Gambaran Umum Variabel Penelitian 1.

Pada Tabel 4.1 dapat dilihat wilayah pulau jawa memiliki tingkat ketimpangan yang sedang dari tahun 2007 hingga 2013 nilai indeks Gini semakin menjauhi angka nol yang artinya tingkat ketingan semakin rendah sementara untuk wilayah Bali hampir sama dengan pulau Jawa yang memiliki tingkat ketimpangan yang sedang, berbeda dengan wilayah pulau Nusa Tenggara meskipun memiliki letak strategis dengan Bali dan Jawa namun ketimpangan di wilayah ini cenderung tinggi dan setiap tahunnya mengalami peningkatan.

2. Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara

Wilayah Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara memiliki karakteristik yang berbeda, pengembangan ekonomi wilayah Jawa yang berfokus pada industri sementara Bali dan Nusa Tenggara yang berfokus pada pariwisata. Laju pertumbuhan ekonomi di Wilayah Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara secara umum mengalami peningkatan. TABEL 4.10. Laju Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Tahun 2007-2013 Sumber :BPS Nasional 2014 Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Jawa Barat 6.48 6.21 4.19 6.20 6.51 6.28 6.06 Jawa Tengah 5.59 5.61 5.14 5.84 6.03 6.34 5.81 DI Yogyakarta 4.31 5.03 4.43 4.88 5.17 5.32 5.40 Jawa Timur 6.11 5.94 5.01 6.68 7.22 7.27 6.55 Banten 6.04 5.77 4.71 6.11 6.38 6.15 5.86 Bali 5.92 5.97 5.33 5.83 6.49 6.65 6.05 Nusa Tenggara Barat 4.91 2.82 12.14 6.35 -2.69 -1.10 5.69 Nusa TenggaraTimur 5.15 4.84 4.29 5.25 5.62 5.41 5.56 Laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 di wilayah pulau Jawa banyak mengalami penurunan meskipun pulau Jawa merupakan daerah yang dekat dengan pusat pembangunan, penurunan laju pertumbuhan ekonomi terjadi di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten begitu juga dengan wilayah pulau Bali. Namun tidak demikian dengan pertumbuhan ekonomi di Nusa Tenggara yang mengalami peningkatan pada tahun 2013. Angka laju pertumbuhan yang tertinggi terdapat di wilayah Jawa Timur.

3. Indeks Pembangunan Manusia Wilayah Pulau Jawa, Bali dan Nusa

Tenggara Indeks pembangunan manusia IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia. IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendaptan, kesehatan dan pendidikan. Sumber daya manusia yang berkualitas sangat penting dalam mendukung percepatan pertumbuhan dan perluasan pembangunan ekonomi daerah. Semakin tinggi kualitas sumber daya manusia di suatu daerah, semakin produktif angkatan kerja dan semakin tinggi peluang melahirkan inovasi menjadi kunci pertumbuhan secara berkelanjutan. Namun nilai IPM yang tidak merata antar daerah memicu terjadinya ketimpangan regional. TABEL 4.11. Indeks Pembangunan Manusia Wilayah Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Sumber :BPS Nasional 2014 Pada Tabel 4.3 menunjukan bahwa angka tertinggi Indeks Pembanguanan Manusia berada di Wilayah Jawa Barat sementara terendah berada di daerah Nusa Tenggara Barat hal ini menunjukan bahwa terjadi ketimpangan pembangunan antara wilayah barat dan timur. Indeks Pembangunan Manusia merupakan indicator untuk melihat ketimpangan disuatu daerah. Perkembangan IPM di Indonesia secara umum terus mengalami peningkatan BPS, 2013. Hal ini terjadi karena adanya perubahan satu atau lebih komponen IPM pada periode tersebut. Perubahan yang dimaksud dapat berupa peningkatan atau penurunan besaran dari komponen IPM yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf rata-rata lama sekolah dan pengeluaran riil perkapita. Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Jawa Barat 70,71 71,12 71,64 72,29 72,73 73,11 73,58 Jawa Tengah 70,92 71,6 72,1 72,49 72,94 73,36 74,05 DI Yogyakarta 74,15 74,88 75,23 75,77 76,32 76,75 77,37 Jawa Timur 69,78 70,38 71,06 71,62 72,18 72,83 73,54 Banten 69,29 69,7 70,06 70,48 70,95 71,49 71,90 Bali 70,53 70,98 71,52 72,28 72,84 73,49 74,11 Nusa Tenggara Barat 63,71 64,12 64,66 65,2 66,23 66,89 67,73 Nusa Tenggara Timur 65,36 66,15 66,6 67,26 67,75 68,28 68,77

4. Aglomerasi Wilayah Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara

Aglomerasi pemusatan aktivitas produksi digunakan oleh Jaime Bonet 2006 sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi kesenjangan wilayah. Ia menyatakan bahwa aglomerasi produksi dapat mempengaruhi kesenjangan wilayah secara langsung, yaitu pada saat terdapat hambatan bagi mobilitas tenaga kerja antar wilayah, atau saat terdapat surplus tenaga kerja dalam perekonomian. Myrdal dan Hirscman 1970 menjelaskan hal ini melalui efek pengkutuban polarization effect aktivitas ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan efek menetes ke bawah trickle down effect. Aglomerasi dapat diukur dengan beberapa cara. Pertama adalah menggunakan proporsi jumlah penduduk perkotaan urban area dalam suatu propinsi terhadap jumlah penduduk propinsi tersebut. Yang kedua adalah dengan menggunakan konsep aglomerasi produksi Bonet, 2008. Penelitian ini menggunakan konsep aglomerasi produksi yang diukur menggunakan proporsi PDRB Provinsi terhadap PDRB Nasional. Ukuran ini bertujuan untuk mengetahui dampak pemusatan aktivitas ekonomi 35 kabupatenkota di Jawa Tengah terhadap pendapatan regional antar kabupatenkota. Konsep aglomerasi penduduk tidak digunakan dalam penelitian ini karena data jumlah penduduk perkotaan tidak tersedia setiap tahunnya. TABEL. 4.12. Aglomerasi Wilayah Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Sumber : Data diolah Dilihat dari Tabel tersebut tingkat aglomerasi tertinggi berada diwilayah Jawa Barat dan Jawa Timur hal tersebut dikarenakan wilayah Jawa Barat menjadi pusat percepatan wilayah industri. Sementara daerah dengan tingkat aglomerasi terendah berada di wiliyah DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur. Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Jawa Barat 0.145 0.146 0.145 0.145 0.145 0.145 0.145 Jawa Tengah 0.084 0.084 0.084 0.084 0.084 0.084 0.084 DI Yogyakarta 0.010 0.010 0.010 0.009 0.009 0.009 0.009 Jawa Timur 0.153 0.153 0.153 0.154 0.155 0.157 0.158 Banten 0.040 0.040 0.040 0.040 0.040 0.040 0.040 Bali 0.013 0.013 0.013 0.013 0.013 0.013 0.013 Nusa Tenggara Barat 0.009 0.008 0.009 0.009 0.008 0.008 0.008 Nusa Tenggara Timur 0.006 0.006 0.006 0.006 0.006 0.006 0.006

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Uji Kualitas Data

1. Uji Heterokedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksaman varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Hasil regresi dari log residu kuadrat terhadap seluruh variabel menunjukkan probabilitas lebih dari 0,05. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat heteroskedastis dalam model tersebut. Tabel 5.1 Hasil Uji Heteroskedastisitas dengan Uji Park Ket: =signifikan 1, =signifikan 5, =signifikan 10

2. Uji Multikolinearitas

Uji multikoliniearitas bertujuan melihat adanya masalah multikolinearitas antar variabel independen. Hal ini terlihat dari tidak adanya koefisien korelasi yang lebih besar dari [0,9], lihat lampiran 3.

B. Analisis Pemilihan Model Terbaik

Analisis model data panel terdapat tiga macam pendekatan yang dapat digunakan, yaitu pendekatan kuadrat terkecil ordinarypooled least square, pendekatan efek tetap fixed effect, dan pendekatan efek acam random effect. Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 4.80E-11 1.06E-10 0.454229 0.6518 PE 1.22E-12 1.34E-12 0.912765 0.3662 IPM 5.83E-10 1.83E-09 0.319388 0.7509 AG -8.76E-13 1.84E-12 -0.474593 0.6374 68 Dari tiga model regresi yang bisa digunakan untuk mengestimasi data panel, model regresi dengan hasil terbaiklah yang akan digunakan dalam menganalisis. Maka dalam penelitrian ini untuk mengetahui model terbaik yang akan digunakan dalam menganalsisi apakah dengan model Pooled Least Square PLS, Fixed Effect, atau model Random Effect REM, maka dilakukan pengujian terlebih dahulu menggunakan Uji Chow dan Uji Hausman. Adapun hasil uji statistinya adalah sebagai berikut :

1. Uji Chow

Pengujian Uji Chow data panel diestimasi menggunakan efek spesifikasi fixed. Uji ini bertujian untuk mengetahui apakah sebaiknya model menggunakan fixed effect atau common effect. H : Common Effect H 1 : Fixed Effect Apabila hasil probabilitas chi-square kurang dari alpha 5 maka Ho ditolak. Sehingga, model menggunakan fixed effect. Hasil dari estimasi menggunakan efek spesifikasi fixed adalah sebagai berikut: Tabel 5.2 Hasil Test Rebundant Fixed Effect-Likelihood Ratio Berdasarkan hasil olahan di atas, diketahui probabilitas Chi-square sebesar 0,0000 sehingga menyebabkan Ho ditolak. Maka model fixed adalah model yang sebaiknya digunakan. Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 6.889835 7,45 0.0000 Cross-section Chi-square 40.790101 7 0.0000