sebagian dari kehidupan seks mereka dan tidak menentukan identitas seksual atau sosial mereka. Laki-laki yang disebut M-S-M adalah sebagai berikut:
1. Laki-laki yang secara eksklusif berhubungan seks dengan laki-laki lain
2. Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain tapi sebagian
besarnya berhubungan seks dengan perempuan 3.
Laki-laki yang berhubungan seks baik dengan laki-laki maupun perempuan tanpa ada perbedaan kesenangan
4. Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain untuk uang atau
karena mereka tidak mempunyai akses untuk melakukan hubungan seksual dengan perempuan, misalnya di penjara, ketentaraan.
Perilaku seksual, termasuk hubungan seksual dengan sejenis, bisa saja menimbulkan dampak psikologis seperti perasaan marah, takut, depresi, rendah
diri, bersalah dan berdosa, serta kecemasan Sarwono, 2003. Hal ini terjadi karena adanya pengetahuan bahwa perilaku tersebut melanggar nilai dan norma,
baik agama, maupun nilai-nilai yang tertanam dalam masyarakat.
D. Dinamika Kecemasan pada M-S-M dengan Eudaimonic Well-Being EWB
Argyo 2012 sejalan dengan teori Kinsey memandang perilaku seksual sesama laki-laki tidak dititikberatkan pada orientasi seksualnya. Argyo
menyebutnya dengan istilah yang sama dengan Kort, yakni M-S-M. M-S-M dimaksudkan untuk menjelaskan semua laki-laki yang berhubungan seks dengan
laki-laki, tanpa memandang identitas seksual mereka. Kelompok ini mengacu pada kelompok yang lebih luas pada individu yang melakukan hubungan seksual
Universitas Sumatera Utara
berjenis kelamin sama. Akan tetapi, hubungan seksual dengan sejenis seperti yang dilakukan oleh M-S-M, bisa saja menimbulkan dampak psikologis seperti konflik
batin, perasaan marah, takut, depresi, rendah diri, bersalah dan berdosa Sarwono, 2003. Dampak psikologis lain yang diakibatkan tersebut dapat berupa hadirnya
kecemasan dan juga menurunnya kesejahteraan dalam diri seseorang. Perilaku seksual M-S-M yang merupakan suatu aktivitas ternyata dapat
menyebabkan seorang tidak dapat menikmatinya sepenuhnya. Akan tetapi, hal ini memang tidak sepenuhnya terjadi pada setiap M-S-M karena beberapa di antara
mereka justru tidak bermasalah sama sekali dengan perilaku tersebut. Namun, bagi mereka yang berkonflik akibat perilaku ini menunjukkan bahwa kondisi
mereka berkebalikan dengan konsep Eudaimonic Well-Being yang dikemukakan oleh Waterman. Waterman memandang bahwa orang-orang yang sudah mampu
menjadi dirinya yang sejati memiliki perasaan menikmati setiap kegiatan yang ia lakukan dan kemampuan untuk terus mengekspresikan pribadi sebagai
pengalaman subjektif dari eudaimonia Waterman et al, 2010. Dari situasi tersebut dapat dilihat bahwa orang yang berkonflik dengan perilaku seks sejenis
dengan laki-laki memiliki tingkat EWB yang masih rendah. Setiap orang memiliki tingkatan yang berbeda-beda dalam kesejahteraan
eudaimonic, berkisar dari yang murni tidak ada sampai pada kesejahteraan eudaimonic yang sempurna. Eudaimonic Well-Being mengacu pada kualitas hidup
seseorang yang ditandai dengan perkembangan potensi terbaik yang dimiliki serta bagaimana potensi tersebut teraplikasi dalam pengekspresian dirinya dan
kesesuaian dengan tujuan hidup Waterman, et al, 2010. Kualitas hidup M-S-M
Universitas Sumatera Utara
tidak berfokus pada perilakunya, tetapi pada kondisi psikologis yang diakibatkan perilaku tersebut. Jika perilaku tersebut sesuai dengan dirinya maka EWB-nya
akan baik-baik saja, tetapi jika tidak sesuai maka EWB akan terganggu. Demikian pula dengan ketiga aspek Eudaimonic Well-Being, yakni, Sense
of Purpose, Purposeful Personal Expressiveness, dan Efforful Engagement. Sesuai dengan penelitian Schutee, dkk 2013 yang memperlihatkan bahwa ketiga
aspek tersebut berkebalikan dengan kebermaknaan hidup dalam diri seseorang. Orang-orang yang masih berada pada tahap pencarian makna hidup secara umum
masih diliputi oleh keraguan dalam dirinya dalam menentukan pilihan hidup. Sehingga kondisi mereka menjadi berkonflik ketika diperhadapkan pada beberapa
hal yang sepertinya sama-sama bernilai dalam diri seseorang. Seorang M-S-M yang tidak berkonflik dan mantap dalam pilihannya untuk tetap melakukan
hubungan seksual sejenis berarti sudah mampu mengetahui tujuan hidupnya SoP, meyakini bahwa aktivitas perilaku M-S-M sesuai dengan tujuan hidup
tersebut PPE, dan berupaya maksimal dalam aktivitasnya EE. Selain EWB dan ketiga aspek EWB tersebut yang masih rendah pada M-S-
M yang berkonflik, kondisi psikologis yang juga muncul pada mereka adalah hadirnya kecemasan. Kecemasan yang terjadi pada M-S-M terkait dengan perilaku
melakukan hubungan seksual dengan laki-laki diistilahkan dengan state anxiety. Disebut demikian karena kecemasan yang terjadi diakibatkan oleh suatu situasi,
yakni perilaku seks sejenis.
Universitas Sumatera Utara
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kecemasan pada M-S-M. Pertama, faktor yang dapat menyebakan kecemasan moral. Misalnya, ketika
individu termotivasi untuk mengekspresikan id perilaku M-S-M yang berlawanan dengan superego-nya misalnya nilai-nilai agama dan budaya
masyarakat, ia akan merasa malu atau bersalah. Kedua, faktor yang menyebabkan kecemasan sosial pada M-S-M, yakni berasal dari sudut pandang
nilai dan norma yang ada di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Contohnya di Indonesia, perilaku M-S-M bukanlah suatu hal yang lazim dan dianggap sebagai
perilaku sosial yang menyimpang Musdah, dalam Fajriani, 2013. Ketiga, berbicara mengenai kecemasan pada M-S-M tidak terlepas dari pandangan bahwa
aktivitas seksual tersebut berisiko. Penggunaan anus dan mulut yang digunakan sebagai alat untuk penetrasi rentan untuk menginfeksi setiap M-S-M UNAIDS,
2006. Faktor penyebab kecemasan juga bisa berasal dari intensitas melakukan
perilakunya. Ketika melakukan Hanya Sekali perilaku yang bertentangan dengan moral akan berbeda kecemasannya dengan yang melakukan secara berulang-
ulang. Konflik yang merujuk pada kecemasan tentu umum terjadi pada M-S-M ketika melakukan hubungan seksual sejenis, tetapi konflik tersebut bisa teredam
ketika perilaku tersebut terus dipupuk dan dilakukan berulang-ulang. Ketika seseorang melakukan perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma secara
berulang, maka rasa bersalah ataupun konflik akan perilaku tersebut akan berangsur-angsur menghilang Atkinson, dalam Chaplin, 1995.
Universitas Sumatera Utara
Dari dinamika di atas, Kecemasan akan perilaku M-S-M memiliki kaitan dengan Eudaimonic Well-Being. Sejalan dengan itu, korelasi tersebut dapat
digambarkan juga dengan tingkat ketiga aspek EWB, yakni Sense of Purpose SoP yang mengacu pada prinsip dan tujuan hidup yang dimiliki oleh seseorang,
Purposeful Personal Expressiveness PPE yang merupakan setiap kegiatan yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan tujuan hidupnya, dan Effortful
Engagement EE yakni keterlibatan dalam aktivitas yang ia lakukan Schutee, Wissing, dan Khumalo, 2013. Hal ini dapat dijelaskan bahwa masing-masing
variabel dan aspek tersebut terpaut dengan kondisi psikologis yang tidak baik, seperti konflik. Mereka yang berkonflik mengalami tingkat EWB dan aspek-
aspeknya yang rendah disertai dengan adanya kecemasan. Sekalipun demikian, seorang M-S-M yang mengalami kecemasan tidak
dapat dipastikan tidak memiliki kesejahteraan eudaimonic atau sebaliknya. Perilaku tersebut memang bertentangan dengan agama, pandangan masyarakat,
berisiko, dan sebagainya, tetapi hal tersebut bisa saja menjadi suatu aktivitas yang sesuai dengan internal dirinya sehingga kecemasan yang terjadi mungkin tidak
terkait dengan pilihan untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, untuk membuktikan lebih jauh fenomena tersebut maka penelitian ini perlu untuk
dilakukan, melihat bahwa asumsi-asumsi tersebut belum sepenuhnya dapat dikatakan kokoh.
Universitas Sumatera Utara
E. Hipotesa Penelitian