13
Kualitas majalah umumnya sangat prima karena dicetak diatas kertas yang berkualitas.
Majalah tidak hanya memiliki kelebihan, tetapi juga memiliki kelemahan yaitu : a. Biaya Tinggi
Biaya untuk menjangkau khalayak sasaran relatif lebih mahal, bila dilakukan pada media-media umum dengan khalayak yang lebih terseleksi.
b. Distribusi Banyak majalah yang peredarannya terlambat sehingga menumpuk di rak toko buku.
Beberapa majalah tidak memiliki jaringan distribusi yang tepat di beberapa tempat tertentu, yang daya belinya tinggi namun sulit di jangkau. Kasali, 1992:112-113
2.1.3. Konstruksi Realitas dan Makna Iklan merupakan aspek-aspek realitas sosial, tetapi iklan juga
menginterpretasikan aspek-aspek tersebut secara tidak jujur. Iklan menjadi cermin yang mendistorsi bentuk-bentuk objek yang direfleksikannya, tetapi iklan juga
menampilkan ncitra-citra dalam visinya. Iklan tidak berbohong, tetapi juga tidak mengatakan yang sebenarnya Noviani, 2005:54.
Simbolisme dalam iklan, memiliki tiga macam bentuk. Bentuk simbolisme yang pertama adalah citra atau image, yang bisa berupa representasi verbal maupun visual.
Pencitraan itu berbentuk verbal seperti misalnya puisi, dan juga bisa berbentuk piktorial atau visual. Namun, iklan lebih sering menggunakan bentuk-bentuk piktorial
dan verbal secara piktorial serta verbal secara simultan. Istilah citra sendiri
14
sebenarnya bisa mengandung konotasi negatif. Hal ini terutama ketika citra diaplikasikan pada appearance yang hanya merupakan manipulasi karakter-karakter
yang dangkal untuk tujuan menginterpretasikan atau ketika citra itu dianggap menyesatkan karena menyampaikan sesuatu yang bisa memperdayakan atau memiliki
daya tarik yang tidak jujur. Bentuk simbolis yang kedua disebut ikon. Ikon sering disamakan dengan aspek piktorial citra. Ikon mengacu pada iklan yang elemen-
elemen piktorial atau visualnya mendominasi pesan secara keseluruhan. Meskipun simbolisme iklan bisa diekspresikan dalam bentuk verbal maupun ikonik piktorial,
namun iklan modern lebih menyukai bentuk ekspresi ikonik. Alasan utamanya karena pencitraan verbal yang sukses membutuhkan tingkat ketrampilan bahasa yang masuk
akal dari pembaca maupun pendengar dan tingkat perhatian yang tinggi pada kehalusan pesan tersebut. Bentuk simbolisme yang ketiga adalah symbol, yaitu tanda
dengan sesuatu yang bisa dilihat dan keberadaanya mengacu pada sesuatu yang lain. Periklanan modern begitu mengagungkan cara-cara komunikasi melalui citra,
symbol, dan ikon, yang bekerja tidak melalui aturan literal dan logis, tapi lebih melalui kiasan, asosiasi bebas, sugesti dan analogi Noviani, 2002:28.
Ada beberapa pendapat mengenai sifat realitas sosial yang ditampilkan oleh iklan. Disatu sisi realitas iklan yang diyakini bersifat representasional, yang berarti
memiliki referensi atau acuan ada realitas yang dialami oleh masyarakat secara luas. Realitas iklan dianggap sekedar permainan citra dan makna-makna yang tidak
memiliki referensi realitas sosial apapun. Citra itu mengacu pada dirinya sendiri Self-
15
Referential, dimana pada saat yang sama iklan merepresentasikan realitas sosial, dan sekaligus menampilkan citra, makna, dan ilusi pada audiens Noviani, 2002:75
Citra-citra mulai dimun culkan dan dilekatkan pada produk yang diiklankan, misalnya keriangan, tanggung jawab sosial, prestise,dan sebagainya. Objek-objek
material kemudian memainkan peran yang semakin penting dalam instruksi sosial dan kehidupan sehari-hari. Yaitu sebagai simbol prestise dan status. Menurut Robert
W. Pollay, hal ini menyebabkan fungsi komunikasi iklan mengalami perubahan. Pollay membagi fungsi komunikasi iklan menjadi dua yaitu informasional dan
transformasional. Melalui informasional, iklan memberitahukan kepada konsumen tentang karakteristik produk. Sedangkan melalui fungsi transformasional, iklan
berusaha untuk merubah sikap-sikap yang dimiliki oleh konsumen terhadap merek, pola-pola belanja, gaya hidup, teknik-teknik mencapai sukses, dan sebagainya.
Noviani,2005:25 Hal serupa juga dikemukakan oleh William O’Barr, bahwa iklan itu
menghadirkan dua diskursus. Yaitu diskursus primer yang memfokuskan pada kualitas tertentu dari produk yang diiklankan, dan yang kedua adalah diskursus
sekunder yang emrupakan gagasan-gagasan tentang hubungan-hubungan yang tertanam dalam iklan. Namun, para pengiklan dan kreator iklan penyampaian sisi
imaginistic dari semua produk, merupakan salah satu cara untuk membantu konsumen dalam mengidentifikasi produk yang diinginkan dan dibutuhkannya.
Mereka beranggapan bahwa simbolisasi produk dalam iklan sebetulnya merupakan sebuah penyampaian kembali budaya dan nilai-nilai yang ada dan diyakini oleh
16
masyarakat. Artinya realitas yang direpresentasikan dalam iklan menggunakan pencitraan dan simbolisasi makna, tidak pernah melepas diri dari konteks sosial
budaya masyarakat dimana iklan itu berada. Jadi, apapun strategi periklanan yang diterapkan, menurut para pengiklan, iklan selalu mengacu pada realitas sosial. Untuk
membuat orang tergerak dan terpengaruh untuk membeli produk yang diiklankan, Iklan selalu berusaha untuk menerapkan strategi periklanan yang bisa dimengerti dan
mudah dipahami oleh khalayak dengan kata lain, iklan berusaha untuk berempati dengan target audiencenya, berusaha memahami apa yang diinginkan dan dibutuhkan
oleh khalayak tersebut, sehingga iklan sebetulnya adalah cerminan realita dalam masyarakat Noviani, 2000 :25
2.1.4. Perempuan sebagai model dalam Iklan Percepatan arus informasi dan tumbuhnya berbagai industri media di era
globalisasi, terlihat semakin mengukuhkan peran media baik di media cetak atau elektronik, khususnya keberadaan media pop. Keanekaragaman rubrik dan program
tayangan yang bermunculan seperti hendak memanjakan konsumen dari berbagai kalangan dan kebutuhan. Ditambah dengan munculnya iklan-iklan yang menjajakan
mimpi dan angan-angan yang hampir mayoritas tampilan iklan menggunakan
perempuan sebagai objek sekaligus subjeknya.
Hampir seluruh tampilan iklan, baik media cetak atau televisi menggunakan perempuan dalam tampilannya, baik perempuan sebagai model utama atau sebagai
17
figuran. Bagi para pengiklan tubuh perempuan tidak akan pernah surut memebeli peluang yang menguntungkan, mulai dari urusan kuku hingga urusan kepala. Padahal
pemaknaan tentang diri yang berbasis tubuh untuk menentukan sebuah identitas sangat peka dengan rekayasa pembentukan citra. Baria, 2005:11
Dunia imajinatif yang ditawarkan iklan nampaknya juga membangun citra perempuan sekaligus memanfaatkan perempuan sebagai segmentasinya. Tidak semua
iklan diciptakan untuk maksud pencitraan, namun karya iklan dianggap sempurna jika sampai pada pencitraan produk. Umumnya pencitraan dalam iklan disesuaikan
dengan kedekatan jenis objek iklan yang diiklankan, walaupun tidak jarang pencitraan dilakukan secara ganda, artinya iklan menggunakan beberapa pencitraan
terhadap suatu objek iklan. Pencitraan perempuan tidak sekedar dilihat sebagai objek, namun juga dilihat
sebagai subjek pergulatan perempuan dalam menempatkan dirinya dalam realitas sosial. Setidaknya ada lima citra yang dengan itu perempuan dijadikan obyek iklan,
yaitu sebagai citra pigura, pilar, peraduan, pinggan, dan pergaulan. Dalam citra pigura, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang harus memikat. Untuk itu, ia
harus menonjolkan ciri biologis tertentu, seperti buah dada, pinggul, dan seterusnya, maupun ciri kewanitaan yang dibentuk budaya, seperti rambut panjang, betis ramping
mulus, dan sebagainya. Contohnya dalam iklan alat kecantikan atau pakaian.
18
Sedangkan pada citra pilar, perempuan digambarkan sebagai pengurus utama keluarga. Pengertian budaya yang dikandungnya adalah bahwa lelaki dan perempuan
itu sederajat, tapi kodratnya berbeda. Karena itulah wilayah kegiatan dan tanggung jawabnya berbeda pula. Contoh penggambaran perempuan bercitra pilar ini bisa kita
temukan pada iklan Aqua: “Melindungi Anda Sekeluarga.” Citra peraduan menganggap perempuan adalah obyek pemuasan laki-laki,
khususnya pemuasan seksual. Sehingga seluruh kecantikan perempuan, baik kecantikan alamiah maupun buatan melalui komestik, disediakan untuk dikonsumsi
laki-laki melalui kegiatan komsumtif, misalnya rabaan lembut atas rambut yang telah di cuci dengan sampo tertentu dan lain sebagainya.
Untuk citra pinggan, digambarkan bahwa betapapun tingginya perempuan dalam memperoleh gelar pendidikan dan sebesar apa pun penghasilannya, kewajibannya
adalah di dapur. Tapi berkat teknologi kegiatan di dapur itu tidak lagi berat dan membosankan. Sebab telah ada kompor gas, mesin cuci, bahan masakan instant, dan
lain sebagainya. Dengan cara ini, iklan menawarkan produk tertentu untuk para istri. Setelah meyakinkan bahwa kegiatan di dapur tidak harus menyiksa, tapi justru bisa
menyenangkan, lebih jauh diingatkan bahwa para suami lebih suka masakan istri. Contohnya adalah iklan produk masak bumbu dari Indofood.
Terakhir dalam citra pergaulan, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang selalu khawatir tidak tampil memikat dan menawan, tidak presentable atau
19
acceptable. Untuk dapat diterima, perempuan perlu physically presentable. Bentuk dan lekuk tubuh, aksentuasi bagian-bagian tertentu dengan menggunakan komestik
dan aksesoris yang selaras sehingga seorang perempuan bisa anggun menawan, mengundang pesona, dan unggah-ungguh fisik perlu dijaga sedemikian rupa agar
menarik dan tidak membawa implikasi rendah diri di arena pergaulan luas. Contoh-contoh itu menunjukkan bahwa mitos perempuan telah dimanfaatkan
bersamaan dengan meningkatnya profesionalisme di kalangan pengiklan. Mereka berkilah bahwa perempuan lebih efektif untuk merebut perhatian khalayak sasaran.
Mereka kemudian tidak peduli bahwa apa yang mereka lakukan sesungguhnya adalah proses dehumanisasi perempuan yang pada akhirnya akan benar-benar merendahkan
martabat perempuan. Tetapi memang demikian itulah yang terjadi pada diri perempuan. Nasib mereka
dalam iklan barangkali akan selalu sejalan dengan nasibnya dalam masyarakat. Semakin masyarakat hipokrit dan patriarkis, semakin kuat pula perempuan menjadi
simbol represi, dan pada gilirannya perempuan akan semakin diburu oleh industri periklanan.
2.1.5. Sensualitas