31
BAB II KEDUDUKAN NEGARA KOLONG
GSO DALAM HUKUM INTERNASIONAL
A. Sejarah Negara Kolong
Di ruang angkasa luar yang dijuga disebut antariksa terdapat orbit geostasioner geo-stationary orbit disingkat GSO, yang mengelilingi bumi
tersebut terdapat di khatulistiwa bumi pada ketinggian sekitar 36.000 km, dengan ketebalan sekitar 75 km. dengan ciri-ciri alamiahnya yang khusus, GSO
mempnyai keunggulan tertentu bila dibanding dengan bagian lainnya dari antariksa. Keunggulan tersebut antara lain ialah satelit ataupun benda-benda
antariksa lainnya yang ditempatkan di GSO kelihatan stasioner bila dilihat dari permukaan bumi karena periode putarnya hampir sama dengan periode putar
bumi.
17
Indonesia sebagai negara khatulistiwa yang terpanjang di dunia mempunyai jalur geostasioner yang terpanjang pula dan karena itu ingin
memanfaatkannya untuk berbagai kepentingan nasional. Kepentingan Indonesia atas orbit geostasioner tersebut cukup mendasar dan strategis apalagi karena orbit
tersebut merupakan berguna bagi telekomunikasi, pemantauan lingkungan dan cuaca. Mengingat manfaat yang diberikan orbit tersebut, Indonesia bersama -sama
dengan Negara-negara khatulistiwa lainnya yaitu Brazil, Colombia, Congo, Equador, Kenya, Uganda dan Zaire, sejak semula telah mengambil langkah-
17
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2005, hal 447-448
Universitas Sumatera Utara
langkah dan secara aktif memperjuangkan dibuatnya suatu razim hukum khusus sui generis mengenai orbit geostasioner. Razim hukum khusus ini terutama
bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada negara-negara khatulistiwa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama dengan negara-negara lainnya
dalam memanfaatkan sumber-sumber antariksa.
18
Mengingat manfaat GSO tersebut bagi seluruh umat manusia, maka PBB melalui Badan Khusus ITU dan terutama Komite Penggunaan Secara Damai
Angkasa Luar Committee on the Peaceful Uses of Outer Space selalu berupaya untuk merumuskan ketentuan-ketentuan internasional sehubungan pemanfaatan
GSO tersebut. GSO buat pertama kali dibahas dalam Pertemuan Internasional Astronautical Federation IAF, International Institut of Space Law di
Amsterdam Tahun 1974. Kemudian pembahasan GSO ini dilanjutkan dalam pertemuan Negara-negara ktahulistiwa yang menghasilkan Deklarasi Bogota
Tahun 1976, yang juga ditanda tangani Indonesia, berisikan tuntutan kedaulatan terhadap jalur GSO yang berada di atas Negara-negara khatulistiwa. Deklarasi
Bogota ini kemudian dikembangkan lagi dalam pertemuan di Quito, Equador pada tahun 1982 tetapi tidak mengeluarkan deklarasi karena terdapatnya perbedaan
pandangan tentang strategi yang akan ditempuh. Aspek hukum penggunaan GSO juga dibicarakan di sidang-sidang Komite
Penggunaan Secara Damai Angkasa Luar. Persoalan pokok dalam sidang-sidang yang diselenggarakan ialah apakah perlu dibuat suatu rezim khusus sul generis
tentang GSO. Dari semula terdapat perbedaan yang cukup tajam antara Negara
18
Ibid., hal 48
Universitas Sumatera Utara
atau kelompok Negara mengenai status hukum GSO tersebut. Ada yang menggangap bahwa secara fisik GSO merupakan bagian dari antariksa dank arena
itu pengaturannya sudah ada dalam Perjanjian Ruang Angkasa Luar 1967, di samping terdapatnya pandangan bahwa diperlukan suatu rezim hukum untuk GSO
mengingat letak dan karakteristiknya yang khusus. Karena terdapatnya tantangan dari banyak Negara terutama Negara-negara barat mulai tahun 1982 negara-
negara khatulistiwa mulai mengubah posisi dari tuntutan kedaulatan menjadi righ of preservation.
19
Selanjutnya tuntutan kedaulatan atas GSO sulit untuk dipertahankan dan mulai tahun 1993 negara-negara khatulistiwa lebih
menekankan pada penggunaan GSO yang adil dan merata bagi semua Negara dan bukan lagi tuntutan mengenai kedaulatan.
Deklarasi Bogota 1976 diadakan pada tahun 1976 di dalam suatu pertemuan yang membahas secara khusus mengenai Geostationary Orbit GSO
diadakan di Bogota. Tujuh negara yang wilayahnya tepat berada di bawah garis khatulistiwa, yakni: Brazil, Kolombia, Ekuador, Kongo, Kenya, Zaired
kesepakatandeklarasi tentang tuntutan atas orbit geostasioner yang memang tepat berada di atas wilayah kedaulatan mereka.
Adapun yang menjadi tuntutan dari negara-negara khatulistiwa tadi bukanlah suatu tuntutan mengenai penguasaan atas wilayah territorial claim,
namun hal tersebut didasarkan oleh karena adanya ketidakadilan dalam
19
Ibid., hal 49
Universitas Sumatera Utara
pemanfaatan GSO yang sebelumnya berdasar pada prinsip kebebasan untuk memanfaatkan bagi semua negara first come first served
20
Sebagai akibatnya pemanfaatan GSO hanya didominasi oleh negara- negara maju karena memiliki kemampuan untuk itu, baik dari segi teknologi
maupun finansialnya. Dan dirasakan pemanfaatan GSO itu telah menjadi suatu usaha komersialisasi oleh negara-negara maju tersebut sehiungga cenderung
merugikan negara-negara lain yang belum mampu memanfaatkannya. Deklarasi Bogota 1976 ini banyak mendapat reaksi yang luas oleh banyak
negara, namun negara-negara maju menentang isi dari gagasan yang terkandung di dalamnya karena bertentangan dengan kepentingan mereka. Hal itu juga
dianggap dapat menimbulkan adanya monopoli dalam pemanfaatan orbit geostasioner larangan pada Pasal 33 ayat 2 Konvensi ITU 1973, dan terutama
bertentangan dengan Pasal II Space Treaty 1967.
B. Pengertian Negara Kolong
GSO
Orbit Geostasioner merupakan anggota keluarga orbit geosinkron. Istilah geosinkron mengacu kepada semua orbit yang mempunyai periode sama dengan
rotasi bumi.
21
GSO merupakan orbit geosinkron, yakni orbit satelit yang periode putarannya sama dengan rotasi bumi pada sumbunya. Dengan demikian, sebuah
satelit yang ditempatkan di GSO akan selalu tetap kedudukannya terhadap permukaan bumi, sehingga antena penangkap di bumi tidak perlu dipindah-
pindahkan atau dirubah posisinya. Dibanding dengan orbit satelit lainnya, yakni
20
E. Saefullah Wiradipradja, dan Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa dan Perkembangannya, Jakarta Remadja Karya, 1988 hal. 152
21
Supancana, I.B. dalam Seminar Aspek Regulasi Dalam Pemanfaatan Orbit Khususnya Orbit Geostationer dan Kaitannya dengan Kepentingan Indonesia, Bandung, 1994, hal 1-3
Universitas Sumatera Utara
Middle Earth Orbit MEO, dan Low Earth Orbit LEO, GSO merupakan tempat yang paling ekonomis dan efektif untuk menempatkan satelit, khususnya satelit
komunikasi. Hal ini disebabkan satelit yang ditempatkan pada GSO dapat meliput permukaan bumi lebih luas dan dapat dimanfaatkan setiap saat.
22
Orbit Geostasioner merupakan suatu orbit geosinkron di atas khatulistiwa pada ketinggian kurang lebih 36.000 kilometer, dimana sebuah satelit yang
ditempatkan akan seolah-olah stationer terhadap suatu titik dipermukaan bumi. Ada beberapa keuntungan dari pemanfaatan GSO, antara lain :
1. Beberapa bagian dari bumi dari permukaan bumi dapat diamati secara terus-
menerus dari suatu titik yang tetap; 2.
Karena sebuah satelit yang ditempatkan di GSO dapat meliputi sekitar 13 dari permukaan bumi, maka hanya diperlukan satelit yang lebih sedikit jumlahnya.
Pasal 33 menyatakan bahwa: ” ……… the geostationer satellite orbit are
limited natural resources, that they must be used efficiently and economically so that countries or groups of countries may have equitable access to both in
conformity with the provisions of the Radio Regulations according to their needs and the technical facilit
ies at their disposal ”. Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa GSO itu merupakan sumber daya alam terbatas limited natural resources,
yaitu karena hanya dapat ditempati oleh benda-benda angkasa dalam jumlah yang terbatas, sehingga apabila penempatan tersebut.
Pengertian geostationer obrit dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia:
22
Akbar Kurnia. Pemanfaatan segmen Geostationary. di http:akbarkurnia.blogspot.
com201106 pemanfaatan-segmen-geostationary-orbit.html, diakses tanggal 1 Oktober 2014
Universitas Sumatera Utara
1. Batasan Geostationer Orbit dalam Space Treaty 1967. Batasan GSO dalam
Space Treaty tidak diatur lebih rinci. Space Treaty hanya mengatur mengenai prinsip-prinsip dalam eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa termasuk
bulan dan benda-benda langit lainnya. Namun dengan melihat kondisi fisik dari GSO yang merupakan bagian dari ruang angkasa maka pengaturan GSO
menginduk pada Space Treaty, 1967; 2.
Pengertian GSO dalam Deklarasi Bogota, 1976. Batasan GSO sebagai ”natural resource” dalam Deklarasi Bogota, 1976 : “The geostationer orbit is
a circular orbit in the Equotorial plane in which the period of sidereal revolution of satellite is equal to the period of sidereal rotation of the Earth
and the satellite moves in the same direction as the earth ‘s rotation. When a satellite describes this particular orbit, it is said to be geostationary such a
satellite appears to be geostationary in the sky when viewed from earth, and is fixed at the zenith of given point on the equator whose longitude is by
definition that of satellite. This orbit is located at an approximates distance of 35,877 km above the earth‘s Equator“; terjemahan geostationer orbit adalah
orbit melingkar pada bidang Equotorial di mana masa revolusi sidereal satelit sama dengan periode rotasi sidereal Bumi dan bergerak satelit dalam arah
yang sama dengan rotasi bumi. Ketika satelit menggambarkan orbit tertentu, itu dikatakan geostasioner satelit tersebut tampaknya geostasioner di langit
bila dilihat dari bumi, dan tetap di puncak diberikan titik pada khatulistiwa yang bujur adalah dengan definisi bahwa satelit. Orbit ini terletak pada jarak
mendekati dari 35.877 km di atas bumi Khatulistiwa
Universitas Sumatera Utara
3. Pengertian GSO dalam International Telecommunication Union ITU 1973
dilakukan sedemikian rupa sehingga melebihi daya tampungnya, akan dapat menimbulkan kejenuhan saturated.
23
C. Kedudukan Indonesia