57 diperhitungkan dalam konsep neraca energi, karena nilai penggunaan fluks P
dianggap kecil dan dapat diabaikan. Meskipun pada kenyataannya pada lahan RTH yang didominasi vegetasi tetap melakukan aktivitas fotosíntesis dan
menyebabkan nilai radiasi netto pada tipe lahan RTH relatif lebih besar. Gambaran penggunaan komponen radiasi netto untuk fluks G pemanasan
pemukaan, fluks H pemanasan udara dan fluks LE penguapan air permukaan dapat secara rinci dilihat pada Gambar 12-15 di ke empat lokasi menunjukkan
kecenderungan yang sama di mana Rn di lahan RTH penggunaan terbesar untuk fluks penguapan air LE. Sedangkan penggunaan Rn di lahan RTB baik di
Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi mempunyai pola yang sama dalam hal prioritas utama untuk fluks G dan H, sehingga fenomena urban heat island terjadi.
4.4. Penentuan Hubungan RTH dan Suhu Udara
Hasil analisis bentuk hubungan antara RTH dan suhu udara pada tahun 1991, 1997 dan 2004 didapatkan persamaan berbentuk non-linier kubik. Bentuk
persamaan non-linier kubik dipilih berdasarkan pola sebaran data dan pada nilai koefisien determinasi terkoreksi R
2
adj tertinggi serta nilai standar deviasi model S terendah. Secara rinci hasil analisis disajikan pada Tabel 12.
Berdasarkan Tabel 12 tersebut terlihat bahwa terdapat kecenderungan yang sama pada ketiga tahun data baik 1991, 1997 dan 2004. Semua persamaan
antara RTH dan suhu udara, secara konsisten nilai koefisien determinasi tertinggi dan nilai standar deviasi model terendah terdapat pada persamaan non-linier
kubik. Analisis lanjut berupa validasi model, untuk memastikan model mana
yang paling baik dalam menduga nilai sebenarnya nilai observasi lapang. Validasi model persamaan dilakukan cara membandingkan antara hasil keluaran
model dengan menggunakan data di luar data penyusunan model persamaan dengan hasil pengukuran lapangan. Kedua data disajikan secara grafis dengan
sumbu x merupakan nilai keluaran model dan sumbu y merupakan nilai hasil pengukuran lapang. Kemudian dilakukan uji statistika untuk mengetahui
besarnya nilai korelasi atau nilai koefisien determinasi antara kedua peubah
58 tersebut. Makin besar nilai korelasi atau nilai kuadrat korelasi koefisien
determinasi maka makin baik model yang diuji. Tabel 12. Nilai koefisien determinasi
R
2 adj
dan standar deviasi model S persaman RTH dan suhu udara 1991, 1997 dan 2004
LINIER KUADRATIK KUBIK
No WILAYAH R
2 adj
S R
2 adj
S R
2 adj
S Tahun 1991
1. JAKARTA
85 0.15 95 0.08
98 0.03
2. KOTA
BOGOR 87 0.15 95 0.08
99 0.02
3. KAB
BOGOR 84 0.15 95 0.05
99 0.02
4. KOTA
TANGERANG 87 0.15 95 0.11
98 0.02
5. KAB
TANGERANG 87 0.12 94 0.05
91 0.02
6. KOTA
BEKASI 85 0.09 95 0.07
96 0.04
7. KAB
BEKASI 87 0.12 94 0.05
96 0.04
Tahun 1997 1.
JAKARTA 86 0.14 96 0.07
99 0.04
2. KOTA
BOGOR 88 0.17 96 0.05
99 0.03
3. KAB
BOGOR 85 0.17 95 0.04
99 0.02
4. KOTA
TANGERANG 88 0.14 96 0.10
99 0.03
5. KAB
TANGERANG 88 0.11 95 0.04
99 0.02
6. KOTA
BEKASI 86 0.08 96 0.06
99 0.02
7. KAB
BEKASI 88 0.11 95 0.07
99 0.03
Tahun 2004 1.
JAKARTA 85 0.11 97 0.05 98 0,04
2. KOTA
BOGOR 89 0.16 97 0.04 99 0,01
3. KAB
BOGOR 86 0.16 96 0.03 99 0,01
4. KOTA
TANGERANG 89 0.13 97 0.09 99 0,01 5.
KAB TANGERANG
89 0.10 96 0.03 99 0,01 6.
KOTA BEKASI
87 0.07 97 0.05 99 0,02 7.
KAB BEKASI
89 0.10 96 0.03 99 0,02
Hasil validasi model persamaan hasil ektraksi Landsat 2004, mampu menduga sebesar 98 data suhu udara hasil ekstraksi Landsat 1991 mendekati
nilai aktual 1991 dan menduga sebesar 98 suhu udara hasil ekstraksi Landsat 1997 mendekati nilai aktual 1997 disajikan secara grafis pada Gambar 16.
Sedangkan validasi model hasil ekstraksi Landsat 1991 ketika divalidasi untuk data 1997 hanya sebesar 78 data dugaan mendekati aktual selebihnya
59 under estimate
serta hasil validasi model hasil ekstraksi Landsat 1997 untuk data 1991 hanya sebesar 77 data dugaan mendekati data aktual 1991 selebihnya
terjadi over estimate disajikan pada Gambar 17.
a b
Gambar 16. Validasi model persamaan tahun 2004 untuk data tahun 1991 a dan data tahun 1997 b
a b
Gambar 17. Validasi model persamaan hasil ekstraksi 1991 untuk data 1997 a dan model persamaan hasil
ekstraksi 1997 untuk data 1991 b
Berdasarkan hasil validasi model, ditetapkan model persamaan antara RTH dan suhu udara adalah model persamaan hasil ektraksi data Landsat tahun
2004. Adapun bentuk model persamaan terpilih untuk wilayah JABOTABEK antara RTH dan suhu udara, secara umum dapat dituliskan sebagai:
Y=bo – b
1
X + b
2
X
2
– b
3
X
3
Di mana Y merupakan suhu udara
o
C dan X merupakan RTH , uji regresi nilai konstanta bo dan koefisien b
1
, b
2
dan b
3
disajikan pada Tabel 13.
60 Tabel 13. Nilai konstanta dan koefisien persamaan RTH dan suhu
udara JABOTABEK Nilai konstanta dan koefisien
No. Wilayah
bo b
1
b
2
b
3
1. Jakarta 27.5
7,4x10
-3
2,2x10
-4
4,0x10
-6
2. Kota Bogor
27,4 8,2x10
-3
1,5x10
-4
2,0x10
-6
3. Kab. Bogor
27,2 8,4x10
-3
1,5x10
-4
2,0x10
-6
4. Kota Tangerang
27,4 1,6x10
-2
2,7x10
-4
3,0x10
-6
5. Kab. Tangerang
27,2 1,2x10
-2
2,0x10
-4
2,0x10
-6
6. Kota Bekasi
27,3 4,8x10
-3
2,8x10
-4
1,0x10
-6
7. Kab. Bekasi
27,2 3,8x10
-3
4,9x10
-4
1,0x10
-6
Keterangan: angka yang diikuti tanda , sangat nyata pada taraf α=1
Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa nilai bo sebagai konstanta persamaan merupakan nilai suhu udara secara alami bila tanpa pengaruh RTH. Jakarta
sebagai kota terbesar memiliki nilai tertinggi sebesar 27.5, diikuti kota Bogor dan Tangerang dengan nilai sebesar 27.4, lalu kota Bekasi sebesar 27.3 serta ketiga
wilayah kabupaten dengan nilai suhu udara alami terendah dengan besaran yang sama, yaitu sebesar 27.2
o
C. Sementara nilai b
1
, b
2
dan b
3
merupakan koefisien bagi RTH, RTH kuadrat dan RTH kubik, juga memiliki besaran koefisien yang
sama kecuali untuk kota dan kabupaten Tangerang pada koefisien b
1
. Bentuk persamaan dalam bentuk grafis disajikan pada Gambar 18 untuk
kota Jakarta, kota dan kabupaten Bogor, Tangerang dan Bekasi. Berdasar Gambar 18 makin memperjelas arti nilai bo sebagai titik potong dengan sumbu Y atau
dapat dikatakan nilai suhu udara saat RTH bernilai 0. Persamaan hanya berlaku untuk kisaran RTH 0 hingga 80. Pada nilai RTH 80 hingga 100
nilai suhu udara relatif sama. Nilai suhu udara di Jakarta pada saat RTH mencapai 80 adalah sebesar 26.5
o
C nilai ini besarnya sama dengan nilai suhu udara rata- rata wilayah Indonesia dengan ketinggian 0 m dpl di atas permukaan laut. Nilai
yang sama untuk kota Bogor dan Tangerang, sementara kota Bekasi dan kabupaten Bogor sebesar 26.4 serta kabupaten Tangerang dan Bekasi sebesar
26.3
o
C. Tidak mudah untuk membuat interpretasi persamaan terpilih secara
langsung. Untuk itu disajikan grafik perubahan RTH dan dampaknya terhadap perubahan suhu udara untuk ketujuh wilayah kajian, disajikan pada Gambar 19.
61
a Jakarta
b Kota
Bogor c
Kab. Bogor
d Kota Tangerang e Kab. Tangerang
f Kota
Bekasi g
Kab. Bekasi
Gambar 18. Bentuk persamaan terpilih antara RTH dengan suhu udara Ta pada tujuh wilayah kajian
62 Berdasarkan Gambar 19 terlihat bahwa peningkatan suhu udara terjadi saat
RTH berkurang, sebaliknya pada saat penambahan RTH terjadi penurunan suhu udara. Hal menarik adalah laju kenaikan suhu udara lebih tajam dibandingkan
laju penurunannya, hal ini menunjukkan resiko pengurangan RTH terhadap peningkatan suhu udara, lebih besar dibandingkan upaya penambahan RTH. Hal
ini menjadi masukan yang sangat berharga bagi pengambil kebijakan tata kota, bahwa setiap pengurangan RTH menyebabkan konsekuensi bagi peningkatan
suhu udara dengan derajat yang lebih besar dibandingkan dengan upaya penambahan RTH. Sehingga harus lebih berhati-hati dalam setiap keputusan
mengalihfungsikan RTH menjadi ruang terbangun RTB. Atau dapat dikatakan bahwa upaya untuk mempertahakan luasan RTH memerlukan pengorbanan yang
lebih besar dibandingkan dengan upaya penambahan RTH, namun memberikan hasil yang lebih baik dalam hal mempertahankan nilai suhu udara pada kisaran
rata-rata yang nyaman bagi sebuah kota. Tanda panah pada Gambar 19, menunjukkan mulai terjadi peningkatan
tajam. Terlihat untuk Jakarta peningkatan suhu udara dengan laju tajam pada saat RTH berkurang sebesar 30. Untuk Bogor baik kota maupun kabupaten pada
pengurangan RTH 30, kota dan kabupaten Tangerang pada saat nilai RTH berkurang 15 dan 20 serta kota dan kabupaten Bekasi pada pengurangan RTH
sebesar 35. Secara rata-rata nilai pengurangan RTH pada titik kritis tanda panah untuk kawasan JABOTABEK sebesar 28. Bila nilai 28 dilampaui
menyebabkan laju peningkatan suhu udara lebih tajam. Laju kenaikan suhu udara yang tajam mengindikasikan perubahan suhu yang terjadi setiap pengurangan
RTH lebih besar dua kali lipat dibandingkan laju yang landai. Sedangkan pengurangan RTH dari 0-28 berakibat pada laju peningkatan suhu udara landai.
Peningkatan yang landai indikasi bagi peningkatan suhu udara yang lebih kecil. Penyajian secara kuantitatif setiap perubahan RTH 5 untuk ketujuh
wilayah di JABOTABEK disajikan pada Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14 dapat diperjelas titik kritis tanda panah pengurangan RTH pada angka yang dicetak
tebal. Untuk Jakarta, kota dan kabupaten Bogor pada pengurangan RTH 30, kota dan kabupaten Tangerang pada pengurangan RTH sebesar 15 dan 20 serta
kota dan kabupaten Bekasi pada pengurangan RTH sebesar 35.
63
a Jakarta
b Kota
Bogor c
Kab. Bogor
d Kota Tangerang e Kab. Tangerang
f Kota Bekasi g Kab. Bekasi
Gambar 19. Perubahan suhu udara akibat perubahan RTH Wilayah JABOTABEK
64 Tabel 14. Laju perubahan suhu udara akibat perubahan RTH sebesar
5 di JABOTABEK No
∆RTH
∆Ta
o
C JKT
∆Ta
o
C Kota
BGR ∆Ta
o
C Kab.
BGR ∆Ta
o
C Kota
TGR ∆Ta
o
C Kab
TGR ∆Ta
o
C Kota
BKS ∆Ta
o
C Kab.
BKS
1 -50 1.4 1.0 1.0 1.8 1.3 0.5 0.4
2 -45
1.1
0.9 0.9 1.5 1.1 0.4 0.4 3
-40 0.9 0.7 0.7 1.3 0.9 0.3 0.3 4
-35 0.7 0.6 0.6 1.0 0.8 0.2 0.2
5 -30 0.5 0.4 0.4
0.8 0.6 0.2 0.2 6
-25 0.4 0.3 0.3 0.6 0.5 0.2 0.1 7
-20 0.3 0.2 0.2 0.4 0.3
0.1 0.1 8
-15 0.2 0.2 0.2 0.2
0.2 0.1 0.1 9
-10 0.1 0.1 0.1 0.2 0.1 0.1 0.0 10
-5 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.0 11 0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
12 +5 0.0 0.0 0.0 -0.1 -0.1 0.0 0.0
13 +10 -0.1 -0.1 -0.1 -0.1 -0.1 -0.1 0.0
14 +15 -0.1 -0.1 -0.1 -0.2 -0.1 -0.1 -0.1
15 +20 -0.1 -0.1 -0.1 -0.2 -0.2 -0.1 -0.1
16 +25 -0.1 -0.1 -0.2 -0.3 -0.2 -0.1 -0.1
17 +30 -0.1 -0.2 -0.2 -0.3 -0.2 -0.2 -0.1
18 +35 -0.2 -0.2 -0.2 -0.4 -0.3 -0.2 -0.1
19 +40 -0.2 -0.2 -0.2 -0.4 -0.3 -0.2 -0.1
20 +45 -0.3 -0.2 -0.3 -0.4 -0.3 -0.3 -0.2
21 +50 -0.3 -0.3 -0.3 -0.5 -0.4 -0.3 -0.2
4.4.a. Pembahasan Persamaan RTH dan Suhu Udara
Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasanpendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum
pendinginan Newton Holman and White, 1992 yang dapat dinyatakan secara matematis sebagai:
1
T T
hA q
o
− =
di mana, q adalah laju transfer panas melalui konveksi, h koefisien transfer panas melalui konveksi, A luasan permukaan yang dikaji, T
o
suhu udara pada kondisi awal, T
1
suhu udara pada kondisi akhir. Bila dikaji nilai perubahan suhu udara rumusan tersebut dapat dituliskan kembali sebagai:
hA q
T =
Δ
65 Pada saat nilai q kita asumsikan tetap dan luasan A RTH berkurang maka
nilai perubahan suhu udara menjadi besar, hal ini berarti suhu akhir lebih besar dari pada suhu awal, sehingga pengurangan RTH menyebabkan peningkatan suhu
udara. Sementara pada saat terjadi penambahan RTH nilai A pada rumus di atas menjadi lebih besar yang membawa dampak terhadap makin kecilnya
∆T atau nilai suhu udara akhir mendekati nilai awal, dengan kata lain suhu udara
mengalami pendinginan akibat penambahan RTH. Sedangkan penyebab laju penambahan suhu akibat pengurangan RTH
mempunyai laju lebih besar tajam dibandingkan laju pendinginan suhu udara akibat panambahan RTH adalah disebabkan pada saat RTH bertambah proses
penutupan lahan urban dengan vegetasi baru tidak serta merta tertutup atau setara dengan penutupan RTH yang sudah ada. Diperlukan proses pertumbuhan yang
memerlukan waktu tahunan untuk mencapai fase dewasa atau menaungi permukaan. Sehingga laju pendingan berjalan lebih lambat, terindikasi pada nilai
suhu akhir berkurang sedikit dibandingkan suhu udara mula-mula, yaitu setiap penambahan RTH 50 suhu udara berkurang sebesar 0.2 hingga 0.5
o
C. Sedangkan pada saat terjadi pengurangan RTH maka serta merta permukaan lahan
urban terbuka dari naungan dalam waktu relatif singkat berakibat pada laju transfer panas ke udara di atasnya lewat konveksi juga menjadi lebih cepat.
Akibatnya nilai perubahan suhu ∆T menjadi besar berdampak pada laju
pemanasan suhu udara lebih besar dengan indikasi nilai suhu udara akhir bertambah banyak dibandingkan suhu udara mula-mula, yakni setiap pengurangan
RTH 50 suhu udara bertambah sebesar 0.4-1.8
o
C. Perbandingan laju penambahanpengurangan suhu udara akibat
penguranganpenambahan RTH untuk ke empat kota, laju terbesar baik penambahan maupun pengurangan suhu udara terjadi di Tangerang, disusul
Jakarta, Bogor dan Bekasi. Tangerang merupakan kota yang permukaannya lebih kering luasan badan air lebih kecil dibandingkan dengan Bekasi, Jakarta dan
Bogor sehingga laju penambahan dan pengurangan suhu udara menjadi lebih cepat terindikasi pada
∆T yang lebih besar dibandingkan tiga kota lainnya. Pada permukaan yang relatif kering radiasi netto dominan digunakan
untuk memanaskan permukaan dan udara di atasnya dibandingkan untuk
66 penguapan. Sehingga udara menjadi lebih cepat panas pada saat RTH berkurang
dan cepat dingin pada saat RTH bertambah. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Oke, et al., 1991 dan Voogt 2002.
Sebaliknya Bogor dan Bekasi, mempunyai permukaan yang lebih basah karena banyak vegetasi Bogor dan lebih banyak badan air Bekasi. Dampak
permukaan yang lebih basah adalah laju pemanasan dan pendinginan udara menjadi lebih kecil, seperti yang terlihat untuk kota Bekasi setiap RTH bertambah
50 suhu berkurang 0.3
o
C dan setiap RTH berkurang 50 suhu udara meningkat 0.5
o
C, bandingkan dengan Tangerang suhu berkurang 0.5
o
C dan meningkat sebesar 1.8
o
C, Jakarta suhu berkurang 0.3
o
C dan meningkat sebesar 1.4
o
C serta Bogor suhu berkurang 0.3
o
C dan meningkat sebesar 1.0
o
C. Hal ini menunjukkan pentingnya mempertahankan bahkan menambah luasan RTH dan
badan air, karena udara cenderung menjadi lebih lembab. Udara lembab menjadi penyebab peningkatan atau penurunan suhu udara menjadi lebih kecil pada setiap
pengurangan atau penambahan RTH dibandingkan udara kering. Sementara perbandingan antara wilayah kota dan kabupaten, baik yang
terjadi di Tangerang maupun Bekasi mempunyai kecenderungan yang sama, yakni laju pendinginan udara di kota menjadi lebih besar pada setiap penambahan
persentase RTH yang sama bila dibandingkan dengan wilayah kabupaten. Begitu pula laju pemanasan, lebih besar terjadi di kota untuk setiap pengurangan
persentase RTH yang sama, bila dibandingkan dengan wilayah kabupaten. Contoh untuk kota dan kabupaten Tangerang setiap penambahan RTH 50 terjadi
pengurangan suhu udara sebesar 0.5
o
C di kota dan 0.4
o
C di kabupaten. Setiap pengurangan RTH 50 terjadi penambahan suhu udara sebesar 1.8
o
C di kota dan 1.3
o
C di kabupaten. Hal yang sama terjadi di Bekasi, hal ini disebabkan pengurangan RTH di kota lebih besar dibandingkan RTH kabupaten. Perubahan
permukaan dari RTH yang relatif basah menjadi RTB yang relatif kering di perkotaan berdampak makin keringnya udara di atas perkotaan. Akibatnya setiap
pengurangan atau penambahan RTH berdampak lebih besar pada peningkatan atau penurunan suhu udara. Hal ini terjadi karena udara kering merupakan
konservator panas yang buruk, cenderung cepat panas dan cepat dingin dengan pengurangan dan penambahan RTH.
67 Namun terdapat pengecualian untuk Bogor, di mana wilayah kota dan
kabupaten mempunyai kecenderungan nilai yang sama, diduga keberadaan Kebun Raya Bogor sebagai RTH memberikan kontribusi positif bagi meredam panasnya
perkotaan. Hasil ini didukung hasil penelitian Santosa dan Bey 1992 tentang dampak keberadaan Kebun Raya bagi kenyamanan iklim mikro perkotaan.
Titik kritis pengurangan RTH untuk Jakarta, kota dan kabupaten Bogor sebesar 30, artinya setiap pengurangan RTH melampuai batas tersebut maka
akan terjadi kenaikan suhu udara dengan laju yang besar atau dua kali lipat dibandingkan dengan pengurangan RTH di bawah 30. Hal yang sama berlaku
untuk kota dan kabupaten Tangerang pada batas kritis pengurangan RTH yang lebih kecil yaitu 15 dan 20, sementara kota dan kabupaten Bekasi pada batas
kritis yang lebih besar hingga 35. Secara rata-rata wilayah JABOTABEK mempunyai titik kritis pengurangan RTH sebesar 28. Hasil ini memberikan
tambahan informasi bahwa kajian keterkaitan RTH dan suhu udara dengan asumsi hanya RTH yang berpengaruh terhadap suhu udara, ditemukan titik kritis
pengurangan RTH sebesar 28 atau mendekati 30 sesuai dengan acuan yang ditetapkan dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. wilayah kota
ditetapkan harus memiliki 30 RTH, dengan proporsi 20 RTH publik dan 10 RTH privat. Proporsi 30 tiga puluh persen merupakan ukuran minimal untuk
menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan
meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.
4.5. Kontribusi RTH, Populasi, RTB dan Kendaraan terhadap UHI