Sejarah Hukum Udara dan Ruang Angkasa

43

BAB III SISTEM HUKUM DI RUANG ANGKASA DAN PERBATASAN

WILAYAH RUANG ANGKASA

A. Sejarah Hukum Udara dan Ruang Angkasa

Hukum Angkasa sebagai salah satu cabang dari ilmu hukum yang relatif muda, oleh para ahli hukum maupun masyarakat internasional dirasakan perlu untuk lebih dikembangkan. Pengembangan yang dilakukan bertujuan agar Hukum Angkasa dapat menjadi cabang ilmu hukum yang mantap dan mapan terutama dalam mengantisipasi kemajuan teknologi yang sangat pesat. 30 Berbagai upaya telah dilakukan dalam mencapai tujuan tersebut antara lain dengan mengidentifikasi berbagai permasalahan yang timbul dari ditemukannya dimensi ruang angkasa hingga menelaah berbagai dampak hukum atas dimanfaatkannya dimensi tersebut oleh manusia. Hal inilah yang mendasari adanya pembagian Hukum Angkasa itu sendiri secara umum pada saat ini. Ernest NYS merupakan orang pertama yang menggunakan istilah khusus bagi bidang ilmu hukum untuk ruang udara ini. Istilah yang ia gunakan ialah “Droit Aerien” dan dipakainya di dalam laporan-laporannya kepada Institute de Droit Internationale pada rapat di tahun 1902 dan kemudian di dalam tulisan- tulisan ilmiahnya. Oleh karena itulah istilah-istilah yang ditemukan sebelum tahun 50- an dan sesudahnya ialah misalnya istilah “Luchtrecht, Luftrecht atau Air Law” yang banyak digunakan orang. 30 Priyatna Abdurrasyid, Hukum Antariksa Nasional, Jakarta: Rajawali, 1989, hal. 4-5 Universitas Sumatera Utara Hukum Ruang Angkasa dianggap lebih tepat daripada penggunaan istilah Hukum Antariksa, satu sama lain karena masih belum jelas apa yang dimaksud dengan antariksa. Secara garis besar dapat dikatakan, untuk ilmu hukum ini dipakai istilah “Hukum Angkasa”, “Air and Space Law” di Kanada, “Aerospace Law ” di Amerika Serikat, “Lucht en Ruimte Recht” di Belanda, “Droit Aerien et de l’espace” di Perancis, “Luft und Weltraumrecht” di Jerman, yang mencakup dua bidang ilmu hukum dan mengatur 2 sarana wilayah penerbangan yakni hukum udara yang mengatur sarana penerbangan di ruang udara yaitu ruang di sekitar bumi yang berisi gas-gas udara. Kemudian Hukum Ruang Angkasa yakni hukum yang mengatur ruang yang hampa udara outer space. 31 Tata surya secara geografis yuridis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Ruang udara ialah ruang di sekitar bumi yang berisikan gas-gas udara yang dibutuhkan manusia demi kelangsungan hidupnya. 2. Antariksa mempunyai arti sebagai berikut: a. Ruang angkasa yakni ruang yang kosonghampa udara aero space dan berisikan langit. b. Bulan dan benda-benda planet-planet lainnya. c. Orbit geostasioner GSO. 32 Di dalam rangka penafsiran secara logika yuridis terhadap istilah ruang udara air space seperti yang tercantum di dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, perlu diteliti dahulu yakni asal usul penggunaan istilah ruang udara air space di dalam Konvensi Chicago 1944 dan pengertian istilah pesawat udara 31 Ibid., hal 6 32 Ibid., hal 58-59 Universitas Sumatera Utara aircraft oleh Lampiran Annexes Konvensi. Lampiran yang merupakan pelengkap dan pemenuhan kebutuhan konvensi akan penjelasan-penjelasan yang ternyata diperlukan kemudian. Teks bagi istilah ruang udara air space di dalam bahasa Perancis dan disetujui oleh International Civil Aviation Organization ICAO itu adalah istilah l’espace aerien dan istilah ini merupakan istilah yang otentik dan sesuai dengan istilah otentik dalam bahasa Inggris “air space”. Istilah ini seringkali menimbulkan salah pengertian mengenai batas jarak ketinggian di ruang udara dimana negara itu memiliki kedaulatan. Penggunaan tersebut mencontoh suatu pengaturan Konvensi Paris 1919 dan yang telah disusun di dalam Konvensi Paris 1919 ini untuk ruang udara dipakai istilah dalam bahasa Perancis “l’espace atmospherique”, teks bahasa Italia dipakai istilah “spazio atmozferico ” atmospheric space atau ruang atmosfir, sedangkan teks bahasa Inggris mempergunakan istilah “air space” yang berarti ruang udara. Konvensi Chicago 1944 menggunakan istilah “air space” dan ini sesuai dengan istilah yang dipakai dalam bahasa Perancis yakni istilah “l’espace atmospherique” dalam Konvensi Paris 1919. 33 sejak tahun 1919 telah banyak negara memasukkan ketentuan Konvensi Paris. Pengertian hukum udara dan hukum ruang angkasa sebagai berikut: 34 Hukum Udara adalah serangkaian ketentuan nasional dan internasional mengenai pesawat, navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan hukum publik ataupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestik dan internasional. 33 Ibid., hal 61 34 Diederiks - Verschoor, Persamaan dan Perbedaan Antara Hukum Udara dan Hukum Ruang Angkasa, Jakarta: Sinar Grafika, 1991, hal. 7. Universitas Sumatera Utara Hukum Ruang Angkasa adalah hukum yang ditujukan untuk mengatur hubungan antar negara, untuk menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari segala aktifitas yang tertuju kepada ruang angkasa dan di ruang angkasa aktifitas itu demi kepentingan seluruh umat manusia, untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan, terrestrial dan non terrestrial, dimana pun aktifitas itu dilakukan. Di dalam Konvensi Paris 1919 pada Pasal 1 memberikan suatu negara kedaulatan yang lengkap dan eksklusif di atas wilayahnya termasuk dengan wilayah perairannya. Dan kedaulatan negara juga mencakup pula terhadap ruang udara yang berada di atas wilayah kedaulatannya. Pengaturan tentang kedaulatan negara di ruang udara di dalam Konvensi Paris 1919 belum mampu menentukan mengenai batas dan ketinggian wilayah udara suatu negara. Namun, yang ditetapkan di dalam konvensi ini adalah mengenai kedaulatan masing-masing negara atas wilayah udaranya. Adanya dalil Hukum Romawi yang berbunyi, “Cuius est solom, eius usgue ad coelum et ad inferos ” melandasi dibentuknya Konvensi Paris 1919. Dalil itu berarti: “Barangsiapa memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah tersebut”. 35 Dengan berakhirnya Perang Dunia I maka banyak negara-negara semakin mengembangkan teknologi ruang udara, yakni berupa usaha pengembangan 35 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Cambridge; Harvard University Press, 1949, hal. 213-214. Universitas Sumatera Utara teknologi penerbangan jarak jauh yang cepat, serta berusaha mencapai jarak ketinggian yang maksimal di ruang udara. Pesawat udara yang pada awalnya hanya dimiliki negara dan hanya dipakai untuk kepentingan militer saja, kemudian mulai menjadi suatu sarana perhubungan komersial yang umum. Dan pemilikannya bukan lagi sebatas oleh negara saja, melainkan telah pula dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swasta. Hal ini terjadi ketika pada tahun 1919 perusahaan penerbangan pertama memulai pengoperasian penerbangan berjadwal scheduled pertama antara kota London dan Paris antara lain sebagai berikut: 1. Protokol Paris 1929 Protokol Paris 1939 adalah kelanjutan dari hasil-hasil Konvensi Paris 1919, dan mengangkat permasalahan-permasalahan khusus yang melekat dalam kategori kerugian yang timbul terhadap orang-orang di atas permukaan bumi akibat aktifitas-aktifitas yang dilakukan di ruang udara. Ketentuan dasar yang mengatur tanggung jawab untuk kerugian dalam Hukum Udara kemudian dimuat dalam perjanjian-perjanjian internasional yang sebelumnya belum disepakati dalam Protokol Paris 1929 ini. Perjanjian-perjanjian internasional itu kemudian mengalami berbagai perkembangan, yang secara kronologis dapat diuraikan sebagai berikut: a. Convention for The Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air sering disebut dengan Konvensi Warsawa 1929. Pada tahun 1955 konvensi ini telah ditambah dengan The Hague Protocol, dan kemudian oleh Guadalajara Convention 1961, Guatemala Protocol Universitas Sumatera Utara 1971 dan Montreal Protocol 1975, sebagai tambahan: Montreal Protocol 1966 dan Malta Agreement 1976. b. Convention on Damage Caused by Foreign Aircraft to Third Parties on The Surface sering disebut dengan Konvensi Roma 1952, yang menggantikan Konvensi Roma 1933 mengenai pokok masalah yang sama, dan protokol yang ditambahkan kepada Konvensi Roma 1952, yaitu Montreal Protocol 1978. Permasalahan-permasalahan khusus yang melekat dalam kategori kerugian yang timbul terhadap orang-orang di atas permukaan bumi telah dikenal sejak tahun 1927. Beberapa studi mengenai persoalan itu telah dilakukan, yang pada akhirnya berpuncak dalam Konvensi Roma 1933 dan Protokol Brussels 1938. Akan tetapi tidak pernah ada usaha yang dapat dikatakan berhasil sepenuhnya, ketentuan-ketentuan Konvensi Roma 1933 juga segera menjadi ketinggalan di belakang perkembangan-perkembangan yang pesat di bidang penerbangan, dan konvensi itu hanya berhasil menarik sejumlah kecil persetujuan bagi ratifikasi oleh beberapa negara saja. 2. Konvensi Chicago 1944 Convention on International Civil Aviation Sesaat sebelum berakhirnya Perang Dunia II, Presiden Amerika Serikat, Roosevelt mengundang negara-negara sekutunya dan negara-negara netral untuk menghadiri suatu konferensi internasional yang secara khusus membahas mengenai penerbangan sipil. Konferensi internasional ini dimulai pada tanggal 1 November dan berakhir pada 7 Desember 1944 di Chicago, Amerika Serikat, dan kemudian menjadi dasar hukum bagi penerbangan sipil internasional dewasa ini. Universitas Sumatera Utara Adapun maksud dari konferensi ini adalah untuk menentukan pola dari penerbangan sipil setelah perang dunia berakhir. Meskipun ada asal usul mengenai kebebasan di udara, namun pada akhirnya prinsip “absolute and exclusive sovereignity ”15 kedaulatan yang mutlak dan absolut sifatnya tetap dipertahankan. Prinsip tersebut adalah prinsip yang dianut sebelumnya dalam Konvensi Paris 1919. 36 Namun, terdapat perbedaan penting yakni mengenai alasan untuk kedaulatan suatu negara di udara yang dahuluya adalah lebih menitikberatkan pada masalah keamanan negara, maka pada Konferensi Internasional Chicago 1944 lebih mengutamakan pada perlindungan ekonomi bagi industri angkutan udara nasional masing-masing negara yang menentukan. Salah satu hasil yang tidak kalah pentingnya dari Konferensi Internasional Chicago 1944 adalah terbentuknya suatu badan yang kemudian menjadi suatu badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu International Civil Aviation Organization ICAO. Organisasi internasional ini mempunyai tugas dalam bidang teknis, ekonomis dan yuridis secara khusus dalam bidang penerbangan. Juga pada Konvensi Chicago 1944 mengatur mengenai penetapan bagi pendaftaran pesawat udara menurut nasionalitasnya dilakukan oleh organisasi internasional ini. Hasil-hasil lain dari Konferensi Internasional Chicago 1944 adalah berupa lampiran-lampiran Annexes sebanyak 16 buah, yang berisikan mengenai standar- standar internasional dan cara-cara yang dianjurkan di dalam bidang teknik penerbangan. Dimana annexes tersebut baru akan berlaku bila sudah dimasukkan 36 E. Suherman, Hukum Udara Indonesia dan Internasional, Bandung: Alumni, 1983, hal. 168. Universitas Sumatera Utara dalam perundang-undangan nasional suatu negara. Secara umum annex-annex tersebut mengatur mengenai hal-hal seperti: mengenai ijazah personil udara, mengenai peraturan lalu lintas udara, mengenai meteorologi, mengenai peta-peta penerbangan secara internasional dan lain sebagainya. Perjanjian mengenai Hukum Ruang Angkasa ini lebih dikenal sebagai Space Treaty 1967 yang ditandatangani pada tanggal 27 Januari 1967 dan berlaku sejak 10 Oktober 1967. Pesatnya perkembangan teknologi dalam bidang penerbangan mendorong adanya keinginan negara-negara maju untuk melakukan penerbangan lintas wilayah udara yakni ruang angkasa, yang kemudian diikuti oleh pesawat ruang angkasa Amerika Serikat. Namun, usaha-usaha yang dilakukan oleh negara-negara maju tersebut, kemudian dianggap sebagai ancaman oleh negara-negara lain terhadap keamanan mereka. Oleh karenanya dibentuklah sebuah komite melalui PBB guna merancang peraturan-peraturan bagi semua kegiatan dalam bidang ruang angkasa ini. Setelah beberapa resolusi disahkan oleh PBB, maka sebuah traktat khusus mengenai ruang angkasa space treaty dibentuk pada tahun 1967, tepatnya sepuluh tahun setelah peluncuran Sputnik milik Rusia. Perjanjian yang diprakarsai oleh PBB didasarkan atas konsep bahwa ruang angkasa outer space harus dipertahankan sebagai milik seluruh umat manusia dan harus dieksplorasi dan digunakan bagi keuntungan serta kepentingan semua negara. Definisi yang lebih spesifik tidak berhasil disepakati di dalam Outer Space Treaty 1967 ini. Adapun tujuan utama dari perjanjian ini adalah untuk mencegah tuntutan-tuntutan kedaulatan di ruang angkasa oleh negara-negara secara individu dan untuk Universitas Sumatera Utara membuat ketentuan-ketentuan bagi penggunaan secara damai ruang angkasa tersebut. Outer Space Treaty 1967 bahwa seluruh aktifitas-aktifitas keruangangkasaan hanya dapat dilakukan sesuai dengan UN Charter Piagam PBB dan Prinsip-prinsip Hukum Internasional, namun demikian masalah kedaulatan sangat erat kaitannya dengan beberapa aktifitas keruangangkasaan. 37 Hukum Ruang Angkasa dihadapkan suatu fakta bahwa kebebasan eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa berada dalam lingkup hubungan antar negara yang berkedaulatan sama atas wilayah ruang angkasa itu. Di dalam Pasal II Outer Space Treaty 1967 secara khusus terdapat adanya suatu larangan bagi semua negara, terhadap pemilikan secara nasional atas wilayah ruang angkasa oleh suatu negara melalui tuntutan-tuntutan kedaulatan, pemakaian atau pendudukan atau dengan cara-cara lainnya. Dengan kata lain bahwa yang dinamakan sebagai wilayah ruang angkasa tersebut adalah milik semua negara yang tidak dapat dikuasai secara sepihak dengan alasan apa pun juga oleh suatu negara tertentu.

B. Prinsip-prinsip Hukum Udara dan Ruang Angkasa