Tabel 30. Gambaran Subjek dengan Kecemasan Tinggi Berdasarkan Indikator
Anxiety Absent dan Anxiety Present. Keterangan : Ditebalkan = lebih tinggi, dimiringkan = lebih rendah
Subjek ke- Anxiety Absent
Anxiety Present Nilai Kecemasan
36 30
34 64
37 30
35 65
38 32
35 67
39 28
30 58
40 37
30 67
41 29
30
59 42
30 30
60 43
30 31
61 44
29 30
59 45
28
29
57 46
35 40
75 47
29 32
61 48
29
32
61 49
29 31
60 50
31 29
60 51
32
33
65 52
32
28 60
53 35
34 69
54 29
31 60
55
32
27 59
56 31
29 60
C. Pembahasan
Dari 56 subjek M-S-M yang menjadi partisipan dalam penelitian ini ditemukan bahwa jumlah subjek yang mengalami kecemasan rendah pada
perilaku M-S-M lebih banyak dibandingkan subjek yang memiliki kecemasan tinggi. Hal ini sejalan dengan perbandingan hasil mean empirik dan mean
hipotetik Kecemasan yang mengindikasikan bahwa secara umum subjek memiliki kecemasan yang lebih rendah daripada yang diperkirakan oleh alat ukur. Dengan
demikian secara umum subjek yang menjadi partisipan dalam penelitian ini
Universitas Sumatera Utara
memiliki reaksi emosional yang nyaman akan situasi berkaitan dengan perilaku M-S-M yang mereka lakukan.
Kecemasan yang rendah ini terkait dengan intensitas subjek M-S-M yang jumlahnya lebih banyak yang melakukan perilaku tersebut lebih dari sekali.
Semakin sering subjek M-S-M melakukan perilaku tersebut maka tingkat kecemasannya semakin rendah. Kondisi ini dapat dijelaskan dengan teori belajar
mengenai habituasi, dimana adanya respon yang menurun terhadap stimulus yang terjadi berulang-ulang James W., 2009. Artinya bahwa kecemasan sebagai
respon menjadi semakin rendah ketika semakin sering melakukan perilaku M-S- M. Atkinson dalam Chaplin, 1995 menyatakan bahwa individu yang
terhabituasi, atau yang semakin sering dan kecanduan terhadap suatu hal akan menurunkan kecemasannya.
Selain mengukur Kecemasan, penelitian ini juga mengukur Eudaimonic Well-Being ke 56 M-S-M. Dari hasil penelitian, dapat dilihat bahwa hampir
keseluruhan subjek memiliki tingkat Eudaimonic Well-Being yang Tinggi, yang mana hanya 2 orang yang ada pada kategori Rendah dan 8 orang yang tidak dapat
dikategorikan. Mean empirik EWB jauh lebih tinggi dari mean hipotetik sehingga secara umum kesejahteraan eudaimonic-nya lebih tinggi daripada yang
diperkirakan oleh alat ukur. Dengan demikian, secara umum subjek tersebut merupakan orang-orang yang beraktivitas sesuai dengan tujuan hidup dan terlibat
dengan penuh pada aktivitas yang sesuai tersebut sebagai ekspresi diri untuk pencapaian kualitas hidupnya.
Universitas Sumatera Utara
Selain Eudaimonic Well-Being yang tinggi, ketiga aspek yang ada dalam variabel Eudaimonic Well-Being juga secara umum tinggi. Subjek M-S-M
memiliki Sense of Purpose, Purposeful Personal Expressiveness, dan Effortful Engagement yang lebih tinggi dari perkiraan alat ukur. Akan tetapi, perbandingan
mean empirik dari mean hipotetik pada aspek Effortful Engagement tidak sesignifikan mean Sense of Purpose dan Purposeful Personal Engagement. Dari
data tersebut dapat diketahui bahwa subjek secara umum sejahtera dengan dirinya sendiri, mempunyai tujuan hidup, beraktivitas sesuai tujuannya, tetapi belum tentu
secara maksimal terlibat dalam mengerjakan kegiatannya. Berdasarkan temuan bahwa Kecemasan subjek yang secara umum rendah
dan Eudaimonic Well-Being yang secara umum tinggi, dapat dilihat bahwa ada hubungan negatif antara kedua variabel tersebut. Hasil korelasi
Spearman’s Rho antara variabel Kecemasan dengan variabel EWB adalah sebesar -0,377, yang
berarti bahwa Kecemasan M-S-M rendah dan sebaliknya EWB subjek tersebut tinggi, atau Kecemasan M-S-M tinggi dan sebaliknya EWB subjek rendah. Hal ini
berarti bahwa subjek yang memiliki reaksi emosional yang nyaman dengan perilaku M-S-M beraktivitas sesuai dengan tujuan hidup dan terlibat dengan penuh
pada aktivitas yang sesuai tersebut sebagai ekspresi diri untuk pencapaian kualitas hidupnya.
Hasil korelasi tersebut sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya mengenai kecemasan umum yang memiliki korelasi negatif dengan kesejahteraan
psikologis Ryff Juan, Romedios, David, Maria, dan Manuel, 2012. Kecemasan pada penelitian ini yang sifatnya state ternyata juga memiliki hubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
Eudaimonic Well-Being Waterman. Sekalipun Waterman menyatakan bahwa konsep EWB tidak dapat disamakan dengan konsep kesejahteraan psikologis Ryff,
tetapi pada penelitian ini menunjukkan bahwa kecemasan juga berkorelasi dengan EWB.
Dari sebaran data tabulasi menyilang antara Kecemasan dengan aspek Sense of Purpose memperlihatkan bahwa jumlah subjek terbanyak berada pada
kondisi Kecemasan rendah disertai dengan Sense of Purpose yang tinggi, yakni 19 orang. Hal ini berarti bahwa subjek yang kecemasannya rendah tersebut ternyata
mengetahui apa yang harus mereka lakukan dalam hidupnya sesuai jati dirinya. Kondisi ini sejalan dengan penelitian Schutee, Wissing, dan Khumalo 2013
bahwa orang yang memiliki tujuan hidup akan lebih mampu mengelola dirinya sehingga mereka juga akan memiliki kesehatan psikologis yang baik.
Selanjutnya, data tabulasi menyilang antara Kecemasan dengan aspek Purposeful Personal Expressiveness juga memperlihatkan jumlah subjek
terbanyak pada kondisi kecemasan rendah disertai dengan PPE yang tinggi, yakni 25 orang. Hal ini mengindikasikan subjek M-S-M pada penelitian ini yang
memiliki tingkat Purposeful Personal Expressiveness tinggi melakukan aktivitas apa saja yang dapat untuk mengekspresikan jati diri mereka. Pada subjek ini,
aktivitas M-S-M mungkin adalah salah satu bagian dari ekspresi diri mereka. Hurlock 1973 mengungkapkan bahwa aktivitas seksual merupakan salah satu
bentuk ekspresi rasa cinta kepada orang lain. Selain itu, Denny Quadagno dalam Perry Potter, 2005 menyatakan bahwa perilaku seksual berhubungan
dengan bagaimana tindakan seseorang akan pemaknaan tentang diri mereka dan
Universitas Sumatera Utara
bagaimana mereka mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada pasangan seksualnya. Perilaku M-S-M yang merupakan suatu ekspresi diri berkaitan dengan
rendahnya kecemasan yang dialami subjek tersebut. Data tabulasi menyilang antara Kecemasan dengan aspek Effortful
Engagement juga memperlihatkan mereka dengan kondisi kecemasan rendah disertai dengan EE yang tinggi adalah jumlah subjek terbanyak, yakni 17 orang.
Hal ini juga mengindikasikan bahwa mereka yang mengalami kecemasan rendah pada penelitian ini telah berupaya secara maksimal dalam setiap kegiatan
bermakna yang mereka lakukan. Dari ketiga sebaran data tabulasi tersebut maka pada penelitian selanjutnya dapat melihat lebih jauh korelasi antara kecemasan
dengan ketiga aspek EWB tersebut. Subjek secara umum mengalami kecemasan rendah. Akan tetapi, terdapat
juga 21 subjek yang mengalami kecemasan tinggi. Artinya, subjek tersebut mangalami reaksi ketidaknyamanan emosional yang bersifat subjektif akibat
situasi berkaitan dengan perilaku M-S-M. Dari data kontrol, dapat dilihat beberapa kelompok kontrol yang mengalami kecemasan tinggi, yakni intensitas yang Hanya
Sekali, Pendidikan D3, Rohaniawan, Suku Karo, Suku Aceh, Suku Minahasa, Suku Banjar, Usia 17, Usia 28, dan Usia 39.
Kelompok subjek yang intensitas perilaku M-S-M-nya Hanya Sekali memiliki rata-rata kecemasan yang tinggi, hal ini sejalan dengan penelitian
Moeljosoedjono 2008 yang menemukan bahwa suatu perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma akan memberi dampak rasa bersalah dan
Universitas Sumatera Utara
kegelisahan yang lebih jika dilakukan pertama kali dibandingkan dengan orang yang melakukannya berkali-kali.
Dari segi pendidikan, yang mana Pendidikan D3 mengalami kecemasan tinggi, tidak ditemukan data kontrol lainnya yang dapat menjelaskan mengapa
kelompok tersebut mengalami kecemasan yang tinggi. Kebanyakan dari subjek tersebut melakukannya Beberapa Kali dalam hidupnya, ada yang Sering, dan ada
yang Sangat Sering, tetapi tidak ada yang Hanya Sekali. Akan tetapi, pada kelompok pendidikan D3, ternyata memiliki EWB yang tidak tinggi. Kondisi yang
mereka alami sejalan dengan hasil penelitian ini bahwa memang subjek yang mengalami kecemasan yang tinggi berkaitan dengan EWB yang rendah.
Berdasarkan data kontrol, terdapat subjek Rohaniawan yang mengalami kecemasan tinggi. Hal ini mungkin disebabkan karena nilai-nilai agama sangat
tertanam dalam dirinya. Sebagai orang yang mendalami ajaran agama, tentunya ia lebih memahami pandangan agama dan konsekuensi yang disampaikan ajaran
agama tentang perilaku seksual tersebut, tetapi di sisi lain ia justru melakukan perilaku yang ditentang tersebut. Freud menjelaskan hal ini sebagai proses dari
intrapsychic conflict Gangemi dan Mancini, dalam Tranka, Balcar, dan Kuska, 2011. Selain itu, intensitas Rohaniawan tersebut dalam melakukan perilaku M-S-
M Hanya Sekali, sehingga hal ini pun menjadi salah satu faktor yang memicu kecemasan yang tinggi pada dirinya.
Kecemasan yang tinggi juga terjadi pada kelompok suku, yakni Suku Karo, Aceh, Minahasa, dan Banjar. Pada masyarakat Indonesia, hampir semua
Universitas Sumatera Utara
suku hanya menerima perilaku seksual yang dilakukan oleh pasangan suami istri. Di suku Karo, dalam mendapatkan pasangan memiliki pandangan dari
masyarakatnya, misalnya harus menikah dengan sesama orang Karo dan berlainan marga Try Santy, 2013. Jika seorang laki-laki Karo mengambil pasangan di luar
suku Karo akan dipandang tidak baik oleh sesama orang Karo. Terlebih lagi jika ada seseorang laki-laki yang memiliki pasangan sejenis dan melakukan hubungan
seksual dengan sesama jenis tentu lebih banyak mendapat konsekuensi dari masyarakat. Selain itu, seorang laki-laki Karo akan dihargai dan dihormati jika
dirinya sudah menikah, tetapi seorang M-S-M mungkin sulit untuk mewujudkannya.
Pada subjek bersuku Aceh yang mengalami kecemasan tinggi mungkin dikarenakan nilai dan aturan pada masyarakat Aceh yang sangat keras menentang
perilaku asusila, termasuk perilaku M-S-M. Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang mendapat kekhususan di bidang hukum, hal ini dapat dilihat dari
Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Idaliyah, 2013. Kekhususan tersebut membuat pemerintah menegakkan suatu undang-undang
berbasis Syariat Islam di provinsinya yang sangat diwarnai oleh pandangan masyarakatnya. Dalam undang-undang tersebut, siapa saja yang melakukan
hubungan seksual di luar nikah, termasuk M-S-M, haruslah dihukum di tengah- tengah masyarakat Idaliyah, 2013.
Untuk subjek yang bersuku Minahasa dan Banjar yang memiliki kecemasan tinggi tidak dapat dijelaskan oleh peneliti secara teoritis terkait
Universitas Sumatera Utara
sukunya. Akan tetapi, untuk suku Banjar kecemasan yang tinggi mungkin disebabkan oleh usianya yang masih 17.
Kecemasan yang terjadi pada M-S-M dapat dilihat tinggi pada subjek yang berusia 17 tahun. Usia tersebut masih dikategorikan sebagai remaja akhir. Bagi
remaja yang masih pada tahap pencarian identitas, sering terjebak pada perilaku- perilaku tertentu yang masih sulit mereka pahami Erickson dalam Papalia, 2009.
Rasa penasaran pada remaja menyebabkan mereka melakukan banyak hal yang menyebabkan rasa bersalah pada diri mereka. Rasa bersalah ini dapat mengarah
pada stres dan depresi terutama apabila timbulnya perasaan akan kehilangan masa depan Jallaluddin, 2012. Hal ini dapat menjadi salah satu faktor yang
menimbulkan kecemasan pada M-S-M yang masih berusia remaja. Selain usia 17, terdapat juga usia 28 dan 39 yang mengalami kecemasan
yang tinggi. Dari data kontrol lainnya pada subjek berusia 28 tahun tidak dapat dijelaskan peneliti secara teoritis, akan tetapi untuk subjek yang berusia 39 tahun
adalah subjek yang bersuku Karo, yang mana sumber kecemasannya bisa saja terkait dengan pandangan pada masyarakat tersebut.
Berdasarkan gambaran kecemasan subjek terkait indikator Anxiety Present dan Anxiety Absent, yang mana present adalah indikator hadirnya cemas dan
Absent adalah indikator hilangnya cemas, dapat dilihat bahwa subjek yang berada pada kecemasan rendah cenderung Anxiety Present-nya lebih rendah daripada
Anxiety Absent. Artinya, bahwa mereka tidak mengalami kecemasan terhadap perilaku M-S-M lebih disebabkan karena mereka tidak takut, tidak khawatir, tidak
Universitas Sumatera Utara
terganggu, dan sebagainya dengan perilaku tersebut. Selain itu, dari subjek yang berada pada kategori kecemasan tinggi, nilai Anxiety Present-nya lebih tinggi
daripada nilai Anxiety Absent. Hal ini berarti bahwa kecemasan yang terjadi karena rendahnya perasaan positif terhadap perilaku tersebut dan sebaliknya
mereka lebih mengalami kondisi emosi yang negatif terhadap perilaku M-S-M. Dari hasil korelasi variabel Kecemasan dengan variabel Eudaimonic Well-
Being, dapat diamati bahwa jumlah subjek yang mengalami kecemasan rendah cenderung lebih banyak pada kategori EWB tinggi, Sense of Purpose tinggi, dan
Purposeful Personal Expressiveness yang tinggi. Akan tetapi, ditemukan ternyata ada 12 21,43 orang subjek yang memiliki Kecemasan yang tinggi memiliki
Eudaimonic Well-Being dan kedua aspek tersebut yang cenderung tinggi. Hal ini mungkin terkait dengan EWB yang bersifat intrapersonal, tetapi kecemasan yang
disebabkan baik intrapersonal maupun interpersonal. Waterman menyatakan bahwa eudaimonic menekankan pada bagaimana
cara manusia untuk hidup dalam daimon-nya, atau dirinya yang sejati true self. Diri yang sejati terjadi ketika manusia melakukan aktivitas yang paling kongruen
atau sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dan dilakukan secara menyeluruh serta benar-benar terlibat di dalamnya fully engaged Ryan Deci, 2001. Di sisi
lain, kecemasan tidak hanya timbul dari nilai dan norma yang dianut oleh diri sendiri, tetapi juga terpaut oleh pandangan yang ada dari luar dirinya, misalnya
saja M-S-M masih dianggap sebagai perilaku yang menyimpang di tengah-tengah masyarakat Savin, William, dan Cohen, 1996. Oleh sebab itu, bisa saja subjek
M-S-M nyaman dengan dirinya sendiri dalam perilaku tersebut, tetapi cemas akan
Universitas Sumatera Utara
pandangan dari luar dirinya. Mungkin inilah yang dapat menjelaskan mengapa beberapa subjek M-S-M memiliki kecemasan yang tinggi disertai EWB yang
tinggi. Selain subjek yang mengalami kecemasan yang tinggi dan EWB beserta
aspeknya yang tinggi, terdapat juga 2 subjek dengan kecemasan yang rendah, tetapi juga memiliki tingkat EWB yang rendah beserta aspek-aspeknya. Seseorang
yang memiliki tujuan hidup, melakukan segala sesuatu sesuai tujuan hidup, dan berupaya dalam pencapaian, biasanya memiliki arah yang jelas serta memiliki
kebermaknaan dalam hidup Schutee, Wissing, dan Khumalo, 2013. Orang-orang seperti ini tentunya lebih mengetahui perilaku mana yang sesuai dengan dirinya
dan perilaku mana yang tidak. Orang yang rendah dalam tingkat EWB adalah orang yang mengikuti arus hidup tanpa arah yang jelas. Oleh sebab itu, beberapa
orang yang tidak bertujuan dalam hidupnya bisa saja tidak mengalami dinamika suatu perasaan bersalah, gelisah, ataupun kecemasan ketika melakukan suatu hal
yang bertentangan dengan nilai pandangan agama ataupun masyarakat. Akan tetapi, untuk bagian ini mungkin lebih dapat dijelaskan secara kualitatif pada
penelitian-penelitian berikutnya. Berkaitan dengan Sense of Purpose, terdapat 21 37,5 subjek M-S-M
yang tidak dapat dikategorikan, artinya tujuan hidupnya tidak dapat dijelaskan, apakah tinggi atau rendah. Orang-orang yang berada pada kategori tidak
terDefinisi tersebut masih diragukan apakah sudah memiliki tujuan hidup atau tidak. Selanjutnya, 9 dari 21 orang tersebut 42,86 memiliki kecemasan yang
tinggi dan jumlah ini lebih banyak daripada yang berada pada kecemasan rendah,
Universitas Sumatera Utara
yakni 8 orang 38,09. Selain itu, 2 subjek yang memiliki Sense of Purpose rendah juga berada pada kategori kecemasan tinggi. Oleh sebab itu, subjek M-S-M
yang mengalami kecemasan dapat terkait dengan ketiadaan tujuan hidup. Untuk itu, pencapaian tujuan hidup menjadi suatu hal yang penting untuk mengetahui
kesesuaian suatu perilaku dengan arah hidup yang lebih jelas, termasuk perilaku M-S-M.
Hasil korelasi Kecemasan dengan Eudaimonic Well-Being juga tergambar dari data kontrol. Beberapa kelompok kontrol yang telah dijelaskan sebelumnya
yang memiliki kecemasan yang tinggi, yakni kelompok pendidikan D3, subjek Suku Aceh, subjek Suku Banjar, dan kelompok subjek berusia 17 tahun, ternyata
memiliki tingkat EWB yang tidak terkategori, artinya tidak berada pada posisi yang tinggi seperti kelompok kontrol lainnya. Hal ini memperlihatkan bahwa di
samping mereka memiliki reaksi emosional yang tidak nyaman dengan perilaku M-S-M ternyata mereka juga belum mampu menerima dan menjadi dirinya
sendiri. Di sisi lain, terdapat 4 kelompok kontrol yang mengalami kecemasan
tinggi, tetapi EWB-nya juga tinggi. Kelompok tersebut adalah subjek yang melakukan perilaku tersebut Hanya Sekali, subjek yang berprofesi sebagai
Rohaniawan, Usia 28, dan Usia 39. Pada kelompok M-S-M yang melakukan Hanya Sekali mungkin sudah punya arah hidup yang jelas, memiliki
kebermaknaan terhadap dirinya, dan sejahtera dengan dirinya, tetapi khusus untuk perilaku yang baru sekali dilakukannya tersebut membuat ia merasa bersalah.
Demikian juga dengan Rohaniawan yang mengalami kecemasan, dimana
Universitas Sumatera Utara
sebetulnya sudah memiliki pedoman dan arah hidup. Rohaniawan tersebut memiliki superego yang kuat, sehingga apa yang dia alami sesuai dengan
pandangan bahwa individu dengan superego yang kuat akan mengalami konfllik yang lebih hebat daripada individu yang lebih longgar akan moralitas Freud,
dalam Andri dan Dewi, 2007. Pada usia 28 dan 39 yang kecemasannya tinggi dan EWB-nya juga tinggi
mungkin mengalami hal yang sama dengan penjelasan di atas. Subjek tersebut mungkin sejahtera dengan dirinya dan menikmati tujuan hidupnya sehingga nilai
EWB-nya tinggi, tetapi bukan berarti ia tidak memikirkan pandangan sekitarnya mengenai perilaku M-S-M yang ia lakukan.
Selain itu, dari data kontrol juga dapat dilihat adanya subjek yang memiliki EWB yang tidak terkategori tetapi kecemasannya rendah, yakni
kelompok usia 24. Pada usia ini merupakan usia kategori dewasa muda yang salah satu tugas perkembangannya mencari pekerjaan ataupun baru memasuki suatu
pekerjaan Papalia, old, Fieldman, 2009. Hal ini erat berhubungan dengan tingkat EWB, yang mana tidak mendapatkan pekerjaan ataupun menjalani pekerjaan yang
tidak sesuai dengan diri akan membuat tidak tercapainya tingkat EWB yang baik.
Universitas Sumatera Utara
99
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN