6
Gambar 3. Fenomena UHI secara spasial dalam bentuk isoterm tertinggi di tengah gambar seperti sebuah pulau panas
Sumber: Voogt 2002
Beberapa hasil kajian UHI mencatat bahwa perbedaan suhu udara
perkotaan lebih tinggi 0.02-1
o
C dibandingkan daerah daerah sekitarnya daerah pinggiranrural di kota-kota tropis Hidayati, 1990; Karjoto, et al. , 1992;
Santosa, 1998; Mulyana et al. 2003. Di negara subtropis fenomena UHI lebih dirasakan pada musim semi dan
musim panas, terutama di malan hari. Suhu udara lebih tinggi sekitar 3-5
o
C hingga dapat mencapai 8-10
o
C sementara di siang hari hanya berbeda 1-2
o
C. Hasil ini merupakan kesimpulan dari berbagai riset di negara-negara bagian USA
yang dilakukan Givoni 1998, bahkan di Houston, Texas USA oleh Streuker 2003 hanya mendapatkan peningkatan sebesar 0.8
o
C periode 1987-1999 pada siang hari berdasarkan data satelit; di Kota Gothenburg, Swedia oleh Svenson dan
Eliasson 2002 sebesar 4-8
o
C di saat malam yang tenang dan cerah, sementara pada kondisi berangin dan berawan peningkatan suhu udara perkotaan hanya
sebesar 2.5
o
C. Sedangkan di Kota Phoenix Arizona, USA suhu udara malam hari meningkat sebesar 5
o
C, di siang hari sebesar 3.1
o
C Baker, et al. 2003.
2.2. Keterkaitan RTH dengan UHI
Berdasarkan lokasinya RTH di JABOTABEK lebih tepat diartikan sebagai RTH perkotaan urban green space, Zain 2002 menambahkan kata urban
karena antara manusia dan RTH JABOTABEK terjalin interaksi yang erat,
7 sehingga RTH perkotaan diartikan sebagai bagian dari ruang-ruang terbuka suatu
wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi endemik, introduksi guna mendukung manfaat langsung dan atau tidak langsung yang
dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan Nurisjah et al., 2005.
Nurisjah et al., 2005 mengungkapkan fungsi RTH baik RTH publik maupun RTH privat memiliki fungsi utama intrinsik, yaitu fungsi ekologis dan
fungsi tambahan ekstrinsik, yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi. Secara tabular fungsi RTH perkotaan digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4. Fungsi RTH Perkotaan Sumber: Nurisjah et al., 2005
Hasil kajian Purnomohadi 1995 terhadap peran RTH dalam pengendalian kualitas udara di DKI Jakarta mendapakan hasil: RTH mampu menekan emisi
CO, NOx dan Pb melampaui baku mutu KepMenLH 021998 dari sektor transportasi 90, industri 7, sampah kota 3 dan rumah tangga 1
masing-masing sebesar 3, 2 dan menekan emisi Pb sebesar 2 terhadap bobot emisi. Sehingga secara tidak langsung kehadiran RTH lewat reduksi emisi gas
seperti NOx termasuk gas rumah kaca, yang mempunyai kemampuan menyerap panas 300 kali dibandingkan CO
2
akan mengurangi dampak pemanasan baik lokal, maupun regional seperti fenomena UHI.
Kajian Santosa dan Bey 1992 menemukan keberadaan Kebun Raya Bogor tetap nyaman terjaga dari pengaruh pembangunan fisik dan padatnya lalu
8 lintas kota dilihat dari nilai THI-nya sama dengan nilai THI hutan alami,
sementara THI di sekitarnya melebihi nilai nyaman. Sehingga Kebun Raya Bogor tetap nyaman sebagai tempat rekreasi. Kaitan RTH dengan kenyamanan adalah
akibat pengaruh langsung RTH dalam meredam radiasi matahari melalui efek penaungan. Secara bersamaan meredam penggunaan radiasi netto untuk
memanaskan udara akibat proses transpirasi, sehingga kehadiran RTH membawa rasa nyaman dari segi suhu udara yang lebih rendah, juga suplai oksigen bagi
makhluk hidup di sekitar RTH. Tipe RTH yang banyak terdapat di Jawa Barat berupa kebun berbagai
tanaman hortikultura di sekitar rumah dikenal dengan istilah home garden menyebabkan turunnya suhu udara 0.5-1
o
C serta meningkatkan RH 3-4 di bandingkan lahan terbuka Koesmaryono, et al. 2000. Hal ini berarti
keberadaan RTH mampu meredam fenomena UHI serta mempertahankan THI pada batas nyaman.
Hasil riset lapangan Zain 2002 kawasan JABOTABEK mengidentifikasi sedikitnya 9 tipe RTH: tanaman di gedung pemerintahan, tanaman di areal pusat
bisnis, tanaman di areal industri, taman, RTH di pemukiman kota, RTH pemukiman pinggiran kota, pedesaan, areal sawah, serta hutan kota. Masing-
masing tipe berbeda dalam efektivitasnya mengurangi suhu udara, berdasar kajian Irwan 1994 bentuk RTH yang menyebar dan terdiri dari berbagai tingkatan
vegetasi rumput, semak dan pohon dapat mengurangi kebisingan sebesar 6- 30, debu sebesar 38-68, dan suhu udara di bawah tajuk sebesar 0.1-0.5
o
C dibandingkan RTH bergerombol, dan berbentuk jalur. Hal yang sama diungkap
Misawa 1994 tentang efektivitas jalur hijau dengan lebar lebih dari 2 km, dengan kombinasi vegetasi rumput, semak dan pohon mampu meredam 75 debu
perkotaan. Namun keberadaan RTH di banyak kota terancam oleh penyebab
pengurangan RTH seperti, meningkatnya permintaan lahan untuk kawasan pemukiman, perluasan kota serta industri Sudha and Ravindranath, 2000,
meledaknya populasi Oke, 1982; Shosshany and Goldshleger, 2002 serta urbanisasi Ghosh, 1998; Murakami, et al., 2005. Akibatnya terjadi fenomena
UHI yang berdampak pada perluasan wilayah tidak nyaman. Hal serupa
9 didapatkan oleh Khomarudin 2005 untuk kota Surabaya dan sekitarnya, dengan
menggunakan data Landsat dan NOAA secara visual akibat perubahan lahan bervegetasi menjadi lahan perkotaan meningkatkan suhu udara yang berimplikasi
pada meluasnya UHI. Namun hubungan secara empiris lewat persamaan matematika belum ditemukan.
RTH lewat proses transpirasi secara efektif menggunakan energi netto sebagai panas laten latent heat sehingga meminimalkan penggunaan energi
untuk memanaskan udara sensible heat. Akibatnya pada lahan bervegetasi cenderung terasa lebih sejuk. Karena itu, Moll 1997 merekomendasikan kota
harus memiliki RTH dengan luasan sekitar 40 dari luas totalnya atau setara dengan 20 pohon besar setiap 4 ribu m
2
. Penghitungan tersebut didasarkan pada perhitungan neraca energi yaitu konversi radiasi netto lebih banyak digunakan
untuk panas laten, sehingga mengurangi porsi sensible heat, akan efektif bila luasan RTH 40 dari luasan lokasi kota.
Melalui kombinasi penaungan dan pendinginan udara lewat transpirasi, RTH dapat digunakan untuk mencegah UHI akibat perkembangan area perkotaan
Grimmond et al., 1996, Ca et al., 1998, Spronken-Smith dan Oke, 1998. Selama kawasan RTH vegetasi pada masa pertumbuhan aktif, maka laju CO
2
yang diserap dalam proses fotosintesis jauh lebih besar dibandingkan dengan laju
pelepasan CO
2
dalam proses respirasi, sehingga hasil akhir terjadi penurunan CO
2
di atmosfer sehingga secara tidak langsung mencegah terjadinya dampak pemanasan global McPherson, 2000.
Selain RTH, badan air juga dapat mengontrol UHI, karena energi netto secara maksimal digunakan sebagai panas laten lewat proses evaporasi, sehingga
energi untuk memanaskan udara dapat ditekan pada batas jumlah menimal, khususnya pada siang hari, hal ini dibuktikan oleh Shafir dan Alpert 1990 di
Jerusalem, Israel dan di Kota Mexico oleh Oke, et al. 1999. Hasil penelitian terbaru mengenai luasan ha dan proporsi RTH
didasarkan pada analisis citra Landsat disajikan dalam bentuk Tabel 1 dan 2 sebagai berikut:
10 Tabel 1. Dinamika Luasan RTH Kawasan JABOTABEK
Luas Ruang Terbuka Hijau ha KABUPATEN
KOTA 1972
1983 1992
2000 2004
Luas Wilayah ha
Kab. Bogor
269.145 264.479 260.178 230.324 234.945
279.382 Bogor
10.401 9.885 8.060 5.587 4.912
11.342 Kab.
Bekasi 66.843 62.530 83.280 71.892
77.904 126.738
Bekasi 16.414 15.836
14.618. 8.977
7.240 22.683
Depok 16.780 18.090 17.533 12.935 9.780
19.991 Kab.
Tangerang 62.427 77.551 82.739 60.687
66.601 112.612
Tangerang 9.997 8.219 8.468 5.053
3.820 18.538
DKI Jakarta 32.709
20.012 17.956
10.190 7.166
63.533 Sumber: Agrissantika, et al. 2007
Berdasarkan Tabel 1 dan 2 terlihat bahwa hingga 2005 semua wilayah kabupaten secara luasan ha dan proporsi luasan RTH masih mempunyai
potensi besar dalam hal mengurangi peningkatan suhu udara dan meredam fenomena UHI. Potensi meredam UHI karena luasan RTH yang dimiliki wilayah
kabupaten masih cukup luas, terutama di Kabupaten Bogor luasan RTHnya 234.945 ha atau 85 dari total luas wilayah diikuti Kabupaten Bekasi dan
Tangerang masing-masing 77.904 ha 61 dan 66.601 ha 59. Sedangkan wilayah perkotaan berada pada proporsi di bawah 50, dengan RTH terendah di
kota DKI Jakarta sebesar 11. Tabel 2. Dinamika Proporsi RTH Kawasan JABOTABEK
Proporsi Ruang Terbuka Hijau KABUPATEN KOTA
1972 1983 1992 2000 2005 Kab. Bogor
96 95
93 82
84 Bogor
92 87 71 49 43 Kab. Bekasi
53 49
66 57
61 Bekasi
72 70 64 40 32 Depok
84 90 88 65 49 Kab.
Tangerang 55 69 73 54 59
Tangerang 54 44 46 27 21
DKI Jakarta
51 31 28 16 11
Sumber: Agrissantika, et al. 2007
11 2.3.
Keterkaitan Kepadatan Populasi dengan UHI
Peningkatan populasi secara langsung lewat emisi panas tubuh dan secara tidak langsung melalui aktivitas penghasil gas rumah kaca, terbukti secara lokal
menyebabkan peningkatan suhu udara Tso, 1996; Jauregui et al. 1997; Tayanc dan Toros, 1997; Brandsma et al. 2003; Chung et al. 2004; Mihalakakou et al.
2004, Stalling, 2004; Zhou, 2004. Intensitas UHI cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan populasi dan atau luasan perkotaan Park, 1986; Yamashita et
al., 1989; Chow, 1992; Hogan dan Ferrick, 1998; Magee et al. 1999; Philandras et al. 1999, Torok et al. 2001; Hinkel et al. 2003.
Di Amerika Utara dan kota-kota di Eropa, Oke 1973 berhasil membuat model regresi dengan peubah prediktor tunggal ukuran populasi, sebesar 70
dapat menjelaskan peubah intensitas UHI. Dilanjutkan hasil penelitian Karl et al. 1988 di Amerika Serikat secara lokal suhu udara meningkat sebesar 1
o
C setiap peningkatan populasi 100 ribu jiwa akibat urbanisasi. Pada skala regional Kukla
et al. 1986 mencatat peningkatan suhu udara perkotaan sebesar 0.12
o
C per- dekade pada rentang periode 1941-1980. Sebagai penelitian pionir, Viterito
1991 menduga peningkatan suhu udara perkotaan secara global di Amerika Serikat sebesar 0.19
o
C akibat penambahan populasi 200 ribu jiwa atau lebih pada tahun 2035.
Besaran UHI hasil penelitian yang dilakukan Pongracz et al. 2005 di 10 kota terpadat di Hungaria, Budapest didapatkan antara 1.2-2.1
o
C dengan menggunakan hasil ektraks data satelit Terra, dengan sensor MODIS. Pongracz
menyimpulkan fenomena UHI yang terjadi di 10 kota Hungaria, Budapest disebabkan oleh makin meningkatnya jumlah penduduk. Besaran magnitude
UHI tertinggi 2.1
o
C disumbangkan oleh kota terpadat, sedangkan terendah 1.2
o
C tercatat di kota berpopulasi terendah.
Hasil penelitian terbaru di JABOTABEK mengenai populasi dan potensi kepadatan penduduk dari tahun 1961 hingga 2004 disajikan pada Tabel 3.
12 Tabel 3. Jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan
populasi perdekade wilayah JABOTABEK
Lokasi 1961 1971
1981 1991
2000 2004
Jakarta
Penduduk jiwa 2.906.533
4.576.009 6.555.954
8.729.700 8.385.639
8.725.830 Luas km
2
592 587
657 661
661 661
Kepadatan popkm
2
4.910 7.796 9.971
10.750 12.681
13.195 Bogor
Penduduk jiwa 1.468.248
1.864.652 2.823.201
4.248.038 5.379.279
5.594.078 Luas km
2
3.020 3.020
3.021 3.379
3.463 3.463
Kepadatan popkm
2
486 617 935
1.257 1.553
1.615 Tangerang
Penduduk jiwa 850.390
1.066.695 1.515.677
2.93.653 4.107.282
4.682.948 Luas km
2
1.325 1.325
1.325 1.399
1.414 1.414
Kepadatan popkm
2
642 805 1.144
2.097 2.905
3.312 Bekasi
Penduduk jiwa 692.817
830.721 1.205.108
2.244.292 3.328.127
3.864.525 Luas km
2
1.600 1.599
1.284 1.484
1.484 1.484
Kepadatan popkm
2
433 520 939
1.512 2.243
2.604
Sumber: Rustiadi, et al. 2007
Berdasarkan Tabel 3 dan dikaitkan dengan hasil penelitian Oke 1973; Karl et al. 1988; Kukla et al. 1986; Viterito 1991 serta Pongracz et al.
2005, maka potensi UHI meningkat lebih besar di Jakarta diikuti Tangerang, Bekasi dan terendah di Bogor, bila dikaitkan dengan kepadatan populasi setiap
kota.
2.4. Keterkaitan Ruang Terbangun RTB dengan UHI