Gambaran Perilaku Dating Violence pada Remaja yang Pernah Mengalami Child Abuse

(1)

GAMBARAN PERILAKU DATING VIOLENCE PADA REMAJA

YANG PERNAH MENGALAMI CHILD ABUSE

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

NOVIRA MITA

061301017

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2011


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul Gambaran Perilaku Dating Violence pada Remaja yang Pernah Mengalami Child Abuse adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Januari 2012

Novira Mita Nim: 061301017


(3)

Gambaran Perilaku Dating Violence pada Remaja yang Pernah Mengalami Child Abuse

Novira Mita dan Wiwik Sulistyaningsih

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran perilaku dating violence pada remaja yang pernah mengalami child abuse. Dating violence adalah tindakan atau ancaman yang dilakukan secara sengaja baik melalui perilaku, perkataan maupun mimik wajah yang dilakukan salah satu pihak kepada pihak lain dalam hubungan pacaran, dimana perilaku ini ditujukan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuatan atau kekuasaan dan kontrol atas pasangannya dalam hubungan pacaran

Subjek penelitian ini berjumlah 30 orang remaja akhir korban child abuse. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling. Alat ukur yang digunakan adalah skala perilaku dating violence yang disusun berdasarkan bentuk-bentuk perilaku dating violence yang dikemukakan oleh Murray (2007). Berdasarkan hasil estimasi daya beda aitem dengan menggunakan koefisien Pearson Product Moment terdapat 45 aitem yang valid dengan rxx yang bergerak dari 0,302 hingga 0,678 dan reliabilitas terhadap daya uji coba dengan menggunakan teknik koefisien Alpha Cronbach, maka diperoleh reliabilitas sebesar 0,891.

Data yang diolah dalam penelitian ini yaitu skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada umumnya perilaku dating violence pada remaja yang pernah mengalami child abuse berada pada kategori rendah dengan kategori sebagai berikut, perilaku dating violence yang tergolong rendah sebanyak 13 orang (43,33%), kategori sedang sebanyak 10 (33,33%), dan kategori tinggi sebanyak 7 orang (23,33%).


(4)

Description of Behavior in Adolescent Dating Violence Ever Experienced Child Abuse

Novira Mita dan Wiwik Sulistyaningsih

ABSTRACT

This research is aimed descriptif to see description of the behavior of dating violence in adolescents who had child abused. Dating violence is an act or threat that is done deliberately either through behavioral, speech and facial expression by one party to another in a dating relationship, where the behavior is intended to obtain and maintain the strength or power and control over their partners in dating relationship.

The number of subjects in this study were as many as 30 people late adolescent victims of child abused. The sampling technique was purposive sampling. Measuring instrument used is the scale of dating violence behaviors are based on forms of dating violence behaviors proposed by Murray (2007). Based on the results of different power estimation aitem using Pearson Product Moment coefficients are 45 to rxx aitem yan valid moves from 0.302 to 0.678 and the reliability of the test by using Cronbach alpha coefficient technique, the obtained reliability of 0.891.

The data are processed in this study is the minimum score, maximum score, mean, and standard deviation. The results of this study show that in general the behavior of dating violence in adolescents who had child abused are at a low category by category as follows, dating violence behaviors are relatively low as many as 13 people (43.33%), the categories are as many as 10 (33.33 %), and high categories of 7 people (23.33%).


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Gambaran Perilaku Dating Violence pada Remaja yang Pernah Mengalami Child Abuse. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Medan.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Dra. Irmawati, Psikolog, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Keluarga peneliti: Papa Jhon Haidi dan Mama Syafrianis. Kakakku Dian Andariesta Haidi dan adikku Ferdy Septian Haidi. Terima kasih atas segalanya yang telah kalian berikan, kasih sayang, doa, dukungan moril dan materiil yang kalian berikan untuk peneliti. Peneliti tidak dapat memberikan apa-apa bagi, skripsi ini adalah hadiah terindah yang bisa peneliti berikan. Terimakasih buat semuanya, semoga kalian selalu dalam lindungan Allah SWT.


(6)

3. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih, Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi. Terimakasih sebesar-besarnya atas semua bimbingan, arahan, dan bantuan Ibu untuk Peneliti. Semua kebaikan dan kesabaran Ibu dalam membimbing peneliti tidak akan mampu peneliti balas dengan apapun dan akan peneliti kenang selalu. 4. Kepada dosen penguji seminar sekaligus juga sebagai dosen penguji skripsi.

Terimakasih atas segala masukan dan arahan yang diberikan sehingga membuat skripsi ini menjadi lebih baik lagi.

5. Ibu Lili Garliah, M.Psi selaku dosen pembimbing akademik.

6. Seluruh dosen di Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan ilmu wawasan dan pengetahuan yang sangat berharga kepada peneliti, dan seluruh pegawai di Fakultas Psikologi USU yang setia membantu peneliti menyediakan segala keperluan selama perkuliahan.

7. Buat para sahabat dan teman-teman peneliti yang membantu peneliti dalam mengumpulkan sampel penelitian, Helva, Mutek, dan Elsa terima kasih atas segala bantuan kalian yang sudah mau menemaniku mencari data.

8. Terkhusus buat Helva Rita, terima kasih atas semua dukungan, pengorbanan dan kesediaanmu yang tulus menemaniku menelusuri semua tempat yang ada di kota Medan.

9. Buat para teman-teman peneliti di kosan Berdikari 1: Shindy, Intan, Agus, Icha, Ita, Ajeng, Tria, dan Kak Nelly. Terimakasih selama ini buat kebersamaan kita yang tak terlupakan. Peneliti senang bisa mengenal kalian semua.


(7)

10.Buat para sahabat, teman-teman peneliti selama menjalani kehidupan perkuliahan di Fakultas Psikologi. Wira, Helva, Inggrid, Yenni, Prinst, Junita, Mutek, Herna, Mona, Dinar, Inur, Yani, Priska, Corry. Terima kasih atas kebersamaan kita selama ini juga atas semua perhatian, kepercayaan, penerimaan, dan dukungan. Dan buat semua teman-teman seperjuangan angkatan 2006 yang tak dapat dituliskan namanya satu persatu, semoga kita semua menjadi manusia yang sukses di masa depan, Amin.

Akhir kata, peneliti berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Peneliti menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu peneliti membuka kesempatan atas masukan, kritikan dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini. Terimakasih.

Medan, Januari 2012 Peneliti,


(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian... 11

E. Sistematika Penelitian ... 12

BAB II LANDASAN TEORI ... 14

A. Dating Violence ... 14

1. Pengertian Dating Violence... 14

2. Bentuk – bentuk Dating Violence ... 16


(9)

B. Child Abuse ... 29

1. Pengertian Child abuse ... 29

2. Bentuk – bentuk Child Abuse ... 30

C. Gambaran Perilaku Dating Violence pada Remaja yang Pernah Mengalami Child Abuse ... 32

BAB III METODE PENELITIAN ... 38

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 39

B. Definisi Operasional ... 39

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 40

D. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 41

E. Uji Coba Alat Ukur ... 44

1. Validitas alat ukur ... 44

2. Uji Daya Beda Aitem ... 44

3. Reliabilitas alat ukur ... 45

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 46

G. Prosedur Pelaksanaan penelitian ... 47

1. Tahap persiapan ... 47

2. Tahap pelaksanaan penelitian ... 49

3. Etika penelitian... 49

4. Tahap pengolahan data ... 50


(10)

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 51

A. Analisa Data ... 51

1. Gambaran subjek penelitian ... 51

2. Hasil utama penelitian ... 57

3. Hasil tambahan penelitian ... 62

B. Pembahasan ... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 77

1. Saran Metodologis ... 77

2. Saran Praktis ... 78


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.Blue Print Distribusi Aitem Skala Perilaku Dating Violence Sebelum Uji 43

Tabel 2. Blue Print Skala Perilaku Dating Violence Setelah Uji Coba ... 46

Tabel 3. Penomoran Kembali Skala Perilaku Dating Violence Setelah Uji Coba ... 47

Tabel 4. Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia ... 52

Tabel 5. Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 52

Tabel 6. Gambaran subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan ... 53

Tabel 7. Gambaran subjek penelitian berdasarkan lama berpacaran ... 53

Tabel 8. Gambaran subjek berdasarkan frekuensi berpacaran ... 54

Tabel 9. Gambaran subjek berdasarkan penggunaan alkohol ... 54

Tabel 10. Gambaran subjek berdasarkan pengalaman bentuk-bentuk child abuse .... 55

Tabel 11. Hasil uji normalitas ... 58

Tabel 12. Gambaran skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi perilaku dating violence ... 59

Tabel 13. Kategorisasi norma nilai perilaku dating violence ... 60

Tabel 14. Penggolongan perilaku dating violence ... 60

Tabel 15. Kategorisasi perilaku dating violence ... 61


(12)

Tabel 17. Gambaran perilaku dating violence berdasarkan jenis kelamin ... 64

Tabel 18. Gambaran perilaku dating violence berdasarkan tingkat pendidikan ... 65

Tabel 19. Gambaran perilaku dating violence berdasarkan lama berpacaran ... 66

Tabel 20. Gambaran perilaku dating violence berdasarkan frekuensi berpacaran ... 67


(13)

Gambaran Perilaku Dating Violence pada Remaja yang Pernah Mengalami Child Abuse

Novira Mita dan Wiwik Sulistyaningsih

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran perilaku dating violence pada remaja yang pernah mengalami child abuse. Dating violence adalah tindakan atau ancaman yang dilakukan secara sengaja baik melalui perilaku, perkataan maupun mimik wajah yang dilakukan salah satu pihak kepada pihak lain dalam hubungan pacaran, dimana perilaku ini ditujukan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuatan atau kekuasaan dan kontrol atas pasangannya dalam hubungan pacaran

Subjek penelitian ini berjumlah 30 orang remaja akhir korban child abuse. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling. Alat ukur yang digunakan adalah skala perilaku dating violence yang disusun berdasarkan bentuk-bentuk perilaku dating violence yang dikemukakan oleh Murray (2007). Berdasarkan hasil estimasi daya beda aitem dengan menggunakan koefisien Pearson Product Moment terdapat 45 aitem yang valid dengan rxx yang bergerak dari 0,302 hingga 0,678 dan reliabilitas terhadap daya uji coba dengan menggunakan teknik koefisien Alpha Cronbach, maka diperoleh reliabilitas sebesar 0,891.

Data yang diolah dalam penelitian ini yaitu skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada umumnya perilaku dating violence pada remaja yang pernah mengalami child abuse berada pada kategori rendah dengan kategori sebagai berikut, perilaku dating violence yang tergolong rendah sebanyak 13 orang (43,33%), kategori sedang sebanyak 10 (33,33%), dan kategori tinggi sebanyak 7 orang (23,33%).


(14)

Description of Behavior in Adolescent Dating Violence Ever Experienced Child Abuse

Novira Mita dan Wiwik Sulistyaningsih

ABSTRACT

This research is aimed descriptif to see description of the behavior of dating violence in adolescents who had child abused. Dating violence is an act or threat that is done deliberately either through behavioral, speech and facial expression by one party to another in a dating relationship, where the behavior is intended to obtain and maintain the strength or power and control over their partners in dating relationship.

The number of subjects in this study were as many as 30 people late adolescent victims of child abused. The sampling technique was purposive sampling. Measuring instrument used is the scale of dating violence behaviors are based on forms of dating violence behaviors proposed by Murray (2007). Based on the results of different power estimation aitem using Pearson Product Moment coefficients are 45 to rxx aitem yan valid moves from 0.302 to 0.678 and the reliability of the test by using Cronbach alpha coefficient technique, the obtained reliability of 0.891.

The data are processed in this study is the minimum score, maximum score, mean, and standard deviation. The results of this study show that in general the behavior of dating violence in adolescents who had child abused are at a low category by category as follows, dating violence behaviors are relatively low as many as 13 people (43.33%), the categories are as many as 10 (33.33 %), and high categories of 7 people (23.33%).


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan suatu periode terjadinya perubahan yang besar pada fisik, emosional, intelektual, akademik, sosial dan spiritual (Williams, 2001). Bagi sebagian remaja, perubahan dalam peran sosial diartikan sebagai menjadi pacar/pasangan bagi individu tertentu. Hubungan berpacaran antara pria dan wanita ini menjadi bertambah penting seiring dengan bertambahnya usia (Bihler, 1986). Diantara beberapa perubahan yang terjadi pada diri remaja tersebut, ada topik yang menjadi sumber dari masalah-masalah yang ada dalam hidup remaja yaitu hubungan romantis dengan lawan jenis (Furman, 2002). Hubungan romantis ini sering juga disebut dengan pacaran atau dating. Pacarandimulai pada masa remaja. Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal dari tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih menyukai. Remaja ingin diterima, diperhatikan dan dicintai oleh lawan jenis (Hurlock, 1999).

Menurut Tucker (2004) pacaran dimulai dari berkenalan, berteman dan kemudian pacaran. Pacaran atau dating didefinisikan sebagai interaksi yang ‘saling’ (dyadic), termasuk didalamnya adalah mengadakan pertemuan untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas bersama dengan keinginan secara eksplisit atau implisit untuk meneruskan hubungan setelah terdapat kesepakatan tentang status hubungan mereka


(16)

saat ini (Straus, 2004). Tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pacar disebut dengan dating violence.

Beberapa dekade terakhir, kekerasan dalam pacaran atau dating violence telah menjadi persoalan kesehatan masyarakat. Bukti-bukti menyatakan bahwa dating violence diantara pelajar lebih meluas dari pada sebelumnya, dan memiliki konsekuensi perkembangan yang serius. Meskipun secara terbatas dikonsepkan sebagai kekuatan fisik, dating violence sekarang lebih luas dikenal sebagai sebuah kontinum dari abuse dimana mulai dari kekerasan emosional dan verbal sampai pada perkosaan dan pembunuhan (Hickman et al, 2004).

Menurut Sugarman & Hotaling (dalam Krahe, 2001) dating violence adalah tindakan atau ancaman untuk melakukan kekerasan, yang dilakukan salah seorang anggota dalam hubungan dating ke anggota lainnya. Selain itu, menurut The National Clearinghouse on Family Violence and Dating Violence (2006), dating violence adalah serangan seksual, fisik, maupun emosional yang dilakukan kepada pasangan, sewaktu berpacaran. Peneliti di The University of Michigan Sexual Assault Prevention and Awareness Center Burandt, Wickliffe, Scott, Handeyside, Nimeh & Cope (dalam Murray, 2007) mendefiniskan dating violence sebagai tindakan yang disengaja (intentional), yang dilakukan dengan menggunakan taktik melukai dan paksaan fisik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuatan (power) dan kontrol (control) terhadap pasangan dating-nya. Lebih lanjut dikatakan bahwa perilaku ini tidak dilakukan atas paksaan orang lain, sang pelaku lah yang memutuskan untuk


(17)

melakukan perilaku ini atau tidak, perilaku ini ditujukan agar sang korban tetap bergantung atau terikat dengan pasangannya.

The Centers for Disease Control (2000) melaporkan bahwa rata-rata prevalensi dari dating violence pada pelajar SMA dan mahasiswa adalah 22% dan 32%. Silverman et al (2002) menganalisis data dari Massachusetts Youth Risk Behavior Survey dan menaksir bahwa 1 dari 5 orang remaja mempunyai pengalaman dating violence. Youth Risk Behavior Surveillance (dalam Siagian, 2009) menyebutkan bahwa 9% remaja diperkosa oleh pacarnya. Selanjutnya Cram & Seymour (dalam Siagian, 2009) menemukan bahwa sebanyak 77% dari remaja putri dan 67% dari remaja putra mendapatkan pemaksaan secara seksual, termasuk diantaranya ciuman yang tidak dinginkan, pelukan, kontak kelamin, hubungan seksual yang tidak diinginkan dan 37% remaja mendapatkan video telanjang atau semi telanjang dari pacar mereka.

Survey yang dilakukan di Amerika menemukan bahwa 1 dari 10 siswa sekolah menengah akhir mendapatkan pukulan dan tamparan dari pacar mereka (Family Prevention Fund, 2009). Laporan tentang kekerasan pada remaja di Amerika adalah lebih dari 8 miliar remaja putri per tahun menderita akibat kekerasan yang dilakukan oleh pasangan mereka (Murray, 2007). Berdasarkan Federal Bureau of Investigation’s (1993-1999) Supplementary Homicide Reports, 10% dari semua remaja putri usia 12 sampai 15 tahun dan 22% dari semua remaja putri usia 16 sampai 19 tahun, dibunuh oleh pacar mereka (dalam Siagian, 2009).


(18)

Varia (2006) menyebutkan bahwa 21% remaja memiliki pacar yang membatasi mereka untuk bertemu dengan keluarga dan teman-teman mereka, 64% memiliki pacar yang cemburuan dan ingin tahu segalanya tentang pasangannya setiap waktu. Sebuah lembaga pencegahan terjadinya kekerasan di Amerika Family Prevention Fund (dalam Siagian, 2009) menemukan bahwa terdapat 26% remaja putri yang mendapatkan ancaman dari pacar mereka, satu dari empat remaja mengatakan bahwa dirinya mendapatkan hinaan dan direndahkan melalui telepon dan pesan singkat di telepon seluler. Zwicker (dalam America Bar Assocciation, 2006), menyebutkan bahwa 39% dari remaja putri mengaku berpacaran dengan orang yang selalu mengontrol dan mengatur mereka setiap waktu.

Di Indonesia, menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, terdapat satu dari lima remaja yang mengalami kekerasan seksual, kesimpulan ini didasarkan pada survey terhadap 300 remaja (Rahmawati, 2008). Lebih lanjut, Kota Medan sendiri sebagai kota metropolitan dengan angka kenakalan remaja tertinggi bersama-sama dengan DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Sulawesi Selatan, dan Pontianak, ditemukan bahwa terdapat 800 kasus kekerasan di Medan, dan 30% dilakukan oleh pacar (Siagian, 2009). Berdasarkan data dari National Longitudinal Study, Halpern et al (2001) menemukan bahwa 32% dari remaja kelas 7-12 melaporkan bahwa mempunyai pengalaman beberapa bentuk kekerasan dalam hubungan dating-nya.

Menurut Murray (2007) bentuk-bentuk dating violence terdiri atas 3, yaitu (1) kekerasan emosional dan verbal, (2) kekerasan seksual, (3) kekerasan fisik.


(19)

Kekerasan emosional dan verbal adalah ancaman yang dilakukan pasangan terhadap pacarnya dengan perkataan maupun mimik wajah. Misalnya adalah mengatakan pacarnya gendut, jelek, malas, bodoh, tidak ada seorangpun yang menginginkan pacarnya, mau muntah melihat pacarnya, menunjukkan wajah yang kecewa tanpa mengatakan alasan mengapa ia marah atau kecewa dengan pacarnya, mengatakan sesuatu mengenai organ tubuh pribadi pacarnya kepada pacarnya di depan teman-temannya, atau mempermalukan pacarnya di depan teman-temannya.

Kekerasan seksual adalah pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual sedangkan pacar mereka tidak menghendakinya (Murray, 2007). Melakukan hubungan seks tanpa ijin pasangannya atau dengan kata lain disebut dengan pemerkosaan, mencium pasangannya tanpa persetujuan pasangannya, hal ini bisa terjadi di area publik atau di tempat yang tersembunyi, sentuhan yang dilakukan tanpa persetujuan pasangannya, sentuhan ini kerap kali terjadi di bagian dada, bokong dan yang lainnya). Pria lebih sering melakukan tipe kekerasan ini dibandingkan wanita (Hamby, Sugarman, & Boney-McCoy, dalam Heatrich & O`Learry, 2007).

Kekerasan fisikadalah perilaku yang mengakibatkan pacar terluka secara fisik (Murray, 2007). Tipe kekerasan ini dapat dilihat dan diidentifikasi. Perilaku ini diantaranya adalah memukul, menampar, menggigit, mendorong ke dinding dan mencakar baik dengan menggunakan tangan maupun dengan menggunakan alat. Wanita juga melakukan kekerasan tipe ini dengan pasangannya akan tetapi konsekuensi fisik yang dihasilkan tidak begitu berbahaya seperti yang dilakukan pria


(20)

terhadap wanita (Cantos, Neidig, & O’Leary, 1994; Cascardi, Langhinrichsen, & Vivian, 1992; Stets & Straus, dalam Heatrich & O`Learry, 2007).

World Report On Violence And Health (1999) mengindikasikan salah satu faktor yang menyebabkan dating violence diantaranya adalah sejarah kekerasan dalam keluarga dimana orangtua yang seharusnya melindungi anaknya dari segala bentuk kekerasan justru menjadi abuser terhadap anaknya sendiri. Orangtua yang sering melakukan kekerasanpada anaknya disebabkan banyak faktor yaitu pernahnya mengalami perlakuan abnormal pada masa kecilnya, dipenuhi rasa frustasi, kemarahan dari masa kecilnya sehingga pelampiasannya pada anak-anaknya, keluarga yang tidak harmonis, dan perekonomian yang tidak mendukung. Dampaknya pada anak, anak akan mengalami berbagai penyimpangan kepribadian seperti menjadi pendiam, agresif, mudah marah, dan konsep dirinya negatif (Herlinawati, 2007).

Sebanyak 80% kekerasan yang menimpa anak-anak dilakukan oleh keluarga mereka, 10% terjadi di lingkungan pendidikan, dan sisanya orang tak dikenal (Solihin, 2004). Setiap bulannya terdapat 30 kasus kekerasan yang diadukan oleh korbannya kepada lembaga konseling Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia. Sebanyak 60% merupakan korban kekerasan ringan, berupa kekerasan verbal atau caci maki, sedangkan 40% sisanya mengalami kekerasan fisik hingga seksual. Menurut surat kabar harian Kompas, Kamis 23 Mei 2002, kekerasan domestik atau kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga menduduki porsi terbesar dalam


(21)

kasus kekerasan yang menimpa anak-anak pada rentang usia 3-6 tahun (Solihin, 2004).

Tindakan-tindakan di atas dapat dikategorikan sebagai child abuse atau perlakuan kejam terhadap anak-anak. Bosoeki (1999) menyatakan child abuse adalah istilah untuk anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun yang mendapatkan gangguan dari orangtua atau pengasuhnya yang merugikan anak secara fisik dan mental serta perkembangannya. Papalia (2004) menyatakan bahwa child maltreatment atau lebih dikenal dengan child abuse merupakan tindakan yang disengaja dan membahayakan anak baik yang dilakukan oleh orangtua atau orang lain. Terdapat 4 bentuk child abuse yang terdiri atas kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan seksual,dan pengabaian.

Kekerasan fisik yaitu kekerasan yang menyebabkan luka-luka diseluruh tubuh melalui pukulan, gigitan, tendangan, dan pembakaran (Tower, 2003). Kekerasan seksual yaitu aktivitas seksual yang melibatkan anak dan orang lain. Kekerasan emosional meliputi tindakan kekerasan atau pengabaian yang menyebabkan gangguan perilaku, kognitif, emotional, atau mental (Papalia, 2004). Garbarino, dan kolega (dalam Tower, 2003) memisahkan kekerasan emosional dalam dua bagian, yaitu kekerasan emosional/psikologis (meliputi serangan verbal atau emotional, ancaman membahayakan, atau kurungan tertutup) dan pengabaian emosional/psikologis (meliputi pengasuhan yang tidak cukup, kurang kasih sayang, menolak memberikan perawatan yang cukup, atau dengan sengaja memberikan perilaku maladaptive seperti kejahatan atau penggunaan obat-obatan). Depanfilis dan


(22)

koleganya (dalam Tower, 2003) menyebutkan bahwa pengabaian sebagai tindakan kelalaian yang dibagi menjadi tiga kategori, yakni pengabaian secara fisik, pengabaian pendidikan dan pengabaian secara emosional

Child abuse berdampak secara fisik, kognitif, emosional, dan sosial pada anak (Papalia, 2004). Dubowitz (dalam Papalia, 2004) menyatakan bahwa anak-anak yang diabaikan tidak tumbuh dengan baik dan sering memiliki masalah kesehatan. Dalam Hetherington dan Parke (1999), Cichetti dan Toth mengemukakan bahwa jika anak korban kekerasan tidak meninggal, mereka akan menderita disfungsi otak, kerusakan neuromotor, kerusakan fisik, terhambat dalam pertumbuhan, dan retardasi mental. Kekerasan dapat menurunkan perkembangan intelektual dan menyebabkan masalah psikososial. Pada anak yang telah bersekolah, tidak hanya menunjukkan masalah dalam hubungan antara teman sebaya, guru, dan pengasuh, namun juga masalah akademik dan self esteem yang rendah, menunjukkan masalah perilaku, dan menjadi depresi serta menyendiri. Selain itu, anak tak jarang mengalami tekanan psikologis seperti takut, stres, bahkan trauma yang akan dibawa hingga individu menjadi dewasa.

Dutton (dalam Rosenbaum & Leisring, 2003) menemukan bahwa mengalami kekerasan fisik dan pengabaian dari orangtua selama masa kanak-kanak memprediksi simptom-simptom trauma kronis pada perilaku saat dewasa. Anak-anak menderita Post Traumatic Stress Disorder karena seringkali menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga ataupun mengalami penyiksaan fisik (Silva dkk, dalam Davidson, 2004). Berdasakan penelitian pada sejumlah rumah tangga yang memiliki


(23)

pengalaman kekerasan dalam rumah tangga tiap tahun (Strauss, Gelles & Steinmetz, 1980), Carlson memperkirakan bahwa sekurang-kurangnya 3,3 juta anak tiap tahunnya berisiko terhadap pemaparan dari kekerasan antara orangtua.

Anak-anak yang hidup dalam kekerasan dalam rumah tangga meningkatkan resiko terhadap pemaparan dari kejadian traumatik, pengabaian, korban kekerasan secara langsung, dan kehilangan salah satu dari orangtua mereka. Semuanya memberikan dampak negatif terhadap anak dan mempengaruhi kebahagiaan, keamanan, dan stabilitas mereka (Carlson, 2000; Edleson, 1999; Rossman, 2001). Masalah pada masa kanak-kanak yang berhubungan dengan pemaparan terhadap kekerasan dalam rumah tangga dibagi dalam 3 kategori utama, yaitu: (1) Masalah perilaku, sosial, dan emosional, yaitu tingkat agresi yang lebih tinggi, kemarahan, permusuhan, perilaku menentang, dan tidak patuh; ketakutan, kecemasan, menarik diri dan depresi; hubungan dengan teman sebaya, saudara kandung, dan hubungan sosial yang buruk; dan self esteem yang rendah. (2) Masalah kognitif, yaitu fungsi kognitif yang rendah, prestasi sekolah yang buruk, kemampuan menyelesaikan masalah yang terbatas. (3) Masalah dalam jangka panjang, yaitu tingkat depresi dan symptom trauma yang tinggi pada masa dewasa, melakukan kekerasan dalam hubungan pada masa dewasanya (dating violence).

Kehidupan masa kecil sangat berpengaruh terhadap sikap mental dan moral anak ketika dewasa nanti. Stucke (2008) menunjukkan bahwa pengalaman traumatis selama masa kanak-kanak dapat mempengaruhi individu sewaktu dewasa seperti kecanduan obat-obatan dan masalah dalam membina hubungan, sakit jantung hingga


(24)

sakit jiwa (mental illness), dan meninggal lebih awal. Lebih parahnya, Heyman dan Slep (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kekerasan menjadi seperti lingkaran atau disebut cycle of violence. Hasil penelitian tersebut menunjukkan wanita dan pria yang mengalami kekerasan atau menyaksikan kekerasan yang dilakukan orangtua mereka semasa kecil akan beresiko melakukan kekerasan saat dewasa terhadap anak ataupun pasangan mereka. Tambahan lagi, walaupun tidak menjadi korban kekerasan, Rosenbaum dan O’Leary (dalam Rosenbaum & Leisring, 2003) menyatakan bahwa adanya kekerasan antar orangtua meskipun tidak melihatnya langsung, dapat menimbulkan sekumpulan masalah emosional dan perilaku pada anak dan meningkatkan resiko melakukan (memukul), khususnya laki-laki, dalam hubungan intim mereka saat dewasa atau melakukan kekerasan dalam pacaran.

Semua tindakan kekerasan kepada anak-anak direkam dalam bawah sadar mereka dan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya. Orangtua mempengaruhi anak-anak remaja mereka dalam berbagai cara (cf. Collins, Marcoby, Steinberg, Hetherington, & Bornstein, 2000), termasuk agresi (Sheridon, 1995). Gelles dan Straus memberikan fakta bahwa orangtua yang berperilaku agresif akan mendorong anaknya berperilaku agresif (cf. Gelles & Straus, 1988; Straus, Gelles, & Steinmetz, 1980). Intergeneration hypothesis menjelaskan bahwa anak-anak mungkin menjadi kasar pada masa remajanya karena mereka mengalami abuse pada masa kanak-kanaknya atau karena mereka melihat kekerasan antara orangtua. Banyak sekali bukti yang menunjukkan hubungan antara perilaku orangtua dengan


(25)

kepribadian anak dikemudian hari. Rata-rata abuser dalam masa kecilnya sering mendapatkan atau melihat perlakuan kasar dari ayahnya, baik pada dirinya, saudaranya, atau pada ibunya. Secara logika dia membenci perilaku ayahnya, akan tetapi secara tidak sadar perilaku itu terinternalisasi dan muncul pada saat dia menghadapi konflik. Berdasarkan uraian diatas maka akan dilakukan penelitian untuk melihat bagaimana gambaran perilaku dating violence pada remaja yang pernah yang mengalami child abuse.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran perilaku dating violence pada remaja yang pernah mengalami child abuse.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perilaku dating violence yang dilakukan oleh remaja yang pernah mengalami child abuse.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam memberikan informasi di bidang psikologi perkembangan, khususnya mengenai child abuse dan dating violence.


(26)

b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk mengkaji tentang perilaku dating violence pada remaja yang pernah mengalami child abuse.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi berbagai pihak untuk memahami tentang dating violence pada remaja, pengaruh child abuse pada perkembangan anak pada masa remajanya. Hal ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi berbagai pihak yang berkepentingan dengan masalah remaja seperti orangtua, guru, konselor, dan pendamping remaja.

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah: BAB I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan tentang dating violence, child abuse, dan gambaran perilaku dating violence pada remaja yang pernah mengalami child abuse.


(27)

BAB III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai identifikasi variabel, definisi operasional variabel, sampel penelitian, teknik pengambilan sampel, pengumpulan data serta analisa data.

BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan

Pada bab ini berisi tentang gambaran subjek penelitian dan hasil penelitian.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini berisi kesimpulan yang berusaha menjawab masalah yang dikemukakan berdasarkan hasil penelitian. Kemudian berdasarkan kesimpulan akan diajukan saran bagi penelitian selanjutnya.


(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Dating Violence

1. Pengertian Dating Violence

Menurut Straus dalam jurnalnya Prevalence of Violence Against Dating Partners by Male and Female University Students Worldwide (2004), dating didefinisikan sebagai interaksi yang ‘saling’ (dyadic), termasuk didalamnya adalah mengadakan pertemuan untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas bersama dengan keinginan secara eksplisit dan implisit untuk meneruskan hubungan setelah terdapat kesepakatan tentang status hubungan mereka saat ini. Collins (dalam Marcus, 2007) mengatakan bahwa terdapat 5 hal yang dapat menjelaskan sebuah hubungan sebagai dating. Kelima hal tersebut adalah: (1) involvement – apakah remaja tersebut pacaran, usia dimana dia memulai pacaran, dan konsistensi serta frekuensi pacaran (2) partner-selection – siapa yang mereka pilih menjadi pacar mereka (apakah usianya lebih tua, sama atau dari suku dan sosioekonomi status yang berbeda atau sama) (3) content – apa yang dilakukan mereka bersama-sama, keberagaman dari aktivitas yang dilakukan bersama, situasi yang dihindari ketika mereka bersama; (4) quality – hal dimana hubungan tersebut menghasilkan suatu pengalaman yang menguntungkan, seperti intimacy, affection, nurturance, antagonism, and high conflict and controlling behaviors; and (5) cognitive and emotional processes – apakah terdapat partner yang memberikan respon emosional yang merusak, persepsi, harapan, schema, dan atribusi


(29)

atas diri sendiri yang lebih didasarkan pada emosi. Definisi violence menurut VandenBos (dalam Marcus, 2007) merupakan ekspresi kemarahan dengan tujuan untuk melukai atau merusak seseorang atau properti mereka secara fisik, emosi, maupun seksual.

Dating violence adalah tindakan atau ancaman untuk melakukan kekerasan, yang dilakukan salah seorang anggota dalam hubungan dating ke anggota lainnya (Sugarman & Hotaling dalam Krahe, 2001). Selain itu, menurut The National Clearinghouse on Family Violence and Dating Violence (2006), dating violence adalah serangan seksual, fisik, maupun emosional yang dilakukan kepada pasangan, sewaktu berpacaran. The American Psychological Association (dalam Warkentin, 2008) menyebutkan bahwa dating violence adalah kekerasan psikologis dan fisik yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam hubungan pacaran, yang mana perilaku ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya.

Peneliti di The University of Michigan Sexual Assault Prevention and Awareness Center Burandt, Wickliffe, Scott, Handeyside, Nimeh & Cope (dalam Murray, 2007) mendefiniskan dating violence sebagai tindakan yang disengaja (intentional), yang dilakukan dengan menggunakan taktik melukai dan paksaan fisik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuatan (power) dan kontrol (control) terhadap pasangan dating-nya. Lebih lanjut dikatakan bahwa perilaku ini tidak dilakukan atas paksaan orang lain, sang pelaku lah yang memutuskan untuk melakukan perilaku ini atau tidak, perilaku ini ditujukan agar sang korban tetap bergantung atau terikat dengan pasangannya.


(30)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dating violence adalah ancaman atau tindakan untuk melakukan kekerasan kepada salah satu pihak dalam hubungan berpacaran, yang mana kekerasan ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya, perilaku ini bisa dalam bentuk kekerasan emosional, fisik dan seksual.

2. Bentuk-Bentuk Dating Violence

Menurut Murray (2007) bentuk-bentuk dating violence terdiri atas tiga bentuk, yaitu kekerasan verbal dan emosional, kekerasan seksual, kekerasan fisik. a. Kekerasan Verbal dan Emosional

Kekerasan verbal dan emosional adalah ancaman yang dilakukan pasangan terhadap pacarnya dengan perkataan maupun mimik wajah.

Menurut Murray (2007), kekerasan verbal dan emosionalterdiri dari: 1. Name calling

Seperti mengatakan pacarnya gendut, jelek, malas, bodoh, tidak ada seorangpun yang menginginkan pacarnya, mau muntah melihat pacarnya. Mereka menerima tipe kekerasan ini, karena mereka tidak memiliki self esteem yang tinggi, sehingga tidak bisa mengatakan jika saya jelek, mengapa kamu masih bersama saya sekarang

2. Intimidating looks

Pasangannya atau pacarnya akan menunjukkan wajah yang kecewa tanpa mengatakan alasan mengapa ia marah atau kecewa dengan pacarnya, jadi


(31)

pihak laki-laki atau perempuannya mengetahui apakah pacarnya marah atau tidak dari ekspresi wajahnya.

3. Use of pagers and cell phones

Seorang pacar ada yang memberikan ponsel kepada pacarnya, supaya dapat mengingatkan atau supaya tetap bisa menghubungi pacarnya. Alat komunikasi ini memampukan pacarnya untuk memeriksa keadaan pacarnya sesering mereka mau. Ada juga dari mereka yang tidak memberikan ponsel kepada pacarnya, namun baik yang memberikan ponsel maupun yang tidak memberikan ponsel tersebut akan marah ketika orang lain menghubungi pacarnya, meskipun orangtua dari pacarnya, karena itu mengganggu kebersamaan mereka. Individu ini harus mengetahui siapa yang menghubungi pacarnya dan mengapa orang tersebut menghubungi pacarnya.

4. Making a boy/girl wait by the phone

Seorang pacar berjanji akan menelepon pacarnya pada jam tertentu, akan tetapi sang pacar tidak menelepon juga. Pacar yang dijanjikan akan ditelepon, terus menerus menunggu telepon dari pasangannya, membawa teleponnya kemana saja di dalam rumah, misalnya pada saat makan bersama keluarga. Hal ini terjadi berulangkali, sehingga membuat si pacar tidak menerima telepon dari temannya, tidak berinteraksi dengan keluarganya karena menunggu telepon dari pacarnya.


(32)

5. Monopolizing a girl’s/ boy`s time

Korban dating violence cenderung kehabisan waktu untuk melakukan aktivitas dengan teman atau untuk mengurus keperluannya, karena mereka selalu menghabiskan waktu bersama dengan pacarnya.

6. Making a girl`s/ boy`s feel insecure

Seringkali orang yang melakukan dating violence memanggil pacarnya dengan mengkritik, dan mereka mengatakan bahwa semua hal itu dilakukan karena mereka sayang pada pacarnya dan menginginkan yang terbaik untuk pacarnya. Padahal mereka membuat pacar mereka merasa tidak nyaman. Ketika pacar mereka terus menerus dikritik, mereka akan merasa bahwa semua yang ada pada diri mereka buruk, tidak ada peluang atau kesempatan untuk meninggalkan pasangannya.

7. Blaming

Semua kesalahan yang terjadi adalah perbuatan pasangannya, bahkan mereka sering mencurigai pacar mereka atas perbuatan yang belum tentu disaksikannya, seperti menuduhnya melakukan perselingkuhan.

8. Manipulation / making himself look pathetic

Hal ini sering dilakukan oleh pria. Perempuan sering dibohongi oleh pria, pria biasanya mengatakan sesuatu hal yang konyol tentang kehidupan, misalnya pacarnyalah orang yang satu-satunya mengerti dirinya, atau mengatakan kepada pacarnya bahwa dia akan bunuh diri jika tidak bersama pacarnya lagi.


(33)

9. Making threats

Biasanya mereka mengatakan jika kamu melakukan ini, maka saya akan melakukan sesuatu padamu. Ancaman mereka bukan hanya berdampak pada pacar mereka, tetapi kepada orangtua, dan teman mereka.

10. Interrogating

Pasangan yang pencemburu, posesif, suka mengatur, cenderung menginterogasi pacarnya, dimana pacarnya berada sekarang, siapa yang bersama mereka, berapa orang laki-laki atau wanita yang bersama mereka, atau mengapa mereka tidak membalas pesan mereka.

11. Humiliating her/ him in public

Mengatakan sesuatu mengenai organ tubuh pribadi pacarnya kepada pacarnya di depan temannya. Atau mempermalukan pacarnya di depan teman-temannya.

12. Breaking treasured items

Tidak memperdulikan perasaan atau barang-barang milik pacar mereka, jika pasangan mereka menangis, mereka menganggap hal itu sebuah kebodohan.

b. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual sedangkan pacar mereka tidak menghendakinya (Murray, 2007). Pria lebih sering melakukan tipe kekerasan ini dibandingkan wanita (Hamby, Sugarman, & Boney-McCoy, dalam Heatrich & O`Learry, 2007).


(34)

Menurut Murray (2007), sexual abuse terdiri dari: 1. Perkosaan

Melakukan hubungan seks tanpa ijin pasangannya atau dengan kata lain disebut dengan pemerkosaan. Biasanya pasangan mereka tidak mengetahui apa yang akan dilakukan pasangannya pada saat itu.

2. Sentuhan yang tidak diinginkan

Sentuhan yang dilakukan tanpa persetujuan pasangannya, sentuhan ini kerap kali terjadi di bagian dada, bokong dan yang lainnya.

3. Ciuman yang tidak diinginkan

Mencium pasangannya tanpa persetujuan pasangannya, hal ini bisa terjadi di area publik atau di tempat yang tersembunyi.

c. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah perilaku yang mengakibatkan pacar terluka secara fisik, seperti memukul, menampar, menendang dan sebagainya (Murray, 2007). Wanita juga melakukan kekerasan tipe ini dengan pasangannya akan tetapi konsekuensi fisik yang dihasilkan tidak begitu berbahaya seperti yang dilakukan pria terhadap wanita. (Cantos, Neidig, & O’Leary, 1994; Cascardi, Langhinrichsen, & Vivian, 1992; Stets & Straus, dalam Heatrich & O`Learry, 2007).


(35)

Kekerasan fisikterdiri dari (Murray, 2007): 1.Memukul, mendorong, membenturkan

Ini merupakan tipe abuse yang dapat dilihat dan diidentifikasi, perilaku ini diantaranya adalah memukul, menampar, menggigit, mendorong ke dinding dan mencakar baik dengan menggunakan tangan maupun dengan menggunakan alat. Hal ini menghasilkan memar, patah kaki, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan sebagai hukuman kepada pasangannya. (Mark McGwire dan Sammy Sosa dalam Murray, 2007)

2. Mengendalikan, menahan

Perilaku ini dilakukan pada saat menahan pasangan mereka untuk tidak pergi meninggalkan mereka, misalnya menggengam tangan atau lengannya terlalu kuat.

3. Permainan kasar

Menjadikan pukulan sebagai permainan dalam hubungan, padahal sebenarnya pihak tersebut menjadikan pukulan-pukulan ini sebagai taktik untuk menahan pasangannya pergi darinya. Ini menandakan dominasi dari pihak yang melayangkan pukulan tersebut.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku dating violence terdiri dari tiga bentuk yakni ancaman yang dilakukan pasangan terhadap pacarnya dengan perkataan maupun mimik wajah (verbal and emotional abuse), pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual sedangkan pacar mereka tidak


(36)

menghendakinya (sexual abuse), dan perilaku yang mengakibatkan pacar terluka secara fisik (physical abuse).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dating Violence Pada Remaja

Murray (2007) dalam bukunya yang berjudul Domestic and Dating Violence: An Information and Resource Handbook menyatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang berkontribusi dalam dating violence, yaitu:

a. Penerimaan Teman Sebaya

Remaja cenderung ingin mendapatkan penerimaan dari teman sebaya mereka, misalnya remaja pria dituntut oleh teman sebayanya untuk melakukan kekerasan sebagai tanda kemaskulinan mereka (Leaver, 2007).

b. Harapan Peran Gender

Pria diharapkan untuk lebih mendominasi sedangkan wanita diharapkan untuk lebih pasif. Pria yang menganut peran gender yang mendominasi akan lebih cenderung mengesahkan perbuatan dating violence kepada pasangannya, sedangkan wanita yang menganut peran gender yang pasif, akan lebih menerima dating violence dari pasangannya.

c. Pengalaman Yang Sedikit

Secara umum, remaja memiliki sedikit pengalaman dalam berpacaran dan menjalin hubungan dibandingkan dengan orang dewasa, dan remaja tidak mengerti seperti apa pacaran yang benar, dan apakah setiap hal yang mereka lakukan saat pacaran adalah baik. Contohnya, cemburu dan posesif dari abuser dilihat sebagai tanda cinta


(37)

dan sesuatu yang dipersembahkan dari abuser. Karena kurangnya pengalaman, mereka menjadi kurang objektif dalam menilai hubungan mereka.

d. Jarang Berhubungan dengan Pihak yang Lebih Tua

Nancy Worcester in “A More Hidden Crime: Adolescent Battered Women” (The Network News, July/August 1993) menyebutkan bahwa remaja selalu merasa bahwa orang dewasa tidak akan menanggapi mereka dengan serius, dan mereka menganggap bahwa intervensi dari orang dewasa akan membuat kepercayaan diri dan kemandirian diri mereka hilang. Inilah yang membuat mereka menutupi dating violence yang terjadi pada diri mereka.

e. Sedikit akses ke layanan masyarakat

Anak dibawah usia 18 tahun mempunyai akses yang sedikit ke pengobatan medis, dan meminta perlindungan ke tempat penampungan orang-orang yang menjadi korban kekerasan. Mereka membutuhkan panduan orangtua, tetapi mereka takut mencarinya. Hal ini akan menghambat remaja untuk terlepas dari kekerasan dalam pacaran.

f. Legalitas

Kesempatan legal berbeda antara orang dewasa dan remaja, dimana remaja kurang memiliki kesempatan legal. Remaja sering kali memiliki akses yang sedikit ke pengadilan, polisi dan bantuan. Ini merupakan rintangan bagi remaja untuk melawan dating violence.


(38)

g. Penggunaan Obat-obatan

Obat-obatan tidak merupakan penyebab dating violence, tetapi ini dapat

meningkatkan peluang terjadinya dating violence dan meningkatkan

keberbahayaannya. Obat-obatan menurunkan kemampuan untuk menunjukkan kontrol diri dan kemampuan membuat keputusan yang baik dihadapan wanita ataupun prianya.

World Report On Violence And Health (1999) mengindikasikan enam faktor yang menyebabkan dating violence diantaranya:

a. Faktor Individual

Faktor demografi yang dapat menyebabkan seseorang melakukan kekerasan kepada pasangannya adalah usia yang muda dan memiliki status ekonomi yang rendah. The Health and Development Study in Dunedin, New Zealand – Dalam satu penelitian longitudinalnya menunjukkan bahwa seseorang yang berasal dari keluarga yang melakukan kekerasan- berasal dari keluarga yang umumnya berada pada level ekonomi yang rendah, memiliki prestasi akademis yang rendah atau pendidikan yang rendah, maka mereka akan melakukan dating violence.

b. Sejarah Kekerasan dalam Keluarga

Studi yang dilakukan di Brazil, Afrika dan Indonesia menunjukkan bahwa dating violence cenderung dilakukan oleh laki-laki yang sering mengobservasi ibunya yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.


(39)

c. Penggunaan Alkohol

Penelitian Black, dkk yang diadakan di Brazil, Cambodia, Canada, Chile, Colombia, Costa Rica, El Salvador, India, Indonesia, Nicaragua, Afrika Selatan, Spanyol dan Venezuela menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara peminum minuman keras dengan menjadi pelaku dating violence. Yaitu bahwa alkohol dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan individu dalam menginterpretasikan sesuatu (World Report on Violence and Health, 2002) . Lebih lanjut Borsary & Carey (dalam Roudsary, Leahy & Walters, 2009) menggunakan pengukuran penggunan alcohol satu kali seminggu dalam memprediksikan pelaku dating violence.

d. Gangguan Kepribadian

Penelitian di Canada menunjukkan bahwa laki-laki yang menyerang pasangannya cenderung mengalami emotionally dependent, insecure dan rendahnya self-esteem sehingga sulit mengontrol dorongan-dorongan yang ada dalam diri mereka. Mereka juga memiliki skor yang tinggi pada skala personality disorder termasuk diantaranya antisocial, aggressive and borderline personality disorders.

e. Faktor dalam Hubungan

O’Kefee (2005) mengatakan bahwa, kurangnya kepuasan dalam hubungan, semakin banyaknya konflik yang terjadi dalam hubungan tersebut akan meningkatkan terjadinya dating violence. Lewis & Fremouw, Ray & Gold, Billingham (dalam Luthra dan Gidycs, 2006) penelitiannya mengatakan bahwa semakin lama durasi suatu hubungan, maka dating violence dalam hubungan tersebut semakin


(40)

meningkat. Follingstad, Rutledge, Polek, & McNeill-Hawkins (dalam Luthra & Gidycs, 2006) menyebutkan bahwa dengan pertambahan setiap 6 bulan durasi dating. Korban dari kekerasan berulang kali akan lebih bisa bertahan dalam hubungan yang dijalaninya, daripada korban yang mengalami sekali kekerasan atau dengan kata lain, semakin sering dilakukan suatu kekerasan kepada pasangannya maka sang pelaku akan semakin merasa bahwa si korban menerima perilaku kekerasan tersebut.

f. Faktor Komunitas

Dengan tingkat ekonomi yang tinggi, maka orang-orang lebih mampu untuk melakukan perlindungan ataupun pembelaan terhadap kekerasan yang dialaminnya. Meskipun tidak selalu benar bahwa kemiskinan meningkatkan kekerasan. Tapi tinggal dalam kemiskinan dapat menyebabkan hopelessness.

Untuk beberapa pria, tinggal dalam kemiskinan bisa mengakibatkan stress, frustrasi, dan perasaan tidak mampu untuk memenuhi harapan sosial, atau hidup sesuai dengan harapan sosial. Peran gender tradisional, ada tidaknya sanksi dalam komunitas itu, atau daerah tempat tinggal pelaku dan korban merupakan bekas daerah perang sehingga tersedia peralatan perang juga turut berperan.

Terpapar dengan kekerasan yang terjadi di komunitas berhubungan dengan menjadi pelaku dating violence dikedua gender (Malik dalam O`Kefee, 2005). Terpapar dengan kekerasan yang terjadi di komunitas akan meningkatkan kekerasan yang terjadi, mungkin ini disebabkan oleh penerimaan seseorang mengenai violence tersebut. (O’Keefe, 2005).


(41)

Beberapa ciri orang yang melakukan dating violence adalah: 1. Rendahnya self esteem atau self image yang buruk

Self esteem adalah keseluruhan sikap kepada diri, apakah positif atau negatif (Rosenberg, dalam Baron, Byrne & Branscombe, 2006). Orang-orang dengan self esteem dan self image yang rendah ingin meningkatkan self esteem dan self image mereka dengan menunjukkan kekuatan mereka atas pasangan mereka.

2. Toleransi yang sedikit kepada frustrasi

Frustrasi didefinisikan sebagai perasaan yang timbul ketika terdapat situasi yang merintangi goal (Dollard, Doob, Miller, Mower; & Sears dalam Baron et al., 2006). Roseinzweig (dalam Kellen, 2009) mengatakan bahwa reaksi seseorang kepada situasi frustrasi bisa favorable atau tidak favorable berdasarkan toleransi frustrasi seseorang. Kellen (2009) mengatakan bahwa memiliki toleransi frustasi yang rendah seringkali merupakan faktor yang dapat menciptakan kemarahan dan kekerasan.

3. Moodyang sering berubah-ubah

Orang dengan tipe ini biasanya kelihatan tenang dalam beberapa menit, dan tiba-tiba berperilaku agresif kemudian (Adetunji, 2008).

4. Mudah marah

Cenderung mengekspresikan ketakutan atau kecemasan sebagai kemarahan, atau menolak untuk mendiskusikan perasaan mereka, dan kemudian menunjukkan kemarahan mereka yang meledak–ledak.


(42)

5. Kecemburuan yang berlebihan

Kecemburuan terjadi dengan pihak ketiga dalam hubungan, dimana pihak yang cemburu merasa bahwa pasangan mereka membina hubungan dengan oranglain. Seseorang yang pencemburu menunjukkan ekspresi cemburu mereka, seperti kemarahan maupun kekerasan fisik (Peppermint, 2006).

6. Terlalu posesif

Posesif merupakan perasaan takut akan kehilangan seseorang (Hendrick & Hendrick dalam Baron, Byrne & Branscombe 2006). Perasaan ini membuat pasangan mereka ingin mengontrol segala sesuatu mengenai pasangannya, dan tidak jarang kontrol yang dilakukan terlalu berlebihan dan mengekang pasangannya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa delapan faktor yang mempengaruhi dating violence pada remaja adalah faktor individual, sejarah kekerasan dalam keluarga, penerimaan teman sebaya, harapan peran gender, penggunaan obat-obatan, gangguan kepribadian, faktor dalam hubungan, dan faktor komunitas. Faktor individual yang dapat menyebabkan seseorang melakukan kekerasan terhadap pasangannya adalah usia yang muda, berada pada level ekonomi yang rendah, memiliki prestasi akademis yang rendah, serta seseorang yang sering mengobservasi ibunya yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, mengalami emotionally dependent, insecure dan rendahnya self esteem. Semakin banyaknya konflik yang terjadi dalam hubungan tersebut akan meningkatkan terjadinya dating violence.


(43)

B. Child Abuse

1. Pengertian child abuse

Pada awalnya terminologi tindak kekerasan pada anak atau child abuse berasal dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, seorang radiologis Caffey (dalam Tower, 2003) menyebutkan kasus ini dengan Caffey Syndrome. Hendry (dalam Fitri, 2008) menyebut kasus penelantaran dan penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome, yaitu setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orangtua atau pengasuh lain. Selain Battered Child Syndrome, istilah lain untuk menggambarkan kasus penganiayaan yang dialami oleh anak-anak adalah Maltreatment Syndrome, meliputi gangguan fisik seperti diatas, juga gangguan emosi anak, dan adanya akibat asuhan yang tidak memadai , eksploitasi seksual dan ekonomi, pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi, pengabaian pendidikan dan kesehatan dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (Gelles dalam Fitri, 2008).

Papalia (2004) menyatakan bahwa child maltreatment atau lebih dikenal dengan child abuse merupakan tindakan yang disengaja dan membahayakan anak baik yang dilakukan oleh orangtua atau oranglain. Penganiayaan sendiri terdiri dari beberapa bentuk. Abuse mengarah pada tindakan yang mengakibatkan kerusakan, dan neglect merupakan tidak adanya tindakan atau pengabaian pengasuhan yang dapat mengakibatkan kerusakan.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang berakibat


(44)

penderitaan pada anak meliputi penelantaran , penganiayaan, eksploitasi seksual dan ekonomi yang dilakukan oleh orangtua atau pengasuh lain.

2.Bentuk-bentuk child abuse

Terdapat empat bentuk child abuse yakni kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional dan pengabaian(Tower, 2003).

1. Kekerasan fisik: kekerasan yang menyebabkan luka-luka diseluruh tubuh melalui pukulan, gigitan, tendangan, dan pembakaran.

2. Kekerasan seksual: Aktivitas seksual yang melibatkan anak dan orang lain.

Menurut child abuse prevention act (dalam Tower, 2003) kekerasan seksual meliputi:

i. Mempekerjakan, menggunakan, membujuk, merangsang, mengajak, atau memaksa anak untuk ikut dalam perilaku seksual secara nyata (atau berupa rangsangan perilaku) untuk tujuan menghasilkan gambaran visual dari perilaku tersebut.

ii. Pemerkosaan, penganiayaan, prostitusi, atau bentuk lain dari eksploitasi seksual pada anak, ataupun incest pada anak dibawah kondisi yang mengindikasikan bahwa kesehatan atau kesejahteraan anak dirugikan atau terancan oleh hal-hal tersebut.

3. Kekerasan emosional

Meliputi tindakan kejam atau pengabaian yang menyebabkan gangguan perilaku, kognitif, emosional atau mental (Papalia, 2004). Garbarino, dan kolega


(45)

(dalam Tower, 2003) memisahkan kekerasan emosional dalam dua bagian, yaitu kekerasan secara emosional/psikologis (meliputi serangan verbal atau emotional, ancaman membahayakan, atau kurungan tertutup) dan pengabaian secara emosional/psikologis (meliputi pengasuhan yang tidak cukup, kurang kasih sayang, menolak memberikan perawatan yang cukup, atau dengan sengaja memberikan perilaku maladaptive seperti kejahatan atau penggunaan obat-obatan).

Tower (2003) mengemukan bahwa kekerasan secara psikologis merupakan perilaku merusak yang terus-menerus, berulang, dan tidak sesuai ataupun berkurang esensinya, dan dapat memperngaruhi kemampuan atau proses mental anak yang meliputi intelegensi ingatan, pengenalan, persepsi, perhatian, bahasa, dan perkembangan moral. Sedangkan kekerasan emosional merupakan respon emosional yang terus-menerus, berulang, dan tidak sesuai terhadap ekspresi emosi anak dan beriringan dengan perilaku ekspresif.

4. Pengabaian

Depanfilis dan koleganya (dalam Tower, 2003) menyebutkan bahwa pengabaian sebagai tindakan kelalaian yang dibagi menjadi tiga kategori, yakni pengabaian secara fisik, pengabaian secara pendidikan dan pengabaian emosional.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat empat bentuk child abuse yang terdiri dari kekerasan yang menyebabkan luka-luka diseluruh tubuh (kekerasan fisik), aktivitas seksual yang melibatkan anak dan orang lain (kekerasan


(46)

seksual), tindakan kekerasan yang menyebabkan gangguan perilaku, kognitif, dan mental(kekerasan emosional), dan tindakan kelalaian (pengabaian).

C. Gambaran Perilaku Dating Violence pada Remaja yang Pernah Mengalami

Child Abuse

Hubungan romantis sering juga disebut dengan pacaran. Individu ini juga tidak ingin dipisahkan dengan orang yang disukai oleh mereka (Aron, Paris, & Aron dalam Fiske, 2008). Harapan individu untuk tidak dipisahkan dari orang tersebut akan membuat individu ingin mengekspresikan cinta atau rasa sukanya, dan akhirnya individu tersebut juga ingin memiliki ikatan yang disebut dengan pacaran atau dating (Connolly dkk dalam Furman, Mc Dunn & Young, 2005). Menurut Tucker (2004) dating dimulai dari berkenalan, berteman dan kemudian pacaran. Pacaran atau dating didefinisikan sebagai interaksi dyadic, termasuk didalamnya adalah mengadakan pertemuan untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas bersama dengan keinginan secara eksplisit atau implisit untuk meneruskan hubungan setelah terdapat kesepakatan tentang status hubungan mereka saat ini (Straus, 2004). Kasus-kasus yang sehubungan dengan kekerasan yang dilakukan oleh pacar disebut dengan dating violence.

Dating violence adalah serangan seksual, fisik, maupun emosional yang dilakukan kepada pasangan, sewaktu berkencan (Kelly 2006). National Teen Dating Violence Awareness and Prevention Month mengatakan bahwa dating violence sering dimulai pada masa remaja. Dating violence bisa terjadi dalam berbagai bentuk,


(47)

termasuk penggunaan kata-kata dan tindakan-tindakan yang berbahaya. Meskipun secara terbatas dikonsepkan sebagai kekuatan fisik, dating violence sekarang lebih luas dikenal sebagai sebuah kontinum dari kekerasan dimana mulai dari kekerasan verbal dan emosional sampai pada perkosaan dan pembunuhan (Hickman et al, 2004). Kekerasan verbal dan emosional adalah ancaman yang dilakukan pasangan terhadap pacarnya dengan perkataan maupun mimik wajah. Misalnya adalah mengatakan pacarnya gendut, jelek, malas, bodoh, tidak ada seorangpun yang menginginkan pacarnya, mau muntah melihat pacarnya, menunjukkan wajah yang kecewa tanpa mengatakan alasan mengapa ia marah atau kecewa dengan pacarnya,

mengatakan sesuatu mengenai organ tubuh pribadi pacarnya kepada pacarnya di depan teman-temannya, atau mempermalukan pacarnya di depan teman-temannya.

Kekerasan seksual adalah pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual sedangkan pacar mereka tidak menghendakinya (Murray, 2007). Melakukan hubungan seks tanpa ijin pasangannya atau dengan kata lain disebut dengan pemerkosaan, mencium pasangannya tanpa persetujuan pasangannya, hal ini bisa terjadi di area publik atau di tempat yang tersembunyi, sentuhan yang dilakukan tanpa persetujuan pasangannya, sentuhan ini kerap kali terjadi di bagian dada, bokong dan yang lainnya). Pria lebih sering melakukan tipe kekerasan ini dibandingkan wanita (Hamby, Sugarman, & Boney-McCoy, dalam Heatrich & O`Learry, 2007).

Kekerasan fisikadalah perilaku yang mengakibatkan pacar terluka secara fisik (Murray, 2007). Tipe kekerasan ini dapat dilihat dan diidentifikasi. Perilaku ini


(48)

diantaranya adalah memukul, menampar, menggigit, mendorong ke dinding dan mencakar baik dengan menggunakan tangan maupun dengan menggunakan alat. Wanita juga melakukan kekerasan tipe ini dengan pasangannya akan tetapi konsekuensi fisik yang dihasilkan tidak begitu berbahaya seperti yang dilakukan pria terhadap wanita (Cantos, Neidig, & O’Leary, 1994; Cascardi, Langhinrichsen, & Vivian, 1992; Stets & Straus, dalam Heatrich & O`Learry, 2007).

Kelly (2006), menyebutkan bahwa dating violence merupakan masalah sosial yang signifikan dan dapat terjadi pada siapa saja, dengan usia, orientasi seksual, status sosioekonomi, serta lokasi tempat tinggal dimana saja. Selanjutnya Lewis & Fremouw (dalam Rathigan & Street, 2005) menyebutkan bahwa dating violence merupakan masalah yang signifikan bukan hanya karena akan membahayakan dari segi fisik tetapi juga mental; seperti dapat mengakibatkan luka, dan rendahnya self esteem. Terlebih lagi dating violence sendiri bisa mengakibatkan kematian, dan jika terjadi pada masa remaja, maka dating violence akan mengakibatkan terganggunya hubungan romantis dan pola interaksi yang akan terbawa ke masa dewasa.

Dampak dating violence tentu saja tidak hanya dialami oleh perempuan, karena laki-laki pun ada yang mengalami dating violence. Penelitian mengindikasikan bahwa dating violence mempengaruhi perempuan dan laki-laki secara berbeda. Pada perempuan, menjadi korban kekerasan fisik atau seksual dihubungkan dengan resiko penggunaan obat-obatan, perilaku control berat badan yang tidak sehat, perilaku seksual yang berisiko, kehamilan dan bunuh diri. Penelitian mengindikasikan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan fisik oleh


(49)

pasangannya cenderung lebih menderita secara fisik dan emosional dibandingkan dengan kekerasan yang dialami laki-laki. Perempuan juga cenderung lebih sering menjadi korban dan mengalami dampak dari kekerasan ini termasuk luka-luka, trauma emosional, perempuan lebih sering dipukul atau dipaksa untuk beraktivitas seksual dan mereka merespon dengan menangis, melawan, melarikan diri atau mengabaikan pasangannya. Laki-laki lebih sering dicubit, ditampar, dicakar, atau ditendang, dan mereka lebih suka untuk melupakan dan menertawakan kekerasan tersebut (www.canada.justice.go.ca). Walaupun masih sedikit penelitian hal ini, pelaku juga mengalami dampak negatif dari perilaku mereka. Mereka berisiko untuk menghancurkan hubungannya, dipermalukan, ditolak secara personal dan disalahkan masyarakat. Mereka juga berisiko membahayakan hubungan dimasa depan (www.canada.justice.go .ca).

Menurut Billingham, Riggs & O’Leary (dalam Luthra & Gidycz, 2006) dating violence lebih sering terjadi di hubungan yang lebih serius dan dalam durasi yang cukup lama yaitu setiap pertambahan durasi 6 bulan, maka kekerasan dalam hubungan tersebut akan semakin meningkat. Beberapa wanita menjadi korban pada kencan pertama, tetapi sebagian besar menjadi korban setelah berpacaran dalam waktu yang lama (The National Clearinghouse on Family Violence, 1995). Pelaku dating violence juga merupakan individu dengan pendidikan yang rendah (World Report On Violence and Health, 2002).

World Report On Violence And Health (1999) mengindikasikan faktor-faktor yang menyebabkan dating violence diantaranya adalah faktor individual, penggunaan


(50)

alkohol, gangguan kepribadian, faktor dalam hubungan, faktor komunitas, sejarah kekerasan dalam keluarga. Pengaruh keluarga sangat besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Masalah-masalah emosional yang kurang diperhatikan oleh orangtua dapat memicu timbulnya permasalahan bagi individu yang bersangkutan dimasa yang akan datang. Misalnya sikap kejam orangtua, berbagai macam penolakan dari orangtua terhadap keberadaan anak, dan juga sikap disiplin yang diajarkan secara berlebihan. Hal-hal semacam ini akan berpengaruh pada model peran yang dianut oleh anak tersebut pada masa remajanya. Bila model peran yang dipelajari pada masa kanak-kanak tidak sesuai dengan model yang normal atau model standar, maka perilaku semacam kekerasan dalam pacaran ini pun akan muncul.


(51)

Paradigma Penelitian

Sejarah Kekerasan dalam Keluarga

Child Abuse

Pengabaian Kekerasan

Emosional Kekerasan

Fisik

Kekerasan Seksual

Masalah kognitif Masalah perilaku,

sosial, dan emosional

Masalah dalam jangka panjang

Dating Violence (kekerasan dalam

Pacaran)

Kekerasan Fisik

Kekerasan Seksual

Kekerasan Verbal dan Emotional


(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian sangat menentukan suatu penelitian karena menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data, analisa data, dan pengambilan kesimpulan hasil penelitian (Hadi, 2000). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif yang bersifat deskriptif.

Menurut Azwar (2000) metode deskriptif merupakan metode yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif, tidak bermaksud mencari penjelasan, mengenai hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari implikasi.

Jenis penelitian ini tidak mempersoalkan hubungan antar variabel dan tidak melakukan pengujian hipotesis. Hasil penelitiannya berupa deskripsi mengenai variabel-variabel tertentu dengan menyajikan frekuensi, angka rata-rata atau kualifikasi lainnya untuk setiap kategori di suatu variable. Dalam pengolahan dan analisa data menggunakan pengolahan statistik yang bersifat deskriptif (Faisal, 1999).

Punch (1998) menyatakan bahwa ada 2 (dua) kegunaan dilakukannya penelitian deskriptif. Pertama, untuk mengembangkan teori dan area penelitian yang baru, dimana sebelum merencanakan/melakukan penelitian yang lebih mendalam (exploratory studies) adalah lebih baik untuk terlebih dahulu memuatkan perhatian pada deskripsi yang sistematis terhadap objek penelitian. Kedua, deskripsi yang tepat


(53)

mengenai proses-proses sosial yang kompleks dapat membantu kita untuk memahami faktor apa yang perlu diteliti lebih lanjut dalam penelitian berikutnya secara lebih mendalam.

Hasil penelitian ini berupa deskripsi mengenai perilaku dating violence pada remaja yang pernah mengalami child abuse.

A. Identifikasi Variabel

Variabel diartikan sebagai sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian atau faktor-faktor yang berperan dalam gejala yang diamati. Variabel merupakan sebuah simbol dimana angka-angka atau nilai ditetapkan dan suatu konsep atau pengertian dapat dikatakan sebagai variabel bila menunjukkan adanya variasi (Kerlinger, 2000). Sesuai dengan judul penelitian yaitu gambaran perilaku dating violence pada remaja yang pernah mengalami child abuse, maka terdapat satu variabel yaitu dating violence.

B. Definisi Operasional

Dating violence adalah tindakan atau ancaman yang dilakukan secara sengaja baik melalui perilaku, perkataan maupun mimik wajah yang dilakukan salah satu pihak kepada pihak lain dalam hubungan pacaran, dimana perilaku ini ditujukan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuatan atau kekuasaan dan kontrol atas pasangannya dalam hubungan pacaran, meliputi tiga bentuk:


(54)

1. Verbal and emotional abuse adalah ancaman, pengabaian, penyelidikan, pengekangan maupun pengrusakan yang dilakukan kepada pasangan dan hal-hal yang terkait dengan pasangannya, seperti aktivitas, perasaan, hak untuk berbicara, keluarga, maupun benda milik pasangannya yang dilakukan secara sengaja dan bertujuan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuataan dan kontrol atas pasangannya, hal ini dilakukan dalam bentuk kata-kata, mimik wajah, gestur, dan perilaku.

2. Sexual Abuse adalah pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual meliputi kissing, hubungan intim maupun sentuhan dimana pasangan tidak menghendakinya, hal ini dilakukan secara sengaja dan bertujuan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuataan dan kontrol atas pasangannya.

3. Physical Abuse adalah perilaku yang dilakukan salah satu pihak dalam hubungan pacaran yang mengakibatkan luka secara fisik baik dengan menggunakan tangan maupun dengan menggunakan benda, perilaku ini dilakukan secara sengaja dan bertujuan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuataan dan kontrol atas pasangannya.

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel

Populasi adalah keseluruhan penduduk atau individu yang dimaksudkan untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai jumlah penduduk atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Kelompok yang besar yang berkepentingan dalam penelitian adalah populasi, kelompok kecil individu yang


(55)

berpartisipasi dalam penelitian adalah sampel (Gravetter, 2006). Sampel harus dapat mewakili ciri-ciri populasinya. Agar informasi yang diperoleh dari sampel benar-benar mewakili populasi, sampel tersebut harus mewakili karakteristik populasi yang dimilikinya (Kuncoro, 2003). Populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang berpacaran di Kota Medan, karakteristik sampel penelitian ini adalah:

1. Remaja akhir dengan rentang usia 18 sampai 21 tahun (Monks, 1999). 2. Memiliki pacar

3. Pernah mengalami child abuse oleh orangtua di masa kanak-kanak

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling. Dalam purposive sampling, pemilihan sekelompok sampel didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2000).

D. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode skala. Skala adalah suatu prosedur pengambilan data yang merupakan suatu alat ukur aspek afektif yang merupakan konstruk atau aspek psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu (Azar, 1999).


(56)

Dalam penelitian ini terdapat dua alat ukur, yaitu: 1. Angket Child Abuse

Dalam penelitian ini juga akan digunakan angket child abuse untuk mengetahui pengalaman kekerasan yang dialami remaja pada masa kecilnya. Angket child abuse disusun oleh peneliti berdasarkan bentuk-bentuk child abuse yang dikemukakan oleh Tower (2003). Keempat bentuk tersebut adalah physical abuse, sexual abuse, emotional abuse, dan neglect. Angket ini terdiri dari dua pilihan jawaban, yaitu: (a) ya, dan (b) tidak. Penilaian untuk respon yang diberikan subjek untuk setiap pertanyaan berturut-turut adalah 1 dan 0. Berdasarkan jawaban-jawaban yang diberikan subjek maka dibuat norma untuk mengkategorikan subjek, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Subjek yang digolongkan ke dalam kategori sedang dan tinggi akan diklasifikasikan sebagai korban child abuse.

2. Skala Perilaku Dating Violence

Dalam penelitian ini akan digunakan skala yaitu skala perilaku dating violence. Skala perilaku dating violence disusun oleh peneliti berdasarkan bentuk-bentuk dating violence yang dikemukakan oleh Murray (2007). Ketiga bentuk tersebut adalah verbal and emotional abuse, sexual abuse, dan physical abuse.

Skala ini terdiri dari empat pilihan jawaban, yaitu: (a) tidak pernah, (b) pernah, (c) kadang-kadang, (d) sering. Makin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin tinggi perilaku dating violence subjek. Demikian juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah perilaku dating


(57)

violence subjek. Nilai setiap pilihan bergerak dari 1 sampai 4, bobot penilaian untuk (a) tidak pernah = 1, (b) pernah = 2, (c) kadang-kadang = 3, (d) sering = 4

Blue print skala dating violence dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Blue Print Distribusi ItemSkala Dating Violence Sebelum Uji Coba

No Bentuk-bentuk Nomor Aitem Total Bobot

1 Verbal abuse 2, 5, 8, 11, 13, 17, 20, 23,

26, 29, 32, 35, 38, 41, 44, 47, 50, 53, 56, 59

20 25%

2 Emotional abuse 3, 7, 9, 12, 15, 19, 21, 25, 27, 31, 33, 37, 39, 43, 45, 49, 51, 55, 57, 60

20 25%

3 Sexual abuse 1, 6, 14, 18, 24, 30, 36, 42,

48, 54 10 25%

4 Physical abuse 4, 10, 16, 22, 28, 34, 40,

46, 52, 58 10 25%

Total 60 100%

E. Uji Coba Alat Ukur 1. Validitas alat ukur

Untuk mengetahui apakah skala psikologi mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukan suatu pengujian validitas (Azwar, 2007). Uji validitas adalah sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam menjalankan fungsi ukur. Artinya alat ukur memang mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur (Hadi, 2000). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat


(58)

pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau melalui professional judgement (Azwar, 2002). Validitas isi peneliti peroleh melalui konsultasi dengan dosen pembimbing sehingga aitem-aitem yang telah dibuat memang mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur. Validitas isi mengukur sejauh mana aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur atau sejauh mana isi tes mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur.

2. Uji Daya Beda Aitem

Uji daya beda aitem dilakukan untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang digunakan dalam analisis aitem ini adalah dengan memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes. Dengan kata lain, memilih aitem yang mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh tes secara keseluruhan (Azwar, 2001).

Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada aitem dengan suatu kriteria yang relevan yaitu skor total tes itu sendiri dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment.

Prosedur pengujian ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total yag dikenal dengan indeks diskriminasi aitem (Azwar, 2001). Uji daya beda aitem ini akan dilakukan pada alat ukur dalam penelitian yaitu skala perilaku dating violence. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan program SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) version16.0for windows.


(59)

3. Reliabilitas alat ukur

Reliabilitas adalah indeks sejauh mana alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa pelaksanaan pengukuran terhadap sekelompok subjek yang sama, diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah (Azwar, 2002).

Uji reliabilitas alat ukur ini menggunakan pendekatan konsistensi internal dimana prosedurnya hanya memerlukan satu kali pengenaan tes kepada sekelompok individu sebagai subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis, dan memiliki efisiensi yang tinggi (Azwar, 2002). Teknik yang digunakan untuk pengukuran reliabilitas alat ukur penelitian ini adalah teknik koefisien Alpha Cronbach. Untuk menguji reliabilitas ini menggunakan bantuan program SPSS versi 16.0 for windows.

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Uji coba skala perilaku dating violence dilaksanakan pada tanggal 14 - 15 November 2011 di Universitas Sumatera Utara. Peneliti menyebarkan 100 skala dan diperoleh 84 skala yang dapat dianalisis, sedangkan 16 skala lainnya tidak dianalisis karena subjek tidak termasuk remaja. Peneliti melakukan analisis uji coba dengan menggunakan aplikasi komputer SPSS versi 16 untuk melihat daya diskriminasi aitem. Dalam penelitian ini, koefisien korelasi yang digunakan adalah 0,3.


(60)

Dari 60 aitem Skala Perilaku Dating Violence yang diuji cobakan menghasilkan 52 aitem sahih yang akan digunakan dalam penelitian, memiliki koefisien korelasi yang berkisar antara rxx’ = 0.310 sampai dengan rxx’ = 0,657 (N= 84) dan reliabilitas sebesar 0.926.

Tabel 2. Blue Print Distribusi ItemSkala Dating Violence Setelah Uji Coba

No Bentuk-bentuk Nomor Aitem Total Bobot

1 Verbal abuse 5, 11, 13, 17, 23, 29, 32,

35,38,41,44,47,50, 53, 56, 59

16 30,77%

2 Emotional abuse 3, 7, 12, 15, 19, 21, 25, 27, 33, 37, 39, 43, 45, 49, 51, 55, 57, 60

19 36,54%

3 Sexual abuse 1, 6, 14, 18, 24, 30, 36, 42,

48, 54 10 19,23%

4 Physical abuse 4, 16, 28, 34, 40, 52, 58 7 13,46%

Total 52 100%

Dari 52 aitem yang lulus uji coba, peneliti menggunakan 45 aitem untuk dijadikan alat pengumpulan data penelitian yang sebenarnya. Aitem-aitem yang sahih ini kemudian disusun kembali dengan melakukan penomoran ulang. Penomoran kembali ini, dapat dilihat dari tabel berikut :


(1)

subjek yang sering mengkonsumsi alkohol (78,5), sedangkan yang rendah pada subjek yang tidak pernah mengkonsumsi alkohol (70,5).

7. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin diketahui bahwa perilaku dating violence antara remaja perempuan sama dengan remaja laki-laki (80).

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan yang dikemukakan, maka peneliti mengemukakan beberapa saran yang diharapkan dapat berguna bagi perkembangan kelanjutan studi ilmiah.

1. Saran metodologis

a. Penelitian selanjutnya hendaknya menggunakan jumlah sampel yang lebih banyak, subjek pada tingkat usia yang berbeda, subjek korban child abuse dengan berbagai latar belakang yang berbeda sehingga diperoleh gambaran perilaku dating violence subjek secara komprehensif dan hasil penelitian yang diperoleh semakin kaya dan semakin bermanfaat

b. Penelitian selanjutnya hendaknya menggunakan teknik wawancara untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang child abuse dan perilaku dating violence.

c. Bagi peneliti yang tertarik melakukan penelitian tentang perilaku dating violence dapat melakukan penelitian lainnya dengan melibatkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dating violence seperti faktor kepuasan dalam hubungan berpacaran. Selain itu juga dapat dilakukan penelitian pada


(2)

pasangan homoseksual dan biseksual untuk memperoleh pemahaman dengan membandingkan perilaku dating violence pada pasangan heteroseksual.

2. Saran praktis

Sebagai masukan bagi berbagai pihak yang terkait dengan remaja mengenai interaksi dengan lawan jenis.karena perilaku dating violence bisa terjadi pada siapa saja.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adetunji, J. (2008, 6 Agustus). Severe Mood Swings May Signal Violent Partner

[on-line serial]. Available FTP

Azwar, S. (1999). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ________ (2000). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. ________ (2007). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baron, A.E., Byrne, D., & Branscombe, R.N. (2006). Social Psychology (7th ed). USA: Pearson Education, Inc

Basoeki, L. (1999). Abuse dan dampaknya terhadap kesehatan. Jurnal Perlindungan Anak, 1,60-68.

Carlson, B. E. (2000). Children exposed to intimate partner violence: Research findings and implications for intervention. Trauma, Violence, and Abuse, 1(4), pp. 321 to 340.

Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Injury Prevention and Control (2000). Dating Violence. Available at

Collins,W. A., Maccoby, E. M., Steinberg, L. Hetherington, E. M., & Bornstein, M. H. (2000). Contemporary research on parenting: The case for nature and nurture. American Psychologist, 55, 218-232.

Davidson, Gerald C. (2006). Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. raja Grafindo Persada. Edleson, J. L. (1999). The overlap between child maltreatment and woman battering.

Violence Against Women, 5(2), pp. 134 to 154.

Fiske, T.S. (2008). The Social Psychology of Gender How Power and Intimacy Shape Gender Relations. New York: Guilford Press

Fitri. (2008). Kekerasan terhadap anak. [On-Line]. Tanggal akses 8 Oktober 2010. Furman, W., McDunn. C., & Young, J.B. (2005). The Role of Peer and Romantic

Relationships in Adolescent Affective Development. New York: Guilford Press.

Gelles, R. J.,&Straus, M. A. (1988). Intimate violence: The causes and consequences of abuse in the American family. New York: Simon & Schuster.

Gravetter, Frederick J & Forzano, Lori-Ann B. (2006). Research Methods For the Behavioral Sciences, Second Edition. USA : Thompson Worth.

Hadi, S. (2000). Metodologi Research Jilid 1-4. Yogyakarta: Penerbit Andi. _______ (2002). Metodologi Research. Yogyakarta. Penerbit Andi.

Halpern, C. T., Oslak, S.G., Young, M.L., Martin, S.L., & Kupper, L.L. (2001). Partner violence among adolescents in opposite-sex romantic relationships: Findings from the National Longitudinal Study of Adolescent Health. American Journal of Public Health, 91, 1679-1685.


(4)

Herlinawati, nimade. 2007. Perilaku Agresif Remaja Puteri yang Mengalami Abuse oleh Ibu. Jurnal Psikologi. Jakarta: Universitas Gunadarma.

Hetherington & Parke. (1999). Child Psychology. New York: McGraw Hill.

Hettrich & O'Leary. (2007). Relationships Females' Reasons for Their Physical Aggression in Dating. Journal Interpersonal Violence; 22; 1131.

Heyman, Richard. E & Slep, Amy. M. S. (2002). Do child abuse and intraparental marriage and violence lead to adulthood family violence?. Journal of Marriage and Family. [On-Line], 4, 864-870.

Hickman, L.J & Jaycox, H.L and Aronoff, J. (2004) Effectiveness Dating Violence among Adolescents: Prevalence, Gender Distribution, and Prevention Program. Trauma Violence Abuse 5; 123

Hickman, L.J., Jaycox, L.H., Aronoff, J. (2004). Dating Violence Among Adolescents: Prevalence, Gender Distribution, and Prevention Program Effectiveness. Trauma, Violence, & Abuse, 5 (2). 123-142.

Hurlock, E.B. (1999). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih bahasa: Istiwidayanti. Jakarta: Erlangga.

Kellen. (2009, 26 Mei). Strategies to Help you Deal with Low Frustration Tolerance.

[on-line series]. Available:

Kelly, D. (2006, Mart). Violence in Dating Relationship (Public Health Agency of Canada. 0-662). Canada: Minister of Health. Available FTP:

Krahe, B. (2005). Perilaku Agresif: Buku Panduan Psikologi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kuncoro, Mudrajat. (2003). Metode Research Untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta : Erlangga

Kurniasari, T. (2005). Derita raihan akibat dianiaya ibu tiri. Tabloid Nova No. 908/XVIII.

Leaver, M. (2007). Adolencent Dating Violence and Identity Development. Stellenbosch University: Assingment presented to the degree of Master in Psychology.

Luthra, R., & Gidycz, A.C. (2006). Dating Violence Among College Men and Women: Evaluation of a Theoretical Model. Journal Interpersonal Violence 2006. 21; 717

MacMillan, Harriet. 2004. Preventing Child Maltreatment. Encyclopedia on Early Childhood Development. Canada: McMaster University.

Marcus, F.R. (2007). Aggression and Violence in Adolescence. New York: Cambridge University Press.

Murray, J. (2007). Abusive Dating Relationships. United States. HarperCollins Publishers Inc.


(5)

O’Keefe, M. (2005, April). Teen Dating Violence: A Review of Risk Factors and Prevention Efforts. Vawnet Applied Research Forum.

Papalia, Dine E. (2004). Human Development. 9th Edition. New York: Mc Graw Hill. Peppermint. (2006). Jealousy and Control. [On-line serial] Available FTP:

Punch, K.F. (1998). Introduction to Social Research, Quantitative and Qualitative Approach. British: SAGE Publications.

Rathigan., L.D & Street., E.A. (2005). The Impact of Intimate Partner Violence on Decisions to Leave Dating Relationships: A Test of the Investment Model. Journal Interpersonal Violence ; 20; 1580

Rosenbaum, Alan & Leisring, Penny. (2003). Beyond power and control: towards an understanding of partner abusive men. Jounal of Comparative Family Studies.

[On-Line], 1, 7-

Rossman, B. B. (2001). Longer term effects of children's exposure to domestic violence. In S. A. Graham-Bermann & J. L. Edleson (Eds.), Domestic violence in the lives of children: The future of research, intervention, and social policy (pp. 35 to 66). Washington, DC: American Psychological Association.

Santrock, J.W. (1998). Child Development. New York: MGraw Hill.

Sheridan, M. (1995). A proposed intergenerational model of substance abuse, family functioning, and abuse/neglect. Child Abuse and Neglect, 19, 519-530.

Siagian, Olivia. (2009). Gambaran Bentuk-bentuk Dating Violence pada Remaja yang Berpacaran di Kota Medan. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara. Silverman, J. G., Raj, A, Mucci, L.A., & Hathaway, J.E. (2001). Dating violence

against adolescent girls and associated substance use, unhealthy weight control, sexual risk behavior, pregnancy, and suicidality. Journal of the American Medical Association, 286, 372-379.

Solihin, Lianny. 2004. Tindakan Kekerasan pada Anak dalam Keluarga. Jurnal Pendidikan Penabur No.03 / Th.III.

Straus, A.M (2004). Prevalence of Violence Against Dating Partners by Male and Female. Journal of violence against woman (online). Available FTP: http://pubpages.unh.edu/~mas2/ID16.pdf: 3 Oktober 2010

Straus, M. A., Gelles, R. J., & Steinmetz, S. K. (1980). Behind closed doors: Violence in the American family. Garden City, NY: Anchor/Doubleday.

Straus, M. A. and Gelles, R. J. (Eds.). (1990). Physical violence in American families: Risk factors and adaptations to violence in 8,145 families. New Brunswick, NJ: Transaction.

Stucke, John. (2008). Early trauma tied to adult problems. Business News. [On-Line].


(6)

Warkentin. J. (2008). Dating Violence and Sexual Assault Among College Men: Co-Occurrence, Predictors, and Differentiating Factors. OHIO: Dept Of Psycyhology.

Woman of Color Network Facts & Stats. (2008). Teen Dating Violence. Harrisburg:

Author (online). Available FTP: http://womenofcolornetwork.org/docs/factsheets/fs_dating.

World Report on Violence And Health. (2002). Violence By Intimate Partner. (4th Chapter)