Dampak Penyakit Kusta PENYAKIT KUSTA

26 dalam dunia kesehatan di Indonesia, mengingat bahwa Indonesia menempati posisi ketiga jumlah penderita kusta terbesar di dunia setelah Brasil dan India. Dampak dari penyakit ini tidak hanya pada fisik saja tetapi juga sosial dan ekonomi. Tidak adanya tempat bagi kepala keluarga yang merupakan OYPMK di tengah-tengah masyarakat bahkan keluarga semakin membuat mereka terkucilkan dan terbuang. Apalagi status mereka sebagai “mantan” penderita kusta tidak mengurangi asumsi masyarakat yang masih menganggap bahwa mereka adalah orang-orang yang harus diasingkan karena dapat menularkan penyakit yang menakutkan. Hal ini cukup membuat kepala keluarga yang merupakan OYPMK memiliki beban psikis yang berat. Karena selain mereka mengalami cacat tubuh yang sifatnya permanen, mereka juga dihadapkan pada kenyataan dimana mereka tidak diterima masyarakat dan bahkan keluarga. Hal ini menjadi sangat berpengaruh terhadap penerimaan diri mereka. Apakah dengan pandangan masyarakat terhadap keadaan mereka saat ini, tetap membuat mereka mampu menerima dirinya secara positif atau tidak. OYPMK dihadapkan pada situasi dimana pada umumnya mereka mengalami kesulitan dalam menjalin interaksi dengan orang lain, OYPMK adalah mereka yang telah dinyatakan sembuh dari penyakit kusta. Pada dasarnya individu berusaha mempertahankan keselarasan batinnya. Apabila timbul perasaan, pikiran atau persepsi yang tidak seimbang atau saling bertentangan satu sama lain, maka akan terjadi situasi psikologis yang tidak menyenangkan Pudjijogyanti, 1985. Biasanya kepala keluarga yang 27 merupakan OYPMK mengalami kesulitan dalam mempertahankan keselarasan batinnya, karena harapan untuk bisa diterima kembali oleh lingkungan, bisa berinteraksi dengan bebas, serta bisa beraktifitas dengan lancar seperti sebelum mengalami kusta tidak sesuai dengan kenyataan. Perubahan yang terjadi dalam kehidupan para kepala keluarga yang merupakan OYPMK akan memengaruhi bagaimana penerimaan diri yang mereka miliki saat ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri kepala keluarga yang merupakan OYPMK merupakan perwujudan dari rasa puas dan senang mereka terhadap diri dan kemampuannya, serta dapat menerima diri apa adanya dengan segala keterbatasan namun tetap menghargai potensi yang dimiliki dan ada usaha untuk mengembangkan potensi tersebut demi kelangsungan hidupnya. Penerimaan diri adalah sejauhmana seseorang dapat menyadari dan mengakui karakteristik pribadi dan menggunakannya dalam menjalani kelangsungan hidupnya. Sikap penerimaan diri ditunjukkan oleh pengakuan seseorang terhadap kelebihan-kelebihan sekaligus menerima kelemahan- kelemahannya tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan yang terus menerus untuk mengembangkan diri Helmi dkk, 1998. Penerimaan diri ini dibutuhkan agar kepala keluarga yang merupakan OYPMK tidak hanya mengakui kelemahan dan terpaku pada keterbatasan yang dimiliki, tetapi juga mampu mempergunakan berbagai potensi yang masih dimiliki agar dapat menjalani kehidupannya secara normal. Secara umum, tahapan penerimaan