69
1. Pengalaman dan Proses Kesepian
a. Kesepian adalah efek dari kehilangan pekerjaan
Proses pengalaman kesepian yang dialami kedua subjek berawal dari kehilangan pekerjaan. Kedua subjek kehilangan
pekerjaan sebelum mereka tinggal di panti wreda. A kehilangan pekerjaan karena sakit stroke, sedangkan B karena pensiun. Kedua
subjek mengalami kesepian di panti wreda karena mereka tidak dapat melakukan aktivitas pekerjaan seperti saat mereka masih
bekerja. Kehilangan pekerjaan seperti kehilangan kebiasaan bagi mereka karena kebiasaan saat bekerja dengan kebiasaan di panti
sangat berbeda. Mereka harus beradaptasi dengan kebiasaan di panti. Seperti yang diungkapkan oleh Fakhrurrozi 2008 dalam
penelitiannya, bahwa lansia yang tinggal di panti wreda mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan di panti.
Mereka harus
meninggalkan rumah
dan benda-benda
kesayangannya, mereka harus mentaati peraturan panti dan para perawat. Hal ini dialami oleh kedua subjek yaitu mereka harus
meninggalkan tempat tinggal mereka sebelumnya beserta kebiasaan mereka saat bekerja.
Kehilangan pekerjaan membawa mereka tinggal di panti wreda. Perbedaannya terletak pada bagaimana proses dan pengaruh
ketika kehilangan pekerjaan ini membawa mereka tinggal di panti wreda. A kehilangan pekerjaan karena sakit stroke lalu anak laki-
70
lakinya menitipkannya di panti wreda Hanna sehingga tinggal di panti wreda bukanlah keinginannya sendiri. Keinginan untuk tetap
bekerja dilatarbelakangi oleh keinginan untuk tetap mandiri sehingga tidak bergantung pada orang lain termasuk anak-anaknya
Partini, 2011. A masih ingin bekerja untuk menghidupi anak- anaknya, namun karena keterbatasan fisik, A kehilangan
pekerjaannya sehingga A tidak dapat melanjutkan tanggung jawabnya sebagai single parent. Pengaruh dari proses ini adalah A
merasa sendiri karena tinggal di panti wreda dan merasa diabaikan oleh anak laki-lakinya karena dititipkan di panti wreda.
B kehilangan pekerjaan karena pensiun. B sangat mencintai pekerjaannya karena B tidak berkeluarga sehingga kehilangan
pekerjaan seperti kehilangan objek yang dicuntainya. B juga kehilangan hubungan sosial dengan rekan kerjanya sehingga B
merasa kesepian. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan Partini 2011, bahwa masa pensiun sering dipandang sebagai
masalah bahkan musibah bagi penerimanya sehingga orang tersebut merasa stres. Sebagian lansia menolak untuk pensiun
dengan berbagai macam latar belakang. Jika memungkinkan, mereka ingin tetap bekerja dengan aktif. Holmes Rahe dalam
penelitiannya tahun 1967 dalam Gunarsa, 2004 menyebutkan bahwa pensiun merupakan faktor ke-10 yang ditempatkannya
dalam skala stres. Pensiun merupakan masa undur diri dari dunia
71
kerja. Pada masa ini, hubungan sosial terkikis seperti kehilangan rekan kerja atau anak buah sehingga seseorang yang pensiun akan
merasa tidak dibutuhkan lagi oleh orang lain. Setelah pensiun, B mengidap penyakit kanker, namun
berhasil disembuhkan dengan perawatan kakak dan keponakannya, B juga pernah tinggal bersama keluarga kakaknya. B merasa
merepotkan kakaknya, sehingga B memutuskan untuk tinggal di panti wreda Hanna. Pengaruh dari proses ini adalah B lebih
menerima keadaannya dibanding A karena B memutuskan sendiri untuk tinggal di panti wreda. B juga merasa sudah nyaman tinggal
di panti wreda sehingga B dapat berinteraksi dengan perawat dan lansia yang lain di panti wreda. A tidak merasa nyaman tinggal di
panti dan berinteraksi dengan perawat dan lansia yang lain karena B sudah merasa sendiri san diabaikan oleh anak laki-laki
kesayangannya. b.
Kesepian sebagai rasa kehilangan orang-orang yang disayang Kesepian yang dialami subjek adalah sebagai rasa
kehilangan orang yang disayang sehingga subjek merasa sendirian. A kehilangan anak laki-laki kesayangan dan B kehilangan kakak-
kakak yang sangat dicintai karena mereka adalah keluarga inti B. Kedua subjek merasa bahwa mereka hidup hanya seorang diri.
Kedua subjek sangat merindukan orang-orang yang mereka sayangi. Perasaan rindu ini diperkuat dengan keadaan mereka yang
72
sangat jarang dikunjungi oleh keluarganya sehingga mereka merasa hidupnya hanya seorang diri. Kesepian terjadi ketika
seseorang merasa terasing, tersisihkan, dan terpencil dari orang lain. Kesepian muncul ketika seseorang merasa bahwa dirinya
harus sendiri tanpa pilihan Partini, 2011. Sendiri dalam hal ini adalah hidup di panti wreda tanpa kehadiran anak atau keluarga.
Kesepian yang dialami kedua subjek dalam proses ini merupakan kesepian relasional yaitu kesepian yang ditimbulkan oleh kepergian
seseorang yang memiliki hubungan emosional sangat dekat. Dalam hal ini kedua subjek ditinggalkan oleh orang-orang yang mereka
sayangi atau orang-orang yang dekat dengan mereka sehingga mereka kehilangan relasi dengan orang-orang tersebut lalu mereka
merasa kesepian Gunarsa, 2004.. Perbedaan dalam proses ini terletak pada pengalaman yang
mereka alami ketika mereka kehilangan orang-orang yang mereka sayangi dan bagaimana pengaruhnya pada proses ini. A kehilangan
anak yang sangat ia sayangi yaitu anak laki-lakinya. A merasa diabaikan oleh anak laki-laki setelah anak laki-laki menikah. A
merasa kalau anak laki-lakinya tersebut sudah mendapat pengaruh yang buruk dari istrinya sehingga meninggalkan A. A sangat
dendam pada istri anak laki-lakinya. A juga merasa sangat menderita tinggal di panti wreda karena setelah meninggalkan A,
anak laki-laki tidak lagi membayar beaya hidup di pant wreda
73
sehingga A kurang mendapatkan pelayanan yang layak seperti lansia yang lain.
Pengaruh dari proses ini adalah A menjadi lansia yang kurang ramah dan sensitif bagi orang-orang disekitarnya. A bahkan
membenci perawat karena memperlakukannya dengan tidak baik. A juga pernah memukul lansia yang lain karena merasa
tersinggung dengan ejekan yang dilontarkan lansia tersebut. Pengalaman kesepian pada proses ini dialami A seperti sindrom
sarang kosong. Perempuan atau ibu merasa sedih, sepi dan kosong karena kedekatan seorang ibu dengan anaknya menimbulkan
hadirnya hubungan emosional yang lebih kuat daripada dengan ayahnya. Kondisi tersebut sering membawa lansia perempuan
merasa bahwa hidupnya tidak bermakna lagi Partini, 2011. A merasa hidupnya tidak bermakna lagi karena anak laki-laki
kesayangannya meninggalkan dirinya. B merasa bahwa hidupnya hanya seorang diri karena kakak-
kakaknya yang sudah ia anggap sebagai keluarga inti sudah meninggal dunia. Selain itu, keponakan-keponakannya terlalu sibuk
dan jarang menengok B. Pengaruh dari proses ini adalah B sering susah tidur karena B terbayang oleh kakak-kakaknya yang sangat ia
rindukan. B juga sering melamun dan membayangkan keponakan beserta cucunya datang menjeguknya. Keponakannya sangat ia
rindukan karena B ingin bercerita tentang kehidupan B di panti. B
74
merasa bahwa para lansia dan perawat panti tidak dapat memahaminya.
c. Kesepian dirasakan sebagai ketidakberdayaan karena keterbatasan
fisik Kedua subjek merasa bahwa ketidakberdayaan untuk
melakukan pekerjaan karena keterbatasan fisik menjadi bentuk pengalaman kesepian. A mengalami kelumpuhan dan B mengalami
penurunan fisik yaitu rabun dan berjalan dengan tongkat sehingga mereka membutuhkan bantuan untuk melakukan sesuatu. Mereka
hanya dapat bergaul dengan para lansia dan perawat yang ada di panti. Mereka sudah tidak mampu lagi untuk berajalan-jalan keluar
panti wreda. Menurut Siti Partini 2011, pada masa dewasa lanjut, para lansia mengalami penurunan fungsi organ tubuh fisik diiringi
penurunan psikologis sehingga mobilitas lansia menjadi terbatas. Kondisi ini yang membawa lansia rentan terhadap kesepian karena
mobilitas yang terbatas berdampak pada penurunan kontak sosial. Jadi ketidakberdayaan karena keterbatasan fisik membawa mereka
pada penurunan kontak sosial sehingga mereka merasa kesepian. Pada proses ini perbedaan terletak pada pengaruh kesepian
yang mereka alami. Kesepian membawa A pada perasaan bahwa perawat jahat karena memperlakukan dirinya dengan tidak baik.
Menurut Kahn, Hessling dan Russell dalam Gunarsa, 2004, kesepian menimbulkan afek negatif, salah satunya adalah merasa
75
diabaikan sehingga keberadaan orang lain yang mendukung hanya sementara dalam persepsi lansia yang mengalami kesepian. Orang
lain turut merasakan negativitas lansia karena afek negatif yang ditimbulkan kesepian. Oleh karena itu, orang lain cenderung
menghindar dari lansia sehingga memperkuat lansia dalam persepsinya bahwa orang lain hanya memberi dukungan sementara.
Persepsi ini seringkali membawa lansia pada keadaan depresi. A merasa bahwa perawat jahat karena memperlakukannya dengan
tidak baik. Perlakuan tidak baik dari perawat dikarenakan A belum membayar beaya panti selama dua tahun. A tidak berdaya untuk
melawan karena fisiknya terbatas dan tidak mampu membayar tanpa anak laki-laki yang sudah meninggalkannya. Bahkan A
mencoba bunuh diri dan melarikan diri dari panti karena A merasa tidak betah dan menderita tinggal di panti karena dalam
persepsinya para perawat jahat kepadanya. Berbeda dengan B, kesepian yang dialami B dalam proses
ini tidak menimbulkan afek negaif bagi orang lain. B bahkan cenderung lebih positif dalam bertingkah laku walaupun fisiknya
terbatas. B sering mendoakan orang-orang di sekitarnya seperti anak dari perawat yang akan menghadapi ujian. Perbedaan ini
terjadi karena B tidak merasakan apa yang dirasakan A. B mendapatkan perlakuan yang baik dari para perawat dan lansia lain,
bahkan B dihormati di lingkungan panti wreda Hanna. Hal ini
76
terjadi karena B adalah lansia senior di panti wreda Hanna dan satu-satunya lansia yang masih dapat mengingat dengan baik
kejadian-kejadian di panti wreda Hanna sehingga para pengunjung lebih sering bertanya pada B. B juga satu-satunya lansia yang
berstatus sarjana dan seorang karyawan di masa mudanya. d.
Kesepian merupakan efek dari hidup yang jauh dari keluarga Kedua subjek mengalami kesepian karena mereka tinggal
jauh dari keluarga. Kesepian yang dialami subjek temasuk dalam kesepian secara emosional. Menurut Weiss dalam Sears, dkk,
1985, kesepian emosional terjadi karena tidak adanya figur kelekatan dalam hubungan intimnya, seperti anak yang tidak ada
orangtuanya atau orang dewasa yang tidak memiliki pasangan atau teman dekat. Kesepian emosional dapat terjadi karena kurang
adanya hubungan dekat dengan orang lain. Jika individu merasakan hal ini, meskipun dia berinteraksi dengan banyak orang, dia akan
tetap merasa kesepian. Dalam hal ini, A tidak lagi memiliki kelekatan dengan anak-anaknya karena A tinggal di panti wreda
dan ditinggalkan oleh anak laki-laki kesayangannya sehingga A mengalami kesepian. Sedangkan B tidak memiliki pasangan hidup
atau keluarga kecil karena B tidak menikah dan B jauh dari keluarga karena B tinggal di panti wreda.
Beyene et al, 2002 dalam Gunarsa, 2004 menyatakan bahwa penyakit kronis sebenarnya bukanlah masalah yang
77
mendasar bagi para lansia, yang mendasar adalah keterpisahan lansia dengan keluarga sehingga mereka harus tinggal di panti
wreda. Kedua subjek tinggal terpisah dengan keluarga karena mereka tinggal di panti wreda. Kedua subjek merasakan proses
kesepian yang sama, yaitu kesepian akibat hidup yang jauh dari keluarga. Mereka tinggal jauh dari keluarga karena mereka tinggal
di panti wreda. Pengaruh proses ini juga memiliki kesamaan yaitu kedua subjek sering merasakan rindu pada anak dan keluarga.
Mereka sering berharap keluarga mereka datang menjenguk. e.
Kesepian dialami karena tidak adanya teman yang dapat memahami
Kedua subjek merasa bahwa hubungan mereka dengan teman-teman mereka tidak seperti yang mereka harapkan. A
menginginkan teman berbagi yang dapat memahami dirinya dan B menginginkan teman berbagi yang tingkat pendidikannya sederajat
dengannya supaya dapat memahaminya. Kesepian yang mereka alami merupakan reaksi emosional dan kognitif terhadap tidak
adanya hubungan yang memuaskan seperti yang diinginkan. Kesepian muncul ketika orang tersebut merasa hubungannya
dengan orang lain dangkal atau tidak memuaskan Baron Bryne, 2005. Dalam hal ini, kedua subjek merasa bahwa hubungan mereka
dengan lingkungan sekitar mereka dangkal. A merasa sahabatnya tidak
memahaminya karena
membuatnya semakin kesal.
78
Sedangkan B tidak memiliki teman bicara yang nyambung dengannya karena tingkat pendidikan tidak sederajat.
Fressman dan Lester dalam penelitiannya tahun 2000 dalam Gunarsa, 2004, menemukan bahwa dukungan sosial dan
interaksi sosial di panti wreda menjadi prediktor kesepian pada lansia. Lansia yang mendapatkan dukungan sosial dan interaksi
sosial yang tidak baik, berpeluang besar mengalami kesepian. Kedua subjek tidak memiliki interaksi sosial yang sesuai dengan
harapan mereka yaitu dipahami, sehingga mereka merasa kesepian. Terlebih bagi A, A merasa menderita tinggal di panti karena
diperlakukan tidak baik oleh perawat dan tidak ada teman yang memahaminya sehingga A merasa kesepian bahkan depresi.
Berbeda dengan B, B mau mencoba untuk bergaul dengan lansia dan perawat yang lain walau hanya menjadi hiburan bagi B.
Kesepian yang dialami sebagai efek dari jauh dengan keluarga dan tidak adanya teman yang memahami dalam penelitian
ini memperkuat hasil temuan pada penelitian sebelumnya. Larry C. Mullins, D. Paul Johnson, dan Lars Andersson pada tahun 1987
mengungkapkan bahwa keluarga dan pertemanan memiliki pengaruh terhadap kesepian yang dialami lansia. Ketika lansia
memiliki keinginan untuk bertemu dengan keluarga namun tidak tercapai, ada teman yang dapat menggantikan dan mengatasi
keinginannya yang tidak tercapai tersebut sehingga kesepian yang
79
dialami lansia menurun. Pada penelitian ini, kedua subjek tidak memiliki kualitas hubungan yang baik dengan teman maupun
keluarga sehingga mereka mengalami kesepian. f.
Gambaran umum proses kesepian kedua subjek Alur proses pengalaman kesepian yang dialami kedua
subjek memiliki persamaan yaitu kesepian dialami kedua subjek berawal dari kehilangan pekerjaan. Saat tinggal di panti wreda
kesepian dialami subjek sebagai rasa kehilangan orang yang disayang, ketidakberdayaan karena keterbatasan fisik, efek hidup
yang jauh dari keluarga dan tidak adanya teman yang memahami. Perasaan-perasaan kesepian tersebut dapat terulang-ulang dan
bahkan tidak akan hilang karena sumber kesepian berasal dari sesuatu yang tidak dapat diubah seperti keterbatasan fisik.
Kesepian yang mereka alami dapat direduksi dengan cara mengatasi kesepian tersebut.
Perbedaan proses pengalaman kedua subjek terletak pada status ekonomi dan sosial serta latar belakang tinggal di panti.
Kedua subjek memiliki status ekonomi dan sosial yang berbeda. A berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah.
A sendiri sebelum tinggal di panti wreda adalah seorang pembantu Rumah Tangga dan membesarkan anak-anaknya seorang diri
karena suaminya meninggal sejak anak-anaknya masih kecil. Sedangkan B adalah seorang pekerja keras di masa mudanya dan
80
orang keturunan Kraton. B juga memiliki kakak-kakak beserta keponakan yang sukses dan berada pada status ekonomi menengah
ke atas. Status ekonomi ini berpengaruh pada kehidupan kedua
subjek di panti wreda. A tidak lagi dapat membayar beaya hidup di panti wreda karena anak laki-laki meninggalkan tanpa kabar
sedangkan anak perempuan seorang sales yang gajinya hanya cukup untuk hidupnya sendiri. A merasa menderita tinggal di panti
karena ia mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari perawat. Hal ini disebabkan oleh beaya hidup selama dua tahun yang tidak
dibayar. Penderitaannya ini membawa dirinya kepada masalah kesepian bahkan berakibat depresi sehingga ingin bunuh diri.
Sedangkan B, ia tidak mengalami masalah ekonomi karena B mendapatkan memiliki keponakan yang bertanggungjawab atas
dirinya yaitu membeayai hidupnya selama di panti wreda sehingga B merasa nyaman tinggal di panti wreda Hanna. Perbedaan status
ekonomi ini juga berpengaruh pada bagaimana kedua subjek bersikap. A cenderung memiliki sikap negatif kepada orang-orang
di sekitarnya, misalnya membenci perawat dan memukul teman lansia yang mengejeknya. Sedangkan B cenderung memiliki sikap
yang positif, karena B dihormati oleh para lansia dan perawat. Perbedaan latar belakang tinggal di panti juga menjadi
perbedaan yang pokok pada kedua subjek. A tinggal di panti wreda
81
karena awalnya dititipkan oleh anak laki-lakinya walaupun sebenarnya A keberatan, namun pada waktu itu A menerima karena
anak laki-lakinya masih kuliah. Keterpaksaan ini membawa A pada masalah kehilangan anak, A merasa ditinggalkan oleh anak laki-
laki yang sangat disayanginya. A merasa kesepian dan hidupnya seorang diri. Sedangkan B, ia memutuskan sendiri tinggal di panti,
sehingga B lebih merasa nyaman tinggal di panti hingga sembilan tahun. Kesepian yang dialami B tidak lebih berat dibandingkan A
karena B tidak merasa terpaksa tinggal di panti dan lebih mampu beradaptasi dengan baik di panti wreda Hanna.
g. Dampak kesepian yang dialami kedua subjek
Pengalaman kesepian yang dialami subjek memberi dampak yang berbeda pada setiap subjek. Dampak dari pengalaman
kesepian ini merupakan dorongan-dorongan yang dilakukan subjek. Dorongan yang muncul lebih mengarah pada dorongan-dorongan
yang negatif. Pada subjek yang pertama A, A mencoba bunuh diri karena ia sudah putus asa dan merasa tidak berarti lagi karena anak
laki-laki kesayangannya meninggalkannya. Selain itu A merasa menderita karena medapatkan perlakuan yang tidak baik dari
perawat karena tidak membayar beaya hidup di panti selama dua tahun. A tidak dapat melawan perlakuan perawat tersebut karena
dirinya tidak berdaya sakit stroke dan lumpuh. A juga ingin melarikan diri karena tidak betah tinggal di panti dan ingin merusak
82
panti karena A marah atas perlakuan yang tidak baik pada dirinya. Rubenowitz dalam Gunarsa, 2004 melakukan penelitian
menngenai percobaan bunuh diri yang terjadi pada tahun 1994- 1996 di Swedia, mereka menemukan bahwa gejala bunuh diri pada
lansia dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu gangguan kesehatan, keterpisahan
dengan keluarga,
dan kesulitan
keuangan. Keterpisahan dengan keluarga merupakan faktor penyebab
kesepian. Ketiga faktor ini sesuai dengan latar belakang A melakukan percobaan bunuh diri. A merasa sangat kehilangan anak
kesayangannya sehingga ia merasa putus asa dan hidupnya tidak berguna lagi.
Sedangkan B mengalami susah tidur dan sering melamun. B susah tidur karena teringat oleh kakak-kakaknya yang sudah
meninggal dunia dan sering melamun karena rindu pada keponakan-keponakan yang tinggalnya jauh dari dirinya. Hal ini
terkait dengan penjelasan yang diungkapkan oleh Fry dan Debats dalam Gunarsa, 2004 bahwa lansia perempuan merasakan
kesepian akibat berkurangnya kualitas ataupun kuantitas hubungan emosional dengan lingkungan sekitar mereka.
Dorongan-dorongan yang muncul akibat kesepian membuat lansia menjadi tidak bermakna, kegiatan yang mereka lakukan
menjadi terbatas. Hal ini tentu dipengaruhi oleh keadaan fisik mereka yang sudah mengalami penurunan. Dalam penelitian ini,
83
ditemukan bahwa penurunun fisik menjadi penyebab atas perasaan tidak berdaya yang merupakan perasaan kesepian yang dialami
lansia. Penurunan fisik yang dialami oleh subjek dalam penelitian ini disebabkan oleh penyakit kronis yang mereka derita
sebelumnya. Menurut Lynne, Stephen dan Armins 1995, orang tua atau lansia yang tidak menderita sakit kronis dapat menyokong
dirinya sendiri dengan baik seiring dengan pertambahan usia mereka. Penyakit kronis merupakan faktor organik yang
mempengaruhi proses penuaan. Lansia yang tidak menderita sakit kronis akan lebih berhasil menghadapi proses penuaan dibanding
dengan lansia yang menderita sakit kronis. Oleh karena itu perlu penanganan khusus bagi para lansia yang menderita penyakit
kronis.
2. Koping