Status Kenegaraan (Statehood) Negara – Negara Kepulauan Berdataran Rendah (Low-Lying Island Nations) Yang Seluruh Wilayahnya Terendam Air Laut

(1)

STATUS KENEGARAAN (STATEHOOD) NEGARA – NEGARA KEPULAUAN BERDATARAN RENDAH (LOW-LYING ISLAND

NATIONS) YANG SELURUH WILAYAHNYA TERENDAM AIR LAUT

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

PAULINA TANDIONO NIM: 090200069

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

STATUS KENEGARAAN (STATEHOOD) NEGARA – NEGARA KEPULAUAN BERDATARAN RENDAH (LOW-LYING ISLAND

NATIONS) YANG SELURUH WILAYAHNYA TERENDAM AIR LAUT

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

PAULINA TANDIONO NIM: 090200069

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui Oleh:

NIP: 196403301993031002 Arif, S.H., M.Hum.

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H

NIP: 196207131988031003 NIP: 196403301993031002 Arif, S.H., M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “STATUS KENEGARAAN (STATEHOOD) NEGARA – NEGARA

KEPULAUAN BERDATARAN RENDAH (LOW-LYING ISLAND

NATIONS) YANG SELURUH WILAYAHNYA TERENDAM AIR LAUT

ini sesuai dengan harapan.

Latar belakang penulisan skripsi ini tidak semata-mata untuk kelulusan kegiatan akademik belaka, tetapi penulis juga ingin mengkaji dan menelaah isu mendesak yang kian mendapat perhatian masyarakat internasional berkaitan dengan statehood negara – negara yang terancam punah. Perubahan iklim secara drastis beberapa dekade terakhir telah mengakibatkan naiknya permukaan laut, sehingga negara-negara kecil seperti Kiribati, Tuvalu dan Maladewa terancam terendam secara keseluruhan. Masyarakat internasional, organisasi internasional dan regional serta negara-negara terus berdebat mengenai statehood negara – negara demikian, dalam forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tentang apakah negara – negara demikian berhak mempertahankan statehood mereka..

Penulis sadar bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak ketidaksempurnaan dan kekurangan, baik yang disebabkan oleh keterbatasan kemampuan penulis maupun panasnya kontroversi pembahasan hukum internasional mengenai isu status hukum dan perlindungan yang selayaknya diberikan kepada orang-orang yang dipaksa meninggalkan negaranya dikarenakan


(4)

lingkungan dan bencana alam. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan skripsi ini dan perkembangan hukum internasional pada umumnya.

Dengan penuh rasa hormat, penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama proses penulisan skripsi dan dalam pembelajaran penulis, yakni:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;

2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum USU, beserta seluruh jajaran pimpinan Fakultas Hukum USU;

3. Bapak Arif, SH, M.Hum. selaku Ketua Departeman Hukum Internasional Fakultas Hukum USU;

4. Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H. selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pkiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan skripsi ini; 5. Bapak Deni Amsari Purba, SH, L.L.M. selaku Dosen Wali penulis yang

telah banyak memberikan arahan dan nasehat selama penulis menimba ilmu di Fakultas Hukum USU;

6. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.LI. selaku Pembina Tim USU dalam Phillip C. Jessup International Moot Court Competition;

7. Dosen-dosen Fakultas Hukum USU yang telah menyumbangkan ilmu yang tidak ternilai bagi penulis;


(5)

8. Seluruh civitas Fakultas Hukum USU: jajaran staf administrasi dan seluruh pegawai Fakultas Hukum USU lainnya;

9. Keluarga Penulis, Ayah dan Ibu tercinta, terima kasih atas cinta dan kasih sayang yang telah diberikan;

10.Saudara-saudara penulis dan keluarga mereka, Angeline dan keluarga, James dan keluarga, dan Christian untuk dukungan dan semangat yang diberikan selama ini;

11.Teman-teman Grup B Wynne Wijaya, Hanssen, Budi Praptio, Sophie Dhinda, Sari Mariska beserta teman-teman ILSA;

12.Senior-senior dan teman-teman di Philip C. Jessup International Law Moot Court Club (ILMCC), Heriyanto, Kak Tere, Kak Lisa, Kak Sandra, Kak Deby, Kak Christie, Kak Lila, Kak Maria, Bang Naan, Bang Frans, Kak Nisa, Kak Dorothy, Yuthi Sinari, Jennifer, Azis Alsa, Michael Timothy, Andi Putra, Herbert, Henjoko, serta anggota-anggota lainnya; 13.Teman-teman Stambuk 2009 Fakultas Hukum USU serta pihak-pihak lain

yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Medan, 20 Maret 2014 Hormat penulis,


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “STATUS KENEGARAAN (STATEHOOD) NEGARA – NEGARA

KEPULAUAN BERDATARAN RENDAH (LOW-LYING ISLAND

NATIONS) YANG SELURUH WILAYAHNYA TERENDAM AIR LAUT

ini sesuai dengan harapan.

Latar belakang penulisan skripsi ini tidak semata-mata untuk kelulusan kegiatan akademik belaka, tetapi penulis juga ingin mengkaji dan menelaah isu mendesak yang kian mendapat perhatian masyarakat internasional berkaitan dengan statehood negara – negara yang terancam punah. Perubahan iklim secara drastis beberapa dekade terakhir telah mengakibatkan naiknya permukaan laut, sehingga negara-negara kecil seperti Kiribati, Tuvalu dan Maladewa terancam terendam secara keseluruhan. Masyarakat internasional, organisasi internasional dan regional serta negara-negara terus berdebat mengenai statehood negara – negara demikian, dalam forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tentang apakah negara – negara demikian berhak mempertahankan statehood mereka..

Penulis sadar bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak ketidaksempurnaan dan kekurangan, baik yang disebabkan oleh keterbatasan kemampuan penulis maupun panasnya kontroversi pembahasan hukum internasional mengenai isu status hukum dan perlindungan yang selayaknya


(7)

diberikan kepada orang-orang yang dipaksa meninggalkan negaranya dikarenakan lingkungan dan bencana alam. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan skripsi ini dan perkembangan hukum internasional pada umumnya.

Dengan penuh rasa hormat, penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama proses penulisan skripsi dan dalam pembelajaran penulis, yakni:

14.Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;

15.Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum USU, beserta seluruh jajaran pimpinan Fakultas Hukum USU;

16.Bapak Arif, SH, M.Hum. selaku Ketua Departeman Hukum Internasional Fakultas Hukum USU;

17.Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H. selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan skripsi ini;

18.Bapak Deni Amsari Purba, SH, L.L.M. selaku Dosen Wali penulis yang telah banyak memberikan arahan dan nasehat selama penulis menimba ilmu di Fakultas Hukum USU;

19.Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.LI. selaku Pembina Tim USU dalam Phillip C. Jessup International Moot Court Competition;

20.Dosen-dosen Fakultas Hukum USU yang telah menyumbangkan ilmu yang tidak ternilai bagi penulis;


(8)

21.Seluruh civitas Fakultas Hukum USU: jajaran staf administrasi dan seluruh pegawai Fakultas Hukum USU lainnya;

22.Keluarga Penulis, Ayah dan Ibu tercinta, terima kasih atas cinta dan kasih sayang yang telah diberikan;

23.Saudara-saudara penulis dan keluarga mereka, Angeline dan keluarga, James dan keluarga, dan Christian untuk dukungan dan semangat yang diberikan selama ini;

24.Teman-teman Grup B Wynne Wijaya, Hanssen, Budi Praptio, Sophie Dhinda, Sari Mariska beserta teman-teman ILSA;

25.Senior-senior dan teman-teman di Philip C. Jessup International Law Moot Court Club (ILMCC), Heriyanto, Kak Tere, Kak Lisa, Kak Sandra, Kak Deby, Kak Christie, Kak Lila, Kak Maria, Bang Naan, Bang Frans, Kak Nisa, Kak Dorothy, Yuthi Sinari, Jennifer, Azis Alsa, Michael Timothy, Andi Putra, Herbert, Henjoko, serta anggota-anggota lainnya; 26.Teman-teman Stambuk 2009 Fakultas Hukum USU serta pihak-pihak lain

yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Medan, 20 Maret 2014 Hormat penulis,

NIM: 090200069 PAULINA TANDIONO


(9)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iv

Abstraksi ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 5

C. TUJUAN PENULISAN ... 6

D. KEASLIAN PENULISAN ... 7

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN ... 8

F. METODE PENELITIAN ... 10

1. Jenis Pendekatan ... 10

2. Data Penelitian ... 10

3. Teknik Pengumpulan Data ... 11

4. Analisis Data ... 12

G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN ... 13

BAB II PENGERTIAN DAN FUNGSI STATUS KENEGARAAN (STATEHOOD) BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL ... 16

A. Pengertian Statehood ... 16

B. Fungsi Statehood dalam Hukum serta Hubungan Internasional ... 19


(10)

1. Subjek – Subjek Hukum Internasional ... 21

i. Negara ... 22

ii. Takhta Suci Vatikan ... 23

iii. Organisasi internasional ... 24

iv. Individu ... 25

v. Komite Internasional Palang Merah ... 26

vi. Pihak – pihak yang bersengketa ... 26

2. Negara sebagai Subjek Hukum Internasional Utama ... 27

BAB III KRITERIA STATUS KENEGARAAN (STATEHOOD) BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL ... 29

A. Kriteria Statehood Berdasarkan Konvensi Montevideo 1933 ... 29

1. Sejarah Lahirnya Kriteria Statehood dalam Konvensi Montevideo..29

2. Tinjauan Umum terhadap Kriteria Statehood Berdasarkan Konvensi Montevideo ... 34

i. Penduduk Yang Permanen (A Permanent Population) ... 35

ii. Wilayah yang Jelas (A Defined Territory) ... 37

iii. Pemerintah yang Berdaulat (Government) ... 41

iv. Kesanggupan Berhubungan dengan Negara Lain (Capacity to Enter into Relations with Other States) ... 43

B. Pengakuan Negara (State Recognition) sebagai Kriteria Statehood ... 45

1. Pengertian State Recognition ... 45


(11)

3. Bentuk - Bentuk State Recognition ... 54

4. Teori yang Dianut dalam State Recognition ... 60

i. Teori Konstitutif ... 60

ii. Teori Deklaratif ... 63

iii.Teori Jalan Tengah ... 66

5. Negara – Negara yang Tetap Diakui Meskipun Tidak Memenuhi Kriteria Statehood Konvensi Montevideo ... 68

i. Ordo Malta... 68

ii. Kosovo ... 71

iii.Somalia ... 78

C. Kemerdekaan (Independence) sebagai Kriteria Statehood ... 82

1. Pengertian Independence ... 84

2. Kedaulatan (Sovereignty) sebagai Manifestasi Independence ... 86

D. Hak Menentukan Nasib Sendiri (Right to Self – Determination) sebagai Kriteria Statehood ... 88

BAB IV STATUS KENEGARAAN (STATEHOOD) NEGARA – NEGARA KEPULAUAN BERDATARAN RENDAH (LOW-LYING ISLAND NATIONS) YANG SELURUH WILAYAHNYA TERENDAM AIR LAUT ... 92

A. Implikasi Kenaikan Permukaan Air Laut terhadap Negara – Negara Kepulauan Berdataran Rendah ... 92

1. Hilangnya Teritori secara Permanen ... 93


(12)

B. Negara – Negara Kepulauan Berdataran Rendah (Low – Lying Island Nations) Tidak Akan Kehilangan Statehood-nya berdasarkan Konvensi

Montevideo ... 97

1. Low-Lying Island Nations Tidak Terikat pada Konvensi Montevideo ... 97

2. Konvensi Montevideo Tidak Mengatur Punahnya Suatu Negara ... 98

3. Doktrin Praduga Kelanjutan Keberadaan Negara (Presumption of State Continuity) ... 100

C. Solusi serta Kendala yang Timbul dalam Mempertahankan Statehood dari Low-Lying Island Nations ... 103

1. Pembelian Wilayah Baru... 103

2. Penyewaan Wilayah Milik Negara Lain ... 106

3. Pembentukan Pulau Buatan ... 110

i. Pulau Buatan Tidak Dapat Dianggap sebagai ‘Teritori yang Jelas’ ... 110

ii. Pulau Buatan Tidak Memberikan Hak – Hak Maritim ... 112

D. Perlindungan atas Situasi Sui Generis dari Low-Lying Island Nations...113

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 117

A. KESIMPULAN ... 117

B. SARAN ... 118


(13)

STATUS KENEGARAAN (STATEHOOD) NEGARA – NEGARA KEPULAUAN BERDATARAN RENDAH (LOW-LYING ISLAND

NATIONS) YANG SELURUH WILAYAHNYA TERENDAM AIR LAUT

*) Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H **) Arif, SH.,M.Hum

***) Paulina Tandiono ABSTRAKSI

Dalam perkembangan masyarakat internasional, belum pernah sekalipun terjadi hilangnya suatu negara secara fisik. Namun, perubahan iklim yang drastis selama beberapa dekade terakhir ini mengancam timbulnya fenomena demikian. Perubahan iklim telah menyebabkan suhu udara di bumi meningkat sehingga es dan salju mencair dengan cepat. Adapun akibat yang paling mengkhawatirkan adalah konsekuensi lanjutannya: naiknya permukaan air laut di seluruh dunia. Kenaikan permukaan air laut akan memiliki dampak parah terhadap negara – negara kepulauan kecil yang hanya memiliki ketinggian rata – rata beberapa meter di atas permukaan laut. Bahkan, teritori negara – negara tersebut mungkin akan terendam seluruhnya. Peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan kompleks di bawah hukum internasional, yaitu apakah negara – negara tersebut tetap dapat mempertahankan status kenegaraannya (statehood) mengingat gagasan kenegaraan meliputi persyaratan wilayah.

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana tinjauan umum terhadap statehood dan kriterianya berdasarkan hukum internasional, bagaimana kriteria statehood lain berdasarkan hukum internasional serta bagaimana statehood negara – negara kepulauan berdataran rendah (low-lying island nations) yang seluruh wilayahnya terendam air laut.

Metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, jurnal, internet, instrumen hukum internasional dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penyusunan karya ilmiah ini.

Inilah saatnya masyarakat internasional bergerak melampaui pemahaman kontemporer akan arti kedaulatan dan kenegaraan dalam sistem hukum internasional demi memungkinkan munculnya konsep-konsep baru mengenai legitimasi negara dan pengakuan. Di samping itu, Konvensi PBB tentang Hukum Laut kurang memberikan perlindungan terhadap negara – negara kepulauan kecil yang terancam keberadaannya beserta klaim – klaim maritimnya. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa dampak kenaikan permukaan air laut tampaknya tidak pernah dibahas dari ketika dirancangnya Konvensi tersebut. Oleh karena itu, ada urgensi untuk mengadakan perubahan dan/atau tambahan terhadap ketentuan di dalamnya demi memberikan perlindungan kepada negara – negara tersebut. Kata kunci: Statehood, Kenegaraan, Teritori

*) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II


(14)

STATUS KENEGARAAN (STATEHOOD) NEGARA – NEGARA KEPULAUAN BERDATARAN RENDAH (LOW-LYING ISLAND

NATIONS) YANG SELURUH WILAYAHNYA TERENDAM AIR LAUT

*) Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H **) Arif, SH.,M.Hum

***) Paulina Tandiono ABSTRAKSI

Dalam perkembangan masyarakat internasional, belum pernah sekalipun terjadi hilangnya suatu negara secara fisik. Namun, perubahan iklim yang drastis selama beberapa dekade terakhir ini mengancam timbulnya fenomena demikian. Perubahan iklim telah menyebabkan suhu udara di bumi meningkat sehingga es dan salju mencair dengan cepat. Adapun akibat yang paling mengkhawatirkan adalah konsekuensi lanjutannya: naiknya permukaan air laut di seluruh dunia. Kenaikan permukaan air laut akan memiliki dampak parah terhadap negara – negara kepulauan kecil yang hanya memiliki ketinggian rata – rata beberapa meter di atas permukaan laut. Bahkan, teritori negara – negara tersebut mungkin akan terendam seluruhnya. Peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan kompleks di bawah hukum internasional, yaitu apakah negara – negara tersebut tetap dapat mempertahankan status kenegaraannya (statehood) mengingat gagasan kenegaraan meliputi persyaratan wilayah.

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana tinjauan umum terhadap statehood dan kriterianya berdasarkan hukum internasional, bagaimana kriteria statehood lain berdasarkan hukum internasional serta bagaimana statehood negara – negara kepulauan berdataran rendah (low-lying island nations) yang seluruh wilayahnya terendam air laut.

Metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, jurnal, internet, instrumen hukum internasional dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penyusunan karya ilmiah ini.

Inilah saatnya masyarakat internasional bergerak melampaui pemahaman kontemporer akan arti kedaulatan dan kenegaraan dalam sistem hukum internasional demi memungkinkan munculnya konsep-konsep baru mengenai legitimasi negara dan pengakuan. Di samping itu, Konvensi PBB tentang Hukum Laut kurang memberikan perlindungan terhadap negara – negara kepulauan kecil yang terancam keberadaannya beserta klaim – klaim maritimnya. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa dampak kenaikan permukaan air laut tampaknya tidak pernah dibahas dari ketika dirancangnya Konvensi tersebut. Oleh karena itu, ada urgensi untuk mengadakan perubahan dan/atau tambahan terhadap ketentuan di dalamnya demi memberikan perlindungan kepada negara – negara tersebut. Kata kunci: Statehood, Kenegaraan, Teritori

*) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II


(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hukum internasional telah mengatur bahwa setiap negara berkewajiban untuk memastikan bahwa aktivitas dalam batas jurisdiksi atau kontrol negaranya tidak menyebabkan kerusakan pada area di luar jurisdiksi nasionalnya.1 Namun, negara-negara maju tidak henti-hentinya menjadi penyumbang terbesar emisi dan gas rumah kaca yang memicu perubahan iklim secara drastis maupun memperparah kondisi alam seluruh dunia ini. Perubahan iklim ini menyebabkan desertifikasi lahan, hilangnya kesuburan tanah, bencana alam seperti angin topan dan banjir dalam skala yang semakin besar dan sering.2

Negara-negara kepulauan kecil (small low-lying states) yang tergabung dalam ‘The Alliance of Small Island States (AOSIS) merupakan negara – negara terkecil di dunia.

3 Akan tetapi, justru negara – negara tersebut adalah pihak yang

paling merasakan dampak perubahan iklim. Maladewa, Tuvalu dan negara-negara lain menghadapi prospek nyata dari banjir, bencana alam hingga hilangnya wilayah (territory) secara permanen.4

Pada kenyataannya, masalah perubahan iklim adalah masalah yang telah diprediksikan sejak lama. Pada tahun 2007, the Intergovernmental Panel on

1 United Nations Framework Convention on Climate Change (1992), Pembukaan para. 8; Rio Declaration on Environment and Development (1992), Prinsip 2

2 A. Barrie Pittock,

Climate Change: The Science, Impacts and Solutions, 2nd ed.,

(Australia: Csiro Publishers, 2009), hal. 298

3 United Nations Demographic Yearbook (2008), Table 3: Population by Sex, Rate of Population Increase, Surface Area and Density, hal. 59-67

4 Rosemary Rayfuse dan Shirley V.Scott,


(16)

Climate Change (“IPCC”) memaparkan bahwa suhu rata - rata udara dan laut sedang meningkat di seluruh dunia, dan bahwa es dan salju mencair dengan pesat.5 Bumi memanas, pola cuaca berubah menjadi ekstrem, termasuk menyebabkan terjadinya angin siklon yang kuat.6 Bahkan, yang lebih

mengkhawatirkan adalah konsekuensi dari hal ini: kenaikan permukaan air laut di seluruh dunia. 7 Peningkatan suhu dari satu sampai empat derajat Celsius (relatif pada tahun 1990-2000) akan berkontribusi terhadap kenaikan permukaan laut minimal 4-6 meter.8

Perubahan iklim global tidak hanya merupakan masalah hukum lingkungan internasional; isu yang harus dihadapi telah bergeser menjadi keamanan global. Ada negara – negara yang direbut secara paksa.

9 Ada negara –

negara yang berakhir eksistensinya disebabkan pergolakan dalam negeri.10

5 IPCC,

Climate Change 2007: The Physical Science Basis: Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change,

Susan Solomon et al. ed., (United Kingdom, Cambridge University Press, 2007), hal. 5

Namun tak pernah sekalipun dalam sejarah manusia ada negara yang lenyap keseluruhan teritorinya. Sehubungan dengan hal ini, IPCC menyimpulkan dengan "keyakinan sangat tinggi" bahwa "negara kepulauan kecil, baik yang terletak di daerah tropis maupun lintang yang lebih tinggi, memiliki karakteristik yang membuat mereka sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, kenaikan permukaan laut, dan

6 IPCC,

Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability: Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Nobuo Mimura et al. ed., (United Kingdom, Cambridge University Press, 2007), hal. 695

7 IPCC,

Climate Change 2007: The Physical Science Basis, loc. cit

8IPCC,

Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability: Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Summary for Policy Makers, (United Kingdom, Cambridge University Press, 2007), hal.

17

9 John G. Stoessinger,

Why Nations Go to War, 8th ed., (New York: Bedford St. Martin's,

2000), hal. 29

10 John T. Rourke,

International Politics on the World Stage, 9th ed., (New York:


(17)

kejadian-kejadian ekstrim”.11 Ini merupakan akibat dari ketinggian wilayah mereka yang hanya berkisar beberapa meter dari permukaan laut ke titik tertinggi di atas permukaan laut.12 Oleh karena itu, kenaikan permukaan air laut akan memiliki dampak yang parah pada negara-negara kepulauan kecil.13 Beberapa

negara, seperti Samoa Barat dan Tahiti, akan membutuhkan dana yang besar demi membangun daerah yang lebih tinggi.14 Akan tetapi, beberapa negara lain seperti Maladewa dan Tuvalu, kemungkinan akan terendam air laut sepenuhnya dan memerlukan lebih dari sekedar pembangunan daerah yang lebih tinggi.15

Dalam hal Kepulauan Maladewa contohnya, kenaikan 0,49 meter pada permukaan laut akan berarti bahwa sebagian yang signifikan dari negara kepulauan tersebut akan tergenang pada tahun 2100.

16 Selain itu, pada tingkat

kenaikan permukaan laut demikian, lima belas persen dari ibukota Maladewa, Malé, akan tenggelam pada tahun 2025, dimana setengahnya akan terendam pada tahun 2100.17

11 IPCC,

Climate Change: Impacts, Adaptation and Vulnerability, op. cit, hal. 687

Pada akhirnya, kenaikan satu meter permukaan air laut pada abad

12 Central Intelligence Agency,

The World Factbook, (Washington DC: United States

Government Printing Office, 2008), hal. 367. Dipaparkan bahwa: Kepulauan Maladewa merupakan suatu negara yang terdiri dari pulau – pulau berdataran rendah dengan ketinggian yang berkisar dari 0 meter hingga 2.4 meter pada titik tertingginya. Di lain pihak, Tuvalu memiliki titik paling rendah pada 0 meter dan titik tertinggi pada 5 meter di atas permukaan laut.

13 United Nations Secretary General,

Report of the Secretary General on Climate Change and Its Possible Security Implications, U.N. DOC. A/64/350 (2009), para. 20

14 David Freestone,

International Law and Global Climate Change, Robin Churchill dan

David Freestone ed., (London: Martinus Nijhoff Publishers, 1991), hal. 117; Alexander Gillespie,

Climate Change, Ozone Depletion and Air Pollution: Legal Commentaries with Policy and Science Considerations (Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2006), hal. 286

15 World Meteorological Organization, Sa

ving Paradise: Ensuring Sustainable Development (2005), dapat diakses pada:

[diakses tanggal 14 Januari 2014]; David Freestone, op. cit, hal. 109

16 Submission of the Maldives to the Office of the U.N. High Commissioner for Human Rights under Human Rights Council Res. 7/23 (2008), dapat diakses pada: [diakses tanggal 14 Januari 2014]


(18)

mendatang akan berarti Maladewa, sebagai suatu negara, benar-benar akan lenyap.18

Meskipun terendamnya seluruh wilayah negara kepulauan kecil akibat naiknya permukaan air laut belum terjadi sampai sekarang ini, kemungkinan terjadinya peristiwa demikian menimbulkan pertanyaan yang kompleks dalam hukum internasional. Salah satunya yakni, apakah dalam hal terendamnya keseluruhan wilayah suatu negara kepulauan, negara tersebut kehilangan status kenegaraannya, mengingat gagasan kenegaraan meliputi persyaratan adanya wilayah tertentu.19

Media dan para akademisi sangat menaruh fokus pada isu perubahan iklim, namun bidang hukum tampaknya tidak memiliki perhatian dan tekad untuk mengatasi masalah status kenegaraan.

20 Status kenegaraan sebenarnya menempati

posisi sentral dalam struktur hukum dan hubungan internasional21 dikarenakan negara merupakan aktor terpenting dalam arena hukum internasional.22 Namun

anehnya, literatur mengenai kriteria – kriteria kenegaraan malah relatif lebih sedikit.23

18 Secretariat of the United Nations Framework Convention on Climate Change, Vulnerability and Adaptation to Climate Change in Small Island Developing States (2007), dapat diakses pada:

19 Montevideo Convention on the Rights and Duties of States (1933), pasal 1 20 Christopher Flavin dan Odil Tunali,

Climate of Hope: New Strategies for Stabilizing the Worlds Atmosphere, (Washington: Worldwatch Institute, 1996), hal. 7-8

21 James Crawford,

The Criteria for Statehood in International Law (1976), 48 BRIT.

Y.B. INT’L L. 93, hal. 93 22 Oriol Casanovas,

Unity and Pluralism in Public International Law, (The Netherlands:

Martinus Nijhoff Publishers, 2001), hal. 110 23 Ian Brownlie,

Principles of Public International Law,5thed., (United States: Oxford

University Press, 1998), hal. 74; Robert Y. Jennings, The Acquisition of Territory in International Law, (Great Britain: Manchester University Press, 1963), hal. 11-12


(19)

Ketidaksempurnaan sistem hukum sebenarnya merupakan suatu hal yang wajar karena instrumen hukum merupakan hasil pemikiran manusia dan seringkali tertinggal oleh fenomena dan perkembangan yang terjadi. Akan tetapi, karena isu ini menyentuh semua bangsa di dunia, sudah sepatutnyalah masyarakat internasional memberi perhatian dan berusaha menangani aspek-aspek perubahan iklim yang berbahaya bagi negara kepulauan kecil ini. 24

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas serta sesuai dengan judul skripsi ini, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana pengertian dan fungsi status kenegaraan (statehood) berdasarkan hukum internasional?

2. Bagaimana kriteria status kenegaraan (statehood) berdasarkan hukum internasional?

3. Bagaimana status kenegaraan (statehood) negara – negara kepulauan berdataran rendah (low-lying island nations) yang seluruh wilayahnya terendam air laut?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penelitian serta penulisan skripsi ini antara lain adalah:

24 William D. Nordhaus,

Economics and Policy Issues in Climate Change, William D.

Nordhaus ed., (New York: Resources for the Future, 1998), hal. 1; Onno Kuik et al., Joint Implementation to Curb Climate Change, Legal and Economic Aspects, (The Netherlands: Kluwer


(20)

1. Untuk mengetahui pengertian dan fungsi status kenegaraan (statehood) berdasarkan hukum internasional.

2. Untuk mengetahui kriteria – kriteria status kenegaraan (statehood) berdasarkan hukum internasional.

3. Untuk mengetahui status kenegaraan (statehood) negara – negara kepulauan berdataran rendah (low-lying island nations) yang seluruh wilayahnya terendam air laut.

Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara umum dan ilmu hukum secara khusus. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat hukum internasional maupun perangkat hukum nasional dalam kaitan dengan status kenegaraan (statehood) negara – negara kepulauan berdataran rendah (low-lying island nations) yang seluruh wilayahnya terendam air laut.

2. Secara praktis

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman yang lebih mendalam bagi pemegang otoritas di dunia serta aparat-aparat hukum yang terkait di tiap-tiap negara mengenai isu status kenegaraan (statehood) negara – negara kepulauan berdataran rendah (low-lying island nations) yang seluruh wilayahnya terendam air laut akibat perubahan iklim.


(21)

D. Keaslian Penulisan

Karya tulis ini merupakan karya tulis asli, sebagai refleksi dan pemahaman dari apa yang telah penulis pelajari selama mengikuti kompetisi The Philip C. Jessup International Law Moot Court Competition 2013. Penulis berupaya untuk menuangkan seluruh gagasan dengan sudut pandang yang netral dengan menguji isu status kenegaraan (statehood) negara – negara kepulauan berdataran rendah (low-lying island nations) yang seluruh wilayahnya terendam air laut dengan instrumen hukum internasional yang mengaturnya, khususnya pro kontra yang ditinjau dari Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara.

Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang “Status Kenegaraan (Statehood) Negara – Negara Kepulauan Berdataran Rendah (Low-Lying Island Nations) yang seluruh wilayahnya terendam air laut” belum pernah ditulis sebelumnya.

Khusus untuk yang terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, keaslian penulisan ini ditunjukkan dengan adanya penegasan dari pihak administrator bagian/jurusan hukum internasional.

E. Tinjauan Kepustakaan

Hukum Internasional dalam pembahasan sebenarnya adalah hukum internasional publik. Menurut Rebecca M.M Wallace, hukum internasional adalah peraturan-peraturan dan norma-norma yang mengatur tindakan negara-negara dan kesatuan lain yang pada suatu saat diakui mempunyai kepribadian


(22)

internasional,seperti misalnya organisasi internasional dan individu,dalam hal hubungan satu dengan yang lainnya.25 Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja mendefinisikan hukum internasional sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara-negara antara negara-negara dengan negara-negara; negara-negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain. 26

Dalam pembahasan isu hukum internasional tidak terlepas dari sumber-sumber hukum internasional yang termaktub dalam pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yaitu:27

a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states (Perjanjian-Perjanjian Internasional);

b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law (Hukum kebiasaan internasional);

c. the general principles of law recognized by civilized nations (Prinsip-prinsip umum hukum internasional);

d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law. (Putusan-putusan pengadilan internasional dan ajaran-ajaran para sarjana terkemuka).

25 Rebecca M.M. Wallace,

Pengantar Hukum International, diterjemahkan oleh Bambang

Arumanadi, SH, Msc, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1993), hal. 1 26 Mochtar Kusumaatmadja,

Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Binacipta,

1990), hal. 3


(23)

Menurut Pasal 1 of the 1933 Montevideo Convention on the Rights and Duties of States, negara memiliki kriteria sebagai berikut:

“The state as a person of international law should possess the following qualifications: a ) a permanent population; b ) a defined territory; c ) government; and d) capacity to enter into relations with the other states’..28

Beberapa ahli juga turut memberi pengertian negara. J. G. Starke mendefinisikan negara sebagai:

“Suatu sistem yang ditetapkan oleh dan diantara manusia itu sendiri, sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan; yang paling penting diantaranya ialah: suatu sistem ketertiban yang menaungi manusia dalam melakukan kegiatan-kegiatannya’..29

Disamping memberikan defenisi, ada pula ahli yang memberi pengertian negara dengan memaparkan kriterianya. Fenwick mendeskripsian kriteria negara sebagai:

“Suatu masyarakat politik yang diorganisasi secara tetap, menduduki suatu daerah tertentu, dan hidup dalam batas-batas daerah tersebut bebas dari pengawasan negara lain, sehingga dapat bertindak sebagai badan yang merdeka di muka bumi’..30

F. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabakan secara ilmiah, maka metode penelitian yang digunakan sebagai berikut:

28 Montevideo Convention on the Rights and Duties of States (1933), pasal 1 29 J.G. Starke,

Introduction to International Law, 9th ed., (United Kingdom:

Butterworths, 1984), hal. 137 30 S. Tasrif,


(24)

1. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis pendekatan dalam penelitian, yaitu pendekatan yuridis sosiologis dan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis sosiologis merupakan pendekatan dengan mengambil data primer atau data yang diambil langsung dari lapangan, sedangkan pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan dengan data sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen). Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif karena yang hendak diteliti dan dianalisa melalui penelitian ini adalah status kenegaraan (statehood) negara – negara kepulauan berdataran rendah (low-lying island nations) yang seluruh wilayahnya terendam air laut.

2. Data Penelitian

Sumber data dari penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap berbagai macam sumber bahan hukum yang dapat diklasifikasikan atas 3 (tiga) jenis, yaitu:31

a. Bahan hukum primer (primary resource atau authoritative records), yaitu: Berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis, sifatnya mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini antara lain adalah berbagai konvensi dan perjanjian internasional seperti 1933 Montevideo Convention on Rights and Duties of States serta berbagai putusan internasional maupun nasional dan resolusi lainnya.

31 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,

Penelitian Hukum Normatif, Cet.Kedua, (Jakarta:


(25)

b. Bahan Hukum Sekunder (secondary resource atau not authoritative records) yaitu:

Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer. Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang isu pengungsi serta perdebatan status hukum dan perlindungan bagi orang-orang yang terpaksa mengungsi karena bencana alam yang ditinjau dari sudut pandang hukum internasional seperti literatur, hasil-hasil penelitian, makalah-makalah dalam seminar, dan lain-lain.

c. Bahan Hukum Tersier (tertiary resource), yaitu:

Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, mencakup kamus bahasa untuk pembenahan bahasa Indonesia serta untuk menerjemahkan beberapa literatur asing.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengna cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan serta jurnal-jurnal hukum.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut :

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.


(26)

b. Melakukan penulusuran kepustakaan melalui, artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengaan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian

4. Analisis Data

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, termasuk pula bahan tersier yang telah disusun secara sistematis sebelumnya, akan dianalisis dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut:32

a. Metode induktif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang berkebenaran empiris. Dalam hal ini, adapun data-data yang telah diperoleh akan dibaca, ditafsirkan, dibandingkan dan diteliti sedemikian rupa sebelum dituangkan dalam satu kesimpulan akhir. b. Metode deduktif, yang bertolak dari suatu proposisi umum yang

kebenarannya telah diketahui (diyakini) yang merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya tidak perlu diragukan lagi dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.

c. Metode komparatif, yaitu dengan melakukan perbandingan (komparasi) antara satu sumber bahan hukum dengan bahan hukum lainnya.

32 Bambang Sunggono,

Metode Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, (Jakarta: Penerbit


(27)

G. Sistematika Pembahasan

Dalam melakukan pembahasan skripsi ini, penulis membagi dalam 5 (lima) bab yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab I Bab I adalah Bab Pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang pemilihan judul, dimana penulis melihat adanya kekosongan hukum dalam dunia internasional mengenai status kenegaraan (statehood) negara – negara kepulauan berdataran rendah (low-lying island nations) yang seluruh wilayahnya terendam air laut. Selanjutnya, bab ini diikuti dengan perumusan masalah, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan yang terakhir yaitu sistematika pembahasan.

Bab II Di dalam bab ini, status kenegaraan (statehood) berdasarkan hukum internasional dibahas secara komprehensif dan mendalam. Bab ini memaparkan tentang definisi serta fungsi statehood dalam hubungan internasional demi memberi gambaran umum tentang pentingnya statehood. Kemudian, dilanjutkan dengan bagaimana statehood memberi status kepada negara sebagai subjek hukum internasional yang utama.

Bab III Bab III membahas segala kriteria statehood yang belaku dalam hukum internasional. Bab ini dimulai dengan pemaparan terhadap kriteria statehood berdasarkan Konvensi Montevideo 1933. Tidak hanya itu, bab ini memaparkan beberapa kriteria lain atas statehood


(28)

di luar Konvensi Montevideo yang berlaku dalam masyarakat internasional. Pertama – tama, yaitu praktek negara – negara dalam menentukan statehood yang tampak dari pengakuan. Pembahasan ini menjadi penting karena pembahasan isu hukum internasional tidak terlepas dari praktek – praktek negara yang merupakan bagian dari masyarakat internasional. Adapun praktek – praktek negara terbagi menjadi dua teori yang dikenal sebagai teori deklaratif dan teori konstitutif. Dijabarkan pula praktek negara sehubungan dengan kasus – kasus nyata yang telah terjadi, yaitu Malta, Kosovo dan Somalia. Pembahasan terakhir dijabarkan dengan mengacu pada kriteria – kriteria statehood lain yang berlaku dalam hukum internasional.

Bab IV Bab ini membahas statehood negara – negara kepulauan berdataran rendah (low-lying island nations) yang seluruh wilayahnya terendam air laut. Pertama – tama, bab ini menjelaskan lebih lanjut implikasi kenaikan permukaan air laut terhadap negara – negara tersebut. Kemudian, bab ini juga menggambarkan hubungan Konvensi Montevideo dengan punahnya keberadaan suatu negara. Dalam pembahasan terakhir dalam bab ini, juga dijabarkan solusi dan kendala yang dapat timbul dalam mempertahankan statehood serta situasi sui generis dalam hukum internasional yang memerlukan perlindungan.


(29)

Bab V Bab ini adalah bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan akan mencakup isi dari semua pembahasan ada bab-bab sebelumnya. Sedangkan saran mencakup gagasan dan usulan dari penulis terhadap permasalahan yang dibahas pada skripsi ini berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya.


(30)

BAB II

PENGERTIAN DAN FUNGSI STATUS KENEGARAAN (STATEHOOD) BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL

A. Pengertian Statehood

Para ahli hukum telah mengemukakan sejumlah definisi statehood. Sejak tahun 1918, Pasquale Fiore, serang ahli hukum dari Italia, telah mendefinisikan statehood dengan memberi penekanan pada kekuasaan politik dan hukum:

The State is an association of a considerable number of men living within a definite territory, constituted in fact as a political society and subject to the supreme authority of a sovereign, who has the power, ability and means to maintain the political organization of the association, with the assistance of the law, and to regulate and protect the rights of the members, to conduct relations with other states and to assume responsibility for its acts.33

(Negara adalah sebuah asosiasi sejumlah besar orang yang hidup dalam suatu wilayah tertentu, yang dibentuk sebagai masyarakat politik dan tunduk pada otoritas tertinggi yang berdaulat, yang memiliki kekuatan, kemampuan dan sarana untuk mempertahankan organisasi politik asosiasi tersebut, dengan bantuan hukum, dan untuk mengatur dan melindungi hak-hak para anggota, untuk melakukan hubungan dengan negara-negara lain dan untuk memikul tanggung jawab atas tindakannya.)

Pada tahun 1930, Thomas Baty dalam bukunya yang berjudul Canons of International Law, mendefinisikan negara sebagai "kumpulan orang – orang yang terorganisir, yaitu, suatu himpunan manusia dimana kehendak milik beberapa dari mereka selalu menjadi apa yang berlaku." 34

33 Pasquale Fiore,

International Law Codified and its Legal Sanction or the Legal Organization of the Society of States, 5th ed., (New York: Baker, 1918), hal. 106

Definisi ini memberi penekanan pada kedaulatan, yaitu kekuatan politik yang terorganisir atas wilayah dan penduduknya. Baty memberi definisi yang sedikit lebih jauh daripada beberapa ahli hukum lainnya dalam mendefinisikan karakter internal negara. Menurutnya,

34 Thomas Baty,


(31)

negara adalah suatu fungsi yang kompleks, yang unsur-unsurnya terdiri dari orang-orang, budaya dan tradisi, tanah yang mereka tinggali, dan organisasi mereka sebagai kesatuan yang utuh."

Juga berbeda dari ahli – ahli lain, Hans Kelsen mencoba untuk mendefinisikan kenegaraan dari segi hukum. Menurutnya, negara bukanlah merupakan individu - individunya, melainkan serikat spesifik dari individu dan serikat ini adalah fungsi dari hukum yang mengatur perilaku bersama mereka. Salah satu hasil teori hukum murni adalah pengakuan bahwa peraturan koersif yang terdiri dari komunitas politik yang kita sebut negara adalah tatanan hukum . Apa yang biasanya disebut tatanan hukum negara, atau tatanan hukum yang didirikan oleh negara, adalah negara itu sendiri . Hukum dan negara biasanya dianggap dua entitas yang berbeda. Tetapi jika diakui bahwa negara pada dasarnya suatu peraturan atas perilaku manusia dan bahwa karakteristik penting dari perautan dan paksaan ini adalah elemen penting dari hukum, maka pandangan dualisme tradisional tidak bisa lagi dipertahankan. 35

Formulasi Kelsen ini tidak menekankan kemerdekaan maupun kepemilikian wilayah sebagaimana definisi sebelumnya. Mengingat perkembangan masa depan, yang paling penting adalah merupakan unsur legalitas internasional. Meskipun negara – negara pada tahun 1930 telah menyatakan keraguan apakah suatu entitas adalah negara jika negara tersebut muncul melalui pelanggaran hukum internasional (misalnya , negara yang disponsori Jepang di Manchuria), Kelsen tidak menganggap pandangan ini sebagai sesuatu yang

35 Hans Kelsen,


(32)

penting. Sebenarnya, sangatlah menarik bahwa seorang ahli hukum yang memikirkan gagasan statehood sebagai tatanan hukum – suatu konsepsi yang progresif dibandingkan dengan yang hanya didasarkan pada efektivitas - tidak banyak mengembangkan gagasan bahwa statehood memerlukan legalitas internasional.36

Meskipun tampak menjanjikan, definisi Kelsen tentang negara sebagai sistem hukum tidak bertahan setelah Perang Dunia II. Hanya sedikit, kalaupun ada, penulis yang tidak mementingkan peran wilayah dan jumlah penduduk. Hersch Lauterpacht, misalnya, justru sangat menekankan faktor-faktor tersebut.

Kelsen tetap menawarkan gagasan kenegaraan yang didirikan atas dasar kekuasaan.

37

Dalam usaha untuk mendefinisikan statehood, masalah yang ada bukanlah tidak adanya sumber-sumber akademis. Ahli – ahli hukum memberikan begitu banyak pandangan tentang hal tersebut. Masalah yang ada, sesungguhnya, adalah Gagasan Kelsen tentang legalitas dan kenegaraan akan tetap ditinjau kembali dalam dimensi baru yang ia sendiri tampaknya telah abaikan - dimensi internasional. Pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, Lauterpacht, meskipun tidak selantang ahli – ahli lain yang menegaskan legalitas internasional sebagai prasyarat untuk kenegaraan, mulai mengisyaratkan pandangan yang sesuai dengan krisis Rhodesia dari tahun 1960-an dan 1970-an, bahwa untuk membentuk kenegaraan, selain kontrol yang efektif, juga diperlukan kepatuhan terhadap standar hukum internasional minimum.

36 Hans Kelsen,

Principles of International Law, 2nd ed., (New York: Holt, Linehart and

Winston, 1966), hal 415 - 416

37 Oppenheim, L. dan Lauterpacht, H,

International Law: A Treatise, Vol I: Peace, 7th ed., (London: Longmans, Green and Co., Ltd., 1948), hal. 118


(33)

kurangnya sumber – sumber hukum lain. Meskipun ada berbagai literatur yang membahas kenegaraan dan parameternya, sangatlah sedikit sumber otoritatif yang menawarkan definisi yang bisa diterapkan negara.

B. Fungsi Statehood dalam Hukum serta Hubungan Internasional

Alasan pentingnya suatu entitas menjadi negara dalam Hukum maupun hubungan internasional secara keseluruhan adalah karena menjadi suatu Negara secara otomatis membuat suatu entitas menjadi "kuat dan termasuk subjek utama dari Hukum Internasional.”38 Sering kali, perselisihan status internasional dari

suatu entitas, atau legalitas penggunaan kekerasan tertentu, atau bahkan atas pelanggaran standar hak asasi manusia, berujung pada sengketa mengenai statehood dari entitas yang bersangkutan.39

Beberapa kapasitas utama pemilik kepribadian internasional, sebagaimana dijabarkan oleh Dixon, yaitu “to make claims before international (and national) tribunals in order to vindicate rights given by international law; to be subject to some or all of the obligations imposed by international law; to have the power to make valid international agreements (treaties) binding in international law; to enjoy some or all of the immunities from the jurisdiction of the national courts of Oleh karena itu, demi memperoleh perlindungan dalam hukum internasional, entitas – entitas lebih memilih untuk menjadi suatu negara agar dapat memperoleh status kepribadian internasional (international legal person).

38 Martin Dixon,

Textbook on International Law, 6th ed., (United States: Oxford

University Press, 2007), hal. 113. 39 James Crawford,


(34)

other states” yang artinya “untuk membuat klaim kepada pengadilan internasional (dan nasional) demi membela hak-hak yang diberikan oleh hukum internasional; untuk tunduk pada beberapa atau semua kewajiban yang dikenakan oleh hukum internasional; untuk memiliki kedudukan dalam membuat perjanjian internasional yang berlaku dan mengikat dalam hukum internasional; untuk menikmati beberapa atau semua kekebalan dari yurisdiksi pengadilan nasional negara lain.”40

Selain daripada itu, pentingnya statehood juga termanifestasi dalam hal – hal lain seputar hubungan internasional. Partisipasi penuh dalam organisasi internasional yang besar baik secara tegas diatur41 maupun dalam prakteknya,42

membutuhkan status kenegaraan suatu pihak tersebut. Demikian juga dalam melakukan berbagai bentuk partisipasi yang lebih terbatas.43 Sudah barang tentu bahwa tiga atau empat entitas berbeda yang statehood-nya ditolak hanya dapat berpartisipasi dalam hubungan internasional dalam lingkup yang sangat terbatas.44

40 Martin Dixon,

op.cit., hal. 112

41 Charter of the United Nations, pasal 4;

Conditions for Admission of a State to Membership in the United Nations,Advisory Opinion, I.C.J. Reports1948, p. 57, hal. 62

42 Misalnya, berdasarkan pasal 1 (2) Covenant of the League of Nations (1919), hanya negara yang dapat memperoleh keanggotaan Liga Bangsa - Bangsa. Misalnya lagi, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang mengaku mewakili "negara" Palestina, pada Mei 1989 mendaftar untuk keanggotaan penuh dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). WHO memutuskan untuk menunda keputusan tentang masalah tersebut selama satu tahun. Sementara "Palestina" bukan negara sebagaimana dimaksud untuk tujuan hukum internasional, PLO juga bukan tipe organisasi yang memenuhi syarat untuk subjektivitas hukum dalam hukum internasional , sehingga baik "Palestina" maupun PLO tidak ada yang memenuhi syarat sebagai anggota. Lihat Keesing’s Contemporary Archives: Record of World Event (United Kingdom: Cartermill International,1990)

43 Charter of the United Nations,

loc.cit, pasal 32 dan 35 (2); Rosalyn Higgins, The Development of International Law through the Political Organs of the United Nations, (London:

Oxford University Press, 1963) hal. 50-52; Sydney D. Bailey, The Procedure of the U.N. Security Council (Oxford: Clarendon Press, 1975), hak. 145-52.

44 Misalnya, Taiwan memang memiliki hubungan bilateral dengan sejumlah Negara-negara yang tidak mengakui klaimnya sebagai pemerintah Cina yang sah. Namun, sejak 1971, tidak memiliki status ntuk segala tujuan yang berhubungan dengan PBB. Lihat Chiu, Hungdah, China and the Question of Taiwan: Documents and Analysis (New York: Praeger Publishers,


(35)

C. Negara sebagai Subjek Hukum Internasional

Menurut Max Sorensen dalam bukunya Manual of Public International Law, untuk dapat dikatakan sebagai subjek hukum dari suatu sistem hukum, maka ada 3 (tiga) syarat penting yang harus dipenuhi, yaitu:45

1. Subjek itu mempunyai kewajiban, yang berarti pula mempunyai tanggung jawab terhadap setiap tindakan sebagaimana yang disebutkan dalam sistem itu.

2. Subjek itu mempunyai kemampuan untuk mendapatkan hak-haknya. 3. Subjek itu memiliki kemampuan untuk mengadakan hubungan hukum

dengan subjek hukum lainnya yang diakui oleh sistem hukum itu.

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa subjek hukum internasional adalah pemegang atau pendukung hak dan kewajiban menurut hukum internasional; dan setiap pemegang atau pendukung hak dan kewajiban menurut hukum internasional adalah Subjek Hukum Internasional.46

1. Subjek – Subjek Hukum Internasional

Pada awal mula kelahiran dan pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang dipandang sebagai subjek hukum internasional. Hal ini oleh karena pada mulanya hukum internasional memang mengatur keberadaan suatu negara47

45 Max Sorensen,

Manual of Public International Law, (New York: Mac Millan-St.

Martin Press, 1968), hal. 235

dan juga karena negara merupakan satu-satunya subjek yang mampu memiliki semua karakteristik yang diperlukan untuk menjadi subjek hukum internasional. Akan tetapi dalam perkembangannya, pendukung hak dan

46 I Wayan Parthiana,

Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Penerbit Mandar Maju,


(36)

kewajiban dalam hukum internasional pada saat ini ternyata tidak terbatas pada Negara saja tetapi juga meliputi subyek hukum internasional lainnya. Hal ini disebabkan adanya perkembangan ataupun kemajuan di bidang teknologi, telekomunikasi dan transportasi dimana kebutuhan manusia semakin meningkat cepat sehingga menimbulkan interaksi yang semakin kompleks.48

Dalam perkembangan hukum internasional dewasa ini, maka kita mengenal subjek hukum internasional sebagai berikut:

i. Negara

J.L.Brierly memberikan definisi terhadap negara dalam bukunya The Law of Nations, yaitu suatu lembaga (institution), sebagai suatu wadah dimana manusia mencapai tujuan-tujuannya dan dapat melaksanakan kegiatan-kegiatannya.49 Dalam hal ini, Grotius juga mendefinisikan negara sebagai “sebuah asosiasi utuh dari manusia yang bebas, yang bergabung bersama-sama demi menikmati hak-hak dan kepentingan bersama mereka.”50

Hak – hak negara yang berhubungan dengan kedudukan negara terhadap negara lain yang sering diutarakan ialah hak kemerdekaan, hak kesederajatan dan hak untuk mempertahankan diri. Adapun kewajiban negara yang berhubungan dengan kedudukan negara tersebut terhadap negara lain yang sering diutarakan Hanya negara yang berdaulat atau negara yang merdeka saja yang dapat menjadi subjek hukum internasional.

48 Haryomataram, KGPH,

Pengantar Hukum Humaniter, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,

2005), hal. 78

49 James L. Brierly,

The Law of Nations, 5thed., (Oxford: Clarendon Press, 1955), hal 118

50 Perez Zagorin,

Hobbes and the Law of Nature (Princeton: Princeton University Press,


(37)

ialah tidak melakukan perang, melaksanakan perjanjian internasional dengan itikad baik dan tidak mencampuri urusan negara lain.51

ii. Takhta Suci Vatikan

Takhta Suci Vatikan yang mempunyai nama resmi Stato della Cittá del Vaticano, merupakan negara merdeka terkecil di dunia. Terletak di tengah kota Roma, ibukota Italia. Luas negara Vatikan hanya 0,44 Km persegi atau 44 hektar dengan jumlah penduduk ± 1.000 jiwa.52 Takhta Suci Vatikan merupakan subjek hukum internasional yang telah ada sejak dahulu. Hal ini didasarkan pada sejarah bahwa pada zaman dahulu Paus tidak hanya merupakan Kepala Gereja Roma, tetapi juga memiliki kekuasaan duniawi.53

Pada Tahun 1870 tentara Kerajaan Italia menyerbu masuk kota Roma dan menguasai seluruh wilayah negara Kepausan. Paus pada waktu itu, yaitu Paus Pius IX, merasa bahwa pemerintah Italia telah mengambil wilayahnya secara tidak sah. Sebagai tanda protesnya, Paus Pius IX secara sukarela meminta untuk ditahan di penjara yang berada di Vatican City. Protes ini ternyata diteruskan oleh empat penerusnya hingga tahun 1929. Pada tahun 1929 itulah diadakan perundingan antara wakil kota Vatican dengan pemerintah Italia. Perundingan itu menghasilkan Perjanjian Lateran (Lateran Treaty) yang diadakan pada tanggal 11 Februari 1929 (diratifikasi pada tanggal 7 Juni 1929) yang antara lain berisi pengembalian sebidang tanah di kota Roma kepada Takhta Suci yang

51 F. Sugeng Istanto,

Hukum Internasional, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 1998),

hal. 29

52 Hassan Shadily,

et.al., Ensklopedi Indonesia, Jilid II, (Jakarta: PT Ichtiar Baru-Van


(38)

memungkinkan didirikannya negara Vatikan. Dengan demikian perjanjian ini mengakui Vatican City sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.54

iii. Organisasi internasional

Organisasi-organisasi internasional telah memainkan peran penting dalam hubungan internasional. Sejak abad kesembilan belas semakin banyak organisasi – organisasi internasional yang berkembang dan dengan demikian muncul isu mengenai kepribadian hukum internasional dari organisasi tersebut. Prof. Peter Malanczuk, dalam bukunya “Akehurst’s Modern Introduction to International Law”, menyebutkan bahwa organisasi internasional memiliki personalitas hukum (legal personality) yang terbatas pada hak-hak internasional dan kewajiban-kewajiban. Secara umum, personalitas hukum dari suatu organisasi internasional terbatas pada traktat yang menjadi dasar pembentukannya yang menjabarkan hak-hak dan tugas-tugas organisasi untuk mencapai tujuan tertentu yang dimandatkan kepadanya.55 Personalitas hukum ini mutlak guna memungkinkan organisasi

internasional untuk dapat berfungsi dalam hubungan internasional, khususnya kepentingan untuk melaksanakan fungsi hukum, seperti membuat kontrak, membuat perjanjian, mengajukan tuntutan hukum, 56 dan memiliki imunitas dan hak-hak tertentu dalam rangka menjalankan fungsinya.57

54 Grolier Incorporated,

Lands and Peoples, Europe-4, (Danbury, Connecticut, USA:

Grolier Incorporated, 1981), hal 177-180; Rebecca M.M. Wallace, op.cit., hal 79-80

55 Peter Malanczuk,

Akehurst's Modern Introduction to International Law, 7th ed.,

(United States: Taylor & Francis, 1997), hal 92 56 Ade Maman Suherman,

Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, (Jakarta: PT Ghalia Indonesia, 2003), hal 71

57

K. Ginther,International Organizations, Responsibility (1995), Encyclopedia of Public


(39)

Organisasi internasional telah diakui keberadaannya sebagai subjek hukum internasional, sebagaimana dipertegas oleh Mahkamah Internasional dalam Advisory Opinion-nya dalam kasus Reparation for Injuries.58

iv. Individu

Pertanyaan tentang status individu dalam hukum internasional erat terikat dengan perkembangan perlindungan internasional terhadap hak asasi manusia. Memang, awalnya, individu kurang memiliki kedudukan untuk dapat menuntut pelanggaran terhadap perjanjian internasional tanpa adanya protes dari negara kebangsaannya.59

Dalam perjanjian Perdamaian Versailles tahun 1919 yang mengakhiri Perang Dunia I antara Jerman dengan Inggris dan Prancis, dengan masing – masing sekutunya, sudah terdapat pasal – pasal yang memungkinkan orang perorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase Internasional,

Namun, dalam perkembangannya, ternyata tidaklah demikian.

60

sehingga dengan demikian sudah ditinggalkan dalil lama bahwa hanya negara yang bisa menjadi pihak di hadapan sutau peradilan internasional. Demikian pula Pengadilan yang dibuat berdasarkan Upper Silesia Convention tahun 1922 memutuskan bahwa badan tersebut kompeten untuk mengadili kasus-kasus warga negara dari suatu negara melawan negaranya sendiri.61

Sejak saat itu, berbagai perjanjian lainnya telah tersedia bagi individu untuk memiliki hak dan akses langsung ke badan maupun pengadilan internasional.

58

Reparation for Injuries Suffered in the Service of the United Nations, Advisory

Opinion: ICJ Reports 1949, p. 174, hal 318 59

US v. Noriega, [1990]746 F.Supp. 1506 (United States), hal 1533

60 Treaty of Versailles (1919), pasal 297 dan 304 61


(40)

Beberapa di antaranya yaitu European Convention on Human Rights, 1950; European Communities Treaties, 1957; Inter-American Convention on Human Rights, 1969; Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, 1966; dan International Convention for the Eliminationmof All Forms of Racial Discrimination, 1965.

v. Komite Internasional Palang Merah

International Committee of the Red Cross (“ICRC”) berkedudukan di Geneve dan Badan inilah yang dapat menjadi subjek hukum internasional, sedangkan Palang Merah masing-masing negara tidak dapat menjadi subjek hukum internasional. ICRC yang menjadi subjek hukum internasional karena faktor sejarah tersebut mempunyai kedudukan yang unik dalam sejarah pertumbuhan hukum internasional.62

Komite Internasional Palang Merah merupakan suatu badan non-pemerintah yang didirikan berdasarkan hukum Swiss yang diberikan fungsi khusus di bawah Konvensi Jenewa Palang Merah 1949 dan telah diterima secara luas untuk dapat terlibat dalam perjanjian internasional di bawah hukum internasional dengan masyarakat internasional, seperti dengan European Economic Community dalam Program Pangan Dunia.63

vi. Pihak-pihak yang bersengketa

Hukum internasional telah mengakui bahwa phak - pihak tersebut, dalam keadaan tertentu dan tergantung pada administrasi de facto wilayah tertentu, dapat

62 Prof. Sanwani Nasution, SH,

et.al., Hukum Internasional (Suatu Pengantar), (Medan:

Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1992), hal 40 63

Yearbook of the International Law Commission, Vol. II, (USA: United Nations


(41)

mengadakan peraturan. 64 Selain itu mereka terikat oleh aturan-aturan hukum internasional yang sehubungan dengan perilaku dalam perang dan mungkin pada waktunya dapat diakui sebagai pemerintah. Kepribadian hukum dari pihak – pihak yang bersengketa ini tampak dari fakta bahwa Dewan Keamanan PBB mengizinkan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) untuk berpartisipasi dalam debat anggota dengan hak partisipasi yang sama seperti yang dianugerahkan kepada negara anggota yang bukan anggota Dewan Keamanan.65 Terlebih lagi, PLO menandatangani Israel–PLO Declaration of Principles on Interim Self-Government Arrangements di Washington pada 13 September 1993.66

2. Negara sebagai Subjek Hukum Internasional Utama

Dengan demikian, jelaslah bahwa pihak – pihak yang bersengketa juga memiliki kepribadian hukum dalam hukum internasional.

Pada dasarnya Negara merupakan subjek hukum yang terutama (par excellence) dibanding dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya. Sebagai subjek hukum internasional, negara memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional.67 Misalnya, ‘individu’ tidak memiliki hak atas Zona Ekonomi Eksklusif – suatu hak yang ada hanya pada negara.68

64 Antonio Cassese,

International Law, (Oxford: Oxford University Press, 2001), hal 124

Demikian

65

Yearbook of the United Nations, (New York: United Nations Department of Public

Information, 1972), hal. 70; Yearbook of the United Nations, Volume 32, (New York: United

Nations Department of Public Information, 1978), hal. 297 66

Declaration of Principles on Interim Self-Government Arrangements (1993), 32 ILM

1525. Perlu diketahui bahwa masing – masing pihak, Perdana Menteri Israel dan Ketua PLO, melalui suratnya menyatakan pengakuan dan komitmennya terhadap proses perdamaian tersebut pada tanggal 9 September 1993.

67 Huala Adolf, SH,

Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, (Jakarta: Rajawali


(42)

pula, ‘individu’ tidak dapat memohon jurisdiksi Mahkamah Internasional.69 Faktanya, bahkan ketika hak – hak tertentu ada pada individu, penegakannya hanya dimungkinkan melalui negara dengan mengatasnamakan namanya. Ian Brownlie menyatakan bahwa hanya negara-lah yang ternyata memenuhi kriteria subjek hukum internasional secara penuh, sedangkan subjek hukum internasional lainnya belum tentu atau bahkan tidak memenuhi kriteria tersebut secara keseluruhan, sehingga negara dapat pula disebut sebagai subjek hukum internasional yang utuh.70

69 Statute of the International Court of Justice, Jun. 26 (1945), 1 U.N.T.S. 933, pasal 34(1) 70 Ian Brownlie,


(43)

BAB III

KRITERIA STATUS KENEGARAAN (STATEHOOD) BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL

A. Kriteria Statehood Berdasarkan Konvensi Montevideo 1933

1. Sejarah Lahirnya Kriteria Statehood dalam Konvensi Montevideo

Memang, teks Konvensi Montevideo tidak menjelaskan asal-usul kriteria negara. Namun demikian, sejak perumusannya pada Konferensi Internasional Ketujuh Negara-Negara Amerika, Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara telah menjadi titik rujukan utama dalam upaya untuk penentuan statehood. James Crawford , dalam bukunya The Creation of States in International Law dengan tepat menyebut Pasal 1 Konvensi tersebut sebagai "formulasi yang paling terkenal dari kriteria dasar statehood.”71

Pada tahun 1930-an dan 1940-an, sesaat setelah penandatanganan Konvensi tersebut oleh Amerika Serikat dan negara-negara Pan-Amerika lainnya,

72

71James Crawford,

op.cit., hal. 36

terdapat banyak kutipan terhadap isi Konvensi. Empat unsur statehood yang ditawarkan oleh Konvensi tersebut mungkin bahkan lebih sering dikutip dalam beberapa tahun terakhir, sehingga kutipan terhadap Konvensi tersebut dalam diskusi kontemporer tentang kenegaraan sudah hampir menjadi suatu

72 Negara – negara yang menandatangani Konvensi tersebut antara lain Honduras, Amerika Serikat, El Salvador, Republik Dominika, Haiti, Argentina, Venezuela, Uruguay, Meksiko, Panama, Bolivia, Guatemala, Brazil, Ekuador, Nikaragua, Kolombia, Chili, Peru, dan


(44)

refleks.73

“In [judging whether to recognize an entity as a state], the United States has traditionally looked to the establishment of certain facts. These facts include effective control over a clearly defined territory and population; an organized governmental administration of that territory; and a capacity to act effectively to conduct foreign relations and to fulfill international obligations yang artinya

“[dalam penilaiannya apakah suatu entitas layak untuk diakui sebagai Negara], Amerika Serikat selalu menguji beberapa fakta. Fakta-fakta ini mencakup penguasaan efektif terhadap suatu wilayah yang jelas batasannya dan populasi, penyelenggaraan suatu pemerintahan yang tersusun di wilayah tersebut, serta kapasitas untuk bertindak secara efektif dalam melakukan hubungan luar negeri dan dalam memenuhi kewajiban internasionalnya.

Bahkan beberapa sumber, mengutip kriteria Montevideo kata per kata, dengan tanpa menyebutkan acuannya dari Konvensi tersebut. Dan tanpa menghubungkan definisi mereka. Sebagai contoh, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, menulis pada tahun 1976:

74

Meskipun kriteria Montevideo sering menjadi batu uji untuk mendefinisikan sebuah negara, tidak banyak diadakan pengujian terhadap asal muasal kriteria-kriteria tersebut. Acuan terhadap Konvensi tersebut yang didapat dalam literatur akademik pada tahun 1930-an dan 1940-an bahkan tidak memberikan penjelasan tentang mengapa perancang konvensi memilih konstruksi yang diadopsi tersebut. Sarjana-sarjana hukum internasional yang menyebutkan

73 Rosalyn Higgins, Problems and Process: International Law and How We Use It (Oxford: Clarendon Press, 1994), hal 39

74 United States Department of State Press Relations Office Notice, Nov. 1, 1976, sebagaimana dikutip oleh Eleanor C. McDowell, Contemporary Practice of the United States Relating to International Law, 71 Am. J. Int'l L. 337 (1977)


(45)

tentang kriteria Montevideo selama setengah abad terakhir juga belum menjelaskan asal muasalnya

Bahwa kurangnya pengujian terhadap konstruksi isi Konvensi Montevideo mencerminkan fakta bahwa isi Konvensi tersebut merupakan pernyataan kembali ide-ide yang lazim pada saat pembahasan konvensi. Para pengamat kontemporer tidak banyak menanyakan tentang basis ataupun asal kriteria tersebut, dan hal ini menunjukkan bahwa kriteria tersebut banyak diterima, yaitu bahwa inti dari kriteria Montevideo meletakkan konsep efektivitas, populasi, dan teritori. Pada akhir 1930-an, kriteria-kriteria ini tampaknya merupakan penjelasan yang sudah lama terbentuk dalam hukum internasional. Sejatinya memang kriteria-kriteria tersebut tidak baru. Georg Jellinek, yang menulis pada akhir abad kesembilan belas, telah mengemukakan sebuah Drei - Elementen – Lehre, yakni sebuah "doktrin tiga elemen" - dan hal ini yang menjadi inti dari kriteria Montevideo.75

Henry Wheaton menulis, "Ketaatan dari para anggota dari setiap masyarakat politik kepada otoritas yang lebih unggul harus ada untuk membentuk suatu negara yang berdaulat."

Pada tahun 1930-an, tiga elemen ini secara luas dianggap sebagai elemen statehood. Unsur-unsur efektivitas, populasi, dan teritori yang digunakan sebagai elemen dasar statehood (ataupun kedaulatan) oleh banyak sarjana sejak setengah abad mencerminkan luasnya penggunaan kriteria tersebut dan menjadi dasar dicanangkannya kriteria tersebut dalam Konvensi Montevideo.

76

75 Thomas D. Grant,

Defining Statehood: The Montevideo Convention and Its Discontents, 37 Colum. J. Transnat'l L. 403 (1999), hal. 416

Wheaton menambahkan pernyataan tersebut ke

76 Henry Wheaton,


(46)

dalam definisi statehood dikarenakan oleh sarjana klasik: Cicero, yang menurut Wheaton, telah mendefinisikan negara menjadi "sebuah badan politik, atau masyarakat manusia, yang bersatu demi meningkatkan keselamatan dan keuntungan bersama dengan gabungan kekuatan mereka."77

James Lorimer juga berpandangan bahwa efektivitas negara adalah penting untuk pengakuannya dengan mengatakan bahwa "In order to be entitled to recognition, a State must presumably possess: (a) the will to reciprocate the recognition which it demands; (b) the power to reciprocate the recognition which it demands” yang artinya “agar layak diakui, suatu Negara seharusnya memiliki: (a) keinginan untuk membalas pengakuan yang ia minta; (b) kekuatan untuk membalas pengakuan yang ia minta."

Kekuasaan memainkan peran utama dalam definisi Wheaton mengenai statehood.

78 Lorimer, yang mengusulkan rumusan tersebut pada tahun 1883, kemudian diikuti oleh sarjana lain. Hannis Taylor menulis pada pergantian abad ini bahwa Roma dan penggantinya yang berupa kekuasaan yang tersusun di dunia Mediterania, Gereja Kristen, memeluk gagasan mengenai negara universal. Pandangan ini berarti bahwa hanya satu negara, yang meliputi lebar dan luasnya dunia yang dikenal pada saat itu, serta menolak status hukum penuh untuk entitas yang berada di luar kerajaan tersebut. Universalisme Romawi tersebut ternyata memberi jalan, untuk munculnya sebuah keyakinan bahwa kedaulatan teritorial menjadi akar statehood.79

77

Ibid, hal. 25

William Hall, sarjana lain

78 James Lorimer, LL.D.,

The Institutes of the Law of Nations: A Treatise of the Jural Relations of Separate Political Communities, (Edinburgh: W. Blackwood and Sons, 1883), hal.

109

79 Hannis Taylor,

A Treatise on International Public Law, (London: Sweet & Maxwell,


(47)

yang menulis tentang kriteria yang mungkin paling mendekati kriteria Montevideo sebelum kodifikasi criteria tersebut dalam konvensi, menulis, "The marks of an independent State are, that the community constituting it is permanently established for a political end, that it possesses a defined territory, and that it is independent of external control” yang artinya “tanda dari sebuah negara merdeka adalah, bahwa masyarakat yang menyusun negara tersebut secara permanen didirikan untuk sebuah tujuan politik, dan bahwa ia memiliki wilayah yang jelas batasannya, dan bahwa negara tersebut bebas dari kekuasaan eksternal." 80

Ide-ide di balik kriteria Montevideo berakar dalam komunitas hukum internasional pada masa Konvensi tersebut - begitu dalamnya sehingga para arbiter di Deutsche Continental Gas - Gesellschaft (1929) dapat menempatkan sebuah gagasan tanpa harus banyak memberikan penjelasan bahwa "state does not exist unless it fulfills the conditions of possessing a territory, a people inhabiting that territory, and a public power which is exercised over the people and the territory."81

Konsensus terhadap teritori, populasi, dan efektivitas di saat menjelang Konvensi Montevideo mungkin menjelaskan kelangkaan pengujian terhadap elemen-elemen Konvensi. Walaupun demikian, konsensus tersebut mengaburkan fakta bahwa konsep tersebut tidaklah mutlak. Meskipun kriteria yang diuraikan di Montevideo sangat banyak merupakan bagian dari lingkungan hukum internasional pada tahun 1933, kekuasaan teritorial, populasi, dan efektivitas tidak

80 William E. Hall,

A Treatise on International Law, 8th ed., (Oxford: Clarendon Press,

1924), hal. 18 81


(48)

memonopoli teori negara untuk jangka waktu yang lama.

2. Tinjauan Umum terhadap Kriteria Statehood Berdasarkan Konvensi Montevideo

Pasal 1 Konvensi Montevideo berbunyi: “The state as a person of international law should possess the following qualifications:

(a) a permanent population; (b) a defined territory; (c) government; and

(d) capacity to enter into relations with the other states.”82

Seluruh kriteria yang diutarakan Konvensi tersebut didasarkan pada prinsip keefektifitasan,

83 sejalan dengan the prinsip ‘ex factis jus oritur’ yang

berarti bahwa konsekuensi hukum melekat pada fakta - fakta konkret.84 Perlu diketahui bahwa Konvensi Montevideo merupakan satu-satunya yang berupaya memperkenalkan definisi normatif dari konsep negara. Kriteria yang tercantum dalam dokumen ini telah mencapai signifikansi dalam perkembangan hukum internasional. Beberapa yurisprudensi bahkan mengakui bahwa kriteria statehood ini telah mencapai status hukum kebiasaan internasional.85

82 Montevideo Convention on the Rights and Duties of States,

op.cit., pasal 1

Oleh karena itu, persyaratan ini telah menjadi identik dengan gagasan statehood.

83 Konvensi Montevideo ini disahkan pada Konferensi Internasional negara – negara Amerika di kota Montevideo yang ke – 7 pada 26 Desember 1933. Lima belas negara Amerika Latin yang menghadiri Konferensi ini dan Amerika Serikat adalah juga peserta konvensi ini. Konvensi ini, dan terutama pasal 1 nya, telah diterima dan dianggap sebagai unsur - unsur yang umum sebagai prasyarat adanya suatu negara menurut hukum internasional

84 Demola Okeowo,

Statehood, Effectivenes and the Kosovo Declaration of Independence

(2008), dapat diakses pada: 85

Republic of Somalia v. Woodhouse Drake Carey Suisse S.A, [1993] 1 All ER 371


(49)

Seperti yang terlihat dari pertimbangan-pertimbangan di atas, jelaslah sudah bahwa kriteria tradisional statehood didasarkan pada keberadaan penduduk permanen, wilayah tertentu dan pemerintahan yang berdaulat. Mengingat fakta bahwa Konvensi Montevideo juga mengacu pada "kesanggupan untuk berhubungan dengan negara-negara lain", harus dicatat bahwa persyaratan terakhir ini tidak sama pentingnya dalam membuktikan dasar empiris kenegaraan, seperti tiga kriteria pertama.

i. Penduduk Yang Permanen (A Permanent Population)

Kriteria ini mengisyaratkan bahwa populasi permanen sebagai suatu negara merupakan "sebuah organisasi dari individu – individu”.86 Oleh karena itu, suatu pulau atau suatu wilayah tanpa penduduk tidak mungkin menjadi suatu negara.87

Dalam bukunya yang berjudul International Law, Evans menyatakan bahwa jumlah penduduk tidak penting untuk menjadi sebuah negara, dimana Konvensi Montevideo sendiri juga menyatakan bahwa tidak ada batas minimum wajib atas jumlah penduduk untuk dapat memperoleh statehood, tetapi disebutkan pula bahwa "harus ada populasi yang memiliki hubungan eksklusif kebangsaan dengan Negara kelahirannya.

88

Limited, The Bank of Tokyo Limited, The Governor and Company of the Bank of Scotland and Orion Royal Bank, Limited v. Republic of Palau, [1991] 924 F.2d 1237 (United States), hal. 1243

Hal ini didukung oleh Mahkamah Internasional dalam kasus Legal Status of Eastern Greenland pada tahun 1933 dengan

86 David Raič,

Statehood and the Law of Self-Determination, (The Hague: Kluwer Law

International, 2002), hal. 58 87 Boer Mauna,

Hukum Internasional – Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, (Bandung: PT Alumni, 2005), hal. 17

88 Evans, M. D.,


(50)

menyatakan bahwa negara yang berpenduduk jarang pun tetap memiliki kedaulatan teritorial.89 Adapun penduduk yang dimaksudkan disini juga tidak harus dikaitkan dengan soal agama, ras etnik atau sub etnik, warna kulit dan lain-lain yang secara faktor mengandung perbedaan-perbedaan. Jadi penduduk atau rakyat suatu negara bisa saja terdiri dari pelbagai kelompok penganut agama atau kepercayaan, pelbagai ras, suku bangsa ataupun pelbagai warna kulit.90

Diisyaratkan pula bahwa penduduk dimaksud haruslah menetap di dalam wilayah dari negara tersebut atau adanya unsur kediaman secara tetap. Pertimbangan berikut ini relevan berkaitan dengan syarat wilayah permanen:

1. Penduduk harus memiliki niat untuk menghuni wilayah itu secara permanen.

2. Wilayah yang diklaim harus layak huni.91

Sehubungan dengan ini, suatu suku yang berkeliaran, meskipun memiliki Pemerintah dan terorganisir, tidak dapat dinyatakan sebagai Negara sampai suku tersebut telah menetap di wilayahnya sendiri.

92 Dengan kata lain, penduduk yang tidak mendiami suatu wilayah secara tetap dan selalu berkelana (nomad) tidak dapat dinamakan sebagai unsur konstitutif pembentukan suatu negara.93

Juga, tidak ada pembatasan tentang jumlah penduduk yang diperlukan untuk mendirikan suatu negara. Disamping terdapat negara-negara dengan jumlah

89

Case Concerning Legal Status of Eastern Greenland (Denmark v Norway), Judgement,

P.C.I.J. Rep Series A/B No. 53 (1933), hal 45 - 46 90 I Wayan Parthiana,

op.cit., hal. 63

91 David Raič,

op.cit, hal. 58

92 Boer Mauna,

op.cit., hal. 17

93 Boer Mauna,


(1)

Yearbook of the International Law Commission, Vol. I, (New York: United Nations Publication, 1954)

Yearbook of the International Law Commission, Vol. II, (New York: United Nations Publication, 1966)

Yearbook of the International Law Commission, Vol. II, (New York: United Nations Publication, 1981)

Yearbook of the United Nations, Vol. 32, (New York: United Nations Department of Public Information, 1978)

Yearbook of the United Nations, (New York: United Nations Department of Public Information, 1972)

6. Putusan Pengadilan Internasional

Aaland Islands Case, Advisory Opinion, International Committee of Jurists, League of Nations Official Journal Spec. Supp 3 (1920)

Accordance with International Law of the Unilateral Declaration of Independence in Respect of Kosovo, Advisory Opinion, I.C.J. Reports 2010, p. 403

Custom Regime between Germany and Austria, Advisory Opinion, P.C.I.J. Rep Series A/B No. 41 (1931)

Case Concerning Frontier Dispute (Burkina Faso v. Mali), Judgment, ICJ Reports 1986, p. 554

Case concerning East Timor (Portugal v. Australia), Judgement, I.C.J. Reports 1995, p. 90


(2)

Case Concerning Land, Island and Maritime Frontier Dispute (El Salvador v. Honduras: Nicaragua intervening), Judgment, ICJ Reports 1992, p. 351 Case Concerning Legal Status of Eastern Greenland (Denmark v. Norway),

Judgement, P.C.I.J. Rep Series A/B No. 53 (1933)

Case Concerning Military and Paramilitary Activities in and against Nicaragua (Nicaragua v. United States), Judgement, I.C.J. Reports 1986, p. 14

Case Concerning the Barcelona Traction, Light and Power Company, Limited (Belgium v. Spain), Separate Opinion of Judge Ammoun, I.C.J. Reports 1970, p. 3

Case Concerning the Territorial Dispute (Libyan Arab Jamahiriya v.Chad), Judgement, I.C.J. Reports 1994, p. 6

Conditions for Admission of a State to Membership in the United Nations, Advisory Opinion, I.C.J. Reports 1948, p. 57

Deutsche Continental Gas-Gesellschaft v. Polish State, German–Polish Mixed Arbitral Tribunal, 5 A.D. 11 (1929)

North Sea Continental Shelf Cases (Federal Republic of Germany v. Denmark and Federal Republic of Germany v. Netherlands), Judgement, I.C.J. Reports 1969, p. 3

Nottebohm Case (Liechtenstein v. Guatemala), Judgment, I.C.J. Reports 1955, p. 4

Opinions on Questions arising from the Dissolution of Yugoslavia, Conference on Yugoslavia Arbitration Commission, 31 ILM 1488 (1922)


(3)

Prosecutor v. Delalić, Int'l Crim. Trib. for the Former Yugoslavia, Case No. IT-96-21-T (1998)

Reparation for Injuries Suffered in the Service of the United Nations, Advisory Opinion: I.C.J. Reports 1949, p. 174

Status of Eastern Carelia (USSR v. Finland), Advisory Opinion, P.C.I.J. Rep Series B No. 5 (1923)

Steiner and Gross v. Polish State, Upper Silesian Arbitral Tribunal, 4 AD 291 (1928)

The Island of Palmas case (United States of America v. the Netherlands), United Nations, Reports of International Arbitral Awards, Vol. II, p. 829 (1982) The Legal Consequences for States of the Continued Presence of South Africa in

Namibia (South West Africa) Notwithstanding Security Council Resolution 276, Advisory Opinion, I.C.J. Reports 1971, p. 16

Tinoco Claims Arbitration (Great Britain v. Costa Rica), United Nations, Reports of International Arbitral Awards, Vol. I, p. 375 (1923)

Western Sahara, Advisory Opinion, I.C.J. Reports 1975, p. 12

7. Putusan Pengadilan Nasional

Association of Italian Knights of the Order of Malta v. Piccoli, (1984) 65 ILR (Italy)

Democratic Republic of East Timor, Fretilin and Others v. State of the Netherlands, (1992) 87 ILR 73 (Netherlands)


(4)

Falen Gherebi, et al., v. George W. Bush, President of The United States, et al., (2003) 352 F.3d 1278 (United States)

Fleming v. Page, (1850) 50 U.S. 603 (United States) Kadic v. Karadžić, (1995) 34 ILM 1592 (United States)

Klinghoffer v. SNC Achille Lauro Ed Altri-Gestione Motonave Achille Lauro in Amministrazione Straordinaria, (1991) 937 F.2d 44 (United States)

Knox v. Palestine Liberation Organization, (2004) 306 F.2d 424 (United States) Lakhdar Boumediene, et al. v. George W. Bush, President of The United States, et

al., (2008) 128 S. Ct. 2253 (United States)

Morgan Guar Trust Co. Of New York, Morgan Grenfell & Co., Limited, The Bank of Tokyo Limited, The Governor and Company of the Bank of Scotland and Orion Royal Bank, Limited v. Republic of Palau, (1991) 924 F.2d 1237 (United States)

Re Duchy of Sealand, (1978) 80 I.L.R. 685 (Germany)

Reference re Secession of Quebec, (1998) 2 S.C.R 217 (Canada)

Republic of Somalia v. Woodhouse Drake Carey Suisse S.A, [1993] 1 All ER 371 (United Kingdom)

Spelar v. U.S., (1949) 338 U.S. 217 (United States)

State v. Banda and Others, (1989) (4) S.A. 519 (B) (South Africa)

Ungar v. Palestine Liberation Organization, (2005) 402 F.3d 274 (United States) United States v. Ushi Shiroma, (1954) 123 F. Supp 145 (United States)


(5)

8. Laporan Badan – Badan Internasional

Human Rights Watch, World Report 1993 - Somalia: Events of 1992 (1993), dapat diakses pada:

IPCC, Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability: Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Summary for Policy Makers, (United Kingdom, Cambridge University Press, 2007)

IPCC, Climate Change: Impacts, Adaptation and Vulnerability: Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Nobuo Mimura et al. ed., (United Kingdom, Cambridge University Press, 2007)

IPCC, Climate Change 2007: Synthesis Report, Pachauri, R.K. and Reisinger, A. eds., (Geneva: IPCC: 2007)

IPCC, Climate Change: The Physical Science Basis: Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Susan Solomon et al. ed., (United Kingdom, Cambridge University Press, 2007)

9. Internet

Small Island Developing States Network, dapat diakses pada: http://www.sidsnet.org/country-profiles


(6)

Who Recognized Kosovo as an Independent State, dapat diakses pada:

10.Sumber – Sumber Lain

Central Intelligence Agency, The World Factbook, (Washington DC: United States Government Printing Office, 2008)

Encyclopedia of Public International Law: International Relations and Legal Cooperation in General. Diplomacy and Consular Relations, Rudolf Bernhardt ed., (Netherlands: North-Holland Publishing, 1987)

Keesing’s Contemporary Archives: Record of World Event (United Kingdom: Cartermill International,1990)