23
Keluarga menjadi panik, berubah mencari pertolongan termasuk dukun dan pengobatan tradisional,keluarga takut di asingkan oleh masyarakat di
sekitarnya. Masalah Terhadap Masyarakat.
Pada umumnya masyarakat mengenal penyakit kusta dari tradisi kebudayaan dan agama sehingga pendapat tentang kusta merupakan
penyakit yang menular dan tidak dapat diobati.
5. Penanganan Penyakit Kusta
Salah satu cara penanganan penyakit kusta yang telah lama dilaksanakan adalah melalui program MDT Multi Drug Therapy. Program
MDT ini dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika Kelompok Studi Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan
kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson,
rifampisin, dan klofazimin. Selain untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk
mengurangi ketidaktaatan penderita dan menurunkan angka putus-obat drop-out rate yang cukup tinggi pada masa monoterapi dapson. Di
samping itu diharapkan juga MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan
http:id.wikipedia.orgwikiKusta
24
C. PENERIMAAN DIRI KEPALA KELUARGA BERSTATUS ORANG
YANG PERNAH MENGALAMI KUSTA OYPMK
Seorang kepala keluarga yang merupakan orang yang pernah
mengalami kusta OYPMK akan mengalami trauma psikis. Sebagai akibat
dari hal tersebut timbullah masalah terhadap diri OYPMK. Zulkifli 2003 menjelaskan bahwa pada umumnya OYPMK merasa rendah diri, mengalami
tekanan batin, takut terhadap penyakitnya dan terjadinya kecacatan, takut mengahadapi keluarga dan masyarakat karena sikap penerimaan diri mereka
yang kurang wajar. Mereka merasa malu, apatis, karena kecacatan tidak dapat mandiri sehingga menjadi beban bagi orang lain, sehingga sebagai seorang
kepala keluarga dirinya merasa gagal. Masalah yang muncul sebenarnya berasal dari dalam diri individu itu
sendiri, begitu juga dengan orang cacat fisik akibat penyakit kusta yang tanpa sadar menciptakan rantai masalah yang berakar dari problem penerimaan diri.
Kondisi fisik seseorang kesempurnaan, kecantikan, dll sangat memegang peranan penting dalam pembentukan konsep diri Suyanto, 2006. Di lain
pihak, konsep diri yang stabil sebagaimana dijelaskan oleh Hurlock 1999 merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan diri individu.
Hal ini menunjukkan bahwa kondisi fisik seseorang mempengaruhi penerimaan dirinya.
Laki-laki dan perempuan pun juga memiliki perbedaan dalam pembentukan penerimaan diri. Beberapa penelitian telah dilakukan, salah
satunya oleh Wilson Wilson dalam Pudjijogyanti, 1985 yang telah