DETERMINAN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI PULAU JAWA, BALI DAN NUSA TENGGARA (Studi Kasus antar Provinsi di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Periode 2007-2013)
DETERMINAN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI PULAU JAWA, BALI DAN NUSA TENGGARA
(Studi Kasus antar Provinsi di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Periode 2007-2013)
DETERMINANT OF ECONOMIC DEVELOPMENT INEQUALITY IN JAVA, BALI AND NUSA TENGGARA
(Study Case Province in Java, Bali and Nusa Tenggara Period 2007-2013)
DISUSUN OLEH: EGI PRANAJAYA
20120430284
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
(2)
DETERMINANT OF ECONOMIC DEVELOPMENT INEQUALITY IN JAVA, BALI AND NUSA TENGGARA
(Study Case Province in Java, Bali and Nusa Tenggara Period 2007-2013) SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Ekonomi Program Studi Ilmu Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
DISUSUN OLEH: EGI PRANAJAYA
20120430284
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
(3)
(4)
“Maka Nikmat Manakah yang Kamu Dustakan? (QS. Ar-Rahman)” “Allah tidak akan merubah suatu kaum, jika mereka tidak merubah diri mereka
sendiri” (QS. Ar-Ra’d)
“Berkarya tanpa batas meskipun hidup dalam keterbatasan”(Diffable House) “Orang yang pintar adalah orang yang tahu diri sendiri. Orang yang bodoh
adalah orang yang tidak tahu diri sendiri”.(Imam Ali Ibn Abi Thalib) “Kita lebih banyak belajar dari kegagalan dari pada belajar dari keberhasilan. Kita
mengetahui apa yang harus kita lakukan setalah tahua pa yang belum kita lakukan” (Dr. Ibrahim Elfiky)
(5)
PERSEMBAHAN
Puji Syukur kehadirat Allah SWT, yang maha mendengar dan mengabulkan doa-doa hamba-Nya. Tugas Akhir Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberikan doa, dukungan, kasih sayang dan perhatiannya serta yang tak pernah lelah untuk selalu memberikan yang terbaik.
Kakak dan adik tercinta yang selalu ada setiap saat.
Sahabat tercinta kepompong (Weni, Ida, Bila, Reni) yang selalu menemani saat suka dan duka.
Sahabat Alay (Mar-mar, Anif dan Bang Andri) yang selalu menghibur dikala suka dan duka.
Bidikmisi DIKTI dan Keluarga Bidikmisi UMY yang telah memberikan kesempatan untuk belajar di Perguruan Tinggi.
Sahabat pejuang iklim Youth For Climate Change (Mba Kimi, Mas Putra, Lalu, Mba Ina, Mas Didim, Kholik, Mahfud, Monik dkk)
Keluarga HIMIE (Daeng, Wafi, Malik, Mba dila dkk) yang memberikan pengalaman menjadi organisator.
Keluarga GBN (Deni, Wida, Yuni, Cupit, Amar, Fahri dkk) yang selalu berjuang untuk masyarakat.
Keluarga Forum Intelektual Ekonomi Syariah yang telah memberikan banyak pengalaman dan ilmu mengenai Ekonomi Islam.
Beserta seluruh sahabat yang tidak biasa disebutkan satu persatu yang pernah berjuang bersama di setiap kesempatan.
(6)
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Alloh, penulis panjatkan atas kehadirat-Muyang telah memberikan limpahan kemudahan, karunia, dan rahmat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Determinan Ketimpangan Ekonomi Pembangunan di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (Studi Kasus Provinsi di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Periode 2007-2013)”. Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan tuntunan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada :
1. Dr. Endah Saptutyningsih, M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi, yang sangat sabar memberikan arahan dan masukan serta bimbingan kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Ilmu Ekonomi, yang telah memberikan dorongan serta semangat kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. 3. Bidikmisi, yang telah memberikan kesempatan untuk bisa melanjutkan
sekolah hingga jenjang yang lebih tinggi.
Yogyakarta, 6 Maret 2016 Penulis
(7)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
INTISARI ... vii
ABSTRACT ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori ... 11
1. Ketimpangan Ekonomi ... 11
a. Teori Ketimpangan Ekonomi ... 11
b. Penyebab Ketimpangan Ekonomi ... 16
2. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi ... 17
a. Teori Pertumbuhan Ekonomi ... 17
b. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Ketimpangan Ekonomi ... 19
3. Indeks Pembangunan Manusia ... 21
a. Teori Indeks Pembangunan Manusia ... 21
b. Hubungan Indeks Pembangunan Manusia dengan Ketimpangan Ekonomi... 24
(8)
4. Aglomerasi ... 25
a. Teori Aglomerasi ... 25
b. Hubungan Aglomerasi dengan Ketimpangan Ekonomi ... 26
B. Penelitian Terdahulu ... 26
C. Kerangka Pemikiran ... 30
D. Penurunan Hipotesis ... 31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek Penelitian dan Subjek Penelitian... 32
1. Objek Penelitian ... 32
2. Subjek Penelitian ... 32
B. Jenis Data dan Sumber Data ... 33
C. Teknik Pengumpulan Data ... 33
D. Definisi Operasional Variabel ... 33
E. Alat Analisis ... 36
F. Model Penelitian ... 37
G. Uji Kualitas Data ... 37
1. Uji Multikolineritas ... 37
2. Uji Heteroskedastisitas ... 38
H. Uji Hipotesis dan Analsis Data ... 38
1. Uji Chow ... 40
2. Uji Hausman ... 41
3. Uji Parameter Model ... 42
BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Gambaran Objek Penelitian ... 44
1. Gambaran Umum Wilayah Provinsi Jawa Barat ... 44
2. Gambaran Umum Wilayah Provinsi Jawa Tengah ... 46
3. Gambaran Umum Wilayah DIY ... 49
4. Gambaran Umum Wilayah Provinsi Jawa Timur ... 51
5. Gambaran Umum Wilayah Provinsi Banten ... 53
6. Gambaran Umum Wilayah Provinsi Bali ... 54
(9)
8. Gambaran Umum Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur ... 59
B. Operasional Variabel ... 62
1. Ketimpangan Ekonomi... 62
2. Pertumbuhan Ekonomi ... 63
3. Indeks Pembangunan Manusia ... 64
4. Aglomerasi ... 66
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Uji Kualitas Data ... 68
1. Uji Heteroskedastisitas ... 68
2. Uji Multikolinearitas ... 68
B. Analisis Pemilihan Model Terbaik ... 68
1. Uji Chow ... 69
2. Uji Hausman ... 70
C. Analisis Model Terbaik ... 70
D. Hasil Estimasi Model Data Panel ... 71
E. Uji Statistik ... 74
1. Koefisien Determinasi ... 74
2. Uji F ... 75
3. Uji T ... 75
F. Pembahasan (Interpensi Ekonomi) ... 77
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ... 81
B. Keterbatasan Penelitian ... 82
C. Saran ... 82 DAFTAR PUSTAKA
(10)
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi antar Provinsi di Indonesia ... 3
Tabel 1.2 Indeks Gini Wilayah Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara... 7
Tabel 4.1 Kondisi Demografi Daerah Provinsi Jawa Barat ... 45
Tabel 4.2 Kondisi Demografi Daerah Provinsi Jawa Tengah ... 48
Tabel 4.3 Kondisi Demografi Daerah Provinsi DIY ... 50
Tabel 4.4 Kondisi Demografi Daerah Provinsi Jawa Timur ... 52
Tabel 4.5 Kondisi Demografi Daerah Provinsi Banten ... 54
Tabel 4.6 Kondisi Demografi Daerah Provinsi Bali ... 56
Tabel 4.7 Kondisi Demografi Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat ... 58
Tabel 4.8 Kondisi Demografi Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur ... 60
Tabel 4.9 Indeks Gini Wilayah Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara ... 62
Tabel 4.10 Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara ... 63
Tabel 4.11 Indeks Pembangunan Manusia Wilayah Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara ... 65
Tabel 4.12 Aglomerasi Wilayah Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara ... 67
Tabel 5.1 Hasil Uji Heteroskedastisitas dengan Uji Park ... 68
Tabel 5.2 Hasil Uji Chow Menggunakan Test Rebudant Fixed effect-Likelihood Ratio ... 69
Tabel 5.3 Hasil Uji Hausman Test ... 70
Tabel 5.4 Perbandingan Hasil Estimasi Common Effect, Fixed Effect, dan Random Effect ... 70
Tabel 5.5 Hasil Estimasi Model Fixed Effect Cross Section Weight (GLS) ... 72
(11)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kurva Lorenz... 12 Gambar 2.1 Kurva Kuznets ... 15 Gambar 2.2 Kerangka Berfikir Penelitian ... 30
(12)
(13)
(14)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan dianggap penting dalam proses kemajuan sebuah negara dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sadono, 2004). Menurut Todaro (2004) pembangunan ekonomi merupakan suatu tekad masyarakat untuk berupaya mencapai kehidupan yang lebih baik dalam peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang pokok, peningkatan standar hidup secara ekonomis dan sosial.
Pembangunan pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejahtera merupakan kondisi tidak miskin dan menjadi keinginan setiap orang, sedangkan kemakmuran merupakan bagian yang memungkinkan orang-orang bermasyarakat dengan baik, tenang dan tidak menimbulkan kecemburuan sosial (Dumairy,1996). Untuk mencapai kesejahteraan, keberhasilan pembangunan sering diidentikan dengan tingkat pertumbuhan ekonominya karena semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara akan semakin rendah tingkat ketimpanganya. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka ketimpangana akan turun dan pembangunan ekonomi semakin tinggi.
(15)
Namun tingginya pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak berarti semua wilayahnya memiliki tingkat pertumbuhan yang sama, di karenakan perbedaan sumber daya alam, sumber daya manusia maupun lembaga institusi yang mendukung. Sebab pertumbuhan tidak muncul di berbagai daerah pada waktu yang bersamaan, pertumbuhan hanya terjadi di beberapa tempat yang disebut pusat pertumbuhan dengan intensi yang berbeda (Arsyad, 1999).
.Ketimpangan pembangunan seringkali menjadi permasalahan serius dalam pembangunan sebuah negara. Kemtipangan memiliki dampak diantaranya dampak positif dan negatif. Dampak positif dari ketimpangan yaitu dapat mendorong wilayah lain yang kurang maju untuk dapat bersaing dan meningkatkan pertumbuhannya sehingga akan tercapai kesejahteraannya. Dampak negatif dari ketimpangan antara lain inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi akan sering dipandang tidak adil (Todaro, 2004). Dampak negatif ketimpangan bisa menyebabkan kesejahteraan masyarakat yang tidak merata. Ketimpangan antar wilayah (regional disparity) muncul karena tidak meratanya dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi. Hal ini disebabkan adanya perbedaan antar wilayah yaitu adanya wilayah yang maju dengan wilayah yang kurang maju. Adanya desentralisasi juga semakin mendorong kesenjangan antar wilayah semakin melebar.
Masalah ketimpangan merupakan masalah yang paling sering terjadi dalam suatu pembangunan ekonomi disebuah negara. Masalah ketimpangan tidak hanya terjadi antar pulau saja yang telah banyak dilakukan penelitian oleh para peneliti sebelumnya yang mengemukakan bahwa terjadinya ketidakseimbangan antar
(16)
wilayah Jawa dengan pulau-pulau lainnya atau antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Timbulnya masalah ketimpangan tidak lepas dari sistem perencanaan pembangunan daerah yang belum sempurna. Perencanaan pembangunan daerah yang sering dilakukan saat ini bersifat fisik seperti perencanaan pembangunan proyek dari pada perencanaan pembangunan daerah secara terpadu (Helena,2010).
Ketimpangan wilayah disebabkan juga karena adanya perbedaan kondisi demografi yang cukup besar antar wilayah. Menurut Syafrizal (1997). Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, memiliki wilayah atau daerah yang tersebar luas yang terdiri dari beberapa provinsi, kepulauan, dan sumber daya alam yang melimpah. Perbedaan sumber daya alam, sumber daya manusia, budaya, sosial dan ekonomi merupakan salah satu penyebab dari terjadinya ketimpangan antar daerah. Ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju. Berikut ini ketimpangan pembangunan ekonomi dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia tahun 2010–2013 :
TABEL 1.1.
Laju Pertumbuhan Ekonomi Antar Provinsi di Indonesia 2010-2013
No Provinsi 2010 2011 2012 2013 Rata
-Rata
1 Aceh 2.74 4.84 5.14 4.18 4.23
2 Sumatera Utara 6.42 6.63 6.22 6.01 6.32
3 Sumatera Barat 5.94 6.26 6.38 6.18 6.19
4 Riau 4.21 5.04 3.54 2.61 3.85
5 Jambi 7.35 8.54 7.44 7.88 7.80
6 Sumatera Selatan 5.63 6.5 6.01 5.98 6.03
7 Bengkulu 6.1 6.46 6.6 6.21 6.34
(17)
No Provinsi 2010 2011 2012 2013 Rata
-Rata
9 Kep. Bangka Belitung 5.99 6.5 5.73 5.29 5.88
10 Kepulauan Riau 7.19 6.66 6.82 6.13 6.70
11 DKI Jakarta 6.5 6.73 6.53 6.11 6.47
12 Jawa Barat 6.2 6.51 6.28 6.06 6.26
13 Jawa Tengah 5.84 6.03 6.34 5.81 6.01
14 DI Yogyakarta 4.88 5.17 5.32 5.4 5.19
15 Jawa Timur 6.68 7.22 7.27 6.55 6.93
16 Banten 6.11 6.38 6.15 5.86 6.13
17 Bali 5.83 6.49 6.65 6.05 6.26
18 Nusa Tenggara Barat 6.35 -2.69 -1.1 5.69 2.06
19 Nusa Tenggara Timur 5.25 5.62 5.41 5.56 5.46
20 Kalimantan Barat 5.47 5.98 5.81 6.08 5.84
21 Kalimantan Tengah 6.5 6.77 6.69 7.37 6.83
22 Kalimantan Selatan 5.59 6.12 5.72 5.18 5.65
23 Kalimantan Timur 5.1 4.09 3.98 1.59 3.69
24 Sulawesi Utara 7.16 7.39 7.86 7.45 7.47
25 Sulawesi Tengah 8.74 9.12 9.24 9.38 9.12
26 Sulawesi Selatan 8.19 7.61 8.39 7.65 7.96
27 Sulawesi Tenggara 8.22 8.96 10.41 7.28 8.72
28 Gorontalo 7.63 7.68 7.71 7.76 7.70
29 Sulawesi Barat 11.89 10.32 9.01 7.16 9.60
30 Maluku 6.47 6.06 7.81 5.14 6.37
31 Maluku Utara 7.95 6.4 6.67 6.12 6.79
32 Papua Barat 28.47 27.01 15.9 9.3 20.17
33 Papua -3.19 -5.32 1.08 14.84 1.85
Jumlah 33 Provinsi 6.14 6.35 6.28 5.9 6.17
Sumber: BPS Nasional dan statistika Indonesia 2014
Pada Tabel 1.1 menunjukkan bahwa secara rata-rata terjadi penurunan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dari mulai tahun 2010 hingga 2013. Dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi wilayah Indonesia barat menunjukan tren yang lebih positif dibandingkan dengan wilayah timur, namun demikian pertumbuhan ekonomi wilayah pulau jawa cenderung menurun pada tahun 2013 meskipun memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi jika dibandingkan dengan kawasan timur seperti Bali dan Nusa Tenggara. Hal ini menjelaskan bahwa terjadi sebuah ketimpangan antar daerah di Indonesia, karena pada umumnya ukuran
(18)
yang digunakan untuk mengkaji tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah adalah didasari pada tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita pada masing-masing daerah. Akan tetapi kemampuan tiap-tiap daerah dalam menjalankan proses pembangunan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan kenaikkan pendapatan per kapita adalah berbeda karena beberapa daerah mengalami pertumbuhan yang cepat dan menjadi wilayah maju (developed region), tetapi kondisi daerah lain yang luput dari perhatian pemerintah justru menjadi lambat dalam pertumbuhannya dan menjadi wilayah terbelakang (underdeveloped region) (Rumagit, 2013).
Pembangunan ekonomi tidak hanya menjadi agenda pemerintah pusat atau secara nasional, tetapi juga menjadi agenda setiap daerah dalam suatu negara. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi di dalam wilayah tersebut (Arsyad, 2010). Pembangunan daerah sebenarnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Putra, 2008). Konsentrasi kegiatan ekonomi yang belakangan ini banyak diterapkan oleh berbagai wilayah di Indonesia termasuk Jawa, Bali dan Nusa Tenggara yaitu aglomerasi.
Indonesia secara umum terbagi menjadi dua kawasan yaitu kawasan Indonesia Barat dan kawasan Indonesia Timur. Pulau Jawa merupakan salah satu Pulau
(19)
besar di kawasan barat Indonesia yang menjadi pusat sentralisasi pembangunan ekonomi, meskipun demikian tidak mungkin terlepas dari masalah ketimpangan perekonomian dan mempunyai tingkat laju pertumbuhan yang tinggi. Pulau Jawa yang terdiri dari 6 (enam) Provinsi ini tentu saja memiliki berbagai persoalan-persoalan penting yang harus diselesaikan,
Dalam penelitian ini akan memfokuskan pada analisis ketimpangan yang berada di wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara kecuali DKI Jakarta yang merupakan bukan daerah otonom, yang pengeloaan keuangannya diatur oleh pemerintah pusat secara langsung. Bali dan Nusa Tenggara yang terletak di bagian Indonesia Kawasan Timur merupakan daerah dengan laju pertumbuhan ekonomi yang rendah namun cenderung meningkat. Selain itu, pulau Bali dan Nusa Tenggara memiliki letak strategis dengan pulau Jawa, meskipun demikian wilyah ini memiliki tingkat ketimpangan dan pemerataan yang berbeda. Salah satu metode yang digunakan untuk menentukan angka ketimpangan adalah indeks Gini. Indeks Gini menghitung ketimpangan dengan membuat klasifikasi 10 tingkatan pendapatan dalam masyarakat. Sepuluh tingkat golongan tersebut dihubungkan dengan 10 golongan penerima pendapatan tersebut. Sehingga akan terlihat bagaimana total pendapatan dalam masyarakat terdistribusikan. Indeks Gini berkisar dari angka 0 (kemerataan sempurna) sampai angka 1 (ketidakmerataan sempurna). Apabila indeks Gini telah mencapai angka 0,4 maka dapat dikatakan ketimpangan wilayah tersebut tergolong parah. Berikut ketimpangan pembangunan ekonomi yang berada di wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara pada tahun 2010 - 2013 dilihat dari indeks Gini rasio :
(20)
TABEL 1.2.
Indeks Gini Rasio Indonesia wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Tahun 2010 – 2013
No. Provinsi 2010 2011 2012 2013
1 Jawa Barat 0.36 0.41 0.41 0.41
2 Jawa Tengah 0.34 0.38 0.38 0.39
3 DI Yogyakarta 0.41 0.4 0.43 0.44
4 Jawa Timur 0.34 0.37 0.36 0.36
5 Banten 0.42 0.4 0.39 0.40
6 Bali 0.37 0.41 0.43 0.40
7 Nusa Tenggara Barat 0.4 0.36 0.35 0.36
8 Nusa Tenggara Timur 0.38 0.36 0.36 0.35
Sumber: BPS Nasional dan statistika Indonesia 2014
Dilihat dari Tabel 2.1 menunjukan angka indeks Gini rasio Nusa Tenggara Timur pada tahun 2013 mengalami penurunan hal tersebut menjelaskan bahwa ketimpangan di daerah Nusa Tenggara Timur memiliki tren yang positif karena angka indeks Gini mendekati nol, sementara di kawasan barat cenderung stabil dari tahun ke tahun. Ketimpangan pembangunan ekonomi antar wilayah menjadi fenomena penting yang masih terus perlu dikaji dan dianalisis karena sangat menentukan kebijakan yang dapat diambil pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikator untuk melihat ketimpangan ekonomi adalah melalui Indeks Pembangunan Manusia. IPM menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia yang dapat menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan dan pendidikan. Salah satu yang memicu adanya ketimpangan adalah angka harapan hidup di Indonesia cenderung tinggi sehingga jumlah penduduk yang meningkat yang menyebabkan banyak pembangunan sumber daya manusia yang tidak efektif dan percepatan
(21)
kegiatan produksi (aglomerasi) yang hanya berpusat di daerah yang lebih maju menimbulkan ketimpangan di daerah tertinggal. Adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi ketimpangan pembangunan ekonomi seperti yang dijelaskan dalam penelitian penelitian Nikoloski (2010) yang berjudul “Economic and Political Determinants of Income Inequality” dengan alat analisis GMM bahwa GDP perkapita berpengaruh positif pada jangka pendek dan negatif pada jangka panjang. Begitu pula menurut penelitian Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang. Hasil penelitian ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih matang dilihat dari pertumbuhan ekonomi tampak adanya keseimbangan antar daerah di mana disparitas berkurang dengan signifikan. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis hendak melakukan penelitian dengan judul “Determinan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan ekonomi di wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara?
2. Bagaimana pengaruh Indeks Pembangunan Manusia terhadap ketimpangan ekonomi di wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara?
3. Bagaimana pengaruh Aglomerasi terhadap ketimpangan ekonomi di wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara?
(22)
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui seberapa besar pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan ekonomi di wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara.
2. Mengetahui seberapa besar pengaruh Indeks Pembangunan Manusia terhadap ketimpangan ekonomi di wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara.
3. Mengetahui seberapa besar pengaruh Aglomerasi terhadap ketimpangan ekonomi di wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Bagi Pemerintah
a. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam melakukan perencanaan pembangunan yang mementingkan ketimpangan pembangunan antar wilayah disamping pertumbuhan ekonomi.
b. Penelitian ini dapat diharapkan mampu memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketimpangan wilayah, sehingga dapat memahami lebih jauh dalam pengambilan kebijakan selanjutnya.
2. Manfaat Bagi Penulis
Dapat memperluas pengetahuan peneliti serta mengasah daya analisis dalam memecahkan masalah ekonomi terkait dengan ketimpangan ekonomi
(23)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Ketimpangan Pembangunan Ekonomi
a. Teori Ketimpangan Pembangunan Ekonomi
Permasalahan ketimpangan pembangunan antar wilayah dimunculkan pertama kali oleh Douglas C. North dalam analisisnya tentang teori pertumbuhan Neo-Klasik (Mopangga, 2010). Teori tersebut menyebutkan adanya hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah, yang kemudian hipotesa ini dikenal dengan hipotesa Neo-Klasik.
Terjadinya ketimpangan antar daerah juga dijelaskan oleh Mydral (1957) membangun teori keterbelakangan dan pembangunan ekonomi pada taraf nasional dan internasional. Untuk menjelaskan hal itu menggunakan spread effect dan backwash effect sebagai bentuk pengaruh penjalaran dari pusat pertumbuhan ke daerah sekitar. Spread effect (dampak sebar) didefinisikan sebagai suatu pengaruh yang menguntungkan (favourable effect), yang mencakup aliran kegiatan-kegiatan investasi di pusat pertumbuhan ke daerah sekitar. Backwash effect (dampak balik) didefinisikan sebagai pengaruh yang merugikan (infavourable effect) yang mencakup aliran manusia dari wilayah sekitar atau pinggiran termasuk aliran modal ke wilayah inti sehingga mengakibatkan berkurangnya modal pembangunan bagi wilayah pinggiran
(24)
yang sebenarnya diperlukan untuk dapat mengimbangi perkembangan wilayah inti.
Pembangunan ekonomi memiliki tujuan pemerataan, pemerataan berarti meningkatnya pertumbuhan ekonomi dilihat dari pendapatan yang meningkat. Pengertian pendapatan menurut Soediyono (1992) adalah jumlah penghasilan yang diterima oleh para anggota masyarakat dalam waktu tertentu sebagai balas jasa atas faktor-faktor produksi nasional. Faktor-faktor produksi nasional meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, modal dan kewirausahaan (skill). Pemerataan pendapatan dapat ditinjau dari tiga segi. Pertama pembagian pendapatan antar lapisan masyarakat. Kedua, pembagian pendapatan antar daerah, yaitu daerah perkotaan dan pedesaan. Ketiga pembagian pendapatan antar wilayah, dalam hal ini antar kabupaten/kota (Dumairy, 1996). Ketimpangan distribusi pendapatan dalam penelitian ini adalah ketimpangan pembangunan ekonomi yang dilihat dengan menggunakan pendekatan kurva Lorenz dan Indeks Gini
b.Kurva Lorenz
Merupakan suatu kurva yang digunakan untuk menganalisis distribusi pendapatan perorangan. Dinamakan kurva Lorenz karena yang memperkenalkan kurva tersebut adalah Conrad Lorens, seorang ahli statistika Amerika Serikat. Pada tahun 1905 ia menggambarkan hubungan antara kelompok-kelompok penduduk dan pangsa (share) pendapatan mereka. Kurva ini menggambarkan hubungan antara prosentase jumlah
(25)
penduduk dengan prosentase pendapatan yang diterima. Berikut ini adalah gabungan kurva Lorenz (Arsyad, 1999).
Sumber : Arsyad, 1999
GAMBAR 1.1. Kurva Lorenz
Penentuan tingkat ketimpangan dengan pendekatan Kurva Lorenz dilihat dari jauh dekatnya garis lengkung terhadap garis diagonal. Semakin dekat garis lengkung dengan garis lurus diagonal, maka distribusi pendapatan semakin merata. Sebaliknya, semakin jauh garis lengkung terhadap diagonal, maka ketimpangan yang terjadi semakin buruk. Cara untuk menggambar kurva Lorenz dapat ditempuh dengan langkah-langkah sebagai berikut :
(1) Mengurutkan data pengeluaran dari nilai terkecil hingga terbesar. (2) Menentukan desil pertama hingga ke sepuluh pada distribusi data. (3) Menghitung besarnya pendapatan pada masing-masing kelompok desil.
(4) Menentukan kumulatif pendapatan pada masing-masing kelompok E
P 0
% KumulatifPenduduk
% K u mu la ti f P enda pa ta m A B
(26)
desil.
(5) Menghitung persentase kumulatif pendapatan masing-masing desil. (6) Memetakan dalam plot 2 dimensi antara tiap-tiap desil sebagai sisi horizontal dan nilai persentase kumulatif pendapatan pada sisi vertikal.
Kurva Lorenz menjelaskan tingkat ketimpangan dengan menampakkan area timpang yang dibentuk oleh garis lurus dan lengkung pada kurva. Sehingga fluktuasi angka ketimpangan dari waktu ke waktu atapun perbandingan antar tempat sulit untuk dibedakan. Ukuran secara kuantitatif akan diperjelas dengan perhitungan indeks Gini.
a. Indeks Gini
Untuk melihat angka ketimpangan distribusi pendapatan, perhitungan yang sering dipakai adalah Indeks Gini (BPS, 2013). Indeks Gini didapatkan dengan cara menghitung luas daerah antara garis diagonal (kemerataan sempurna) dengan kurva Lorenz dibandingkan dengan luas total dari separuh bujursangkar dimana kurva Lorenz tersebut berada (Arsyad, 1999). Secara teknis, langkah awal yaitu penduduk diurutkan dari yang mempunyai pengeluaran perkapita per bulan paling rendah sampai dengan yang mempunyai pengeluaran per kapita per bulan paling tinggi. Kemudian dibuat kelas-kelas setiap 10% dari paling rendah sampai paling tinggi. Langkah selanjutnya adalah menghitung frekuensi persentase dan kumulatif persentase baik untuk penduduk penerima pendapatan maupun pendapatan yang diterima. Nilai dari indeks Gini terletak antara 0 sampai
(27)
1. Angka 0 menunjukkan kemerataan sempurna, sedangkan 1 menunjukkan ketidakmerataan sempurna. Berikut formula untuk mencari indeks Gini:
(28)
poin7.
(9) Menjumlahkan seluruh nilai pada satu kolom.
(10) Indeks Gini diperoleh dengan mengurangi angka satu dengan nilai pendapatan pada kolom poin 9.
b. Hipotesis Kuznets
Kuznet (1955) mengatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap selanjutnya, distribusi pendapatannya akan menaik. Observasi inilah yang kemudian, dikenal sebagai kurva Kuznet “U-Terbalik”. Hipotesis Kuznet dapat memperlihatkan hubungan antara indeks ketimpangan (indeks gini) dengan pertumbuhan PDRB
Sumber : Kuznet, 1955 GAMBAR 2.1. Kurva Kuznets
Hipotesis tersebut berawal dari pertumbuhan ekonomi (berasal dari tingkat pendapatan yang rendah berasosiasi dalam suatu masyarakat agraris pada tingkat awal) yang pada mulanya menaik pada tingkat kesenjangan pendapatan rendah hingga sampai pada suatu tingkat
1 0,75
0,5
0 2
0
PDRB Per Kapita
K
oe
fi
si
(29)
pertumbuhan tertentu selanjutnya menurun. Kuznet menyebutkan bahwa diantara faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik yang mempengaruhi pola U, terdapat faktor penting yaitu terpusatnya modal pada kelompok pendapatan tinggi dan adanya pergeseran penduduk dari sektor pertanian tradisional menuju sektor industri modern.
2. Penyebab Ketimpangan Ekonomi
Menurut Sjafrizal (2008), ketimpangan pembangunan dipengaruhi faktor- faktor sebagai berikut:
a. Perbedaan kandungan sumber daya alam, yang akan mempengaruhi kegiatan produksi di daerah tersebut. Daerah yang kaya sumber daya alam dapat memperoduksi barang-barang tertentu dengan harga yang lebih murah sehingga mempercepat pertumbuhan ekonominya.
b. Perbedaan kondisi demografis, meliputi tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, tingkat pendidikan dan kesehatan, kondisi ketenagakerjaan, tingkah laku dan etos kerja masyarakatnya.
c. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa, yang menyebabkan kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat diperdagangkan/dijual ke daerah lain yang membutuhkan sehingga daerah yang kurang maju tersebut pertumbuhannya lebih lambat.
d. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah akan mendorong peningkatan penyediaan lapangan kerja dan juga tingkat pendapatan masyarakat.
(30)
e. Alokasi dana pembangunan antar wilayah (investasi yang ditanamkan). Sumber investasi terdiri dari dua pelaku ekonomi yaitu pemerintah dan swasta.
3. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi a. Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan merupakan proses transformasi yang dalam perjalanan waktu ditandai dengan perubahan strktural yakni perubahan pada landasan kegiatan ekonomi maupun pada kerangka susunan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Pada umumnya pembangunan selalu disertai dengan pertumbuhan, tetapi pertumbuhan belum tentu disertai dengan pembangunan. Pada tingkat permulaan, pembangunan ekonomi dibarengi pula dengan pertumbuhan dan sebaliknya (Suparmoko, 1992).
Djojohadikusumo (1987) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi bertumpu pada proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Sedangkan pembangunan ekonomi mengandung pengertian yang lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh. Pembangunan merupakan proses transformasi yang dalam perjalanan waktu ditandai dengan perubahan strktural yakni perubahan pada landasan kegiatan ekonomi maupun pada kerangka susunan ekonomi masyarakat yang bersangkutan.
Laju pembangunan ekonomi suatu negara ditunjukkan dengan menggunakan tingkat pertambahan Produk Domestik Bruto (Gross
(31)
Domestic Bruto atau GDP). Namun demikian cara tersebut memiliki kelemahan karena cara itu tidak secara tepat menunjukkan perbaikan kesejahteraan masyarakat yang dicapai. Pada saat terjadi pertambahan kegiatan ekonomi masyarakat, terjadi pula pertambahan penduduk. Oleh karena itu pertambahan kegiatan ekonomi ini digunakan untuk mempertinggi kesejah teraan ekonomi masyarakat. Apabila pertambahan GDP/GNP lebih rendah dibandingkan pertambahan penduduk maka pendapatan per kapita akan tetap sama atau cenderung menurun. Ini berarti bahwa pertambahan GDP/GNP tidak memperbaiki tingkat kesejahteraan ekonomi. Perbedaan yang timbul ini menyebabkan beberapa ekonom membedakan pengertian pembangunan ekonomi (economic development) dengan pertumbuhan ekonomi (economic growth). Para ekonom menggunakan istilah pembangunan ekonomi sebagai (Arsyad, 1999) :
(1) Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat yaitu tingkat pertambahan GDP/GNP pada suatu tahun tertentu adalah melebihi tingkat pertambahan penduduk.
(2) Perkembangan GDP/GNP yang terjadi disuatu negara diberengi oleh perombakan dan modernisasi struktur ekonominya. Sedangkan pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan GDP/GNP
tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Dalam penggunaan yang lebih umum, istilah
(32)
pertumbuhan ekonomi biasanya digunakan untuk menyatakan perkembangan ekonomi di negara-negara maju, sedangkan pembangunan ekonomi untuk menyatakan perkembangan di negara sedang berkembang (Arsyad,1999).
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses suatu proses yang multidimensional yang mencakup berbagai perubahan-perubahan mandasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan, serta pemberantasan kemiskinan (Todaro, 2004).
b. Hubungan antara Pertumbuhan ekonomi dengan Ketimpangan ekonomi
Pembangunan ekonomi suatu negara dinyatakn berhasil jika terjadinya pertumbuhan ekonomi yanag diiringi dengan berkurangnya ketimpangan distribusi pendapatan. Pada dasarmya pertumbuhan ekonomi hakikatnya baik secara langsung maupun tidak langsung akan tetap berpengaruh terhadap ketimpangan daerrah. Ketimpangan ekonomi dalam hal ini pembagian pendapatan adalah ketimpangan perkembangan ekonomi antara berbagai daerah pada suatu wilayah yang akan menyebabkan pula ketimpangan tingkat pendapatan perkapita antar daerah (Kuncoro, 2004).
Kesenjangan pembagian pendapatan di negara-negara berkembang sejak tahun puluhan telah menjadi perhatian utama dalam menetapkan kebijaksanan pembangunan. Kebijaksanaan pembangunan yang
(33)
menguatamakan pertumbuhan ekonomi telah mengakibatkan semakin meningkatnya ketimpangan pembagian pendapatan dengan penelitiannya dibeberapa negara. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tidak mungkin perekonomian sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar, tetapi diperlukan adanya peran pemerintah dalam hal mengatur ekonomi.
Dalam penelitian yang telah dilakukan Kuznets, menyimpulkan bahwa korelasi pertumbuhan dan ketimpangan sangat kuat, pada permulaannya pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan peningkatan ketimpangan yang disebabkan belum meratanya distribusi pendapatan, namun setelah tahapan yang lebih lanjut pemerataan akan semakin tercapai kemudian tingkat ketimpangan akan mengalami penurunan. Kuznets menggambarkan pola peningkatan dan penurunan tersebut dengan metode U terbalik yang ia ciptakan setelah meneliti kesenjangan diberbagai Negara.
pertumbuhan ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap masalah ketimpangan regional. Ketimpangan dalam pembagian pendapatan adalah ketimpangan dalam perkembangan ekonomi antara berbagai daerah pada suatu wilayah yang akan menyebabkan pula ketimpangan tingkat pendapatan perkapita antar daerah (Kuncoro, 2004). Menurut Syafrizal (2008) ketimpangan pada negara sedang berkembang relatif lebih tinggi karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi
(34)
pembangunannya sudah lebih baik sedangkan daerah yang masih terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan sarana serta rendahnya kualitas sumber daya manusia. Oleh sebab itulah, pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisi yang lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan.
4. Indeks Pembangunan Manusia
a. Teori Indeks Pembangunan Manusia
Pemanfaatan sumber daya alam sangat tergantung oleh kualitas sumber daya manuasia sebagai pengelola sumber daya alam tersebut. Menurut Arsyad (1999) sumber daya manusia merupakan salah faktor penting dalam mempengaruhi perkembangan manusia melalui tingkat pendapatan, distribusi pendapatan dalam masyarakat. Sedangkan pembangunan manusia melalui pendidikan dan kesehatan yang baik sangat menentukan kemampuan untuk menyerap dan mengelola sumber-sumber pertumbuhan ekonomi.
Pengukuran pembangunan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara seluh dunia itulah yang dimaksud dengan Indeks Pembangunan Manusia(IPM). IPM digunakan segai alat untuk mengukur tingkat ketimpangan daerah, dengan mengklasifikasikan kabupaten/kota.
Indeks Pembangunan Manusia (Todara dan Smith, 2004) mencoba untuk memeringkat semua negara atau daerah dengan skla 0 (IPM
(35)
terendah) hingga 1 (IPM tertinggi) berdasarkan tiga tujuan atau produk akhir IPM:
1) Masa hidup yang diukur dengan usia harapan hidup
2) Pengetahuan yang diukur dengan kemampuan baca tulis orang dewasa secara terimbang (dua pertiga) dan rata-rata sekolah (satu pertiga)
3) Standar kehidupan yang diukur dengan pendapatan riil per kapita, disesuaikan dengan disparitas daya beli dari mata uang setiap negara untuk mencerminkan biaya hidup dan untuk memenuhi asumsi utilitas yang semakin menurun dari pendapatan.
Adapun metode perhitungan IPM yang diukur dengan ketiga komponen tersebut dengan mebuat perbandingan selisih nilai indikator penentu dan nilai minimumnya dengan selisih penentu indikator maksimum dan minimum yaitu sebagai berikut:
(36)
3. Rata-rata lama bersekolah : 0-100
Adapun metode perhitungan IPM dengan rumus sebagai berikut : IPM = 1/3 [X(1) + X (2) + X (3)]
Keterangan :
X(1) = Indeks harapan hidup kelahiran/Lamanya hidup (Tahun) X(2) = Tingkat pendidikan; [2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks rata- rata lama bersekolah)]
X(3) = Pendapatan riil per kapita (rupiah) / paritas daya beli IPM mengukur kinerja pembangunan manusia dengan skala 0-1. Nol sebagai tingkatan pembangunan manusia yang terendah dan satu sebagai tingkatan pembangunan manusia tertinggi (Kuncoro, 2012).
Salah satu keuntungan terbesar IPM adalah indeks ini mengungkapkan bahwa sebuah negara dapat berbuat jauh lebuh baik pada tingkat pendapatan yang rendah dan bahwa kenaikan pendapatan yang besar dapat berperan relatif lebih kecil dalam pembangunan manusia (Todaro dan Smith, 2004).
Todaro dan Smith (2004) menambahkan IPM menunjukkan dengan jelas bahwa kesenjangan dalam pendapatan lebih besar daripada kesenjangan dalam indikator pembangunan yang lain, paling tidak dalam indikator kesehatan dan pendidikan. IPM juga mengingatkan kita bahwa pembangunan yang kita maksud adalah pembangunan manusia dalam arti luas bukan hanya dalam bentuk pendapatan yang lebih tinggi. Kesehatan
(37)
dan pendidikan bukan hanya fungsi produksi namun juga merupakan tujuan pembangunan yang fundamental.
b. Hubungan antara Indeks Pembangunan Manusia dengan Ketimpangan Ekonomi
Indeks pembangunan manusia menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia yang dapat menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, dan pendidikan.
Ketimpangan yang terjadi pada suatu wilyah akan berpengaruh pada tingkat kesejateraan masyarakat diwilayah tersebut. Pada hakiaktnya IPM memiliki hubungan saling keterkaitan dengan ketimpangan ekonomi. Dalam penelitian Dwi (2015) mengenai pengaruh IPM terhadap ketimpangan ekonomi di Yogyakarta menunjukan pengaruh postif. Hal ini dikarenakan usia harapan hidup yang tinggi menyebabkan banyaknya usia non-produktif yang tinggal DIY. Sehingga memicu terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Purnasihar (2012), IPM menjadi salah satu variabel signifikan yang menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan antar wilayah di Indonesia. IPM memiliki hubungan positif terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Apabila IPM naik, maka ketimpangan akan naik. Peningktan IPM terjadi akibat perubahan satu atau lebih komponen IPM pada periode tersebut. Perubahan yang dimaksud dapat berupa peningkatan besaran dari komponen IPM yaitu angka
(38)
harapan hidup, angka melek huruf rata-rata lama sekolah dan pengeluaran riil perkapita.
5. Aglomerasi
a. Teori Aglomerasi
Menurut Mudrajad Kuncoro (2004), aglomerasi yaitu konsentrasi spasial dari aktifitas ekonomi di kawasan perkotaan karena penghematan yang diakibatkan adanya lokasi saling berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja, dan konsumen untuk menekan biaya-biaya, seperti biaya transportasi, informasi, dan komunikasi. Kekuatan aglomerasi dan deaglomerasi dapat menjelaskan terjadinya konsentrasi dan dekonsentrasi industri. Ada tiga manfaat yang ditimbulkan oleh kegiatan di atas, yaitu : penghematan skala (scale economies), penghematan lokasi (localization economies), dan penghematan urbanisasi (urbanisation economies). Konsentarsi kegiatan ekonomi antar daerah yang tinggi akan dapat mendorong meningkatnya ketimpangan pambangunan antar wilayah karena proses pembangunan daerah yang cepat hanya akan terjadi pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi. Sedangkan konsentrasi ekonomi yang rendah akan menghambat proses pembangunan. Oleh karena itu ketidakmerataan akan menimbulkan ketimpangan dalam proses pembangunan antar wilayah.
(39)
b. Hubungan Antara Aglomerasi dengan Ketimpangan antar wilayah Menurut Jamie Bonet (2006), aglomerasi yaitu pemusatan aktifitas produksi digunakan sebagai salah satu variabel yang digunakan untuk mengetahui ketimpangan antar wilayah. Aglomerasi produksi dapat mempengaruhi kesenjangan wilayah secara langsung, yaitu pada saat terjadinya hambatan mobilitas tenaga kerja antar wilayah, atau saat terjadi surplus tenaga kerja dalam perekonomian. Aglomerasi dapat diukur dengan beberapa cara, pertama adalah dengan menggunakan proporsi jumlah penduduk perkotaan dalam suatu provinsi terhadap jumlah penduduk provinsi tersebut dan yang kedua adalah dengan menggunakan konsep aglomerasi produksi (Bonet, 2006).
B. Penelitian Terdahulu
Menurut penelitian Nikoloski (2010) yang berjudul “Economic and Political Determinants of Income Inequality” dengan alat analisis GMM bahwa GDP per kapita berpengaruh positif pada jangka pendek dan negatif pada jangka panjang. Begitu pula menurut penelitian Williamson (1965) smeneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang. Hasil penelitian ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih matang dilihat dari pertumbuhan ekonomi tampak adanya keseimbangan antardaerah di mana disparitas berkurang dengan signifikan.
(40)
Selanjutnya penelitian yang dilakukan Angelia (2010) mengenai “Analisis Ketimpangan Pembangunan Wilayah di Provinsi Dki Jakarta Tahun 1995-2008” menyimpulkan bahwa dengan menggunakan pendekatan PDRB per kapita relatif tingkat ketimpangan di Provinsi DKI Jakarta selama kurun waktu 1995-2008 masih tinggi. Sedangkan Hipotesis Kuznets terbukti pada wilayah ini.
Menurut Astuti (2015) dalam penelitiannya mengenai “Analisis Determinan Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Daerah Istimewa Yogyakarta Periode 2005-2013” dengan pendekatan indeks Gini bahwa ketimpangan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipengaruhi variable PDRB, IPM dan populasi menunjukan menunjukkan bahwa: 1) Indeks pembangunan manusia memiliki pengaruh positif terhadap ketimpangan distribusi pendapatan, 2) PDRB per kapita berpengaruh negatif terhadap ketimpangan distribusi pendapatan, dan 3) Populasi penduduk berpengaruh negatif terhadap ketimpangan distribusi pendapatan di DIY.
Sementara itu penelitian yang telah dilakukan Soetopo (2009) mengenai “Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau di Indonesia” menunjukan hasil penghitungan diperoleh bahwa ketimpangan pendapatan antar pulau yang terjadi di Indonesia terbagi dalam enam pulau tergolong dalam taraf ketimpangan yang rendah dengan nilai indeks ketimpangan antara 0,210 sampai 0,261, yang berarti masih berada di bawah 0,35 sebagai batas taraf ketimpangan rendah. Kemudian untuk ketimpangan pendapatan yang terjadi di dalam setiap pulau yang terdiri dari propinsi-propinsi berada pada taraf
(41)
ketimpangan yang tinggi untuk Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Maluku dan Irian yaitu antara 0,521 sampai 0,996, pada Pulau Sulawesi taraf ketimpangannya rendah yaitu antara 0,050- 0,109, sedangkan untuk Pulau Bali taraf ketimpangannya sedang yaitu antara 0,379-0,498. Kemudian trend ketimpangan pendapatan antar pulau menunjukkan bahwa trend ketimpangan pendapatan yang terjadi selama periode analisis menunjukkan trend ketimpangan yang menurun. Trend ketimpangan pendapatan menurut pulau juga menunjukkan trend yang menurun kecuali Pulau Jawa dan Sulawesi. Hasil analisis korelasi dan koefisien determinan menunjukkan bahwa hubungan pertumbuhan PDRB dengan indeks ketimpangan pendapatan lemah dan besarnya kontribusi pertumbuhan PDRB terhadap perubahan ketimpangan pendapatan kecil yaitu sebesar 14 persen.
Dalam penelitian Faiz (2009) mengenai “Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Aglomerasi, Tingkat Pengangguran, dan Panjang Jalan Terhadap Ketimpangan antar Wilayah menurut Tipologi Klassen Pada 25 Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008” dari hasil penelitian tersebut didapat bahwa pada periode tahun 2004 hingga tahun 2008, pertumbuhan ekonomi, aglomerasi, tingkat pengangguran berpengaruh positf signifikan terhadap ketimpangan wilayah, akan tetapi panjang jalan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan wilayah.
Menurut hasil penelitian Ramly (2012) dalam jurnal yang berjudul “Determinan Ketimpangan Regional di Indonesia Tahun 2000 – 2008” dalam penelitian tersebut menunjukan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
(42)
faktor-faktor yang dapat dianggap dapat mengurangi ketimpangan regional seperti pemerataan alokasi investasi pemerataan tingkat pendidikan dan pengeluaran pemerintah dalam bentuk belanja barang belum memberikan hasil yang maksimal, justru pengeluaran pemerintah dalam bentuk belanja modal semakin memperlebar ketimpangan regional. Hipotesis Kuznets masih berlaku di Indonesia yaitu pertumbuhan ekonomi justru memperlebar ketimpangan. Untuk mengurangi ketimpangan regional diperlukan kemauan politik dari pemerintah pusat untuk mempercepat pembangunan pada daerah-daerah tertinggal dengan mengeluarkan serangkaian kebijakan yang efektif dan produk perundangan-undangan yang memungkinkan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah tertentu dapat dinikimati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Sementara itu dalam penelitian yang berjudul Putra (2011) “Analisis Pengaruh Ketimpangan Distribusi Pendapatan Terhadap Jumlah Penduduk Miskin Di Provinsi Jawa Tengah Periode 2000 – 2007” Hasil dari peneitian tersebut menunjukkan data terdistribusi normal. Hasil pengolahan data menunjukkan nilai F sebesar 16,686 (probabilitas = 0,006) dan koefisien determinasi (adjusted R2) sebesar 0,870. Melalui regresi dapat diperoleh hasil bahwa Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Tengah dipengaruhi secara signifikan oleh tingkat ketimpangan pendapatan distribusi pendapatan yang diukur menggunakan Indeks Williamson (dengan nilai 1,834) dan Indeks Gini (dengan nilai 0,477). Maka dapat disimpulkan bahwa Indeks Williamson lebih berpengaruh dibandingkan Indeks Gini.
(43)
Menurut penelitian Sjafrizal (1997) dengan judul “Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat” menjelaskan bahwa perkembangan pembangunan regional di Wilayah Bagian Barat dalam periode 1987-1995 ternyata lebih baik dibandingkan dengan keadaan rata-rata seluruh Indonesia, baik dari segi pertumbuhan ekonomi maupun pemerataan pembangunan antar wilayah.
Selanjutnya dalam penelitian Bonet (2006) yang berjudul “Fiscal Desentralization and Regional Income Disparities : evidence from the Colombian experience” menyatakan bahwa tingkat perekonomian terbuka dan aglomerasi berpengaruh positif terhadap ketimpangan pendapatan.
C. Kerangka Berfikir
Gambar 2.4.
Kerangka Berfikir Penelitian Aglomerasi
Bonet, 2009 Pertumbuhan Ekonomi
Ramly, 2012
Ketimpangan Ekonomi (+)
(+)
(+) Indeks Pembangunan
Manusia Purnasihar, 2012
(44)
D. Penurunan Hipotesa
1. Diduga pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap ketimpangan ekonomi di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
2. Diduga Indeks Pembanguanan Manusia berpengaruh positif terhadap ketimpangan ekonomi di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
3. Diduga Aglomerasi berpengaruh positif terhadap ketimpangan ekonomi di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara
(45)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Objek dan Subjek Penelitian 1. Objek Penelitian
Dalam penelitian ini daerah yang digunakan adalah Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara yang terdiri :
a. Jawa Barat b. Jawa Tengah c. D.I Yogyakarta d. Jawa Timur e. Bante f. Bali
g. Nusa Tenggara Barat h. Nusa Tenggara Timur 2. Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini ada beberapa variabel yang digunakan, yaitu variabel independen dan variabel dependen. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tingkat Ketimpangan Ekonomi dengan pendekatan Indeks Gini, sedangkan variabel independen adalah Pertumbuhan Ekonomi, IPM dan Aglomerasi.
(46)
B. Jenis Data dan Sumber Data
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif angka yang berupa data sekunder dalam bentuk time series dengan kurun waktu 2007-2013. Sumber data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Nasional.
C. Metode Pengumpulan Data
Pada penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi non perilaku, yaitu pengamatan atau observasi dengan tidak melibatkan diri pada seperti pada pengumpulan data primer. Dalam penelitian ini peneliti hanya terlibat sebagai pengamat independen. Data dikumpulkan dengan cara mempelajari dokumen serta catatan-catatan yang berkaitan dengan peneliti yang dilakukan (Sugiyono, 2012).
D. Definisi Operasional Variabel
1. Ketimpangan Pembangunan Ekonomi
Ketimpangan pembangunan ekonomi merupakan perbedaan pendapatan antar wilayah sehingga terjadi ketidakmerataan. Koefisien Gini ini merupakan salah satu alat ukur untuk melihat ketidakmerataan agregat yang nilainya terletak antara 0 (kemerataan sempurna) sampai 1 (ketidakmerataan sempurna) :
(47)
G < 0,3 → ketimpangan rendah
0,3 ≤ G ≤ 0,5 → ketimpangan sedang
G > 0,5 → ketimpangan tinggi
Indeks Gini merupakan koefisien yang didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pendapatan kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Koefisien Gini didefinisikansebagai A/(A+B), jika A=0 koefisien Gini bernilai 0 yang berarti pemerataan sempurna, jika B=0 koefisien Gini akan bernilai 1 yang berarti ketimpangan sempurna. Satuannya rasio. Satuan dari variabel Gini adalah rasio.
2. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah laju pertumbuhan PDRB rill (PDRB sektoral atas dasar atas dasar harga konstan 2000) yang di hitung dengan formulasi :
(48)
(49)
E. Alat Analisis
Dalam penelitian ini, alat analisis yang digunakan untuk menjawab permasalahan atau hipotesis dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis regresi data panel. Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Data panel merupakan gabungan antara data runtut waktu (time series) dan data silang (cross section). Menurut Agus Widarjono dalam Basuki (2014) menjelaskan bahwa penggunaan data panel dalam sebuah observasi memiliki beberapa keuntungan yang diperoleh. Pertama, data panel merupakan gabungan dua data time series dan cross section yang mampu menyediakan data lebih banyak sehingga akan lebih menghasilkan degree of freedom yang lebih besar. Kedua, menggabungkan informasi dari time series dan cross section dapat mengatasi masalah yang timbul ketika masalah penghilangan variabel (omitted-variabel).
F. Model Penelitian
Berdasarkan studi empiris maka model regresi dalam penelitian ini sebagai berikut :
IGit = β0+ β1*PEit + β2*IPMit + β3*AGit + et Dimana :
IG = Tingkat Ketimpangan Ekonomi PE = Laju Pertumbuhan Ekonomi IPM = Indeks Pembangunan Manusia
AG = Aglomerasi
Β0 = Konstanta
Β1-β3 = Koefisien Parameter
i = Kabupaten
t = Periode waktu Et = Distrubance Error
(50)
G. Uji Kualitas Data 1. Uji Multikolinearitas
Uji multikoliniearitas bertujuan menguji apakah model regresi terdapat korelasi antar variabel bebas atau tidak. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel bebas. Apabila variabel bebas saling berkorelasi, maka variabel-variabel tidak ortugal. Variabel tidak ortugal adalah variabel bebas yang nilai korelasi antar sesama variabel bebas sama dengan nol. Menurut Gujarati dalam Astuti (2015). Jika terjadi kolerasi maka dinamakan terdapat problem multikolinearitas. Model regresi yang baik seharusnya model yang tidak terjadi korelasi diantara variabel independen.
Adapun Beberapa cara mendeteksi adanya multikolinearitas yaitu :
a. R2 cukup tinggi (0,7 -0,1), tetapi uji-t untuk masing-masing koefisien regresinya tidak signifikan
b. Tingginya R2 merupakan syarat yang cukup tetapi bukan yang syarat yang perlu untuk terjadinya multikoliniearitas. Sebab pada R2 yang rendah <0,5, bisa juga terjadi multikolinearitas.
c. Meregresikan variabel independen X dengan variabel-variabel independen yang lain, kemudian menghitung R2 dengan uji F; Jika F hitung > F tabel berarti Ho di tolak, ada multikolinearitas Jika F hitung < F tabel berarti Ho di terima, tidak ada multikolinearitas
Ada beberapa cara untuk mengetahui multikolinearitas dalam suatu model. Salah satunya adalah dengan melihat koefisien hasil output dari
(51)
komputer. Jika terdapat koefisien yang lebih besar dari (0,9), maka terdapat gejala multikoliearitas.
Untuk mengatasi masalah multikolinearitas, satu variabel independen yang memiliki korelasi dengan variabel independen lain harus dihapus. Dalam ini model fixed effect yang ditransformasikan ke dalam model GLS, model ini sudah diantisipasi dari terjadinya multikolinearitas.
2. Uji Heteroskedastisitas
Menurut Ghozali dalam Rahmawaty (2014) deteksi heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain. Model regresi yang baik adalah tidak terjadinya heteroskedastisitas, maka kondisi ini disebut homoskedastis. Akan tetapi jika berbeda, maka disebut heteroskedastis. Model regresi yang baik adalah model yang bersifat homoskedastis. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastis adalah dengan me-regress model dengan log residu kuadrat sebagai variabel terikat.
Ho : homoskedastis Ha : heteroskedastis
Apabila, probabilitas dari masing-masing variabel bebas lebih dari 0,05 maka terjadi penerimaan terhadap Ho. Sehingga tidak terdapat heteroskedastis pada model tersebut atau hasilnya data dalam kondisi homosedastis.
H. Uji Hipotesis dan Analisis Data Panel
Metode analisis regresi data panel yang dipilih oleh penulis dalam menganalisis data dalam penelitian ini. Analisis data regresi data panel digunakan
(52)
untuk melihat sejauh mana pengaruh variabel-variabel bebas yang digunakan dalam meneliti Tingkat Ketimpangan Ekonomi yang ada di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
Menurut Basuki dan Yuliadi (2015) data panel (pooled data) diperoleh dengan cara menggabungkan data time series dengan cross section. Analisis regresi dengan data panel memungkinkan peneliti mengetahui karakteristik antar waktu dan antar individu dalam variabel yang bisa saja berbeda-beda.
Ada tiga metode yang digunakan dalam pengolahan dalam data panel: a. Model Pooled Least Square (Common Effect)
Model ini dikenal dengan estimasi Common Effect yaitu teknik regresi yang paling sederhana untuk mengestimasi data panel dengan cara hanya mengkombinasikan data time series dan crossection. Model ini hanya menggabungkan data tersebut tanpa melihat perbedaan antar waktu dan individu sehingga dapat dikatakan bahwa model ini sama halnya dengan metode OLS karena menggunakan kuadrat terkecil biasa.
Dalam pendekatan ini hanya mengasumsikan bahwa perilaku data antar ruang sama dalam berbagai kurun waktu. Pada beberapa penelitian data panel, model ini sering kali tidak pernah digunakan sebagai estimasi karena sifat dari model ini tidak membedakan perilaku data sehingga memungkinkan terjadinya bias, namun model ini digunakan untuk perbandingan dalam pemilihan model yang lainnya.
(53)
b. Model Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect)
Model pendekatan ini menggunakan variabel boneka atau dummy variabel yang dikenal dengan sebutan mode efek tetap atau Least Square Dummy Variable (LSDV) atau disebut juga dengan Covariance Model. Pada metode Fixed Effect estimasi dilakukan dengan tanpa pembobot atau no weight atau LSDV dan dengan pembobot (crossection weight) atau Generated Least Square (GLS). Tujuan dilakukannya pembobotan adalah untuk mengurangi heterogenitas antar unit cros section (Gujarati 2012). Penggunaan model ini tepat untuk melihat perilaku data dari masing-masing individu variabel sehingga data lebih dinamis dalam menginterpretasi data.
c. Model Pendekatan Efek Acak (Random Effect)
Model data panel pendekatan ketiga yaitu model efek acak. Dalam model ini, paramet-parameter yang berbeda antar daerah maupun antar waktu dimasukan ke dalam error. Karena hal inilah, model efek acak juga disebut model komponen error (error correction model).
Dalam menguji spesifikasi model pada penelitian, penulis menggunakan beberapa metode :
1. Uji Chow
Uji spesifikasi bertujuan untuk menentukan model analisis data panel yang akan digunakan. Uji Chow digunakan untuk memilih antara model fixed effect atau model common effect yang sebaiknya dipakai.
H0 : Common Effect H1 : Fixed Effect
(54)
Apabila hasil uji spesifikasi ini menunjukkan probabilitas Chi-Square lebih dari 0,05 maka model yang dipilih adalah common effect. Sebaiknya dipakai adalah fixed effect. Ketika model yang terpilih adalah fixed effect maka perlu dilakukan uji lagi, yaitu Uji Hausman untuk mengetahui apakag sebaiknya memakai fixed effect model (FEM) atau random effect model (REM).
Uji Chow dapat dilihat menggunakan Uji F signifikan estimasi fixed effect, yang digunakan untuk memilih antar OLS pooled tanpa variabel dummy atau fixed effect. F statistik di sini adalah sebagai uji Chow. Dalam hal ini, uji F digunakan untuk menentukan model terbaik antara kedua dengan melihat uji residual kuadrat (RSS).
Uji F adalah sebagai berikut :
Dimana :
RSS 1 : merupakan jumlah residual kaudrat pooled OLS RSS 2 : merupakan jumlah residual kuadrat fixed effect m : merupakan pembilang
n-k : merupakan denumerator
Jika hipotesis nol ditolak, dapat disimpulkan model fixed effect lebih baik dari pooled OLS.
2. Uji Hausman
Uji Hausman dapat didefinisikan sebagai pengujian statistik untuk memilih apakah model Fixed Effect atau Random Effect yangpaling tepat digunakan. Pengujian uji Hausman dilakukan dengan hipotesis berikut:
(55)
H0 : Random Effect Model H1 : Fixed Effect Model
(56)
b. Uji F-Statistik
Uji F-Statistik ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh variabel independen (bebas) secara keseluruhan terhadap variabel variabel dependen (terkait). Adapun langkah-langkahnya yang dapat dilakukan dalam uji ini adalah sebagai berikut:
1) Peumusan Hipotesa
Ho: β1 = β2 = 0, artinya secara bersama-sama tidak ada pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen
H1: β1 ≠ β2 ≠ 0, artinya secara bersama-sama ada pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen 2) Pengambilan keputusan
Pengambilan dalam pengujian uji F ini adalah dengan cara membandingkan probobilitas pengaruh variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen dengan nilai α yang digunakan dalam penelitian ini penulis menggunakan α = 0,05.
Jika probobilitas variabel independen > 0,05 maka hipotesa Ho diterima, artinya variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh secara nyata terhadap variabel dependen.
Jika probobilitas variabel independen< 0,05, maka hipotesa H1 ditolak, artinya variabel independen secara bersama-sama berpengaruh secara nyata terhadap variabel dependen.
(57)
c. Uji Parsial (T-Statistik)
Uji statistik (parsial) merupakan pengujian terhadap tingkat signifikan setiap variabel independen secara individual terhadap variabel dependen dalam suatu model regresi.
1) Merumuskan Hipotesa
Ho: β1 = β2 = 0 artinya tidak ada pengaruh secara individu masin
g-masing variabel independen terhadap variabel dependen.
H1: β1 ≠ β2 ≠ 0 artinya ada pengaruh secara individu masing-masing
variabel independen terhadap variabel dependen. 2) Pengambilan keputusan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan α = 0,05.
Jika probobilitas variabel independen > 0,05 maka hipotesa Ho diterima, artinya variabel independen secara partial tidak berpengaruh terhadap variabel dependen.
Jika probobilitas variabel independen< 0,05, maka hipotesa H1 ditolak, artinya variabel independen secara partial berpengaruh terhadap variabel dependen
(58)
BAB IV
GAMBARAN UMUM
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Gambaran Umum Provinsi Jawa Barat
a. Kondisi Geografis Daerah Provinsi Jawa Barat
Batas-batas wilayah provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut : (1) Sebelah Utara, dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta. (2) Sebelah Timur, dengan Provinsi Jawa Tengah. (3) Sebelah Selatan, dengan Samudra Indonesia. (4) Sebelah Barat, dengan Provinsi Banten.
Provinsi Jawa Barat memiliki kondisi alam dengan struktur geologi yang kompleks dengan wilayah pegunungan berada di bagian tengah dan selatan serta dataran rendah di wilayah utara. Memiliki kawasan hutan dengan fungsi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi yang proporsinya mencapai 22,10 persen dari luas Jawa Barat; curah hujan berkisar antara 2000-4000 mm/th dengan tingkat intensitas hujan tinggi; memiliki 40 Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan debit air permukaan 81 milyar m3/tahun dan air tanah 150 juta m3/th. Secara administratif pemerintahan, wilayah Jawa Barat terbagi kedalam 27 kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Pangandaran, Kabupaten Kuningan,
(59)
Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung Barat dan 9 kota yaitu Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya, dan Kota Banjar serta terdiri dari 626 kecamatan, 641 kelurahan, dan 5.321 desa. b. Gambaran Demografis Provinsi Jawa Barat
Gambaran umum demografis wilayah Provinsi Jawa Barat, tercermin dari Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Jawa Barat dalam kurun waktu tahun 2012-2013 mengalami peningkatan sebesar 0,11 persen yaitu dari 1, persen pada Tahun 2012 meningkat menjadi 1,77 persen pada tahun 2013.
TABEL 4.1.
Data Kondisi Demografi Jawa Barat 2012-2013
Indikator Satuan Tahun
2012 2013
Demografi
a. Jumlah Penduduk Jiwa 44.548.431 45.340,8*
(1) laki-laki (2) Perempuan
Jiwa 22,609,621 23.004,3*
Jiwa 21.938,810 22.336,5*
b. Laju Pertumbuhan Penduduk
(LPP) Persen 1.66 1.77
c. Kepadatan Pendudu Jiwa Per Km2 1.198 1.222
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat. Januari 2014 *) dalam ribuan
c. Kondisi Umum Pemerataan Ekonomi Provinsi Jawa Barat
Pemerataan ekonomi di Jawa Barat tidak terlepas dari perkembangan laju pertumbuhan ekonomi, inflasi, PDRB per kapita, dan indeks gini. Laju pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat dalam kurun waktu tahun 2012-2013
(60)
mengalami penurunan sebesar 0,15 persen, diikuti dengan naiknya tingkat inflasi akibat dari kenaikan harga BBM. Secara umum produktivitas ekonomi Jawa Barat meningkat dan berdampak pada peningkatan PDRB per kapita (ADHB) Tahun 2013 sebesar Rp 23,5 juta. Namun demikian kondisi ekonomi tidak berdampak pada perbaikan pemerataan pendapatan, hal ini diindikasikan dengan angka indeks gini yang tetap dan terkategori mempunyai ketimpangan moderat.
2. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah
a. Kondisi Geografis Daerah Provinsi Jawa Tengah
Wilayah Provinsi Jawa Tengah secara administratif berbatasan dengan Samudera Hindia dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan; Provinsi Jawa Barat di sebelah barat; Provinsi Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah utara. Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 Kabupaten dan 6 Kota, dan terdiri dari 573 Kecamatan yang meliputi 7.809 Desa dan 769 Kelurahan dengan luas wilayah sebesar 3.254.412 Ha atau 25,04 persen dari luas Pulau Jawa. Topografi wilayah Jawa Tengah memiliki relief yang beraneka ragam, meliputi daerah pegunungan dan dataran tinggi yang membujur sejajar dengan panjang pulau Jawa di bagian tengah; dataran rendah yang hampir tersebar di seluruh Jawa Tengah; dan pantai yaitu Pantai Utara dan Selatan. Kemiringan lahan di Jawa Tengah bervariasi, meliputi lahan dengan kemiringan 0-2 persen sebesar 38 persen; lahan dengan kemiringan 2-15 persen sebesar 31 persen; lahan dengan kemiringan 15-40 persen sebesar
(61)
19 persen; dan lahan dengan kemiringan lebih dari 40 persen sebesar 12 persen. Selain itu, keadaan iklim di Jawa Tengah termasuk dalam kategori iklim tropis basah. Menurut Stasiun Klimatologi Klas I Semarang pada tahun 2012, suhu udara di Jawa Tengah berkisar antara 250C - 280C, dan kelembaban udara berada pada kisaran antara 75 persen - 83 persen. Curah hujan tertinggi sebesar 4.972 mm (tercatat di Stasiun Meteorologi Bojongsari) dan hari hujan terbanyak 203 hari (tercatat di Stasiun Meteorologi Cilacap).
b. Gambaran Demografis Provinsi Jawa Tengah
Demografi Jumlah penduduk Jawa Tengah tahun 2012 diproyeksikan sebanyak 33.270.207 jiwa atau 13,52 persen dari jumlah penduduk Indonesia, terdiri dari laki-laki sebanyak 16.495.705 Jiwa (49,58 persen) dan perempuan sebanyak 16.774.502 Jiwa (50,42 persen), sehingga besar rasio jenis kelamin (RJK) adalah sebesar 99,42. Jumlah penduduk terbanyak berada di Kabupaten Brebes (1.770.480 jiwa), sedangkan paling sedikit berada di Kota Magelang (120.447 jiwa). Kepadatan penduduk Jawa Tengah tahun 2012 diproyeksikan sebesar 1.022 Jiwa/Km2, meningkat dibandingkan kondisi tahun 2011 sebesar 1.003 jiwa/km2. Kepadatan penduduk tahun 2012 tertinggi di Kota Surakarta (11.573 jiwa/km2) dan terendah di Kabupaten Blora (472 jiwa/km2). Selengkapnya jumlah penduduk, rasio jenis kelamin dan kepadatan penduduk di Jawa Tengah disajikan dalam Tabel 4.2.
(62)
TABEL 4.2.
Data Kondisi Demografi Jawa Tengah 2011-2012
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2013
c. Kondisi Umum Pemerataan Ekonomi Provinsi Jawa Tengah
Pembangunan ekonomi diarahkan pada pembangunan inklusif, yang menitikberatkan pada pertumbuhan tanpa disparitas inter-regional dan ketidaksetaraan sosial. Konsep pertumbuhan dalam pembangunan inklusif mengacu pada suatu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan juga strategi untuk mengatasi ketimpangan ekonomi dan sosial dengan menyediakan kesempatan bagi orang/kelompok yang terpinggirkan dan rentan untuk berkontribusi pada proses pembangunan. Dengan demikian peluang ekonomi yang dihasilkan harus dapat dinikmati atau terdistribusi ke semua lapisan masyarakat termasuk kaum miskin termarjinalkan. Selama kurun waktu Tahun 2008 - 2012, pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah cenderung meningkat meskipun laju pertumbuhannya bergerak secara perlahan, yaitu sebesar 5,61% di Tahun 2008 menjadi 6,34 persen di Tahun 2012. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah tersebut, ditopang oleh sektor industri pengolahan serta perdagangan, hotel
Indikator Satuan Tahun
2011 2012
Demografi
a. Jumlah Penduduk Jiwa 32.643.612 33.270.207
(1) laki-laki Jiwa 16.273.976 16.495.705
(2) Perempuan Jiwa 16.369.636 16.774.502
b. Laju Pertumbuhan
Penduduk (LPP) Persen 0,81 1,92
(63)
dan restoran yang merupakan sumber pertumbuhan PDRB Jawa Tengah terbesar setiap tahunnya.
3. Gambaran Umum Daerah Istimewa Yogyakarta a. Kondisi Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta
Luas wilayah DIY adalah 3.185,80 km² atau 0,17% dari luas Indonesia (1.860.359,67 km²) dan merupakan wilayah dengan luas terkecil setelah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sementara itu dilihat dari posisi geostrategis, DIY terletak dibagian tengah Pulau Jawa bagian Selatan dan berbatasan dengan beberapa Provinsi di Jawa Tengah, yaitu sebelah utara dengan Kabupaten Magelang, sebelah timur dengan Kabupaten Klaten dan Wonogiri, sebelah barat dengan Kabupaten Purworejo, dan sebelah selatan dengan Samudera Indonesia. Wilayah di DIY yang terluas adalah Kabupaten Gunungkidul, yaitu 46,63 persen dari luas DIY sedangkan wilayah terkecil adalah Kota Yogyakarta, Wilayah di DIY yang terluas adalah Kabupaten Gunungkidul, yaitu 46,63% dari luas DIY sedangkan wilayah terkecil adalah Kota Yogyakarta. Ditinjau dari posisi geostrategis, DIY terletak dibagian tengah Pulau Jawa bagian Selatan, hal ini menjadikan DIY berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia yang kaya akan sumberdaya laut dan menjadikan DIY memiliki wilayah berupa kepulauan. DIY memiliki 28 pulau yang masuk dalam wilayah Kabupaten Gunungkidul yang tersebar pada lima kecamatan, yaitu Purwosari, Panggang, Tanjungsari, Tepus, dan Girisubo.
(64)
b. Gambaran Demografis Daerah Istimewa Yogyakarta
Selama tahun 1971 hingga 2010 jumlah penduduk DIY terus mengalami peningkatan. Jumlah penduduk DIY tahun 1971 sebanyak 2.489.360 orang meningkat menjadi 3.457.491 orang pada tahun 2010 kemudian diperkirakan meningkat sebanyak 29.834 orang menjadi 3.487.325 orang pada tahun 2011. Selanjutnya pada tahun 2012 dari hasil estimasi diperkirakan mencapai 3.514.762 jiwa.
TABEL 4.3.
Data Kondisi Demografi Daerah Istimewa Yogyakarta 2012
Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah , 2013
c. Kondisi Umum Pemerataan Ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta
Selama kurun waktu 2009-2013, rata-rata pertumbuhan ekonomi DIY mencapai 5,04 persen per tahun. Kondisi tahun 2013, laju pertumbuhan ekonomi DIY mencapai 5,40 persen yang berarti bahwa kinerja perekonomian DIY mengalami pertumbuhan dari tahun sebelumnya yang sebesar 5,32 persen. Pertumbuhan ekonomi tahun 2013 bahkan merupakan angka tertinggi selama sepuluh tahun terakhir.
Indikator Satuan Tahun
2012
Demografi
a. Jumlah Penduduk Jiwa 3.514.762
(1) laki-laki Jiwa 1.737.506
(2) Perempuan Jiwa 1.777.256
b. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Persen 0,69
(65)
4. Gambaran Umum Daerah Provinsi Jawa Timur a. Kondisi Geografis Daerah Provinsi Jawa Timur
Wilayah Jawa Timur dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu Jawa Timur daratan dan Kepulauan Madura. Panjang bentangan Barat-Timur Provinsi Jawa Timur sekitar 400 kilometer dan lebar bentangan utara-selatan sekitar 200 kilometer. Jawa Timur memiliki wilayah kepulauan yang terdiri dari pulau bernama sebanyak 232 pulau, pulau tanpa nama sebanyak 55 sehingga total keseluruhan pulau kecil yang dimiliki Provinsi Jawa Timur sebanyak 287 pulau (Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, 2004). Pulau Madura adalah pulau terbesar di Jawa Timur, di sebelah timur Pulau Madura terdapat gugusan pulau, paling timur adalah Kepulauan Kangean, dan paling utara adalah Kepulauan Masalembu. Pulau Bawean berada sekitar 150 kilometer sebelah utara pulau Jawa, sedangkan bagian selatan meliputi pulau Nusa Barung, Sempu, Sekel dan Panehan. Kondisi kawasan pada Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi 4 aspek antara lain kondisi kawasan tertinggal, kondisi kawasan pesisir, kondisi kawasan pegunungan dan kondisi kawasan kepulauan.
b. Gambaran Demografis Daerah Provinsi Jawa Timur
Pertumbuhan jumlah penduduk Provinsi Jawa Timur terus mengalami peningkatan setiap tahun, baik laki-laki mapun perempuan. Jumlah penduduk Jawa Timurtahun 2009 sebanyak 37.236.149 jiwa dan terus bertambah hingga tahun 2012 menjadi 38.052.950 jiwa, dimana pertumbuhan paling banyak adalah perempuan, sementara laju
(66)
pertumbuhan penduduk provinsi Jawa Timur mecapai 0,72 persen pada tahun 2012. sebagaimana tabel berikut:
TABEL 4.4.
Data Kondisi Demografi Daerah Provinsi Jawa Timur 2011- 2012
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur, 2014
c. Kondisi Umum Pemerataan Ekonomi Daerah Jawa Timur
Kondisi perekonomian Jawa Timur menunjukkan perkembangan cukup menggembirakan, hal ini dapat dilihat dari perkembangan nilai PDRBnya dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 2009 PDRB atas dasar harga berlaku (ADHB) sebesar Rp. 684,234 triliun, kemudian meningkat menjadi Rp. 1.136,330 triliun pada tahun 2013. Sementara itu, PDRB atas dasar harga konstan (ADHK) Jawa Timur tahun 2009 meningkat dari Rp. 320,861 triliun menjadi Rp. 419,430 triliun pada tahun 2013. Pada tahun 2009 perekonomian Jawa Timur mampu tumbuh 5,01 persen, kemudian tahun 2010, tahun 2011 dan tahun 2012 masing-masing tumbuh sebesar 6,68 persen, 7,22 persen dan7,27 persen, namun pada tahun 2013 mengalami perlambatan menjadi 6,55 persen. Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur selama kurun waktu tersebut lebih cepat dari rata-rata nasional.
Indikator Satuan Tahun
2011 2012
Demografi
a. Jumlah Penduduk Jiwa 37.781.599 38.052.950
(1) laki-laki Jiwa 18.599.308 18,740.05
(2) Perempuan Jiwa 19.182.291 19.312.896
(1)
membaik. Dan dari adanya hubungan positif pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan ekonomi bisa disebabkan karena pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara belum terjadi secara merata. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi umunya dirasakan oleh daerah yang masuk dalam kategori kota ataupun daerah yang manjadi pusat perekonomian contohnya daerah Pulau Jawa yang selama ini menjadi pusat pembangunan ekonomi, sehingga dalam penelitian ini menunjukan hasil yang tidak merata dengan daerah lain. Perbedaan kepemilikan asset oleh suatu daerah berupa endowment factor yang dimiliki akan mampu menciptakan ketimpangan ekonomi antar wilayah. Hal ini juga sesuai dengan yang diungkapkan oleh Sjafizal (2008), yaitu bahwa pada permulaan proses pembangunan suatu wilayah, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat.
2. Indeks Pembangunan Manusia di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara IPM menunjukkan tanda positif dan signifikan di tingkat kepercayaan 5 persen untuk provinsi di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Koefisien IPM mempunyai nilai sebesar 0.019668,yang berarti apabila ada peningkatan 1 persen dari IPM maka akan meningkatkan ketimpangan sebesar 0.019668 persen dengan asumsi tidak ada perubahan jumlah variabel bebas. Variabel IPM dengan tingkat ketimpangan ekonomi mempunyai hubungan positif hasil penelitian ini sama dengan hipotesis maka hipotesis diterima. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Purnasihar (2012), menunjukkan bahwa IPM berpengaruh positif terhadap ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia. IPM merupakan ukuran keberhasilan pembangunan manusia secara rata-rata. Komponen dari perhitungan
(2)
IPM meliputi angka harapan hidup saat kelahiran, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah serta kemampuan daya beli.
3. Aglomerasi di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara
Variabel aglomerasi menunjukkan hasil negatif dan signifikan terhadap tingkat ketimpangan ekonomi pada derajat kepercayaan 5 persen. Koefisien variabel aglomerasi mempunyai nilai sebesar -6.367017, yang berarti bahwa bila terjadi peningkatan aglomerasi 1 persen maka akan menurunkan tingkat ketimpangan sebesar 6.367017 persen dengan asumsi tidak ada perubahan dalam jumlah variabel bebas. Terdapat pengaruh yang signifikan ini mengindikasikan bahwa ketimpangan ekonomi di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara ditentukan oleh jumlah investasi. Dengan kata lain, naik turunya aglomerasi berpengaruh terhadap ketimpangan ekonomi Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Dari hasil regresi yang ada bahwa hasil ini sesuai dengan hipotesis pada penelitian ini yang menduga terdapat adanya hubungan negatif dan berpengaruh signifikan antara aglomerasi dengan ketimpangan ekonomi di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis dalam penelitian yang menduga adanya pengaruh positif dan signifikan antara aglomerasi dengan ketimpangan ekonomi.
Adanya hubungan positif antara aglomerasi dengan ketimpangan ekonomi sesuai dengan penelitian yang dilakukan Urrahman (2012) yang berjudul “Analisis Ketimpangan Pembangunan Wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Barat Periode 2006-2010” menjelaskan bahwa aglomerasi di Provinsi Nusa Tenggara Barat sudah mampu menurunkan ketimpangan karena dengan adanya kegiatan oleh industri yang ada di kawasan aglomerasi manarik minat dari masyarakat juga
(3)
ikut mendirikan usaha di sekitar kegiatan industri tersebut sehingga pendapatan masyarakat meningkat dan menurunkan ketimpangan pembangunan wilayah.
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Kemajuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh variabel pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan ekonomi di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Yang artinya semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka akan semakin tinggi tingkat ketimpangan ekonomi di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
2. Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang ditunjukkan dengan varibel IPM yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan ekonomi di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Hal ini dikarenakan oleh adanya angka harapan hidup yang tinggi dimasing – masing daerah di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Jumlah penduduk yang semakin meningkat memicu terjadinya ketimpangan ekonomi.
3. Variabel aglomerasi berpengaruh negatif dan signifikan. Peningkatan aglomerasi yang terjadi di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara akan membuat kegiatan ekonomi semakin tumbuh dan berujung pada kemakmuran. Oleh karena itu, selama periode penelitian aglomerasi yang bartambah mempengaruhi ketimpangan wilayah di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
(4)
B. Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah diberikan, maka dapat diberikan saran sebagai berikut :
1. Dilihat dari hasil penelitian yang didapatkan adanya pengaruh positif dari pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan ekonomi yang berarti dilihat dari kualitas sumber daya manusia yang cenderung meningkat. Ketika terjadi kenaikan dari pertumbuhan ekonomi maka akan menyebabkan kenaikan terhadap ketimpangan ekonomi. Ketika pertumbuhan ekonomi naik, maka harus dibarengi dengan pemerataan yang ada erat kaitnya dengan distribusi pendapatan. Hal ini yang terjadi di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara selama periode penelitian, erat kaitanya dengan keadaan infrastruktur. Karena jika infrastruktur tidak bagus, maka walaupun pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi tetap akan terhadi kesenjangan antar daerah yang satu dengan yang lain. Dan hal ini yang terjadi di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara yang terdiri dari Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sebaiknya pemerintah memperhatikan pemerataan pembangunan di wilayah timur Indonesia.
2. Walaupun angka usia harapan hidup di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara tergolong tinggi, akan tetapi masih ada komponen lain dalam membentuk IPM, yaitu angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan daya beli masyarakat. Program-program pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan IPM, sebaiknya ditinjau ulang apakah sudah tepat sasaran
(5)
atau belum. Upaya peningkatan IPM sebaiknya difokuskan pada masyarakat dan daerah-daerah yang membutuhkan yang berada di wilayah Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara .
3. Selanjutnya dari hasil penelitian yang didapatkan aglomerasi yang mencerminkan dari pemusatan kegiatan produksi memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan ekonomi, ini merupakan salah satu masalah selama periode pengamatan penelitian. Pemusatan kegiatan produksi dapat membantu menurunkan tingkat ketimpangan dengan mempermudah akses dalam kegiatan produksi. Untuk itu pemerintah harus melakukan peningkatan pembanguanan pada daerah tertinggal dengan mempermudah akses kegiatan produksi.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, D.R. 2015. Analisis Determinan Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Daerah Istimewa Yogyakarta Periode 2005-2013, Skripsi, Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Arsyad, Lincolin. 1999. Ekonomi Pembangunan, Bagian Penerbitan STIE YKPN,
Yogyakarata.
_____________, 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta : BPFE.
Basuki, A.T. dan Yuliadi, I. 2014. Elektronik Data Prosesing (SPSS 15 dan EVIEWS 7). Yogyakarta: Danisa Media.
Basuki, A.T. 2009, Analisis Potensi Unggulan Kabupaten Yapen dalam Menopang Pembangunan Provinsi Papua Tahun 2004-2008. Jurnal Ekonomi, UNISIA, Vol XXXII No 7, Yogyakarta.
Bonet, J. 2009. Regional Economic Diparities in Colombia. Investigaciones Regionales, 14-Paginas 61 a 80.
BPS Nasional, Indonesia dalam Angka 2013. Berbagai tahun terbitan BPS Nasional, Indonesia dalam Angka 2014. Berbagai tahun terbitan Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta : Erlangga
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah, Jakarta : Penerbit Erlangga, Jakarta.
Lukman, Edy. 2009. Mengurangi Kesenjangan. Republika 1 Agustus 2009. Mudrajat, Kuncoro. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta:
(6)
______________, 2004. Otonomi & Pembangunan Daerah. Jakarta : Erlangga. ______________, 2010. Masalah Kebijakan dan Politik Ekonomika
Pembangunan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
______________, 2012. Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah, dan Kebijakan Yogyakarta : UPP AMP YKPN.
Purnasihar, Sara. 2012. Analisis Ketimpanga Pendapatan Antar Wilayah dan Sekitar di Indonesia, Tesis: Universitas Gadjah Mada
Putra, Dewangga Linggar. 2011. Analisis Pengaruh Ketimpangan Distribusi Pendapatan Terhadap Jumlah Penduduk Miskin Di Provinsi Jawa Tengah Periode 2000 – 2007, Skripsi: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang.
Rahmawaty, Daniar. 2014. “Analisis Faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Spasial Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2001-2013”, Skripsi: Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang
Ramly, Fahrudin. 2012. Determinan Ketimpangan Regional Di Indonesia Tahun 2000 – 2008, Jurnal. ASSETS Volume 2 Nomor 1 Tahun 2012.
Sadono, Sukirno. 2004. Ekonomi Pembangunan : Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan. Jakarta : LPFE UI.
_____________, 2006. Makroekonomi : Pengantar Teori. Jakarta : Raja Grafindo Persindo
Sutarno dan Kuncoro, Mudrajad. 2003. Pertumbuhan ekonomi dan Ketimpangan Antar Kecamatan di Kab. Banyumas Tahun 1993-2000. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Hal 97-110.
Suyatno. 2013. Analisis Disparitas Perekonomian di Wilayah Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah , dan Jawa Timur) Periode 1996 – 2011, Jurnal: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta
Soetopo, W.S., Refa, 2009. Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau Di Indonesia, Skripsi: Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Soediyono. 1992. Ekonomi Makro, Analisa IS-LM dan Permintaan-Penawaran Agregat, Edisi Ketiga, Liberty Yogyakarta
Tambunan, Tulus T.H. 2001. Perekonomian Indonesia : Teori dan Temuan Empiris. Jakarta : Salemba Empat.
Todaro, Michael. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Penerbit Erlangga Edisi Kedelapan. Jakarta.
_______________, Dan Stephen C. Smith. 2011. Pembangunan Ekonomi. Jakarta : Erlangga
Urrahma, Aulia. 2012. Analisis Ketimpangan Pembangunan Wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Barat Periode 2006-2010, Skripsi : Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang