal
yang sama terjadi pada Landsat 2004, dengan luasan warna merah makin melebar ke kabupaten Bekasi dan Tangerang bahkan mulai menyebar ke selatan ke arah
kabuapetn Bogor. Meskipun demikian pada tahun 2004, suhu tertinggi 32.4
o
C warna merah tua terdapat di empat kota besar dengan luasan terbesar di DKI
Jakarta, disusul kota Bekasi, dan Tangerang serta di kawasan selatan di kota Bogor
49
a 1991
b 1997
c 2004
Gambar 10. Sebaran nilai suhu udara terkalibrasi hasil ekstraksi Landsat periode 1991, 1997 dan 2004
50 4.2.
Pendugaan Nilai RTH dari Landsat
Persamaan Zain 2002 untuk menduga nilai persen RTH dari nilai NDVI digunakan untuk membangkitkan data persentase RTH wilayah JABOTABEK.
Maka didapatkan nilai persentase RTH setiap lokasi berdasarkan nilai NDVI. Metode yang digunakan adalah mencari bentuk persamaan antara peubah
prediktor NDVI yang didapatkan dari pengolahan data Landsat sedangkan data persentase RTH diduga dari data foto udara di lokasi yang sama. Adapun
persamaan yang dihasilkan Zain 2002 untuk wilayah JABOTABEK seperti yang telah diuraikan pada bab Metodologi.
Dari persamaan tersebut didapatkan bahwa pada saat nilai NDVI sama dengan satu didapatkan nilai presentase RTH 100, nilai NDVI 0 setara dengan
nilai persen RTH 21, sedangkan pada saat nilai NDVI= 0.05 hingga -1 setara dengan presentase RTH sebesar 0 dengan kata lain merupakan RTB atau lahan
terbuka dapat berupa lahan kosong atau lahan urban. Sebaran nilai RTH dalam persen secara spasial dalam bentuk peta hasil
ekstraksi citra Landsat disajikan pada Gambar 11. Berdasarkan Gambar 11 dapat diuraikan sebagai berikut:
• Nilai RTH berkisar antara 0-100. Nilai RTH 0 terlihat pada gambar dengan warna merah tua terdapat di empat kota, DKI
Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Warna merah tua yang mengindikasikan RTH 0 makin melebar pada tahun 2004
dibandingkan 1997 dan 1991. • Nilai RTH 100 dengan warna hijau gelap terdapat di sebelah
barat di kabupaten Tangerang, sebelah timur di kabupaten Bekasi dan di selatan di kabupaten Bogor dengan luasan makin mengecil
pada tahun 2004 dibandingkan tahun 1997 dan 1991. • Nilai rataan RTH pada tiga tahun data disajikan pada Tabel 11.
51
a 1991
b 1997
Gambar 11. Nilai RTH di Wilayah JABOTABEK Periode 1991, 1997 dan 2004
52 Tabel 11. Nilai rataan RTH wilayah JABOTABEK
Tahun RTHmin RTHmax RTHrataan
STD 1991 0
100 61
11.5 1997 0
100 57
10.3 2004 0
100 50
09.6
Sumber: hasil olahan data Landsat
Berdasar Tabel 11 didapatkan rataan RTH makin menurun dari tahun 1991 sebesar 61, pada tahun 1997 turun sebesar 4 menjadi 57 dan pada
tahun 2004 kembali berkurang 7 menjadi 50.
4.3. Penentuan Neraca Energi