internasional. Bentuk partisipasi dan tindakan yang ditempuh oleh Indonesia adalah dengan meratifikasi beberapa Konvensi penting terkait kejahatan lintas
negara : 1.
UN Single Convention on Narcotics, 2.
UN Convention on Psychotropic Substances, 3.
UN Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances,
4. UN Convention on Transnational Organized Crime UNTOC serta dua
Protokolnya mengenai Perdagangan Orang dan Penyelundupan Manusia, dan
5. UN Convention Against Corruption UNCAC.
44
B. Konvensi PBB Kejahatan Lintas Negara Terorganisir United Nations
Convention on Transnational Organized Crime-UNTOC.
Dalam rangka meningkatkan kerja sama internasional pada upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional yang terorganisasi,
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah membentuk United Nations Convention Against Transnational Organized Crime Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi melalui Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 5525 sebagai instrumen hukum dalam
menanggulangi tindak pidana transnasional yang terorganisasi. Indonesia, sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, turut menandatangani United
Nations Convention Against Transnational Organized Crime Konvensi
44
“Kejahatan Lintas Negara Transnational Organized Crime” https:saktiryan.wordpress.com20130827kejahatan-lintas-negara-transnational-organized-
crime diakses pada tanggal 23 Februari 2015
Universitas Sumatera Utara
Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi pada tanggal 15 Desember 2000 di Palermo, Italia, sebagai
perwujudan komitmen memberantas tindak pidana transnasional yang terorganisasi melalui kerangka kerja sama bilateral, regional, ataupun
internasional. Walaupun Indonesia ikut serta menandatangani Konvensi tersebut, Indonesia menyatakan Pensyaratan Reservation terhadap Pasal 35 ayat 2 yang
mengatur mengenai pilihan Negara Pihak dalam penyelesaian perselisihan apabila terjadi perbedaan penafsiran atau penerapan Konvensi.
Konvensi ini mempunyai tujuan utama yaitu sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 Konvensi menyatakan bahwa tujuan Konvensi ini adalah untuk
meningkatkan kerja sama internasional yang lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional yang terorganisasi. Konvensi ini
merupakan salah satu upaya antarnegara untuk memperkuat wilayah masing- masing Negara dan meningkatkan kerjasama dengan Negara lain.
Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional yang sering menghadapi kasus-kasus kejahatan transnasional terorganisasi yang terus
berkembang dengan segala akibatnya, juga telah meratifikasi Konvensi ini dan selanjutnya memberlakukan mengesahkan dan mengundangkan ke dalam
hukum nasionalnya dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan “United Nations Convention Against Transnational Organized
Crime” Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi pada tanggal 12 Januari 2009 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4960. Dengan
Universitas Sumatera Utara
demikian, maka semenjak itu, UNTOC secara yuridis formal telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Sebagai konsekuensi dari ratifikasi tersebut maka
Konvensi dimaksud perlu ditransformasikan ke dalam peraturan perundang- undangan nasional yaitu dengan membuat ketentuan-ketentuan untuk menampung
apa yang diatur di dalam Konvensi yang telah diterima dan disahkan. Asas-asas hukum pidana internasional yang baru, sebagaimana dimuat dalam Konvensi,
akan membuka wawasan baru dalam perkembangan penerapan hukum pidana nasional
45
a. Kaidah hukum materil-substansial yakni tentang kejahatan itu sendiri
sebagaimana dapat dijumpai dalam Pasal 5, 6, 8, 9 dan 23, tentang yurisdiksi Pasal 15 maupun hal-hal yang terkait dengan itu, antara lain
tentang istilah-istilah yang digunakan Pasal 2, ruang lingkup berlakunya Konvensi Pasal 3, prinsip perlindungan dan penghormatan atas
kedaulatan negara-negara peserta atau pihak pada Konvensi Pasal 4; Penguasaan dan pemahaman secara utuh dan terpadu atas UNTOC itu
sendiri merupakan suatu keharusan sebab antara pasal yang satu dengan yang lain saling berhubungan dan di dalam keseluruhannya itulah terkandung maksud dan
tujuan dari Konvensi ini. Secara keseluruhan, substansi UNTOC secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yakni:
b. Kaidah hukum formal-prosedural, yakni, tentang masalah-masalah
prosedural penanganan perkara, yang meliputi kerjasama internasional
45
“Kajian Tentang Kesenjangan Antara United Nations Convention Against Transnational Organized Crime Dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia UNTOC GAP
ANALYSIS” http:ditkumham.bappenas.go.idebookGap20Analysis20UNTOC.pdf diakses pada tanggal 23 Februari 2015
Universitas Sumatera Utara
antara negara-negara peserta Konvensi, seperti ekstradisi Pasal 16, pemindahan narapidana Pasal 17, dan kerjasama timbal balik dalam
masalah pidana yang disebut juga dengan bantuan hukum timbal balik Pasal 18 ataupun pasal-pasal lainnya yang berkenaan dengan kerjasama
internasional. UNTOC yang kini sudah menjadi bagian dari dan berlaku sebagai hukum
positif nasional Indonesia, secara yuridis formal sejajar kedudukannya dengan undang-undang nasional Indonesia yang lain pada umumnya, undangundang
pidana pada khususnya. Sebagai hukum yang berasal dari luar yang substansinya tidak dibuat oleh institusi pembuat undang-undang Presiden dan DPR melainkan
hanya disetujui saja, tidak akan dapat dielakkan lagi dampaknya terhadap hukum atau peraturan perundang-undangan nasional Indonesia yang lainnya yang sudah
ada dan lebih dahulu berlaku sebagai hukum positif. perhatian yang sungguh- sungguh karena bersentuhan dengan peraturan perundang-undangan nasional yang
ada hubungannya dengan ketentuan UNTOC tersebut. Untuk menyelesaikan dampak ini, maka Indonesia harus mentransformasikan substansinya ke dalam
hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya. Secara sistematika, pentransformasian itu dapat disistematikakan sebagai berikut:
1. Ada ketentuan UNTOC yang baru sama sekali dan tidak ada
padanan atau pengaturannya di dalam hukum nasional Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia harus membuat undang-undangnya yang
baru. Hal ini terutama berkenaan dengan substansi yang berupa kaidah hukum pidana materiil substansial, seperti tentang kejahatan
Universitas Sumatera Utara
atau tindak pidana yang ditegaskan di dalam salah satu atau beberapa pasalnya. ;
2. Ada ketentuan UNTOC yang sudah ada padanan atau pengaturannya
di dalam hukum nasional Indonesia. Jika demikian halnya, maka ada kemungkinan ketentuan UNTOC lebih lengkap atau lebih sempurna
pengaturannya. Dalam hal ini, Indonesia haruslah menyesuaikan atau menyelaraskan ketentuan undang-undang nasionalnya dengan
ketentuan UNTOC. Jika ketidak-sesuaian atau ketidak-selarasan itu sedemikian besarnya, Indonesia harus mengubah undang-undangnya
tersebut bahkan harus membuat undang-undang baru yang substansinya sesuaiselaras dengan UNTOC untuk menggantikan
undang-undang yang lama itu. 3.
Sebaliknya jika pengaturan substansinya di dalam hukum atau undang-undang nasional justru sudah lebih lengkap sedangkan di
dalam UNTOC justru tidak ada pengaturannya, hal ini tentulah sangat positif dan bisa dipertahankan terus. Bila perlu, diusulkan
supaya ketentuan tersebut dimasukkan menjadi ketentuan UNTOC dengan melakukan pengamendemenannya
46
Menurut pasal 4 Konvensi UNTOC ini mempunyai prinsip yaitu menyatakan bahwa Negara Pihak, dalam menjalankan kewajibannya, wajib
mematuhi prinsip kedaulatan, keutuhan wilayah, dan tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Pengertian dari prinsip ini adalah dimana Negara wajib
46
ibid
Universitas Sumatera Utara
mengurus Negara nya sendiri tanpa harus mengurusi batas wilayah atau Negara lain karena itu merupakan kedaulatan dari setiap Negara. Pasal 4 ayat 1 dan 2
tentang Perlindungan Kedaulatan bersifat deklaratif, yakni, menyatakan sesuatu yang sebenarnya memang sudah demikian adanya. Tanpa dinyatakan secara
tegaspun, negara-negara dalam hubungan-hubungan internasional memang harus bertindak demikian karena semua negara di dunia berkedudukan sejajar atau sama
derajat. Atas dasar itulah maka negara-negara harus saling menghormati kedaulatan dan kemerdekaan masing-masing, tidak boleh melakukan intervensi,
tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang berupa penerapan kedaulatan ataupun yurisdiksi di dalam wilayah negara lain tanpa persetujuannya. Semuanya
ini sudah merupakan prinsip-prinsip umum dari hukum internasional modern. Namun dalam prakteknya, tidak semua negara di dunia ini menaati prinsip-prinsip
umum dari hukum internasional ini. Ada negara-negara yang dengan dalih mencegah dan memberantas kejahatan lintas batas negara transnasional, ternyata
melakukan pencarian dan penangkapan langsung. Ruang Lingkup Konvensi ini terdapat dalam pasal 3 Konvensi yang menyatakan bahwa Konvensi ini mengatur
mengenai upaya pencegahan, penyidikan dan penuntutan atas tindak pidana yang tercantum dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 23 Konvensi, yakni tindak
pidana pencucian hasil kejahatan, korupsi, dan tindak pidana terhadap proses peradilan, serta tindak pidana yang serius sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2
huruf b Konvensi, yang bersifat transnasional dan melibatkan suatu kelompok pelaku tindak pidana yang terorganisasi. Konvensi menyatakan bahwa suatu
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana dikategorikan sebagai tindak pidana transnasional yang terorganisasi jika tindak pidana tersebut dilakukan:
a. di lebih dari satu wilayah negara;
b. di suatu negara, tetapi persiapan, perencanaan, pengarahan atau
pengendalian atas kejahatan tersebut dilakukan di wilayah negara lain;
c. di suatu wilayah negara, tetapi melibatkan suatu kelompok pelaku
tindak pidana yang terorganisasi yang melakukan tindak pidana di lebih dari satu wilayah negara; atau
d. di suatu wilayah negara, tetapi akibat yang ditimbulkan atas
tindak pidana tersebut dirasakan di negara lain. Konvensi menyatakan bahwa Negara Pihak wajib melakukan segala upaya
termasuk membentuk peraturan perundang-undangan nasional yang mengkriminalkan perbuatan yang ditetapkan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, dan
Pasal 23 Konvensi serta membentuk kerangka kerja sama hukum antarnegara, seperti ekstradisi, bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana, kerja sama
antaraparat penegak hukum dan kerja sama bantuan teknis serta pelatihan. Konvensi membuka kemungkinan bagi Negara Pihak untuk melakukan upaya
pembentukan peraturan perundang-undangan nasional untuk mengkriminalkan perbuatan yang ditetapkan dalam Pasal 2 huruf b dan Pasal 15 ayat 2.
47
UNTOC juga menjelaskan bagaimana tanggung jawab oleh badan hukum, dimana badan hukum dalam Pasal 10 UNTOC sama sekali tidak ada penjelasan
47
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi
Universitas Sumatera Utara
tentang maknanya. Hal ini dapat diartikan, bahwa pengertian badan hukum, sepenuhnya diserahkan pada masing-masing negara sesuai dengan hukum
nasionalnya. Ketentuan ini mewajibkan kepada setiap negara untuk membebankan tanggungjawab kepada badan hukum baik tanggung jawab pidana, perdata
ataupun administratif atas partisipasinyaperan sertanya dalam tindak pidana serius yang melibatkan kelompok penjahat transnasional terorganisasi.
Sesungguhnya, di dalam hukum atau undang-undang pidana nasional Indonesia, pertanggungjawaban badan hukum terutama pertanggungjawaban pidana sudah
diatur sejak berlakunya Undang-Undang DRT Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi sebagaimana telah diubah dan ditambah walaupun
dengan istilah yang berbeda. Dalam hukum atau undang-undang pidana nasional Indonesia terdapat istilah korporasi yang pengertiannya lebih luas daripada badan
hukum karena tidak saja berkenaan dengan korporasi yang berbentuk badan hukum tetapi juga yang tidak berbentuk badan hukum. Tanggungjawabnyapun
bisa berupa tanggungjawab pidana, perdata maupun administratif. Bahkan selain daripada korporasi atau badan hukum itu sendiri, pengurusnyapun tetap dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perannya dalam suatu tindak pidana yang melibatkan badan hukumnya. Dengan demikian, apa yang
diamanatkan dalam Pasal 10 UNTOC sebenarnya sudah terjawab dalam pelbagai peraturan perundang-undangan pidana Indonesia. Meskipun telah ditetapkan
sebagai subyek hukum pidana sejak tahun 1955, dalam kenyataannya hingga saat ini belum pernah ada korporasi yang dijatuhi pidana. Hal ini nampaknya
Universitas Sumatera Utara
disebabkan ajaran pertanggungjawaban pidana korporasi kurang dikenal dalam praktek peradilan
48
Dalam deklarasi tersebut menghasilkan beberapa perjanjian yang telah disepakati para anggota ASEAN di Kuala Lumpur pada tanggal 17 Mei 2002.
Salah satu kesepakatan yang dihasilkan adalah perjanjian antar anggota ASEAN dalam memberantas kejahatan Lintas Negara atau ASEAN Plan of Action to
Combat Transnational Crimes. ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crimes yang mencakup kerjasama pemberantasan terorisme, perdagangan obat
terlarang, pencucian uang money laundering, penyelundupan orang people smuggling, perdagangan senjata ringan dan manusia, bajak laut sea piracy,
kejahatan internet cyber-crime dan kejahatan ekonomi internasional. Dengan adanya perjanjian ini diharapkan kerjasama akan lebih terpadu dan integratif.
Secara umum tujuan dari program adalah untuk mendorong anggota ASEAN agar
C. ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crimes-PACTC