PEMBAHASAN UMUM Bau daging dan performa itik akibat pengaruh perbedaan galur dan jenis lemak serta kombinasi komposisi antioksidan (Vitamin A, C, dan E) dalam pakan
Untuk menjawab persoalan dimaksud, penelitian ini dilakukan dengan menguji dua galur itik, yaitu itik alabio dan itik cihateup. Demikian pula untuk
menguji jenis lemak, penelitian ini menggunakan tiga jenis lemak pakan yang berbeda sumber dan sifat kejenuhannya, yakni lemak sapi, minyak kedelai, dan
minyak kelapa. Pengkajian terhadap dua faktor, galur ternak dan jenis lemak, dilaksanakan sebagai percobaan tahap pertama dari penelitian ini. Oleh sebab
itu percobaan dijalankan dengan menggunakan rancangan faktorial dua faktor. Penggunaan itik alabio
Anas platyrynchos borneo pada penelitian ini untuk menguji persepsi konsumen yang selama ini telah menyukai daging itik ini,
karena dagingnya diakui tidak berbau amis. Oleh sebab itu seringkali itik alabio jugalah yang dipakai dalam persilangan dengan entog
muscovy, Cairina moschata dalam rangka menghasilkan varitas-varitas silangan, seperti
mandalung, sebagai itik penghasil daging unggas dengan mutu yang baik dan unggul. Entog merupakan jenis itik yang memiliki produksi daging tinggi, tetapi
intensitas bau amisnya juga cukup tinggi. Oleh karena itu persilangannya dengan alabio diharapkan dapat menghasilkan generasi itik yang tidak saja tinggi
produksi dagingnya, akan tetapi juga menghasilkan daging yang bebas off-odor.
Itik alabio juga merupakan satu-satunya itik lokal di Indonesia yang telah memiliki sifat-sifat keseragaman fenotipik yang tinggi, seperti warna paru, shank, dan
bulu. Postur tubuh yang besar sangat berpotensi bagi itik alabio untuk dikembangkan sebagai itik pedaging yang handal.
Itik cihateup termasuk dalam kelompok Anas platyrynchos javanica
merupakan “pendatang baru” dalam kelompok itik-itik jawa, sebab selama ini itik cihateup belum umum dikenal oleh masyarakat. Perkembangan itik ini hanya
terpusat di Tasikmalaya, Garut, dan daerah-daerah sekitarnya Jawa Barat. Meskipun pertumbuhannya sangat baik untuk dijadikan sebagai penghasil
daging, tetapi peternak lebih memilih memeliharanya sebagai penghasil telur saja Wulandari
et al. 2005. Hasil analisis terhadap semua variabel performa yang meliputi bobot
potong, pertambahan bobot badan, bobot karkas, memperlihatkan bahwa variabel-variabel tersebut dipengaruhi oleh kedua faktor perlakuan galur dan
jenis lemak, akan tetapi pengaruh dari kedua faktor tersebut tidak bersifat interaksi.
Pengaruh faktor galur sangat nyata dalam membedakan peforma ternak. Galur itik alabio memiliki peforma yang lebih besar daripada galur itik cihateup.
Hal ini menunjukkan bahwa antara galur itik alabio dan galur itik cihateup terdapat gen-gen pemicu pertumbuhan yang saling berbeda. Hal ini sejalan
dengan teori pertumbuhan ternak yang menyatakan bahwa perbedaan hereditas genetik tidak saja dapat menyebabkan perbedaan dalam pertumbuhan, tetapi
juga dapat menentukan laju pertumbuhan ternak Hafez 1969. Pada sisi lain, faktor penggunaan perbedaan jenis lemak memberi
pengaruh yang nyata P 0.05 pula terhadap performa ternak. Penggunaan lemak sapi dalam ransum menghasilkan performa ternak yang lebih tinggi
dibandingkan dengan penggunaan minyak kelapa, minyak kedelai, ataupun dengan ransum kontrol tanpa pemberian lemak atau minyak pakan. Lebih
tingginya performa pada kedua galur ternak dengan pemberian lemak sapi, diduga kuat dipengaruhi oleh tingkat konsumsi yang tinggi dari ransum yang
diberi lemak sapi ini. Hal ini dapat menyatakan pula bahwa ransum yang diberi lemak sapi memiliki palatabilitas yang tinggi dibandingkan apabila menggunakan
minyak kelapa atau minyak kedelai. Pada penelitian pertama selain didapatkan bahwa itik alabio memiliki
pertumbuhan yang lebih tinggi, juga diperoleh bahwa melalui analisis sensori, itik alabio memiliki intensitas
off-odor daging yang lebih rendah dibandingkan intensitas
off-odor itik cihateup. Temuan ini memberi dukungan secara ilmiah terhadap persepsi masyarakat yang selama ini menyukai daging alabio karena
tidak berbau amis. Hasil ini sekaligus juga membuktikan bahwa perbedaan kualitas
off-odor daging ternak dipengaruhi pula oleh faktor galur ternak. Pemberian lemak sapi yang tidak saja menghasilkan pertumbuhan ternak
itik yang cepat, namun juga menghasilkan off-odor yang rendah, perlu untuk
dikaji lebih lanjut dalam penelitian-penelitian berikutnya. Seberapa besar perbedaan intensitas
off-odor yang dihasilkan oleh pemberian lemak sapi dengan yang diberi suplementasi antioksidan tidak dilakukan pengukurannya dalam
penelitian ini. Rendahnya off-odor pada itik yang diberi lemak sapi diduga karena
terjadi penutupan bau masking dari flavor lemak sapi terhadap off-odor daging
itik. Namun dugaan ini masih perlu diuji lagi secara ilmiah. Ternak itik, seperti ternak unggas lainnya, memiliki komposisi asam-asam
lemak tubuh yang mudah dipengaruhi oleh keadaan lemak pakan. Secara umum, itik alabio dan itik cihateup memiliki lemak tubuh yang lebih banyak
tersusun dari lemak-lemak tidak jenuh, terutama asam lemak oleat C
18:1
. Meskipun itik alabio mengandung konsentrasi asam-asam lemak tidak jenuh
yang lebih tinggi daripada itik cihateup, namun intensitas off-odor daging itik
alabio lebih rendah daripada intensitas off-odor itik cihateup. Demikian pula
bilamana dibandingkan antara penggunaan minyak kedelai dengan minyak kelapa, terdapat hasil yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Minyak
kedelai yang mengandung lemak tidak jenuh lebih tinggi dari minyak kelapa, namun minyak kedelai menghasilkan ketajaman
off-odor lebih rendah daripada minyak kelapa. Fakta ini menjelaskan bahwa sekalipun lemak tidak jenuh lebih
mudah mengalami oksidasi, tetapi senyawa-senyawa volatil yang terbentuk dari jalur oksidasi lemak tidak jenuh merupakan senyawa-senyawa yang memiliki
rantai karbon yang lebih panjang. Sedangkan, senyawa-senyawa volatil yang dihasilkan melalui oksidasi lemak jenuh, lebih banyak terdiri atas senyawa-
senyawa volatil berantai pendek. Senyawa-senyawa volatil berantai pendek ini oleh Gurr
et al. 2002 disebutkan sebagai senyawa-senyawa yang memiliki intensitas
off-odor yang lebih tajam daripada volatil berantai panjang. Perbedaan antara fakta yang didapatkan pada penelitian ini dengan
penelitian-penelitian sebelumnya terkait dengan pembentukaan off-odor yang
dipengaruhi oleh penggunaan jenis lemak pakan, dan apabila merujuk pada penelitian Hustiany 2001 yang melaporkan bahwa masih terdapat senyawa-
senyawa yang belum teridentifikasi apakah dari kelompok lemak atau bukan, maka dapat pula disimpulkan bahwa sesungguhnya terdapat prekursor lain
disamping lemak yang memberi pengaruh penting dalam pembentukan off-odor
daging itik. Hipotesis yang dibangun dengan berasumsi bahwa penyebab utama
dalam pembentukan off-odor daging itik terkait dengan oksidasi lemak daging,
maka penelitian ini memilih menggunakan antioksidan sebagai solusi terhadap masalah tersebut. Suplementasi antioksidan yang berbasis pada vitamin E
memberi pengaruh yang nyata dalam menurunkan intensitas off-odor daging.
Pengaruh tersebut semakin nyata dengan memaksimalkan kerja antioksidan melalui pendekatan sifat sinergisme antioksidan. Kombinasi vitamin E dengan C
merupakan kombinasi yang paling efektif dalam menekan laju oksidasi lipid daging Niki
et al. 1995. Penambahan antioksidan ke dalam ransum ternak yang menghasilkan daging rendah
off-odor, semakin memperkuat pemahaman bahwa
off-odor pada ternak lebih banyak dipengaruhi oleh proses degradasi lipid tubuh.
Sebagai ternak unggas, kualitas lipid yang terbentuk dalam tubuh itik sangat dipengaruhi oleh kualitas lipid makanannya. Volatil-volatil
off-odor yang terbentuk dari hasil degradasi lipid tubuh, selain berasal dari senyawa-senyawa
yang dihasilkan dari perombakan asam-asam lemak, juga merupakan volatil- volatil yang berasal dari luar yang masuk ke dalam tubuh ternak melalui
makanan. Intensitas
o ff-odor fishy yang lebih rendah pada daging dari ternak yang
mendapat perlakuan pemberian suplementasi antioksidan, menunjukkan bahwa antioksidan efektif dalam menghambat laju oksidasi lemak pada ternak.
Efektifitas antioksidan ini akan semakin meningkat apabila disediakan dalam bentuk kombinasi antara antioksidan yang bersifat saling bersinergisme.
Off-odor yang terbentuk pada daging itik, selain dapat terbentuk melalui volatil-volatil hasil oksidasi lemak tubuh, juga dapat berasal dari volatil-volatil
yang terserap dalam minyak kelapa dan masuk ke dalam tubuh melalui ransum yang dikonsumsi oleh ternak. Selanjutnya volatil-volatil tersebut akan masuk
sampai ke dalam daging melalui jalur transpor lemak. Asam-asam lemak dan volatil yang terlarut di dalamnya setelah mengalami penyerapan di usus halus,
diangkut oleh lipoprotein portomikron langsung masuk ke dalam hati, karena pada unggas pengangkutan lemak tidak melalui sistem limfatik. Dari hati, asam-
asam lemak tersebut diangkut ke jaringan periferal, dan selanjutnya masuk ke dalam aliran darah untuk di angkut ke seluruh tubuh Stevens 1996; McGorrin
2002. Volatil-volatil yang terserap dalam minyak kelapa tidak terikat secara kuat dengan senyawa-senyawa asam-asam lemak, sehingga pada tingkat oksidasi
yang rendah mereka terpisah dari makromolekul asam-asam lemak dan menjadi volatil-volatil odor yang memberi karakter flavor terhadap daging Reineccius
1994; Young dan Boumeister 1999. Tingginya
off-odor fishy pada daging dari ternak-ternak yang diberi ransum tanpa suplementasi antioksidan kontrol, E0 diduga karena proses
oksidasi terhadap asam-asam lemak tubuh berjalan langsung tanpa terhambat, menyebabkan banyak volatil yang terbentuk. Dengan tidak terdapatnya
antioksidan, asam-asam lemak tubuh itik yang banyak terdiri atas asam-asam lemak ganda tidak jenuh akan dengan mudah teroksidasi. Pendegradasian
asam-asam lemak tidak jenuh ganda ini menjadi sumber pembentukan off-odor
fishy McGorrin 2002. Indikasi ini dapat dijelaskan melalui hasil percobaan pertama, yang memperlihatkan bahwa ternak itik yang tidak diberi suplementasi
lemak, memiliki kandungan fishy yang cukup kuat. Dengan demikian dapat
diduga bahwa selain dipengaruhi makanan, secara genetik itik cihateup memiliki potensi menghasilkan daging yang ber-
off-odor. Penggunaan antioksidan dengan pemberiannya melalui ransum lebih
efektif dalam menghambat laju oksidasi lemak tubuh, hal ini karena dengan penambahan antioksidan ke dalam ransum, antioksidan tersebut sebelum masuk
ke dalam tubuh, sudah terlebih dahulu bekerja mempertahankan stabilitas oksidatif dari ransum itu sendiri. Oleh karena itu ransum bersuplementasi
antioksidan yang dikonsumsi oleh ternak merupakan ransum yang memiliki kandungan lemak yang lebih stabil.