ini berfungsi untuk meredakan ketegangan dan juga memastikan bahwa terjalinnya komunikasi atau kerjasama antar Negara khususnya dalam
pemanfaatan ruang angkasa untuk tujuan damai the peaceful uses of outer space. Kemudian di tahun 1959, komite ini mendapatkan tempatnya tersendiri
dibawah PBB melalui GA resolution 1472 XIV, yaitu dengan didirikannya United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space UNCUPUOS.
Pada tahun 1963, diadakanlah suatu pertemuan antara tiga Negara Amerika Serikat, Uni Sovyet, dan Inggris untuk membahas pelarangan
percobaan senjata nuklir di atmosfer, di ruang angkasa, ataupun di dalam air sebagai tindak lanjut atas kekhawatiran public ini. Hasil dari pertemuan itu
kemudian dituangkan ke dalam suatu perjanjian yaitu Treaty Banning Nuclear Weapon Tests in the Atmosphere, in Outer Space, and Under Water atau yang
lebih sering dikenal dengan Limited Test Ban Treaty 1963
C. Sistem Hukum Udara dan Ruang Angkasa, secara nasional dan internasional
Hukum Udara dan Ruang Angkasa Indonesia tidak dapat terlepas dari kaidah Hukum Udara dan Ruang Angkasa Internasional. Apabila di wilayah ruang
udara terdapat adanya prinsip kedaulatan mutlak masing-masing negara complete and exclusive sovereignity rights, namun di wilayah ruang angkasa terdapat pula
prinsip kepemilikan bersama semua negara atas ruang angkasa common heritage of mankind.
Universitas Sumatera Utara
Pemanfaatan ruang udara Indonesia mewajibkan untuk mengembangkan kekuatan negara di udara dengan maksimal sehingga efektif dan dapat diandalkan.
Angkutan udara adalah salah satu faktor penting dari kekuatan negara di ruang udara dan bukan sebagai sarana untuk tujuan komersial semata, sehingga hukum
yang mengatur mutlak harus dibentuk sesuai dengan kondisi dan kepentingan bangsa, sarana untuk membantu kelancaran efektifitas pemerintahan dan saran
untuk mendorong lajunya pembangunan, maka Hukum Udara Indonesia haruslah menjunjung tinggi kedaulatan Indonesia dalam mempertahankan wilayah
udaranya. Pasal 1 Konvensi Paris 1919 secara tegas menyatakan : negara-negara
pihak mengakui bahwa tiap-tiapa negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara yang terdapat di ats wilayahnya.
51
Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip yang terdapat dalam Konvensi Paris 1919.
Kedua Konvensi ini dengan sengaja menjelaskan bahwa wilayah negar juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan. Hal ini juga dinyatakan oleh Pasal 2
Konvensi Jenewa mengenai Laut wilayah dan oleh Pasal 2 ayat 2 konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982. Ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap navigasi
udara, termasuk udara di atas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan ketentuan- ketentuan yang mengatur pelayaran maritim. Terutama tidak ada norma-norma
hukum kebiasaan yang memperbolehkan secara bebas lintas terbang diatas wilayah negara, yang dapat disamakan dengan prinsip hak lintas damai di perairan
nasional suatu negara. Satu-satunya pengecualian adalah mengenai lintas udara di
51
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung : Alumni, 2000, hal 431.
Universitas Sumatera Utara
selat-selat internasional tertentu dan alur laut kepulauan. Sebagai akibetnya, kecuali kalau ada kesepakatan konvensional lain, suatu negara bebas untuk
mengatur dan bahkan melarang pesawat asing terbang di atas wilayahnya dan tiap-tiap penerbangan yang tidak diizinkan merupakan pelanggaran terhadap
kedaulatan teritorial negara di bawahnya.
52
Hal ini sering terjadi diats wilayah udara indonesia bagian timur oleh pesawat-pesawat udara asing terutama selama
bagian kedua tahun 1999. Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas udara dan pengamanan atas
pesawat-pesawat udara merupakan apek penting dalam pengaturan-pengaturan hukum yang di buat oleh negara-negara. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan
dalam pemanfaatan ruang udara beserta sumber daya didalamnya adalah masalah yurisdiksi. Prinsip-prinsip dalam yurisdiksi adalah prinsip teritorial, nasional,
personalitas pasif, perlindungan atau keamanan, universalitas, dan kejahatan menurut kriteria hukum yang berlaku. Dalam hubungan dengan yurisdiksi negara
di ruang udara, sangat erat hubungannya dengan penegakkan hukum di ruang udara tersebut. Dengan adanya yurisdiksi, negara yang tersangkutan mempunyai
wewenang dan tanggung jawab di udara untuk melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara. Berkenaan dengan wewenang dan tanggung jawab negara
melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara tidak terlepas dari muatan Pasal 33 UUD 1945 ayat 3 yang menyatakan, bahwa “bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
”. Atas dasar ketentuan tersebut, maka lahir
52
I. C. J. Arret du, 27 Juni 1986, Activeties militaires au Nicaragua, rec. P. 128
Universitas Sumatera Utara
“hak menguasai oleh negara” atas sumber daya alam yang ada di bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk udara dan penguasaan
tersebut memberikan kewajiban kepada negara untuk digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.
Makna dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tersebut bahwa ruang udara sebagaimana penjelasan sebelumnya merupakan sumber daya alam yang dikuasai
negara. Istilah “dikuasai” dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bukan berarti
“dimiliki” oleh negara, melainkan memberikan arti kewenangan sebagai organisasi atau lembaga negara untuk mengatur dan mengawasi penggunannya
untuk sebesar-besarnya kemak-muran rakyat. Sesuai Konvensi Chicago Tahun
1944, dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh complete and exclusive souvereignity atas ruang udara atas
wilayah kedaulatannya. Dari Pasal tersebut memberikan pandangan bahwa perwujudan dari kedaulatan yang penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayah
teritorial, adalah : 1 setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan utuh atas ruang udara nasionalnya; 2 tidak satupun kegiatan atau
usaha di ruang udara nasional tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu atau sebagaimana telah diatur dalam suatu perjanjian udara antara negara dengan
negara lain baik secara bilateral maupun multilateral. Secara yuridis formal wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional belum
ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara holistik, sampai
Universitas Sumatera Utara
dikeluarkannya perjanjian atau konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982
53
. Sejak ditetapkannya konvensi tersebut sebagai hukum internasional dan telah diratifikasi
oleh Pemerintah dengan Undang-undang No. 17 Tahun 1985, menyebabkan negara Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kewajib-an menyediakan
Alur Laut Kepulauan Indonesia- ALKI archipelagic sea lane passages yang merupakan jalur lintas damai bagai kapal-kapal asing. Hal tersebut juga berlaku
pada wilayah udara di atas alur laut tersebut. Meskipun demikian, pemberlakuan ketentuan tersebut belum ada kesepakatan antara International Maritime
Organization IMO dan International Civil Aviation Organization ICAO, akibatnya belum ada ketentuan adanya pesawat udara yang mengikuti alur laut
tersebut. Berdasarkan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan merupakan salah satu hukum nasional sebagai salah satu bentuk implementasi dari Konvensi PBB
tentang Hukum Laut tahun 1982, secara horizontal wilayah kedaulatan Indonesia adalah wilayah daratan yang berada di gugusan kepulauan Indonesia. Sedangkan
wilayah perairan, mencakup: 1 laut teritorial, yaitu jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia; 2 perairan kepulauan, yaitu
semua perairan yang terletak pada sisi dan garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak dari pantai; 3 perairan pedalaman, yaitu
perairan yang terletak di mulut sungai, teluk yang lebarnya tidak lebih dari 24 mil dan di pelabuhan.
Undang-undang lain yang terkait dengan wilayah kedaulatan adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
53
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes , Pengantar Hukum Internasional, Pengantar Hukum Internasional, Bandung : Alumni, 1999, hal.170.
Universitas Sumatera Utara
Dalam undang-undang tersebut secara umum dinyatakan bahwa wilayah perairan Indonesia juga mencakup Zona Ekonomi Eksklusif ZEE yaitu jalur di luar dan
berbatasan dengan laut wilayah sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 6 Tahun 1996 yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan air di atasnya dengan batas
terluar 200 dua ratus mil laut diukur dari garis pangkal. Dari uraian di atas, bahwa batas wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional belum di atur dalam
peraturan perundang-undangan yang ada, hanya menetapkan bahwa Indonesia mempunyai wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Kegiatan penerbangan merupakan salah satu wujud kegiatan dan atau usaha terhadap
wilayah kedaulatan atas wilayah udara yang diberi wewenang dan tanggung jawab kepada Pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 UU No. 15 Tahun
1992, bahwa dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Republik Indonesia Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab
pengaturan ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, penerbangan dan ekonomi nasional.
Dalam penjelasan Pasal 5 disebutkan, bahwa wilayah udara yang berupa ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan Republik Indonesia merupakan
kekayaan nasional sehingga harus dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Bentuk lain wujud dari penyelenggaraan
kedaulatan atas wilayah udara nasional Indonesia, adalah penegakan hukum terhadap pelanggaran pesawat udara yang terbang pada kawasan terlarang baik
nasional maupun asing sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 ayat 2 UU No. 15
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1992, bahwa pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing dilarang terbang melalui kawasan udara terlarang, dan terhadap pesawat udara yang
melanggar larangan dimaksud dapat dipaksa untuk mendarat di pangkalan udara atau bandara udara di dalam wilayah Republik Indonesia. Dalam penjelasannya
dinyatakan, bahwa kewenangan menetapkan kawasan udara terlarang merupakan kewenangan dari setiap negara berdaulat untuk mengatur penggunaan wilayah
udaranya, dalam rangka pertahanan dan keamanan negara dan keselamatan penerbangan. Lebih jauh dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan, kawasan
udara terlarang terdiri atas kawasan udara terlarang yang larangannya bersifat tetap prohibited area karena pertimbangan pertahanan dan keamanan negara
serta keselamatan penerbangan, dan kawasan udara terlarang yang bersifat terbatas restricted area karena pertimbangan pertahanan dan keamanan atau
keselamatan penerbangan atas kepentingan umum, misalnya pembatasan ketinggian terbang, pembatasan waktu operasi, dan lain-lain. Meskipun diatur
pelarangan terbang di kawasan udara terlarang dalam UU tersebut, namun tidak diatur secara tegas wewenang dan tanggung jawab terhadap penenggakan hukum
di kawasan udara tersebut. Wujud dari bentuk wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional selain
pelarangan di kawasan udara terlarang tersebut atas, juga terdapat pelarang-an lain yaitu perekaman dari udara menggunakan pesawat udara sebagai-mana ditetapkan
dalam Pasal 17 ayat 1 UU No. 15 Tahun 1992, bahwa dilarang melakukan perekaman dari udara dengan menggunakan pesawat udara kecuali atas izin
Pemerintah. Pelarangan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan pertahanan dan
Universitas Sumatera Utara
keamanan negara. Dari beberapa ketentuan pelarangan sebagaimana diatur dalam UU No. 15 Tahun 1992 sebagai wujud pengakuan wilayah kedaulatan atas ruang
udara nasional, tetapi tidak mengatur wewenang dan tanggung jawab penegakkan hukum di ruang udara nasional sebagai wilayah kedaulatan di udara dan di
kawasan udara terlarang.
Universitas Sumatera Utara
71
BAB IV KEDAULATAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KHATULISTIWA