Penyebab Penyakit Kusta Bentuk-bentuk Penyakit Kusta
25
meyimpulkan bahwa penerimaan diri laki-laki dan perempuan berbeda. Penerimaan diri laki-laki bersumber pada keberhasilan pekerjaan, persaingan
dan kekuasaan. Penerimaan diri wanita bersumber pada keberhasilan tujuan pribadi, citra fisik dan keberhasilan dalam hubungan keluarga. Dalam kasus
kusta sendiri laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan dengan perempuan, dengan perbandingan 2:1 Harahap, 2000. Hal ini tentu menjadi
permasalahan tersendiri karena laki-laki akhirnya harus memikul tanggung- jawab sebagai kepala keluarga. Harus disadari bahwa kepala keluarga juga
tidak hanya seorang laki-laki namun juga perempuan yang secara otomatis menjadi kepala keluarga seperti misalnya ketika ditinggal suaminya untuk
selama-lamanya, perceraian dan lain-lain. Perlakuan yang kurang tepat kerap diterima penderita kusta.
Pemahaman yang keliru melahirkan tindakan yang keliru pula. Penderita kusta menjadi semakin malang, ketakutan masyarakat tertular penyakit ini membuat
mereka tega mengusir penderita kusta. Bahkan penderita yang sudah sembuh dan tidak lagi menularkan penyakit mendapat kesulitan untuk memulai
hidupnya lagi. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa mereka mendapat perlakuan yang sangat tidak menyenangkan karena penyakit kusta. Hal ini
sesuai dengan apa yang ditulis Margaret Chan, aktivis WHO untuk “Komisi
Penyakit Menular” bahwa ada ribuan jenis penyakit di dunia ini, tetapi
penyakit kusta adalah satu-satunya penyakit yang bahkan setelah penderitanya sembuhpun, masyarakat masih belum bisa menerimanya kembali Surbakti,
2009. Oleh karena itu, penyakit ini masih menjadi salah satu masalah besar
26
dalam dunia kesehatan di Indonesia, mengingat bahwa Indonesia menempati posisi ketiga jumlah penderita kusta terbesar di dunia setelah Brasil dan India.
Dampak dari penyakit ini tidak hanya pada fisik saja tetapi juga sosial dan ekonomi.
Tidak adanya tempat bagi kepala keluarga yang merupakan OYPMK di tengah-tengah masyarakat bahkan keluarga semakin membuat mereka
terkucilkan dan terbuang. Apalagi status mereka sebagai “mantan” penderita kusta tidak mengurangi asumsi masyarakat yang masih menganggap bahwa
mereka adalah orang-orang yang harus diasingkan karena dapat menularkan penyakit yang menakutkan. Hal ini cukup membuat kepala keluarga yang
merupakan OYPMK memiliki beban psikis yang berat. Karena selain mereka mengalami cacat tubuh yang sifatnya permanen, mereka juga dihadapkan pada
kenyataan dimana mereka tidak diterima masyarakat dan bahkan keluarga. Hal ini menjadi sangat berpengaruh terhadap penerimaan diri mereka. Apakah
dengan pandangan masyarakat terhadap keadaan mereka saat ini, tetap membuat mereka mampu menerima dirinya secara positif atau tidak.
OYPMK dihadapkan pada situasi dimana pada umumnya mereka mengalami kesulitan dalam menjalin interaksi dengan orang lain, OYPMK
adalah mereka yang telah dinyatakan sembuh dari penyakit kusta. Pada dasarnya individu berusaha mempertahankan keselarasan batinnya. Apabila
timbul perasaan, pikiran atau persepsi yang tidak seimbang atau saling bertentangan satu sama lain, maka akan terjadi situasi psikologis yang tidak
menyenangkan Pudjijogyanti, 1985. Biasanya kepala keluarga yang